Abstract
INDONESIA:
Dengan dikembalikannya perkara waris ke dalam wewenang absolut Peradilan Agama, hilanglah dualisme antara Peradilan Agama dengan Peradilan Negeri dalam persoalan kewenangan absolut perkara waris. Karena ketika hak opsi diberlakukan Undang-undang memberi kesempatan kepada pihak yang bersengketa untuk memilih hukum waris yang berlaku di Indonesia, jika mereka berpendapat dengan sadar bahwa nilai-nilai hukum warisan Eropa yang berdasarkan KUH Perdata lebih adil dalam menyelesaikan pembagian waris, maka tentunya perkara ini dilimpahkan ke Pengadilan Negeri bukan ke Pengadilan Agama.
Penelitian ini, bertujuan untuk mendeskripsikan kewenangan Pengadilan Negeri dalam perkara waris setelah keluarnya UU No 3 tahun 2006 dan untuk mengetahui aspek yuridis tentang keabsahan Putusan Perkara No No 83/Pdt.G/2009/PN/Kab Kdr dengan ditinjau menurut hukum Acara Peradilan Agama.
Metode penelitian ini, menggunakan penelitian normatif yang mengkaji tentang asas-asas hukum dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif analitis. Sedangkan dalam teknik pengumpulan data, peneliti menggunakan studi dokumentasi dengan cara melakukan pencarian bahan dari sumbernya berupa dokumen, Salinan Putusan, fakta dan catatan. Kemudian bahan yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif deskriptif.
Hasil dari penetian ini, peneliti penyimpulkan, pertama, Pada pasal 49 huruf b mengindikasikan bagi Peradilan Agama untuk menyelesaikan sengketa waris, sehingga perkara sengketa waris tidak berhak ditangani oleh Pengadilan Negeri. Kedua, , maka seharusnya dari pihak-pihak yang bersengketa atau dari pihak lembaga Peradilan mengajukan permohonan ke Mahkamah Agung untuk membatalkan Putusan No 83/Pdt.G/2009/PN/Kab Kdr karena dianggap melanggar batas wewenang mengadili.
ENGLISH:
With the reversion of inheritance case to the absolute authority of religious court, there will no be dualism between religious court and state court in the case of absolute authority of inheritance case. Because when the option right is put into effect, law gives an opportunity to those who have conflict to choose inheritance law that is still effective in Indonesia. If they think that European based inheritance law is more effective, then inheritance case sent to the state court.
The objective of this research is to describe the authority of state court in inheritance case after UU No 3 year 2006 is issued and to know the juridical aspect about the legality of case decision No 83/Pdt.G/2009/PN/ Kdr regency based on religious court procedure law.
The method used in this research is normative research which analyzed law principles by using analytical normative juridical approach. For collecting data, the researcher used documentation study by searching document, decision copy, fact and note. Then the data were analyzed by using descriptive qualitative analysis method.
The results of this research are first, article 49 letter b indicated religious court to solve inheritance case. Therefore, state does not have authority to handle it. Second, those who had conflict or people from court should propose a petition to Supreme Court to cancel the decree No 83/Pdt.G/2009/PN/Kdr regency because it is considered that it beyond it’s authority to process the case.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Ketika orang sudah meninggal dunia, akan
menimbulkan akibat hukum yaitu tentang bagaimana kelanjutan pengurusan hak-hak
kewajiban seseorang yang telah meninggal dunia. yang sering menjadi masalah
setelah seseorang itu meninggal dunia adalah dalam hal kewarisan atau pembagian
harta waris. Dalam pembagian harta waris ini sering menyebabkan sengketa karena
berhubungan dengan berpindahnya hak milik seseorang ke orang lain. 2 Masalah
waris ini sering menimbulkan sengketa atau masalah bagi ahli waris, karena
langsung menyangkut harta benda seseorang, karena harta oleh manusia dianggap
sebagai barang yang berharga. Sehingga sering menimbulkan sengketa ataupun
perselisihan karena berebut untuk menguasai harta waris tersebut. Sengketa
dalam masalah pembagian waris ini bisa juga disebabkan karena harta warisan itu
baru dibagi setelah sekian lama orang yang diwarisi itu wafat. Ada juga karena
kedudukan harta yang tidak jelas. Bisa juga disebabkan karena diantara ahli
waris ada yang memanipulasi harta peninggalan tersebut. Sengketa perselisihan
pembagian waris ini bisa membawa dampak buruk bagi ahli waris yang
ditinggalkan, karena berebut harta waris hubungan kekeluargaan di antara ahli
waris ini bisa rusak atau memutuskan hubungan kekeluargaan di antara ahli
waris. Maka dari itu masalah waris ini tidak bisa dianggap remeh. Banyak
masalah sengketa waris ini yang sampai berakhir di pengadilan, karena ingin
mendapatkan penyelesaian yang adil. Penyelesaian masalah waris membutuhkan
ketelitian, kecermatan dan keadilan agar tidak menimbulkan perselisihan, serta
tidak memberikan akibat buruk pada ahli waris, dan hubungan kekeluargaan di
antara ahli waris bisa tetap terjaga dengan baik. Keberadaan lembaga peradilan
dalam rentang sejarah yang panjang sejak zaman kesultanan, masa kolonial, awal
kemerdekaan, hingga zaman reformasi telah melewati masa yang panjang dan penuh
dinamika. Tidak hanya keberadaannya yang selalu mendapat tantangan pada setiap
rezim yang berkuasa, tetapi kewenangannya pun telah mengalami pasang surut
sejalan dengan logika hukum para rezim yang 3 berkuasa di satu sisi, sementara
disisi lain juga merupakan wujud pasang surutnya greget umat Islam dalam
memperjuangkan syariat Islam di tengah kehidupan masyarakat. Sesuai dengan UU
No.3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama dinyatakan bahwa perkara kewarisan pada hakikatnya merupakan wewenang
dari Pengadilan Agama. Dalam Pasal 49 ditentukan bahwa Peradilan Agama bertugas
dan berwenang, memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: (a) perkawinan (b)
kewarisan (c) wasiat (d) hibah (e) wakaf (f) zakat, infak dan sedekah (g)
ekonomi syariah. Dengan dikembalikannya perkara waris ke dalam wewenang absolut
Peradilan Agama, hilanglah dualisme antara Peradilan Agama dengan Peradilan
Negeri dalam persoalan kewenangan absolut perkara waris. Karena ketika hak opsi
diberlakukan Undang-undang memberi kesempatan kepada pihak yang bersengketa
untuk memilih hukum waris yang berlaku di Indonesia, jika mereka berpendapat
dengan sadar bahwa nilai-nilai hukum warisan eropa yang berdasarkan KUH Perdata
lebih adil dalam menyelesaikan pembagian waris, maka tentunya perkara ini
dilimpahkan ke Pengadilan Negeri bukan ke Pengadilan Agama. Hal ini seringkali
terjadi, mengingat persoalan ini juga erat berkaitan dengan kesadaran hukum
islam oleh para pencari keadilan, dan hal ini juga membawa keuntungan
tersendiri bagi Pengadilan Negeri, baik dalam masalah reputasi ataupun
selainnya. 4 Namun berbeda dengan praktik di Lapangan, bahwa di Pengadilan
Negeri Kabupaten Kediri setelah keluarnya UU tersebut ternyata masih ada perkara
kewarisan yang diputus di Pengadilan Negeri tersebut, atas dasar tersebut
Peneliti tertarik untuk meneliti perkara ini dengan judul “Sengketa waris Islam
Pasca Amandemen pasal 49-50 Undang-Undang No 7 Tahun 1989 (Analisis Yuridis
terhadap Putusan PN Kab Kediri Perkara No 83/Pdt.G/2009). B. Batasan Masalah
Batasan masalah dalam ruang lingkup penelitian ini digunakan untuk menghindari
terjadinya persepsi lain mengenai masalah yang akan dibahas oleh peneliti.
Peneliti membatasi pada permasalahan penyelesaian perkara waris setelah
keluarnya Undang-undang No. 3 tahun 2006 di Pengadilan Negeri Kabupaten Kediri
dalam aspek kewenangan absolut suatu pengadilan. C. Rumusan Masalah 1.
Bagaimana kewenangan Absolut Pengadilan Negeri dalam perkara waris Islam Pasca Amandemen
Pasal 49-50 UU No 7 tahun 1989 ? 2. Bagaimana keabsahan Putusan PN Kab Kediri
No 83/Pdt.G/2009 mengenai sengketa waris Islam ditinjau menurut Hukum Acara
Peradilan Agama ? 5 D. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui dan
mendeskripsikan kewenangan Pengadilan Negeri dalam perkara waris Islam setelah
diundangkannya UU No 3 tahun 2006. 2. Untuk mengetahui aspek yuridis tentang
keabsahan Putusan PN Kab Kediri No 83/Pdt.G/2009 menurut Hukum Acara Peradilan
Agama. E. Manfaat Penelitian Dengan penyusunan dan pembahasan dalam penelitian
ini, diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut: 1. Secara Teoritik Dapat
memberikan kontribusi pemikiran dibidang keberlakuan suatu UndangUndang dalam
wilayah peradilan dan diharapkan dapat memperkaya khasanah keilmuan, Penelitian
ini juga diharapkan dapat dijadikan sebagai titik awal dari penelitian
selanjutnya dengan tema yang sama. 2. Secara Praktis Dari pembahasan dalam
penelitian ini, diharapkan bagi para mahasiswa dan praktisi hukum yang ingin
mengembangkan dan mewujudkan dinamisasi hukum dalam konteks keilmuan. F.
Penelitian terdahulu 1) Izzatun Nafisah, UIN Maliki Fakultas Syariah pada Tahun
2006 yang berjudul RESPON HAKIM PENGADILAN NEGERI MALANG DAN PERADILAN AGAMA
MALANG TERHADAP PENCABUTAN HAK OPSI DALAM 6 PERKARA WARIS (TINJAUAN TERHADAP
PASAL 50 AYAT (2) UU NOMOR 3 TAHUN 2006. Dalam skripsi tersebut membahas
tentang bagaimana respon para hakim terhadap adanya UU Nomor 3 Tahun 2006
dengan memfokuskan pembahasan pada Pasal 50 ayat (2) Tahun 2006. Hasil dari penelitian
tersebut, bahwa adanya pencabutan hak opsi dalam perakara waris yang terdapat
dalam Pasal 50 UU Tahun 2006 tidak menimbulkan dampak yang sangat signifikan
baik di Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Agama. Pencabutan hak opsi tersebut
tidak secara otomatis berdampak pada penurunan jumlah perkara waris yang masuk
di Pengadilan Negeri. Begitu juga di Pengadilan Agama Malang, pencabutan Hak
Opsi ini juga tidak berdampak secara otomatis terhadap bertambahnya jumlah
perkara waris yang masuk. Karena pada kenyataannya masih banyak masyarakat yang
Beragama Islam mengajukan perkaranya ke Pengadilan Negeri. 2) Mustaqim, UIN
Maliki Fakultas Syariah Pada Tahun 2006 yang berjudul KESIAPAN HAKIM PENGADILAN
AGAMA BLITAR DALAM MENERAPKAN PASAL 49 HURUF (I) UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN
2006. Hasil dari penelitian tersebut bahwa Hakim Pengadilan Agama Blitar
menyambut positif terhadap diundangkannya UU No 3. Tahun 2006 Tentang
Pengadilan Agama, karena dengan Undang-Undang baru itu akan lebih memurnikan
fungsi Pengadilan Agama dan juga akan lebih mempertegas kedudukan dan
kewenangan Pengadilan Agama sebagai salah satu Lembaga Peradilan. 7 3) Farrial
Husna, UIN Maliki Fakultas Syariah pada Tahun 2007 yang berjudul RESPONS BANK
MUAMALAT TERHADAP UU NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UU NOMOR 7 TAHUN
1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN ADANYA PERLUASAN KEWENANGAN PA PADA EKONOMI
SYARIAH (studi Pada Bank Muamalat Indonesia, Tbk Cabang Malang). Jenis
penelitian yang digunakan peneliti tersebut ialah penelitian kasus. Hasil dari
wawancara peneliti adalah, bahwa dengan adanya Undang-Undang No 3 Tahun 2006
tentang perubahan atas UU No 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama, pihak Bank
Muamalat menyambut dengan baik, karena sebelumnya Pengadilan Agama hanya
menangani masalah perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah. Wakaf zakat dan
shodaqoh. Akan tetapi yang menjadi kekhawatiran adalah tentang kesiapan pihak
Pengadilan Agama khususnya para hakim ketika dihadapkan pada perkara sengketa
ekonomi syariah saat ini. 4) Ussisa Firdaus, IAIN Sunan Ampel Pada Tahun 2009
yang berjudul, STUDI ANALISIS TERHADAP KEWENANGAN ABSOLUT PENGADILAN AGAMA
SIDOARJO TENTANG HAK KEPEMILIKAN TANAH DALAM PERKARA No.
1430/Pdt.G/2006/PA.Sda. Data dalam penelitian ini dihimpun dari pembacaan
berkas perkara dan wawancara dengan hakim yang bersangkutan dan selanjutnya
dianalisis dengan metode deskriptif analisis dengan menggunakan pola pikir
deduktif. Yakni dengan menggambarkan teori-teori atau dalil-dalil yang bersifat
umum tentang kewenangan absolut Pengadilan Agama, hak milik dan Derden Verzet,
kemudian mengemukakan kenyataan yang bersifat khusus tentang 8 putusan mengenai
kewenangan absolut Pengadilan Agama tentang hak kepemilikan tanah dalam perkara
No. 1430/Pdt.G/2006/PA.Sda. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa hakim
Pengadilan Agama Sidoarjo dalam menyatakan kewenangannya mengadili sengketa hak
kepemilikan tanah adalah menggunakan pasal 50 ayat (2) UU No. 3 tahun 2006,
yaitu Pengadilan Agama berwenang memutus sengketa hak milik. Akan tetapi pada
kenyataannya hakim Pengadilan Agama Sidoarjo menolak pengajuan eksepsi dari
tergugat I-VII yang menyangkut hak milik dengan pertimbangan hukum, bahwa
sengketa hak milik hanya dapat diajukan oleh pihak ketiga, oleh karena itu
perkara ini tidak termasuk pada upaya perlawanan hukum Derden Verzet dan
sengketa milik, sehingga tinggal pokok perkara (waris) saja. Maka seharusnya
dasar hukum yang digunakan hakim Pengadilan Agama Sidoarjo dalam menyatakan
kewenangannya mengadili perkara No. 1430/Pdt.G/2006/PA.Sda adalah menggunakan
pasal 49 UU No. 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama. 5) Moh Maghfur
Sholihuddin, IAIN Sunan Ampel Pada Tahun 2009 yang berjudul STUDI ANALISIS
SENGKETA WARIS MENURUT PASAL 49 HURUF B UU NO. 3 TAHUN 2006 TENTANG PERADILAN
AGAMA. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif, dengan
menggunakan pola pikir deduktif-induktif. Dasar hukum yang dipakai oleh
Pengadilan Negeri Jombang dalam memutus perkara sengketa waris meliputi dasar
hukum peraturan UndangUndang No. 2 Tahun 1986 jo. Stbl. 1937 dan Pasal 118, 185
H.I.R (Herzeine in Reglement) dan 142 R.B.G serta pasal 50 UU No. 3 Tahun 2006.
Pada pasal 49 9 huruf b mengindikasikan bagi Peradilan Agama untuk
menyelesaikan sengketa waris, sehingga perkara sengketa waris tidak berhak
ditangani oleh Pengadilan Negeri. Peran pemerintah dan lembaga-lembaga negara
(peradilan) seharusnya mengadakan sosialisasi secara maksimal terhadap
undang-undang yang baru, agar masyarakat tahu dan mengerti. Sehingga di dalam
menyelesaikan kasus sengketa warisnya masyarakat paham dimana harus mengajukan.
Pengadilan Negeri Jombang seharusnya lebih selektif lagi di dalam menerima
perkara-perkara yang masuk (perkara itu apa merupakan kewenangan Pengadilan
Negeri atau bukan). 6) Dewi Siti Muzaidah, IAIN WaliSongo pada Tahun 2007 yang
berjudul PERSEPSI HAKIM PENGADILAN AGAMA DAN HAKIM PENGADILAN NEGERI SEMARANG
TENTANG PENGHAPUSAN HAK OPSI WARIS PASCA AMANDEMEN UUPA. Hasil dari wawancara
peneliti tersebut menjelaskan bahwa Kewenangan Pengadilan Agama terhadap
perkara waris orang Islam menjadi kewenangan mutlak ketika pada tanggal 20
Maret 2006 disahkan UU No. 3 Th. 2006 sebagai amandemen dari UU No. 7 Th. 1989
tentang Peradilan Agama, dalam amandemen tersebut hak opsi secara tegas
dinyatakan dihapus. Penghapusan hak opsi ini menimbulkan persepsi yang berbeda
dikalangan hakim Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri. Hakim Pengadilan Agama
berpendapat hak opsi tidak seharusnya diberikan karena membuka kesempatan bagi
umat Islam untuk menomorduakan hukum waris Islam, ketika hak opsi dihapus hakim
Pengadilan Agama menyatakan memang sudah seharusnya perkara waris orang Islam
diselesaikan di Pengadilan Agama, selain 10 itu dihapusnya hak opsi waris juga
berarti memperkokoh eksistensi Pengadilan Agama. Sedangkan hakim Pengadilan
Negeri Semarang berbeda pendapat mengenai hak opsi waris, ada hakim yang
berpendapat pemberian hak opsi waris lebih menjamin rasa keadilan, hakim
lainnya mengatakan perkara waris orang Islam sudah seharusnya ditangani oleh
Pengadilan Agama, selain itu ada juga hakim yang berpendapat pengurangan
kewenangan Pengadilan Negeri terhadap perkara waris orang Islam berarti
mengurangi volume perkara yang masuk ke Pengadilan Negeri yang secara otomatis
mengurangi beban pekerjaan hakim Pengadilan Negeri. TABEL 1.1 TINJAUAN PENELITIAN
TERDAHULU No. Peneliti Judul Hasil Penelitian 1. Izzatun Nafisah, (Fakultas
Syariah,UIN Malang, 2006) RESPON HAKIM PN MALANG DAN PA MALANG TERHADAP
PENCABUTAN HAK OPSI DALAM PERKARA WARIS Adanya pencabutan hak Opsi dalam
perkara waris tidak menimbulkan dampak yang sangat signifikan baik di PN maupun
di PA. 2. Mustaqim, (Fakultas Syariah, UIN Malang, 2006) KESIAPAN HAKIM
PENGADILAN AGAMA BLITAR DALAM MENERAPKAN PASAL 49 HURUF (I) UU NO 3 TAHUN 2006
Hakim Pengadilan Agama Blitar menyambut positif terhadap diundangkannya UU No 3
Tahun 2006, karena dengan UU baru itu akan lebih memurnikan fungsi Pengadilan
Agama dan juga mempertegas kewenangan Peradilan 11 Agama. 3. Farrial Husna
(Fakultas Syariah, UIN Malang,2007) RESPONS BANK MUAMALAT TERHADAP UU NO 3 TAHUN
2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UU NO 7 TAHUN 1989 DENGAN ADANYA PERLUASAN
KEWENANGAN PA Pihak Bank Muamalat menyambut dengan baik, akan tetapi yang
menjadi kekhawatiran adalah tentang kesiapan pihak Pengadilan Agama khususnya
para hakim ketika dihadapkan dengan sengketa ekonomi syariah saat ini. 4.
Ussisa Firdaus (Fakultas Syariah, IAIN Sunan Ampel Surabaya,2009) STUDI
ANALISIS TERHADAP KEWENANGAN ABSOLUT PENGADILAN AGAMA SIDOARJO TENTANG HAK
KEPEMILIKAN TANAH DALAM PERKARA NO.1430/Pdt.g/2006/Pa.sd a Hakim PA Sidoarjo
dalam menyatakan kewenangannya mengadili sengketa hak kepemilikan tanah adalah
menggunakan pasal 50 ayat (2) UU No.3 Tahun 2006 5. Moh Maghfur Sholihuddin
(Fakultas Syariah, IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2009) STUDI ANALISIS SENGKETA
WARIS MENURUT PASAL 49 HURUF B UU NO 3 TAHUN 2006 TENTANG PERADILAN AGAMA Dasar
hukum yang dipakai PN Jombang dalam memutus perkara waris meliputi dasar hukum
peraturan UU No 2 Tahun 1986 jo.Stbl 1937 sehingga sengketa waris tidak berhak
ditangani oleh Pengadilan Negeri 6. Dewi Siti Muzaidah (Fakultas Syariah, IAIN
Walisongo Semarang, 2007) PERSEPSI HAKIM PA DAN HAKIM PN SEMARANG TENTANG
PENGHAPUSAN HAK OPSI WARIS PASCA AMANDEMEN UUPA Hakim PA berpendapat hak opsi
tidak seharusnya diberikan karena membuka kesempatan bagi umat Islam untuk
menomorduakan hukum waris. Memang sudah seharusnya 12 perkara waris orang islam
diselesaikan di Pengadilan Agama. 7. Gaguk Kriswanto, (Fakultas Syariah, UIN
Malang,2012) SENGKETA WARIS ISLAM PASCA AMANDEMEN PASAL 49-50 UU NO 7 TAHUN 1989
(Analisis yuridis terhadap Putusan PN Kab Kediri Perkara No.83/Pdt.g 2009)
Mengindikasikan bahwa PN tidak berhak memeriksa dan mengadili perkara waris
setelah keluarnya UU No 3 Tahun 2006 seharusnya mutlak menjadi kewenangan
peradilan agama. G. METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang
digunakan dalam skripsi ini adalah normatif. Penelitian hukum normatif adalah
penelitian yang mengkaji tentang asas-asas hukum, sistematika hukum, taraf
sinkronisasi hukum, perbandingan hukum dan sejarah hukum.1 Penelitian normatif
disebut juga sebagai penelitian kepustakaan (library research) atau studi
dokumen. Obyek penelitian yang diteliti berupa dokumen resmi yang bersifat
public yaitu data resmi pada Instansi Pemerintah.2 Dalam penelitian ini, dokumen
sebagai sumber data yang diteliti yaitu berupa putusan perkara No 83/Pdt.G/2009
PN/Kab Kdr. 1Bahder Johan Nasution. Metodologi Penelitian Ilmu
Hukum.(Bandung:C.V. Mandar Maju. 2008),86. 2 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum
Dalam Praktek (Jakarta : Sinar Grafika,2002),13-14 13 Dari sudut tujuannya,
penelitian ini merupakan penelitian yang berkelanjutan untuk menemukan fakta
atau gejala-gejala hukum yang ada, merumuskan masalahmasalah dan gejala-gejala
hukum yang ada, menginventarisasi, mengklasifikasi terhadap masalah-masalah
yang ada dan untuk selanjutnya dapat menemukan jalan keluar untuk menyelesaikan
masalah (Penelitian fact finding,problem indentification dan problem solving).
3 2. Pendekatan Penelitian Pendekatan penelitian yang digunakan adalah Yuridis
Normatif Analitis, yaitu penelitian terhadap produk-produk hukum. Dalam
penelitian normatif tidak dibutuhkan data atau fakta-fakta sosial, sebab ilmu
normatif tidak mengenal data atau fakta sosial, sehingga hanya menggunakan
konsep hukum dan langkah-langkah yang ditempuh adalah langkah normatif.4
Peneliti berusaha menggambarkan atau menjelaskan masalah dalam penelitian ini,
diantaranya putusan hakim perkara No. 83/Pdt.G/2009 PN/Kab Kdr. Data yang
berupa kualitatif digambarkan dengan kata-kata atau kalimat yang dipisah-pisah
menurut kategori untuk memperoleh kesimpulan.5 Penelitian ini adalah meneliti
dan menganalisa dokumen yang ditunjang dengan data-data lain yang terkait dan
sesuai dengan masalah yang dirumuskan. 3 Bambang Waluyo,Penelitian, 10 4Bahder
Johan Nasution. Metodologi Penelitian Ilmu Hukum, 86. 5 Suharsimi, Prosedur
Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta :Bina Aksara, 1982), 209. 14 3.
Jenis dan Sumber Bahan Hukum Sumber utamanya adalah Bahan hukum bukan data atau
fakta sosial, karena dalam peneltian ilmu hukum normatif, yang dikaji adalah
bahan hukum yang berisi aturan-aturan yang bersifat normatif. Sumber data yang
digunakan dalam Penelitian Normatif pada umumnya hanya berupa data sekunder
yang digunakan sebagai sumber atau bahan informasinya.6 Bahan hukum tersebut
terdiri dari : a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer terdiri dari Peraturan
Perundang-undangan, Yurisprudensi, Traktat, Perjanjian Keperdataan dan
sebagainya.7 Bahan hukum primer yang digunakan dalam skripsi ini adalah Peraturan
Perundangan, yaitu UU No 3 Tahun 2006 tentang Kewenangan Pengadilan Umum dan 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum
sekunder terdiri dari Buku-buku ilmu hukum, jurnal ilmu hukum, laporan
penelitian ilmu hukum, artikel ilmiah hukum, bahan seminar, semiloka dan
sebagainya.8 Dalam skripsi ini bahan hukum sekunder yang digunkaan adalah
Putusan Pengadilan Negeri Kabupaten Kediri Perkara No 83/Pdt.G/2009. 6 Bambang
Waluyo, Penelitian, 14. 7 Bahder Johan Nasution. Metodologi. 87. 8 Bahder Johan
Nasution. Metodologi,88 15 c. Bahan Hukum Tersier Adalah data yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder
berupa kamus hukum, kamus popular dan lain-lain untuk membantu mempermudah penerjemahan
instilah-istilah asing. 4. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam
Penelitian Normatif ini dilakukan dengan cara studi dokumentasi dengan
melakukan pencarian data dari sumbernya berupa dokumen, fakta, catatan.9 Metode
pengumpulan data dalam studi kepustakaan atau dokumentasi dilakukan dengan
pencatatan berkas-berkas atau dokumen-dokumen yang ada hubungannya dengan
materi yang dibahas.10 Studi dokumen juga dilakukan secara sistematis dan
sengaja melalui pengamatan dan pencatatan dengan jalan mengumpulkan data dan
keterangan yang diperoleh dari dokumen-dokumen yang telah dengan sengaja
dipergunakan sebagai alat pengumpul data. 11 Melalui data tertulis yang
diperoleh, datanya dapat digambarkan secara menyeluruh dengan cara diuraikan
dengan jelas. Agar data yang valid dapat diperoleh peneliti harus
mempertimbangkan beberapa hal, diantaranya harus menentukan data apa yang akan
dicari, dimana bahan tersebut ditemukan dan langkah-langkah apa saja yang perlu
ditempuh oleh peneliti untuk memperoleh datanya. 9 Sutrisno Hadi, Metodologi
Research (Yogyakarta: Yayasan Penerbit Psikologi UGM,1986),36. 10 Soerjono
Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta:PT.Raja Grafindo,2005),66 11
Suharsimi,Prosedur, 188. 16 Langkah-langkah yang harus ditempuh dalam pengumpulan
data diantaranya : a. Langkah Pertama Mengumpulkan bahan hukum sekunder dan
tersier berupa buku-buku Metodologi Penelitian, buku-buku Acara Peradilan Agama
dan buku-buku seputar Hukum Islam yang membahas tentang Kewenangan Absolut
Peradilan Agama setelah keluarnya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006. b. Langkah
Kedua Mengurus perijinan untuk mendapatkan bahan hukum primer berupa putusan
Pengadilan Negeri Kabupaten Kediri Nomor register 83/Pdt.G/2009 PN/Kab Kdr yang
selanjutnya dengan membawa surat perijinan tersebut menghadap ke Pengadilan
Negeri Kabupaten Kediri untuk meminta data berupa putusan Pengadilan Negeri
Kabupaten Kediri Nomor 83/Pdt.G/2009 PN/Kab Kdr. c. Langkah Ketiga Setelah data
diperoleh, data tersebut ditelaah secara kritis sesuai dengan klasifikasi data
dan pembahasannya masing-masing. Selain itu, peneliti membuat catatan mengenai
hal-hal yang dianggap penting dan berguna bagi peneliti. Metode pengumpulan
bahan hukum yang digunakan antara lain : (1) penentuan bahan hukum, dalam hal ini
UU No.3 Tahun 2006 (2) inventarisasi bahan hukum yang relevan, yaitu referensi
yang berkaitan (3) pengkajian bahan hukum, yaitu Putusan Pengadilan Negeri
Kabupaten Kediri Perkara No 83/Pdt.G/2009. 17 5. Pengolahan dan Analisis Bahan
Hukum Metode yang digunakan adalah menggunakan beberapa langkah. Langkah
pertama adalah pengecekan kembali (editing), yaitu memeriksa kembali bahan
hukum yang diperoleh terutama dari segi kelengkapan dan kejelasan makna, dan
bahan hukum yang diperoleh juga harus merupakan bahan hukum yang diutamakan
agar bahan hukum lengkap dan akurat.12 Adapun langkah yang digunakan dalam hal
ini adalah mengecek bahan hukum yang digunakan dalam penelitian. Langkah kedua,
( Organizing) yaitu menyusun dan mengatur data yang bertujuan untuk menghasilkan
bahan-bahan yang akan dipaparkan sesuai sistematika pembahasan. Langkah ketiga
(Analizing) yaitu melakukan analisa terhadap hasil pengumpulan dan penyusunan
data yang telah diperoleh dengan menggunakan bahanbahan literatur. Data
kualitatif yang diperoleh dan dipaparkan, kemudian dianalisis secara yuridis
normatif. 13 dengan menekankan pada metode deduktif sebagai pegangan utama.
Analisis studi ini dilakukan dengan cara menelaah literatureliteratur yang
berkaitan dengan masalah yang dibahas. Analisis Normatif pada umumnya
menggunakan bahan-bahan hukum kepustakaan sebagai sumber data analisanya.
Sedangkan dalam mengambil kesimpulan peneliti menggunkan tekhnik Content
Analisis atau Analisis isi yaitu tehnik yang digunakan untuk menarik 12 Lexy J
Moleong, Metode Penelitian Kualitatif , (Bandung : PT. Remaja Rosda Karya,
Cet.,2, 2006), 248. 13 Aminuddin dkk, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta :PT
Raja Grafindo Persada,2004), 118. 18 kesimpulan melalui usaha menemukan
karakteristik pesan dan dilakukan secara obyektif dan sistematis.14 Langkah
selanjutnya adalah penandaan data (coding), yaitu menelaah kembali dan
memberikan kode atau penomoran untuk memudahkan pengklasifikasian.15 Kemudian
dilanjutkan dengan sistemasi data (constructing), yaitu menyusun data yang
sudah dikategorikan menurut beberapa tipologi. H. Sistematika Penulisan Agar
penyusunan skripsi ini bisa terarah, sistematis dan saling berhubungan satu bab
dengan bab yang lain, maka sistematika penulisan skripsi ini dibagi menjadi 5
(lima) bagian antara lain: Bagian pertama yaitu Bab I , Pendahuluan.Bab ini
berfungsi sebagai pola dasar dari isi skripsi, di dalamnya mengandung uraian
mengenai isi skripsi, yang memuat latar belakang masalah, rumusan masalah,
batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, penelitian terdahulu,
dan sistematika pembahasan. Metode penelitian juga akan dibahas dalam Bab I
yang merupakan pengantar dalam pengumpulan data yang diteliti dan dianalisis
agar dalam penulisan penelitian ini bisa terarah. Bab ini dibagi menjadi
beberapa sub bab, yaitu jenis dan pendekatan penelitian, sumber bahan hukum,
teknik pengumpulan bahan hukum, teknik pengolahan bahan hukum, dan teknik
analisis bahan hukum. 14 Moleong, Metode, 179. 15 Moleong, Metode, 282. 19
Kemudian dalam Bab II, dalam hal ini adalah tinjauan pustaka akan dipaparkan
mengenai kajian pustaka, membahas tentang kewenangan lembaga Peradilan di
Indonesia dan hal-hal seputar Perubahan UU No 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan
Agama. Ini digunakan agar tidak terjadi perluasan dalam pembahasan. Kemudian
mengenai analisis data yang memuat tentang paparan data berupa data tentang
Putusan Pengadilan Negeri Kabupaten Kediri No 83/Pdt G/2009 ditinjau dari UU No
3 Tahun 2006 akan dibahas pada Bab III, yaitu Pembahasan. Bab terakhir adalah
Bab IV, Penutup. Bab ini merupakan bab terakhir yaitu penutup, yang berisi
tentang kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan dan saran-saran
setelah diadakan penelitian.
No comments:
Post a Comment