Abstract
INDONESIA:
Masalah kehidupan rumah tangga yang begitu kompleks, terkadang membuat suami istri tidak sanggup melanjutkan perkawinannya, sehingga perceraianlah yang mereka pilih untuk mengakhiri perkawinannya. Perceraian atau thalâq merupakan salah satu jalan terakhir dalam mengakhiri kehidupan rumah tangga seorang suami istri. Hal ini telah diatur keberadaanya di dalam hukum Fiqh, Kompilasi Hukum Islam dan UU No.1 Tahun 1974. Begitu juga yang dilakukan oleh masyarkat Mojokerto dalam mengakhiri pernikahannya dengan bercerai. Seseorang yang akan bercerai mempunyai persyaratan yang harus dipenuhi oleh suami istri, seperti dilarangnya seorang suami menjatuhkan thalâq ketika istri dalam keadaan haid yang dikenal dengan thalâq bid’i. Thalâq bid’i adalah thalâq yang dijatuhkan kepada istri dalam keadaan haid atau dalam keadaan suci tetapi telah digauli pada masa suci tersebut. Sedangkan thalâq yang diperbolehkan adalah thalâq yang tidak termasuk dalam keduanya. Tetapi dalam persidangan di Pengadilan Agama Mojokerto yang terletak di Jln. Raya Prajurit Kulon no.17 kota Mojokerto, thalâq bid’i ini terjadi. Dari latar belakang tersebut, timbulah beberapa masalah diantaranya bagaimana pemahaman hakim PA Mojokerto dan bagaimana praktik yang terjadi disana.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pemahaman beberapa hakim di Pengadilan Agama Mojokerto tentang thalâq bid’i serta praktik thalâq bid’i yang diterapkan di Pengadilan Agama Mojokerto. Penelitian ini merupakan jenis penelitian empiris, dengan mendapatkan data yang bersifat deskriptif kualitatif. Data yang terkumpul lebih banyak berupa data primer, yang didukung dengan beberapa data sekunder untuk kemudian dianalisis dengan data hasil penelitiannya. Perolehan data melalui observasi, wawancara dan dokumentasi.
Temuan yang dihasilkan dari penelitian ini bahwa pemahamn hakim tentang thalâq bid’i adalah thalâq yang dijatuhkan oleh suami kepada istri dalam keadaan haid atau dalam keadaan suci tetapi digauli dalam suci tersebut. Keadaan haid yang dimaksud ialah keadaan haid istri saat akan diucapkan ikrar thalâq di depan persidangan, sedangkan dalam keadaan suci ialah masa tunggu istri setelah putusan perkara dengan pengucapan ikrar thalâq, ketika ikrar thalâq suami tetap menjatuhkan thalâqnya. Praktik thalâq bid’i di PA Mojokerto pernah terjadi, tetapi hakim telah menyampaikan kepada suami dan istri bahwa thalâq ini dilarang, dengan beberapa pertimbangan hakim diantaranya adalah hak thalâq ada pada suami, tempat tinggal suami di luar Mojokerto, para pihak sama-sama sepakat dan sanggup menanggung semua resiko, akhirnya hakim mengijinkan suami tetap untuk menjatuhkan ikrar thalâq.
ENGLISH:
Problems in domestic life are so complex, sometimes making the husband and wife are not able to continue their marriage, and they choose divorce to end their marriage. Divorce is one of the last way in ending the life of a married couple households. It has been set its presence on Fiqh law, Compilation of Islamic Law and Law no.1 of 1974. Similarly at Mojokerto community in ending their marriage by doing divorce. Someone is getting a divorce has requirements that must be met by the husband or wife, such as prohibiting a husband dropped the divorce when the wife in a state of menstruation is known as bid'i divorce. Bid'i divorce is divorce that it handed down to the wife in a state of menstruation or in a state of purity but has been clocked on the holy days. While divorce is a divorce that is not permitted is included in both. But at Mojokerto religious courts located at Raya Prajurit Kulon Street, no.17 Mojokerto, this bid'i divorce occurs. The emergence of this background, emerge several issues including how is the understanding of religious court judges in Mojokerto and how are practices occured.
The aim of this study is to determine the understanding of some judges in Mojokerto religious courts about bid'i divorce and bid'i divorce practices applied at Mojokerto religious courts.
This research is an empirical study, data in this research is descriptive qualitative. The collected data are in the form of primary data, which is supported by several secondary data and analyzed by the data for this research. Acquisition of data through observation, interview and documentation.
Research Findings are the understanding of the judge about bid'i divorced is imposed by the husband to the wife in a state of menstruation or in a state of purity but is clocked in the sacred. Menstruation is a state that is menstruating wife will say the pledge when the divorce in front of the court, while in a state of holy wives is a waiting period after the judgment of divorce cases with pronunciation pledge, pledge divorce when the husband kept dropping his divorce. Practice of bid'i divorce at religious court at Mojokerto never happened, but the judge has told the husband and wife that divorce is forbidden, with some consideration of which the judge is right there on the husband divorce, where the husband lived outside Mojokerto, the parties both agree and able to bear all the risk, the judge allowed the husband finally fixed to drop the pledge divorce.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Pernikahan dalam agama Islam mempunyai
kedudukan yang sangat penting, karena dalam suatu pernikahan mengandung
nilai-nilai vertical ( hamba dengan Allah swt ) dan horizontal ( manusia dengan
manusia ).1 Nilai ibadah yang terkandung dalam pernikahan jauh lebih besar
dibandingkan sebelum menikah. Pernikahan yang pada dasarnya tidak hanya
mengatur tatacara pelaksanaan pernikahan, melainkan juga mengatur segala
persoalan yang erat kaitannya dengan pernikahan.2 Misalnya, hak dan kewajiban
suami istri, harta bersama, harta gono gini, tatacara untuk memutuskan
pernikahan (thalâq) dan lain sebagainya. 1 Gus Arifin, Menikah Untuk Bahagia,
Fiqh Nikah dan Kama Sutra Islami, (Jakarta : Kompas Gramedia, 2010), h. 10. 2
Soemiyati, Hukum Pernikahan Islam dan Undang-Undang Pernikahan (Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 tentang Pernikahan), (Yogyakarta: Liberty, 2004), h.3. 2
Menjalani kehidupan rumah tangga kerap sekali perbedaan paham serta pendapat
antara suami istri. Ketika suami istri tidak saling memahami perbedaan
tersebut, maka timbulah konflik. Dikatakan konflik, karena telah dijelaskan dalam
Kamus Ilmiah bahwa konflik diartikan sebagai “pertentangan paham”. 3
Pertentangan paham antara suami-istri ketika keduanya mengikuti egonya sendiri,
tidak jarang pernikahannya akan berujung pada perceraian. Perceraian tidak
hanya disebabkan karena pertentangan paham, dapat juga dikarenakan oleh
perekonomian suami yang kurang memenuhi kebutuhan istri, atau pendapatan suami
lebih rendah dari pada istri, kecemburuan istri yang berlebihan sehingga
membuat suami merasa terkekang, dan lain-lain. Setiap permasalahan dalam
kehidupan rumah tangga tidak harus diakhiri dengan perceraian, hanya dalam
hal-hal tertentu suami istri memilih mengakhiri dengan bercerai. Seperti istri
yang selalu membangkang perintah suami dalam hal kebaikan, terdapat cacat badan
salah satu dari suami istri, percekcokan yang dimungkinkan tidak dapat rukun
kembali apabila pernikahannya tetap diteruskan dan lain sebagainya. Sehingga
perceraian dapat dilakukan atau diterima oleh Pengadilan Agama (selanjutnya
disingkat PA) dengan salah satu alasan yang termuat di dalam UU Perkawinan No.
1 Tahun 1974 pasal 39 ayat (2) dan dijelaskan secara rinci dalam Peraturan
Pemerintah (kemudian disingkat PP) Pasal 19 bahwa perceraian dapat terjadi
dengan beberapa alasan. Tetapi apabila tidak terdapat alasan yang dibenarkan
oleh agama dan di dalam pasal tidak dijelaskan 3 Pius A Partanto dan M. Dahlan
Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 2001), h. 363. 3 maka
perceraiannya tidak dapat dibenarkan oleh agama dan pengajuan perkara di PA
juga tidak dapat diterima. Pernikahan dan perceraian merupakan perbuatan yang
sangat bertolak belakang, karena keduanya merupakan hukum alam yang tidak dapat
dihindari atau diubah. Keterkaitan antara pernikahan dan perceraian bisa
dilihat dari esensi pernikahan itu sendiri, di mana pernikahan merupakan wadah
bertemunya dua insan yang berbeda dari segi karakter, sifat, budaya, serta
keduanya cenderung terhadap keegoisannya masing-masing. Perbedaan antara dua
keluarga yang harus disatukan menjadi keluarga yang dapat menjalin silaturrahmi
dengan baik serta bersatu untuk saling melengkapi. Sedangkan perceraian
merupakan berakhirnya pernikahan yang telah dibina oleh pasangan suami istri
yang dilatarbelakangi oleh beberapa sebab. Islam mengibaratkan perceraian
seperti pembedahan organ tubuh yang menyakitkan, manusia yang sehat akalnya
harus menahan sakit akibat luka, bahkan sanggup diamputasi untuk menyelamatkan
bagian tubuh lainnya, sehingga tidak terkena luka dan infeksi yang lebih parah.
Jika perselisihan antara suami istri tidak dapat reda dan rujuk (berdamai)
tidak dapat ditempuh, maka “perceraian” merupakan jalan terakhir. Untuk melalui
semuanya tidak cukup dengan hanya memperhatikan pasangannya sendiri, tetapi
harus memepertimbangkan keluarga besar dari masing-masing suami istri. PA
merupakan lembaga peradilan tingkat pertama yang berkedudukan di kota dan
kabupaten. PA yang memiliki tugas dan wewenang untuk memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara orang yang beragama Islam seperti 4 perkara
perkawinan, waris, termasuk perkara perceraian yang merupakan bagian dari
perkawinan dan lain sebagainya. Seseorang yang beragama Islam dalam melakukan
perceraian hendaknya menyelesaikan perkaranya di PA guna mendapatkan
perlindungan hukum, hal ini sesuai dengan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama dalam pasal 65 yang berbunyi “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan
sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak
berhasil mendamaikan kedua belah pihak”. Thalâq (disebut juga dengan perceraian)
secara umum dipandang sebagai otoritas suami, dan kalau kita telaah lebih jauh
ternyata memang benar adanya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh mayoritas ulama
salaf seperti Imam Syafi’i, Abu Hanifah, Imam Ahmad, dan Imam Malik mengatakan
bahwa hak thalâq ada pada suami. Meskipun istri mempunyai kewenangan untuk
mengajukan cerai ke PA dengan putusan hakim (yang dikenal dengan khulu’),
tetapi tidak serta merta istri menggugat ke pengadilan kecuali dengan alasan
yang telah dijelaskan oleh undang-undang. Menurut hukum Fiqh, thalâq yang
dijatuhkan oleh suami kapan dan di manapun bahkan dalam kondisi apapun dapat
terjadi, tidak terkecuali ketika istri dalam keadaan haid. Berbeda dengan
Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disingkat KHI) dan hukum positif yang menyatakan
bahwa thalâq hanya dapat jatuh di depan persidangan. Thalâq yang dijatuhkan
oleh suami ketika istri dalam keadaan haid merupakan bagian dari thalâq bid’i.
Thalâq bid’i ini merupakan thalâq atau perceraian yang dilarang dalam agama
Islam, diantaranya adalah thalâq yang dijatuhkan kepada istri dalam keadaan
haid serta thalâq yang 5 dijatuhkan kepada istri dalam keadaan suci tetapi
telah dikumpuli (jima’) pada masa suci tersebut. Ulama sepakat bahwa hukum
menjatuhkan thalâq ini adalah haram dan thalâqnya dianggap jatuh, yang
membedakan adalah apakah suami wajib rujuk atau tidak. Tetapi mayoritas ulama
(Imam syafi’i, Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Hambali) berpendapat bahwa
menjatuhkan thalâq kepada istri dalam keadaan haid mengharuskan untuk rujuk
(kembali), hal ini berdasarkan hadits Nabi saw yang mengatakan bahwa apabila
ada seorang suami yang menjatuhkan thalâq ketika istri dalam keadaan haid untuk
segera me-rujuk-nya hingga masa suci kemudian haid lagi dan suci lagi. Pada
masa suci ini suami dapat menceraikan istrinya sebelum menyetubuhinya, tetapi
apabila suami sudaj berniat menceraikan istrinya, haram hukumnya suami
menggauli istri tersebut. Karena thalâq/cerai yang dijatuhkan merupakan
perceraian yang dilarang oleh Rasulullah saw. Pengadilan Agama merupakan badan
peradilan khusus bagi orang yang beragama Islam dalam mencari keadilan,
menggunakan hukum Islam dan hukum positif sebagai rujukan dalam memutus
perkara. Tetapi dalam prakteknya hakim PA Mojokerto mengijinkan ikrar thalâq
(ucapan thalâq oleh suami) ketika istri dalam keadaan haid, di mana hukum Islam
mengharamkan thalâq kepada istri dalam keadaan haid atau kepada istri yang
dalam keadaan suci tetapi telah digauli pada masa suci tersebut. Kasus tersebut
peneliti temukan ketika mengikuti persidangan langsung di PA Mojokerto, dari
temuan tersebut peneliti ingin mencari jawaban atas dilanggarnya ketentuan
hukum Islam, serta akan mencari 6 singkronisasi antara hukum Islam dan praktek
dalam dunia nyata, serta apa yang menjadi dasar hakim dalam mengabulkan ikrar
thalâq ketika istri dalam keadaan haid, dan bagaimana dalam praktek thalâq
bid’i. Yang menarik dari temuan ini untuk dilakukan penelitian lebih lanjut
karena pemahaman masyarakat bahwa para hakim telah menyalahi aturan yang
dilarang oleh hukum Islam. Sedangkan PA merupakan tempat peradilan khusus bagi
orang yang beragama Islam sesuai bunyi UU no 50 Tahun 2009 pasal 1 ayat (1),
yang seharusnya para hakim juga patuh terhadap hukum Islam. Tetapi dalam
prakteknya hukum Islam tersebut dilanggar oleh para hakim yang memiliki
kewenangan memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara orang Islam, sehingga
sangat penting dicari jawaban atas pertimbangan hakim dalam memutus perkara
tersebut. Dari latarbelakang tersebut peneliti ingin menggalih informasi tersebut
lebih dalam guna penyempurnaan ilmu pengetahuan. Sehingga peneliti menggambil
judul “PEMAHAMAN HAKIM TENTANG THALÂQ BID’I DAN PENERAPANNYA DI PENGADILAN
AGAMA MOJOKERTO”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latarbelakang masalah yang
telah dipaparkan di atas, maka fokus penelitian ini dituangkan kedalam dua
rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pemahaman Hakim Pengadilan Agama
Mojokerto tentang thalâq bid’i? 2. Bagaimana praktik thalâq bid’i di Pengadilan
Agama Mojokerto ? 7 C. Tujuan Penelitian Berdasarkan fokus rumusan masalah di
atas, penelitian ini memiliki tujuan yang akan menjawab latarbelakang yang
telah dikemukakan di atas, sehingga tujuan dari penelitian ini adalah: 1.
Mengetahui pemahaman hakim Pengadilan Agama Mojokerto tentang thalâq bid’i. 2.
mengetahui praktik thalâq bid’i di Pengadilan Agama Mojokerto. D. Manfaat
Penelitian Dalam melakukan penelitian selain mencari jawaban sebagai tujuan
penelitian yang dilakukan, baik secara rasional dan ilmiah terhadap sesuatu
yang diteliti, maka diharapkan penelitian tersebut dapat memberikan kontribusi
positif, diantaranya dalam bidang ilmu pengetahuan dan pengembangannya. Untuk
itu penelitian ini dilakukan untuk dapat memberikan manfaat, baik secara
teoritis dan praktik. 1. Secara teoritis, dapat menambah wawasan keilmuan
seseorang terkait dengan thalâq atau perceraian yang diperbolehkan oleh agama
Islam dan thalâq yang diharamkan oleh agama Islam, tetapi dalam dunia nyata
thalâq bid’i tersebut diterapkan. Banyaknya ketidaktahuan masyarakat terkait aturan
dalam hukum Islam dan aturan dalam hukum positif serta keputusan yang
didalihkan oleh seorang hakim, sehingga perlunya dilakukan
penelitian-penelitian untuk keberlangsungan suatu ilmu yang selalu mengikuti
perkembangan zaman. Serta dapat dijadikan bahan 8 pertimbangan bagi seorang
yang melakukan perceraian, sehingga bukan hanya menjadi sebuah pengetahuan
tetapi dapat dimanfaatkan suami apabila akan menceraikan seorang istri. 2.
Secara praktik, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumbangan pemikiran
peneliti kepada para peneliti-peneliti selanjutnya untuk dapat dijadikan
sebagai rujukan penelitian terdahulu dalam kasus thalâq bid’i, dan dapat
dijadikan sebagai bahan pertimbangan hakim dalam perkara perceraian serta para
pihak yang melakukan perceraian. E. Sistematika Penelitian Penelitian ini
disusun dengan sistematika penulisan agar mudah didapatkan gambaran yang jelas
dan menyeluruh, sehingga penulisan penelitian ini terbagi menjadi 5 bab,
diantaranya adalah: Bab I, merupakan pendahuluan yang memuat beberapa aspek
yang sangat penting dalam sebuah penelitian. Diantaranya latar belakang, yang
membahas tentang latarbelakang pengambilan judul serta alasan penelitian ini
dilakukan. Terdapat rumusan masalah, yang menjadi bahasan dalam penelitian yang
akan dilakukan, tujuan dan manfaat penelitian. Kemudian terdapat sistematika
penulisan, yang berisi tentang sistematika penulisan skripsi yang terbagi dalam
lima bagian. Bab II, berupa kajian pustaka yang di dalamnya memuat peneltian
terdahulu yang menjadi batasan atas penelitian-penelitian sebelumnya, sehingga
tidak akan terdapat kesamaan dengan penelitian ini. Kemudian kajian teori yang
9 disesuaikan dengan permasalahan penelitian yang kemudian digunakan sebagai
pisau analisis untuk menguraikan data yang didapat dari lapangan. Bab III,
merupakan metode yang digunakan dalam penelitian ini, diantaranya: Jenis
penelitian, pendekatan penelitian, metode pengumpulan data, pengolahan data
serta analisi data. Sehingga penelitian akan dilakukan secara terstruktur dan
memiliki pedoman dalam pengolahan data mentah menjadi data yang siap disajikan.
Bab IV, merupakan analisi data, bab ini yang berisi data mentah yang diperoleh
dari hasil wawancara kepada beberapa hakim PA Mojokerto, yang kemudian akan
dianalisis dengan data sekunder sehingga akan didapatkan pengetahuan baru. Bab
V, merupakan bab akhir yang berisi tentang penutup yang meliputi kesimpulan
dari hasil penelitian dan saran-saran dari peneliti untuk hakim, dan penelitian
selanjutnya.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi al-Ahwal al-Syakhshiyyah" :Pemahaman hakim tentang thalaq bid'i dan penerapannya di Pengadilan Agama Mojokerto." Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment