Abstract
INDONESIA:
Kasus perceraian menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan. Angka kasus perceraian justru kian meningkat dari inisiatif pihak istri alias cerai gugat . Fenomena cerai gugat ini sebagian besar dipicu oleh benturan ekonomi dan juga hadirnya pihak ketiga yang dilakukan oleh suami. Namun ada juga perkara cerai gugat yang diajukan istri kepada suami tetapi dalam kasus tersebut seorang suami tidak merasa melakukan kesalahan kepada istri karena telah melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga sehingga suami tidak rela memutuskan ikatan pernikahannya. Istri masih bersikeras ingin bercerai yang akhirnya berujung kepada permohonan iwadl’ suami dengan menerima tebusan dari istri, inilah yang dimaksud dengan perkara khulu. Berdasarkan kasus tersebut, skripsi ini meneliti tentang prosedur pembuktian khulu’ dalam perkara cerai gugat dan menggali dasar pertimbangan hakim terhadap putusan tersebut untuk mengetahui prosedur serta dasar pertimbangan yang dipakai oleh hakim sehingga permohonan Iwadl perkara khulu’ dalam cerai gugat ini ditolak.
Dalam proses penelitian ini, peneliti menggunakan desain penelitian deskriptif dengan menggunakan jenis penelitian empiris berupa penelitian kasus. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian adalah pendekatan kualitatif yang menitikberatkan pada hasil pengumpulan data dari informan yang ditentukan, yaitu Hakim Pengadilan Agama Malang yang berperan dalam memutuskan perkara permohonan iwadl perkara khulu’ dalam cerai gugat. Kemudian sumber data diperoleh dari data primer dan data sekunder yang dikumpulkan dengan menggunakan metode wawancara serta dokumentasi. Data-data itu kemudian diolah melalui tahap edit, klasifikasi, verifikasi, analisis, dan konklusi sehingga menjadi sebuah hasil penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prosedur khulu’ yang diberlakukan di Pengadilan Agama sama dengan prosedur cerai gugat biasa. Kemudian dasar pertimbangan hakim menolak permohonan Iwadl perkara khulu’ ini adalah Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 jo Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam, pasal 19 huruf (f) PP No. 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf (f) KHI, pasal 1 huruf (i) Kompilasi Hukum Islam, Hadits riwayat Bukhari, dan Nasai dari Ibnu Abbas tentang khulu’. Dalam kasus ini tidak ada kerelaan dari istri untuk membayar iwadl/ tebusan kepada suami dan pemicu dari ketidakharmonisan rumah tangga bukan semata-mata karena kesalahan istri, namun juga karena kesalahan dari suami. Sehingga tuntutan iwadl dianggap tidak beralasan. Hakim memperhatikan nilai kepatutan dan kemampuan istri untuk membayar iwadl.
ENGLISH:
Divorce cases showed a significant increase. The number of divorce cases actually is increasing from the wife’s initiative or contested divorce. This phenomenon of contested divorce is largely caused by the economic impact and also the presence of third side made by the husband. But there are also contested divorce cases accused by wife to the husband who does not think to do something like what the wife accused to the curt but he thinks that he has done his responsibility as leader of family. So the husband is not willing to decide his marriage bond. Wife still insists to divorce that eventually led to iwadl ' petition of husband by accepting fee from his wife, this is named the khulu case. Based on the case, this thesis examines on the verification procedure khulu’ in contested divorce cases and explores the basic consideration of the judge against the decision to know the procedures and rationale used by the judge so the iwadl ' petition of khulu’ case in contested divorce was rejected.
In the process of this study, researchers used a design of descriptive research with using a type of empirical research in the form of case studies. The approach used in this study is a qualitative approach that focuses on results of collecting data from informants who are determined, that is the Judge of Religious Court of Malang that has role in deciding the case of petition iwadl of khulu’ case in contested divorce. Then the data source obtained from primary data and secondary data collected by using interviews and documentation. These data were processed through the stages of editing, classification, verification, analysis, and conclusions so that it becomes a research result that can be accounted for.
The results of this study indicate that the khulu’ procedure implemented on the Religious Court is like as procedure of usual divorce. Then, the basis considerations of the judge rejected iwadl of khulu’ case is Article 1 UU No. 1 of
1974 jo, Article 3 Compilation of Islamic Law, Article 19, point (f) PP. 9 of 1975 jo. Article 116 point (f) KHI, Article 1 point (i) Compilation of Islamic Law, Hadith of Bukhari history, and Nasai is from Ibn Abbas that is about khulu’. In this case there is no wife’s willingness to pay iwadl / ransom to the husband and the causes of family disharmony is not the wife’s fault only, but also because of the husband's fault. So iwadl ' petition is took unreasonable. Judge considers the wife’s appropriateness and ability to pay iwadl.
1974 jo, Article 3 Compilation of Islamic Law, Article 19, point (f) PP. 9 of 1975 jo. Article 116 point (f) KHI, Article 1 point (i) Compilation of Islamic Law, Hadith of Bukhari history, and Nasai is from Ibn Abbas that is about khulu’. In this case there is no wife’s willingness to pay iwadl / ransom to the husband and the causes of family disharmony is not the wife’s fault only, but also because of the husband's fault. So iwadl ' petition is took unreasonable. Judge considers the wife’s appropriateness and ability to pay iwadl.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kasus perceraian menunjukkan
peningkatan yang cukup signifikan. Tidak hanya di kalangan artis, tetapi juga
terjadi pada masyarakat luas. Perpisahan antara suami-istri yang diakibatkan
perceraian, menjadi potret buram perjalanan hidup sebuah keluarga. Kasus
perceraian dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan. Terlebih,
kenyataan tersebut didorong dengan munculnya tren baru dalam masyarakat kita
yang lebih dikenal dengan istilah cerai-gugat. Bahkan dari sekian banyak kasus
perceraian yang terjadi di Pengadilan Agama misalnya, cerai-gugat atau gugatan
cerai yang diajukan oleh istri lebih mendominasi daripada cerai-talak.
Berdasarkan berbagai penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti terdahulu,
banyak yang menyebutkan bahwa angka perceraian yang tercatat di Pengadilan
Agama (PA) mengalami peningkatan setiap tahunnya. Bambang Ali Muhajir, Hakim
dan Humas Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Jatim mengungkapkan bahwa selama tahun
2009 di Malang telah terjadi perceraian sebanyak 6.716 kasus. Kasus perceraian
di Pengadilan Agama daerah Malang tahun 2009 telah menempati ranking kedua
terbanyak di Jatim setelah Banyuwangi. Perkara perceraian yang masuk di
Pengadilan Agama Kota Malang pada tahun 2009 mencapai 1453 kasus.1 Tercatat
sebanyak 1300 kasus perceraian terjadi di Kota Malang pada tahun 2010. Ketua
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cabang Kota Malang, Baidowi Muslich mengatakan,
rata-rata dalam sehari, terdapat tiga sampai empat kasus perceraian.2 Data
statistik di pengadilan Agama Kota Malang menunjukkan pada tahun 2009 jumlah
perkara cerai gugat yang masuk di Pengadilan Agama Kota Malang sebanyak 72.66%
dan cerai talak 25.78%. Sedangkan tahun 2010 terdapat 59.94% perkara cerai gugat
dan 31.15% perkara cerai talak. Dan pada tahun 2011 menunjukkan 63.76% cerai
gugat dan 28.46% cerai talak.3 Sedikitnya 70% angka perceraian di Kota Malang
dari tahun 2009-2011 diajukan oleh pihak istri, dan 30% lainnya oleh pihak
suami. Fenomena cerai gugat ini sebagian besar dipicu oleh perselingkuhan,
benturan ekonomi dan juga hadirnya pihak ketiga yang dilakukan oleh suami.4
Namun ada juga perkara cerai gugat yang diajukan istri kepada suami tetapi
dalam kasus tersebut seorang suami tidak merasa melakukan kesalahan kepada
istri karena telah melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai kepala)
sehingga suami tidak rela memutuskan ikatan pernikahannya. Istri masih
bersikeras ingin bercerai yang akhirnya berujung kepada permohonan khulu’ suami
dengan menerima tebusan dari istri. Perkara ini memang jarang terjadi. Menurut
keterangan salah satu hakim di Pengadilan Agama Kota Malang, sampai saat ini
hanya sekitar tiga perkara khulu’ dalam cerai gugat dan ratarata hakim menolak
permohonan khulu’ tersebut. Salah satu perkara khulu’ yang masuk ke Pengadilan
Agama Malang yaitu perkara No.1274/Pdt.G/ 2010/PA.Mlg. Dalam perkara ini istri
mengajukan gugatan cerai kepada suami di Pengadilan Agama karena sudah tidak
betah hidup satu rumah dengan suami beserta keluarganya dan merasa bahwa
keluarga suami terlalu ikut campur dalam urusan rumah tangganya. Suami tidak rela
jika terjadi perceraian karena telah melaksanakan tugas dan kewajibannya. Namun
karena istri tetap ingin melanjutkan gugatan pada akhirnya suami mengabulkan
keinginan tersebut dengan syarat istri membayar iwadl/ tebusan kepadanya. Kasus
perceraian kian meningkat dari inisiatif pihak istri alias cerai gugat. Pada
awal abad ke-19, posisi lelaki memegang peran sebagai pemberi nafkah keluarga.
Mereka bekerja di luar rumah, sementara perempuan bertanggung jawab mengurusi
persoalan rumah tangga. Sehingga, cerai bagi wanita merupakan hal yang tabu,
karena selain menyandang titel janda yang dinilai rendah dalam ruang sosial,
sang istri yang dicerai juga harus memikul beban material yaitu pemenuhan
kebutuhan hidup. Oleh karenanya, jarang sekali ada istri yang mau dicerai
apalagi mengajukan perceraian kepada suaminya. Akan tetapi, perlahan-lahan di
sepanjang abad ke-19, mindset semacam ini mulai bergeser. Pada abad ke-20
terjadi perubahan fundamental yakni gerakan pembebasan perempuan yang mendorong
kaum hawa untuk bekerja di luar rumah.5 Majalah Time (Asia’s Divorce Boom, 5
April 2004) menyebut bahwa banyaknya cerai gugat karena kaum hawa semakin sadar
dengan tuntutan kesetaraan dalam kehidupan berumah tangga. Selain itu, banyak
perempuan Asia yang tidak lagi mau menomorduakan kebutuhan mereka setelah
kebutuhan suami. Seorang public prosecutor (jaksa penuntut umum) di Thailand
yang diwawancarai menengarai, kasus perceraian meningkat karena istri zaman
sekarang lebih individualistis. Jika menghadapi masalah dalam pernikahan,
mereka cenderung lebih memikirkan kepentingan mereka sendiri ketimbang
keharmonisan keluarganya. Perempuan Asia masa kini juga semakin independen
secara finansial. Banyaknya kasus gugat cerai tersebut dimungkinkan karena
semakin majunya pendidikan gender terhadap kaum perempuan, yang menempatkan hak
perempuan sejajar dengan kaum lakilaki.6 Dalam perspektif Islam, salah satu
perceraian yang dibolehkan oleh syariat adalah melalui jalan khulu’. Menurut
bahasa, kata khulu’ berasal dari khala’ ats-tsauba idzâ azzalaba yang artinya
melepaskan pakaian; karena 5 ereka itu adalah pakaian bagimu dan kamu pun
pakaian bagi mereka. (AlBaqarah : 187) Menurut istilah, khulu’ berarti talak
yang diucapkan isteri dengan mengembalikan mahar yang pernah dibayarkan
suaminya. Artinya tebusan itu dibayarkan oleh seorang isteri kepada suami yang
dibencinya, agar suaminya itu dapat menceraikannya.7 Hadits Rasulullah
menjelaskan 8 Dari Ibnu Abbas R a. bahwasannya istri Tsabit bin Qais datang
kepada Nabi saw dan berkata : “Wahai Rasulullah, aku tidak mencela budi pekerti
dan agama Tsabit bin Qais, tetapi aku tidak suka (durhaka kepada suami) setelah
masuk Islam.” Maka Rasulullah saw bertanya : “Apakah kamu mau mengembalikan
kebunnya?” Ia menjawab: “Ya.” Rasulullah saw bersabda (kepada Tsabit bin Qais),
“Terimalah kebun itu dan ceraikanlah sekali” 7 Syaikh Hasan Ayyub, Fikih
Keluarga (Panduan Membangun Keluarga Sakinah Sesuai syariah), (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2009), 355. 8 Imam Abi Abdillah, “Shahih Bukhari”, diterjemahkan
Zainuddin Hamidy, Shahih Bukhari (Jilid 1), (Cet XIII; Jakarta: Widjaya, 1992),
20. Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah 229 : br& Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi
dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal
bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka,
kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukumhukum Allah.
Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan
hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang
diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka
janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah
mereka Itulah orang-orang yang zalim. (Al-Baqarah : 229). Khulu’ hanya
dibolehkan dengan adanya alasan yang benar. Jika tidak ada alasan yang benar
maka hukumnya makruh. Dalam satu hadits dari Abi Hurairah yang diriwayatkan
oleh Ahmad dan Nasa’i, diterangkan bahwa seorang isteri yang meminta khulu’
tanpa alasan yang benar adalah perempuan munafik. Secara implisit dapat
dipahami bahwa hal pokok yang menjadi alasan khulu’ bagi istri berdasarkan nash
syar’i karena kekhawatiran tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Hal
ini bisa disebabkan istri tidak mencintai suami, suami tidak menjalankan
perintah agama, suami mengajak kepada kemaksiatan, kesyirikan, bahkan
kemurtadan atau suami sangat buruk akhlaknya sehingga istri bisa terpengaruh.
Dari sini bisa dipahami bahwa perceraian melalui jalan khulu’ berorientasi
kepada nilainilai keimanan dan ketauhidan kepada Allah SWT. Secara yuridis
perceraian melalui jalan khulu’ hanya diatur dalam Kompilasi Hukum Islam,
ditambah dengan praktik yang berlaku di Pengadilan Agama. Sebelum
diberlakukannya Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dengan Instruksi Presiden
Nomor 1 Tahun 1991 pada tanggal 10 Juni 1991 yang dilaksanakan dengan Keputusan
Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 154 Tahun 1991 pada tanggal 22 Juli
1991. Pengadilan Agama hanya mengenal adanya dua jenis perkara perceraian,
yaitu perkara permohonan cerai talak dari suami dan perkara cerai gugat dari
pihak isteri. Dengan diberlakukannya Kompilasi Hukum Islam ada perubahan
signifikan dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama, yaitu berlakunya Hukum
Acara Khulu’. Namun berlakunya acara perceraian dengan cara khulu’ (talak
tebus) tidak melahirkan jenis perkara perceraian yang baru di Pengadilan Agama.
Acara khulu’ menjadi bagian dari perkara cerai gugat dengan tambahan putusan
mengenai tebusan yang harus dibayar oleh isteri dan perceraian terjadi dengan
jatuhnya talak khuluk dari suami.9 Khulu’ tidak diatur dalam Undang-Undang No.
1 Tahun 1974 tentang perkawinan, dan begitu juga tidak ditemui dalam Peraturan
Pemerintah No. 9 tahun 1975. Menurut Kompilasi Hukum Islam tahun 1991 dalam
pasal 1 huruf i Khuluk adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan
memberikan tebusan atau iwadh kepada dan atas persetujuan suaminya. Baik dalam
fiqh maupun dalam kompilasi Hukum Islam menempatkan khulu’ sebagai salah satu
jalan yang dapat ditempuh untuk melakukan perceraian 9 Aris Bintania, dari
pihak istri. Khulu’ bukan sebagai alasan perceraian bagi istri untuk
menanggalkan ikatan perkawinan, tetapi khuluk adalah suatu jalan keluar yang
ditetapkan syari’at bagi istri sebagaimana syari’at menetapkan talak bagi
suami. Masalah khulu’ diatur dalam Kompilasi Hukum Islam tahun 1991: 1. pasal
148 ayat 1 yang berbunyi “Seorang istri yang mengajukan gugatan perceraian
dengan jalan khuluk, menyampaikan permohonannya kepada Pengadilan Agama yang
mewilayahi tempat tinggalnya disertai alasan atau alasan-alasannya.” 2. pasal
124 KHI berbunyi “ Khuluk harus berdasarkan atas alasan perceraian sesuai
ketentuan pasal 116. “ Dari kedua pasal tersebut nampak terlihat bahwa KHI
berupaya untuk mengakomodir perceraian melalui jalan khuluk karena syariat
telah menetapkan kebolehannya. Akan tetapi pengaturan khuluk dalam KHI tidak
sedetail sebagaimana halnya cerai talak ataupun cerai gugat biasa. KHI hanya
mengakomodir khuluk dalam batasan yang sangat sempit. 3. Dalam pasal 148 ayat 4
lebih tegas dinyatakan “ … Terhadap penetapan ini tidak dapat dilakukan upaya
banding dan kasasi.” Ketentuan ini akan membedakan khuluk dari cerai talak dan
cerai gugat biasa. Karena khuluk tidak sampai menunggu 14 hari dari penetapan
yang telah dijatuhkan. Penetapan itu langsung mempunyai kekuatan hukum tetap
(BHT) pada hari itu juga. Suami dan istri telah sepakat menerima perceraian
melalui tebusan yang telah disepakati, jadi tidak ada hal yang menjadi
keberatan bagi kedua belah pihak atas proses perceraian, sehingga hal tersebut
menutup pintu banding maupun kasasi. 4. Dalam pasal 148 ayat 5 KHI dinyatakan
bahwa dalam hal tidak tercapai kesepakatan tentang besarnya tebusan atau iwadh
Pengadilan Agama memeriksa dan memutus sebagai perkara biasa. Ketentuan ini
memberi pengertian bahwa khulu’ bukan perkara cerai gugat biasa.10 Berangkat
dari persoalan-persoalan di atas, maka peneliti bermaksud untuk mengangkat
permasalahan dengan judul : ”Pertimbangan Majelis Hakim Menolak Permohonan
Iwadl Perkara Khulu’ di Pengadilan Agama Kota Malang (Studi Kasus
Nomor:1274/Pdt.G/2009/PA. Mlg.)”
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana prosedur khulu’ di
Pengadilan Agama Kota Malang? 2. Apa dasar pertimbangan hakim menolak permohonan
Iwadl perkara khulu’ di Pengadilan Agama Kota Malang ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mendeskripsikan dan
menganalisis prosedur khulu’ di Pengadilan Agama Kota Malang 2. Untuk
mendeskripsikan dan menganalisis dasar pertimbangan hakim menolak permohonan Iwadl
perkara khulu’ di Pengadilan Agama Kota Malang 10 Ribat Rafie, “Khuluk dan
Masalah Penerapannya di Pengadilan Agama (Suatu Analisa Fiqh dan KHI Tahun
1991)”, http://ribatrafie.blogspot.com/2010/05/khuluk-dan-permasalahannya.html,
(diakses pada 9 Januari 2011)
D. Manfaat Penelitian
Dengan diadakannya penelitian ini
diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat antara lain: 1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi terhadap kajian
akademis sekaligus sebagai masukan bagi penelitian yang lain dalam tema yang
berkaitan, sehingga bisa dijadikan salah satu referensi bagi peneliti
berikutnya. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan
pengetahuan tentang permohonan iwadl perkara khulu’, dan diharapkan dapat
dijadikan sebagai bahan masukan bagi hakim-hakim di Pengadilan Agama yang lain.
2. Manfaat Praktis a. Sebagai persyaratan untuk meraih gelar Sarjana Strata
Satu (S1) bidang Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah Fakultas Syariah Universitas Islam
Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. b. Sebagai bahan masukan bagi badan
pembuat undang-undang perkawinan mengenai alasan perceraian. c. Sebagai bahan
wacana dan diskusi bagi para mahasiswa fakultas Syari’ah jurusan Al-Ahwal
Al-Syakhshiyyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang khususnya, serta bagi para
masyarakat pada umumnya. d. Sebagai bahan kajian untuk penelitian selanjutnya
dengan tema yang sama.
E. Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu dibutuhkan
untuk memperjelas, menegaskan, melihat kelebihan dan kelemahan berbagai teori
yang digunakan penulis lain dalam penelitian atau pembahasan masalah yang sama.
Dalam penelitian ini terdapat enam penelitian terdahulu dengan penjelasan
sebagai berikut: Kajian tentang cerai gugat telah banyak dilakukan oleh
peneliti terdahulu. Namun, kajian tentang “Pertimbangan Majelis Hakim Menolak
Permohonan Iwadl Perkara Khulu’ di Pengadilan Agama Kota Malang” belum pernah
ada. Penelitian terdahulu dilakukan Nur Khamidiyah dengan judul Pertimbangan
Hakim Terhadap Putusan Cerai Gugat Karena Istri Selingkuh (Studi Perkara Nomor:
603/Pdt.G/ 2009/PA.Mlg).11 Peneliti ini menggunakan desain penelitian
deskriptif dengan menggunakan jenis penelitian lapangan (field research).
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian adalah pendekatan kualitatif yang
menitikberatkan pada hasil pengumpulan data dari informan yang ditentukan yaitu
Hakim Pengadilan Agama Kota Malang yang berperan dalam memutuskan perkara cerai
gugat karena istri selingkuh. Penelitian ini difokuskan untuk mengetahui dasar
hukum yang digunakan dan pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara cerai
gugat karena istri selingkuh sehingga cerai gugat karena istri selingkuh ini
dapat dikabulkan. Aziya Masithoh dengan judul Dasar Pertimbangan Majelis Hakim
Menolak Eksepsi Relatif Gugat Cerai (Studi Kasus Perkara no.1489/Pdt.G/ 11 Nur
Khamidiyah, “Pertimbangan Hakim Terhadap Putusan Cerai Gugat Karena Istri
Selingkuh (Studi Perkara Nomor: 603/Pdt.G/2009/PA.Mlg),” Skripsi (Malang:
Universitas Islam Negeri, 2010) 2008/PA.Mlg).12 Jenis penelitian ini adalah hukum
normatif atau penelitian hukum doktrinal dengan objek putusan No.
1489/Pdt.G/2008/PA Mlg tentang penolakan terhadap eksepsi relatif gugat cerai.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kasus (case approach), yaitu sebuah
pendekatan yang dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus kasus
yang berkaitan dengan isu yang dihadapi dan telah menjadi putusan pengadilan
yang memiliki kekuatan tetap dengan berusaha mendeskripsikannya. Penelitian ini
membahas tentang dasar yang dijadikan Majelis Hakim dalam menolak eksepsi
relatif yang diajukan oleh tergugat dalam proses pemeriksaan perkara gugat
cerai. Luluk Dian Nurhayati dengan judul Makna Pernikahan Bagi Perempuan,
Kaitannya dengan Dominasi Kasus Cerai Gugat di Pengadilan Agama Kabupaten
Malang (Studi Perkara Gugat Cerai Tahun 2002).13 Penelitian ini adalah
penelitian deskriptif-kualitatif yaitu mencoba memaparkan kondisi banyaknya
kasus gugat cerai yang terjadi di Kabupaten Malang berdasarkan data yang
diperoleh dengan sebenarnya. Penelitian ini difokuskan untuk membahas tentang
makna pernikahan bagi perempuan yang pernah bercerai, motivasi terbesar bagi
perempuan ketika memutuskan untuk menikah, serta faktor yang menjadi pemicu
terbesar dari banyaknya kasus gugat cerai yang diajukan di Pengadilan Agama
Kabupaten Malang. 12 Aziya Masithoh, “Dasar Pertimbangan Majelis Hakim Menolak
Eksepsi Relatif Gugat Cerai (Studi Kasus Perkara no.1489/Pdt.G/2008/PA.Mlg),”
Skripsi (Malang: Universitas Islam Negeri, 2010). 13 Luluk Dian Nurhayati,
“Makna Pernikahan Bagi Perempuan,Kaitannya dengan Dominasi Kasus Cerai Gugat di
Pengadilan Agama Kabupaten Malang (Studi Perkara Gugat Cerai Tahun 2002)”
Skripsi (Malang: Universitas Islam Negeri, 2004) Nanin Sudardi dengan judul
Putusan Pengadilan Agama Tentang Gugat Cerai Karena Suami Menyeleweng di Kota
Malang (Studi Kasus di Pengadilan Agama Kota Malang).14 Penelitian yang
menggunakan pendekatan kualitiatif memaparkan tentang beberapa kasus cerai
gugat karena suami menyeleweng, proses gugat cerainya, serta putusan masing-masing
kasus cerai gugat di Pengadilan Kota Malang, sehingga bisa dikatakan tidak ada
analisis kasusnya. Kholis Adi Wibowo dengan judul Analisa Cerai Gugat Tahun
2001 di Pengadilan Agama Kepanjen Kabupaten Malang.15 Dalam penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif-deskriptif yakni dikenal dengan pendekatan
alamiah sebagai sumber data langsung. Penelitian ini membahas tentang analisis
cerai gugat secara umum yang terjadi di PA Kepanjen Kabupaten Malang secara
umum pada tahun 2001. Analisis cerai gugat ini mencakup pengertian sampai tata
cara cerai gugat di PA serta landasan hukum berdasarkan Hukum Islam dan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Dalam skripsi ini disebutkan
tentang hal-hal yang diperbolehkannya cerai gugat, yaitu karena suami tidak memberi
nafkah, suami melakukan penganiayaan, dan karena suami selingkuh. Rudi Hadi
Suwarno dengan judul Putusan/Penetapan Hakim Pengadilan Agama Kabupaten Madiun
Terhadap Perkara Gugat Cerai (Analisis Normatif 14 Nanin Sudardi, “Putusan
Pengadilan Agama Tentang Gugat Cerai Karena Suami Menyeleweng di Kota Malang
(Studi Kasus di Pengadilan Agama Kota Malang)” Skripsi (Malang: Universitas
Islam Negeri, 2002) 15 Kholis Adi Wibowo, “Analisa Cerai Gugat Tahun 2001 di
Pengadilan Agama Kepanjen Kabupaten Malang” Skripsi (Malang: Universitas Islam
Negeri, 2002) Perceraian Nomor: 616/Pdt.G/2004/PA.Mlg).16 Penelitian ini
menggunakan metode penelitian kualitatif. Materi cerai gugat dalam skripsi ini
tidak dilatarbelakangi oleh perselingkuhan yang dilakukan oleh salah satu
pihak. Cerai gugat yang dianalisis dengan menggunakan dasar hukum pasal 39 ayat
(2) UU. No. 1 tahun 1974, pasal 19 huruf (f) PP. No. 9 tahun 1975 dan pasal 16
KHI ini dilatarbelakangi oleh tindakan suami yang tidak menafkahi keluarga
serta melakukan KDRT secara ekonomi dan psikologi. Dari beberapa penelitian di
atas, ada yang memiliki persamaan judul maupun pembahasan yang dibahas dalam
skripsi yang peneliti tulis. Namun persamaan itu hanya terdapat pada satu segi
saja seperti jenis penelitian yang empiris serta pendekatan penelitian yang
berupa kualitatif-deskriptif, tempat studi kasus, dan pada cerai gugatnya.
Dalam beberapa penelitian tersebut tidak ada yang membahas cerai gugat dengan
spesifikasi perkara khulu’. Dari sini dapat disimpulkan bahwa belum ada yang
membahas tentang pertimbangan majelis hakim menolak permohonan iwadl perkara
khulu’. F. Sistematika Pembahasan Untuk memudahkan dalam mempelajari materi
skripsi ini, penting adanya dicantumkan sebuah sistematika pembahasan. Adapun
sistematika pembahasan skripsi ini dapat ditulis dalam sebuah paparan sebagai
berikut: BAB I PENDAHULUAN, dalam bab ini memberikan pengetahuan umum tentang
arah penelitian yang akan dilakukan. Pada bab ini, memuat tentang 16 Rudi Hadi
Suwarno, “Putusan/Penetapan Hakim Pengadilan Agama Kabupaten Madiun Terhadap
Perkara Gugat Cerai (Analisis Normatif Perceraian Nomor:
616/Pdt.G/2004/PA.Mlg)” Skripsi (Malang: Universitas Islam Negeri, 2005) latar
belakang masalah berisi gambaran umum yang berhubungan dengan objek penelitian.
Setelah latar belakang masalah kemudian rumusan masalah agar penulis dapat
lebih fokus pada tujuan penelitian. Selanjutnya menerangkan manfaat penelitian
yang mengarah pada rumusan masalah, penelitian terdahulu untuk pengambilan
referensi dari penelitian lain yang berhubungan dengan penelitian ini yakni
masalah cerai gugat. Sistematika pembahasan berisikan bab dan materi
(teori-teori) yang menunjang dan berkaitan dengan penelitian yang akan dibahas.
Hal ini dikarenakan materi dalam bab ini merupakan pijakan awal atau kerangka
dasar dan umum dari keseluruhan isi dan proses dari penelitian, sehingga dari
bab ini bisa dilihat ke arah mana penelitian akan dituju. BAB II LANDASAN
TEORI, merupakan kumpulan kajian teori yang akan dijadikan sebagai alat analisa
dalam menjelaskan dan mendeskripsikan obyek penelitian. Sehingga setelah
diketahui teorinya maka akan diketahui apakah realitas itu merupakan masalah
atau tidak. Pada bagian bab ini, penulis akan menjelaskan: pertama tentang
pernikahan meliputi pengertian, hukum, hak dan kewajiban suami istri; kedua
tentang perceraian meliputi Tinjauan Hukum Islam dan tinjauan
Perundang-undangan ; ketiga tentang Khulu’ meliputi tinjauan Hukum Islam dan
tinjauan Perundang-undangan; ke empat tentang Hakim meliputi syarat Hakim serta
peran dan tugas Hakim; ke lima tentang tata cara dan proses persidangan BAB III
METODE PENELITIAN, dalam bab ini berisikan metode penelitian, untuk mencapai
hasil yang sempurna, penulis akan menjelaskan tentang metode penelitian yang
dipakai dalam penelitian ini, dimana metode penelitian tersebut terdiri dari
lokasi penelitian, jenis penelitian, pendekatan penelitian, sumber data, metode
pengumpulan data, serta metode pengolahan data BAB IV PAPARAN DAN ANALISIS
DATA, merupakan uraian tentang paparan data yang diperoleh dari lapangan dan
analisa data dari penelitian dengan menggunakan alat analisa atau kajian teori
yang telah ditulis dalam bab II. Selain itu penjelasan atau uraian yang ditulis
dalam bab ini, juga sebagai usaha untuk menemukan jawaban atas masalah atau
pertanyaanpertanyaan yang ada dalam rumusan masalah, yang berisi hasil
penelitian yang mencakup telaah Perkara No. 1274/Pdt. G/2010/PA.Mlg, dan
pembahasan mengenai prosedur khulu’ serta dasar pertimbangan Hakim menolak
permohonan Iwadl perkara khulu. BAB V PENUTUP, merupakan rangkaian akhir dari
sebuah penelitian. Pada bab ini, terdiri dari kesimpulan dan saran. Kesimpulan
dimaksudkan sebagai hasil akhir dari sebuah penelitian. Sedangkan saran
merupakan harapan penulis kepada semua pihak agar penelitian yang dilakukan
oleh penulis dapat memberikan kontribusi yang maksimal serta sebagai masukan
bagi akademisi
No comments:
Post a Comment