Abstract
INDONESIA:
PP Nomor 48 Tahun 2014 ini merupakan PP pengganti dari PP Nomor 47 Tahun 2004, tentang biaya nikah yang dilaksanakan di KUA dan dilaksanakan di luar KUA. Dengan adanya perubahan biaya nikah tersebut pasti akan berpengaruh kepada masyarakat dalam memilih tempat melaksanakan akad nikah. Sehingga keadaan ini menjadi daya tarik peneliti untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai pelaksanaan akad nikah setelah keluarnya PP Nomor 48 Tshun 2014 di KUA Kecamatan Selopuro Kabupaten Blitar. Serta permasalahan lain yang berhubungan dengan masalah tersebut.
Penelitian ini fokus pada kecenderungan masyarakat Selopuro dalam memilih tempat pelaksanaan akad nikah setelah keluarnya PP Nomor 48 Tahun 2014 dan respon pegawai KUA Kecamatan Selopuro, Kabupaten Blitar tentang keluarnya PP Nomor 48 Tahun 2014. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research) dengan menggunakan pendekatan kualitatif dalam rangka analisa data yang diperoleh di lapangan. Data primer di dapat dari wawancara dengan masyarakat dan pegawai KUA Kecamatan Selopuro, Kabupaten Blitar. Sedangkan data sekunder di dapat dari dokumentasi dan literatur yang terkait dengan penelitian ini.
Hasil penelitian ini bahwa dari data yang ada di KUA Kecamatan Selopuro, Kabupaten Blitar setelah keluarnya PP Nomor 48 Tahun 2014, masyarakat cenderung banyak memilih melaksanakan akad nikah di KUA dengan alasan tidak dipungut biaya atau gratis. Sedangkan kalau nikah di luar KUA bayar Rp. 600.000. Adanya peraturan baru PP Nomor 48 Tahun 2014 ini direspon positif oleh pegawai KUA Kecamatan Selopuro, Kabupaten Bitar. Karena dalam PP ini aturan tentang biaya nikah di KUA dan di luar KUA sudah jelas. Sehingga pegawai tidak perlu ragu untuk menghadiri nikah di luar KUA karena aturannya sudah jelas.
ENGLISH:
Government Regulation Number48 Year2014is thereplacementofGovernment Regulation Number47Year 2004, concerningthe cost ofmarriageconductedinKUAandcarriedoutKUA. By the existence of marriage cost changes certainly affect to the community in choosing the place to implementing marriage contract.This condition becomes focus of researcher to do research about the implementation of marriage contract after the excistence of Government Regulation Number 48 year 2014 in KUA Selopuro, Blitar Regency. And also other problems that related to the issue.
This research focused on the tendency of Selopuro community in choosing the place of implementation marraige contract after the existence of Government Regulation Number 48 year 2014 and response officers of KUA Selopuro Subdistrict, Blitar Regency about the excistence of Governmnet Regulation Number 48 year 2014. This research is field research using qualitative approach in the framework of analysis of the data obtained in the field. Primary data is obtained from interviews with community and officials of KUA Selopuro, Blitar Regency. While secondary data obtained from documentation and literature that related to this research.
The results of this research is from data in KUA Selopuro, Blitar Regency after the excistence of Government Regulation number 48 year 2014 the community more selective to do Marriage contract in KUA with the reason is marraige in KUA is no cost or free. While if marriage contract done in outside KUA must pay the cost Rp.600.000 . The existence of the new regulation in the form of Government Regulation Number 48 year 2014 it responded positively by employees of KUA Selopuro Bitar Regency. Because of this regulation the marriage cost done in KUA and outside KUA is clear. So employees don't have to hesitate to attend marriage outside KUA because a rule was clear.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Perkawinan adalah fitrah kemanusiaan, maka
dari itu Islam menganjurkan kepada umat manusia untuk menikah, karena menikah
merupakan gharizah insaniyah (naluri kemanusiaan). Bila gharizah ini tidak
dipenuhi dengan jalan yang sah yaitu perkawinan, maka ia akan mencari jalan-
jalan syetan yang banyak menjerumuskan ke lembah hitam. Menurut Undang- undang
No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, disebutkan bahwa pernikahan adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1 Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam,
perkawinan adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizan untuk mentaati
perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.2 Pernikahan merupakan
sesuatu yang suci, sesuatu yang dianggap luhur untuk dilakukan. Oleh karena
itu, apabila seseorang hendak melangsungkan pernikahan dengan tujuan sementara
saja seolah- olah sebagai tindakan permainan, dan agama Islam tidak
memperkenankannya. Pernikahan hendaknya dinilai sebagai sesuatu yang suci, yang
hanya akan dilakukan oleh orang- orang dengan tujuan yang luhur dan suci. Hanya
dengan demikian tujuan pernikahan dapat tercapai.3 1Undang- undang No. 1 tahun
1974 Tentang Perkawinan, Bab I Pasal 2 ayat (2) 2Kompilasi Hukum Islam, pasal
2. 3Lili Rosjidi, Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia (Bandung:
PT. Remaja Rosda Karya, 1991), h. 7. Dalam Islam telah diberikan konsep yang
jelas tentang tata cara melangsungkan pernikahan yang berlandaskan al- Qur’an
dan Sunnah. Tata cara tersebut antara lain: 1. Khitbah (meminang) 2. Akad nikah
3. Walimah Dari ketiga cara melakukan perkawinan, akad nikah adalah hal yang
harus dilakukan seseorang yang akan melakukan perkawinan, agar perkawinan yang
mereka langsungkan menjadi sah dan mendapat ridlo dari Allah SWT. Allah SWT.
tidak mau menjadikan manusia seperti makhluk- makhluk yang lain, yang hidup
bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betina secara bebas
tanpa adanya satu aturan. Oleh karena itu, untuk menjaga kehormatan dan menjaga
kemuliaan manusia, Allah mewujudkan hukum yang sesuai dengan martabatnya.
Sehingga hubungan antara laki- laki dan perempuan diatur secara terhormat dan
berdasarkan saling meridha.4 Ridhanya laki- laki dan perempuan serta
persetujuan antara keduanya merupakan hal yang pokok untuk mengikat hidup
berkeluarga. Perasaan ridha dan setuju bersifat kejiwaan yang tidak dapat
dilihat dengan jelas. Karena itu, harus ada perlambangan yang tegas untuk
menunjukkan kemauan mengadakan ikatan bersuami istri. Perlambang itu
diungkapkan dengan kata- kata oleh kedua belah pihak yang melangsungkan akad.5
Dengan upacara akad nikah sebagai lambang dari adanya rasa saling meridhai
serta dihadiri oleh para saksi yang menyaksikan bahwa kedua pasangan tersebut
telah saling terikat. Dalam hukum Islam sebagaimana terdapat dalam kitab- kitab
fiqh akad perkawinan itu bukanlah sekedar perjanjian yang bersifat keperdataan.
Akad dinyatakan sebagai 4 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Alih Bahasa oleh Nor
Hasanuddin, cet ke-1 (Jakarta Selatan: Pena Pundi Aksara, 2006) , h. 477.
5Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), h.79. perjanjian yang kuat yang
disebut dalam al- Quran dengan ungkapan غليظا ميثاقا yang mana perjanjian itu bukan hanya
disaksikan oleh dua orang saksi yang ditentukan atau orang banyak yang hadir
pada waktu berlangsungnya akad perkawinan, tetapi juga disaksikan oleh Allah
SWT.. Undang- undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur tentang akad
perkawinan bahkan tidak membicarakan akad sama sekali. Mungkin dikarenakan
Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menempatkan akad perkawinan
itu sebagaimana perjanjian atau kontrak biasa dalam tindakan perdata. Namun KHI
secara jelas mengatur akad perkawinan dalam Pasal 27, 28, dan 29 yang
keseluruhannya mengikuti apa yang terdapat dalam fiqh dengan rumusan sebagai
berikut: Pasal 27, berbunyi: ijab dan qabul antara wali dan calon mempelai pria
harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu. Pasal 28, berbunyi: Akad nikah
dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan. Wali
nikah dapat mewakilkan kepada orang lain. Pasal 29, berbunyi: 1) Yang berhak
mengucapkan qabul adalah calon mempelai pria secara pribadi. 2) Dalam hal
tertentu ucapan qabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan
calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan
wakil atas akad nikah itu adalah mempelai pria. 3) Dalam hal calon mempelai
wanita atau wali keberatan calon mempelai pria diwakili, maka akad nikah tidak
boleh dilangsungkan.6 6Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia:
Antara Fiqh Munakahat dan Undang- undang Perkawinan (Jakarta: Kencana, 2007),
h. 62. Dalam melaksanakan akad pernikahan disyaratkan pada satu mejelis. Pada
umumnya tempat pelaksanaan akad pernikahan itu terbagi menjadi dua, yaitu
pelaksanaan di balai nikah Kantor Urusan Agama (KUA) dan pelaksanaan di luar
balai nikah seperti masjid, di rumah calon mempelai perempuan, di rumah calon
mempelai laki- laki, di gedung pertemuan, dan sebagainya. Aturan yang mengatur
tentang KUA itu berubah- ubah. Pada PP No. 47 Tahun 2004, dalam melaksanakan
akad nikah harus di KUA, yang mengijabkan juga harus walinya sendiri dan harus
pada jam kerja. Meskipun dalam aturannya begitu, akan tetapi dalam prakteknya
tidak seperti itu. Masyarakat daerah Selopuro tetap ada yang menikahkan di luar
KUA dan di luar jam kerja. Dengan alasan karena orang Jawa memiliki tradisi
penentuan hari dalam melaksanakan nikah. Selain itu masyarakat Selopuro juga
ada yang meminta bantuan kepada penghulu untuk wakil dari wali dalam ijab dan
qabulnya. Karena sebagian masyarakat tidak bisa mengijabkannya.7 Sedangkan
masalah biaya pernikahannya aturannya juga berubah- ubah. Berdasarkan PP No. 47
Tahun 2004, biaya pernikahan sebesar Rp. 30. 000 (tiga puluh ribu rupiah)
apabila akad dilaksanakan di KUA. Sedangkan biaya pernikahan yang akadnya
dilaksanakan di luar KUA (biasa disebut bedolan) tidak diatur dalam Peraturan
Pemerintah tersebut. Disiniah muncul persoalan, karena dengan tidak diaturnya
biaya nikah di luar KUA menyebabkan biaya disetiap daerah berbeda- beda. Selain
itu, bisa menyebabkan adanya pungutanpungutan liar yang dilakukan oleh para
pegawai Kantor Urusan Agama. Seperti kasus yang di alami oleh kepala Kantor
Urusan Agama Kota Kediri, bapak Romli. Dalam kasus ini, bapak Romli diketahui
memungut biaya nikah sebesar Rp 225.000 untuk pernikahan di luar kantor dan Rp
175.000 di dalam kantor. Dari nominal itu bapak 7Anas Sutrisno, wawancara
(Selopuro, 18 Maret 2015). Romli mendapatkan jatah Rp 50.000 sebagai petugas
pencatat nikah plus Rp 10.000 sebagai insentif Kepala Kantor Urusan Agama.8
Untuk menghindari bertambahnya pugutan- pungutan liar yang dilakukan oleh para
pegawai Kantor Urusan Agama, maka pemerintah mengeluarkan peraturan baru yang
menetapakn tarif/ biaya pernikahan yang di laksanakan di Kantor Urusan Agama
dan di luar Kantor Urusan Agama. Peraturan pemerintah yang menggantikan PP No.
47 Tahun 2004 itu adalah PP No. 48 Tahun 2014. Dalam PP No. 48 Tahun 2014 itu
ditetapkan biaya nikah sebesar Rp.600.000 (enam ratus ribu rupiah). Biaya
tersebut dikenakan jika akad nikah dilaksanakan di luar jam kantor dan atau di
luar kantor. Namun jika akad nikah dilaksanakan di Kantor Urusan Agama biayanya
Rp. 0 (nol) rupiah. Sementara untuk masyarakat miskin atau yang terkena bencana
tidak dikenakan biaya atau gratis.9 PP No. 48 Tahun 2014 tersebut mulai berlaku
pada tanggal 10 Juli 2014. Dengan adanya perubahan penetapan biaya seperti di
atas, masyarakat daerah Selopuro yang akan melangsungkan pernikahan pasti akan
mempertimbangkan tempat pelaksanaan akad pernikahan. Akan memilih pelaksanaan
di KUA Selopuro atau pelaksanaan di luar KUA Selopuro. Berangkat dari latar
belakang di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “
Pelaksanaan Akad Pernikahan Setelah Keluarnya PP Nomor 48 tahun 2014 (Studi
Kasus di KUA Kecamatan Selopuro, Kabupaten Blitar)”. B. Rumusan Masalah 8
http:// tempo. Com/ 2013/ 06/ 11/ Korupsi- biaya- nikah- kepala- KUA- di-
Kediri- ditahan/, diakses tanggal 24 Januari 2015. 9 http:// Tribunnews.com/
2014/ 7/ 02/ Biaya- nikah- di- KUA- Rp 50.000- di- luar- jam- kantor Rp
600.000/ diakses tanggal 24 Januari 2015. 1. Bagaimana kecenderungan masyarakat
Selopuro dalam memilih tempat pelaksanaan akad pernikahan setelah keluaranya PP
Nomor 48 Tahun 2014? 2. Bagaimana respon pegawai KUA Kecamatan Selopuro, Kabupaten
Bitar, tentang PP Nomor 48 Tahun 2014? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui
kecenderungan masyarakat Selopuro dalam memilih tempat pelaksanaan akad
pernikahan seteleh keluarnya PP No. 48 tahun 2014. 2. Untuk mengetahui respon
pegawai KUA Kecamatan Selopuro, Kabupaten Blitar tentang PP No. 48 tahun 2014.
D. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini yaitu: 1. Manfaat teoritis
Peneliti berharap penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan referensi
bagi peneliti- peneliti atau siapa saja yang mempunyai minat mendalami serta
mengembangkan pengetahuan tentang ke KUAan ataupun membahas lebih mendalam
tentang PP No. 48 Tahun 2014. 2. Manfaat praktis Secara praktis, penelitian ini
diharapkan memberikan manfaat bagi pihak yang berhubungan erat dengan masalah
pelaksanaan akad pernikahan seperti para pegawai KUA Kecamatan Selopuro. Serta
dapat memberikan masukan kepada masyarakat dalam mempertimbangkan pemilihan
tempat pelaksanaan akad pernikahan. E. Definisi Operasional 1. Kantor Urusan
Agama yang selanjutnya disingkat KUA adalah Unit Pelaksana Teknisi Direktorat
Jendaral Bimbingan Masyarakat Islam yang bertugas melaksanakan sebagaimana
tugas Kantor Kementrian Agama Kabupaten/ Kota di bidang urusan agama Islam.10
2. Peraturan pemerintah (PP): bentuk perundang- undangan yang dibuat atau
ditetapkan oleh presiden untuk melaksanakan undang- undang.11 F. Sistematika
Penulisan Agar penyusunan skripsi ini terarah, sistematis dan saling
berhubungan satu bab dengan bab yang lain, maka peneliti secara umum dapat digambarkan
sebagai berikut: Bab I tentang pendahuluan yang berisi: latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi operasional
dan sistematika pembahasan. Di dalam latar belakang peneliti menguraikan
tentang keadaan atau hal- hal yang dapat menimbulkan masalah yang ingin
diteliti, juga menguraikan alasan- alasan peneliti memilih judul. Rumusan
masalah berisi tentang pertanyaan- pertanyaan yang berhubungan dengan maslah
yang diteliti. Tujuan penelitian, menjawab dari beberapa pertanyaan yang ada di
rumusan masalah. Manfaat penelitian, di dalamnya berisi manfaat yang diberikan
peneliti dengan adanya penelitian ini. Definisi operasional menguraikan arti
kata asing yang tidak di mengerti. Sistematika pembahasan peneliti menguraikan
pembahasan yang akan dibahas dalam skripsi mulai dari bab pertama pendahuluan
sampai bab penutup, kesimpulan dan saran. Bab II tinjauan pustaka. Bab ini
berisi sub bab penelitian terdahulu dan kerangka teori. Penelitian terdahulu
berisi informasi tentang penelitian yang sudah pernah dilakukan oleh peneliti-
peneliti sebelumnya. Dalam skripsi ini penelitian terdahulunya yaitu sebuah
skripsi yang sudah pernah diteliti. Kerangka teori berisi teori- teori yang
dijadikan landasan peneliti untuk mengkaji dan menganalisis masalah yang ada
dalam skripsi ini. 10PMA Nomor 39 Tahun 2012 Pasal 1 ayat (1). 11Departeman
Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta: Balai Pustaka,
1994), cet-3, h, 99. Bab III metode penelitian. Dalam metode penelitian ini ada
beberapa hal yang penting yaitu; jenis penelitian, pendekatan penelitian,
lokasi penelitian, sumber data, metode pengumpulan data, dan pengolahan data.
Bab IV paparan data dan analisa data. Dalam bab ini peneliti akan memaparkan
hasil penelitian, kemudian dilakukan analisis dari data- data yang sudah
diperoleh peneliti dalam penelitian yang sudah dilakukan. Bab V penutup. Bab
ini merupakan bab akhir dalam penelitian yang berisi kesimpulan dan saran.
Kesimpulan merupakan ringkasan singkat atas jawaban rumusan masalah yang sudah
ada. Sedangkan saran merupakan usulan kepada pihak- pihak terkait tentang tema
yang dibahas dalam skripsi untuk kebaikan peneliti- peneliti yang akan datang.
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment