Abstract
INDONESIA:
Pengaturan masalah perkawinan didunia tidak menunjukkan adanya keseragaman. Perbedaan itu tidak hanya antara satu agama dengan agama yang lain, satu adat masyarakat dengan adat masyarakat yang lain, satu negara dengan negara yang lain, bahkan dalam satu agamapun dapat terjadi perbedaan pengaturan perkawianan disebabkan adanya cara berfikir yang berlainan karena menganut mazhab atau aliran yang berbeda.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui: pertama pendapat para elite agama islam dan kristen tentang perkawinan beda agama, serta dasar hukum yang dipakai, kedua mengetahui sikap elite agama terhadap perkawinan beda agama, dari hasil penelitan ini peneliti dapat mengetahui perkawinan beda agama menurut elite agama apakah ada kesamaan atau perbedaan dalam menyikapinya.
Jenis penelitian ini dikategorikan sebagai penelitan empiris atau sosiologis, yang memfokuskan terhadap permasalahan tentang pendapat para elite agama terhadap perkawinan beda agama dan dasar hukum yang dipakai , serta bagaimana sikap para elite agama dalam menyikapi masalah perkawinan beda agama yang ada. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif, dimana sumber datanya dari data primer atau dasar dan data data sekunder berdasarkan wawancara dan dokumentasi. Analisis data mengunakan metode reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.
Hasil dari penelitian yang sudah dilakukan oleh peneliti, sehingga menemukan tiga (3) perbedaan pendapat, yaitu pertama melarang adanya perkawinan beda agama secara mutlak, kedua membolehkan adanya perkawinan beda agama, ketiga melarang akan tetapi memberi dispensasi kepada mereka yang ingin menikah beda agama, pendapat yang melarang ini dikarenankan menurut informan tidak sesuai dengan dasar Hukum yang di pake oleh informan, pendapat kedua membolehkan terdapat tiga hasil yang berbeda informan pertama menjelaskan bahwa perkawinan beda agama terjadi karena rasa cinta antara keduanya dan juga karena adanya misi menyebarkan agamanya, sedang pendapat yang ketiga melarang akan tetapi memberi dispensasi kepada perkawinan beda agama.
ENGLISH:
The arrangement of marital problem in the world does not show any uniformity. The difference is not only between one religion and another religion, an indigenous community and another indigenous community, one country and another country. Even within a single religion a difference in the marital arrangements may occur because of different ways of thinking.
This difference is due to the variety of schools of thought or stream. This study has two purposes. First, to determine the opinion of elites from Muslim and Christian religions about interfaith marriage, as well as the legal basis used. Second, to determine the religious elites’ attitudes toward interfaith marriage. From the results of this research, the researcher is able to determine interfaith marriage according to religious elites whether there are similarities or differences in addressing this problem.
This research is a empirical or sociological research. It focuses on the issue concerning the opinion of the religious elites on the interfaith marriage and legal basis used, as well as how the attitude of religious elites in addressing the problems of interfaith marriage. It employs a qualitative approach in which the sources are the primary data and secondary data based on interviews and documentation. Data analysis uses the methods of data reduction, data display, and conclusion.
Outcomes of the research that had been conducted by the researcher found three different opinions. The first absolutely prohibits interfaith marriage, the second allows the interfaith marriage, the third prohibits it but gives dispensation to those who want to do interfaith marriage. The first opinion prohibit it because the basic law used is not suitable with informants’ law basis. The second opinion has two different reasons, the first informant explained that interfaith marriage occurs because of love and religion missionary. While the third opinion prohibits it but still gives the dispensation to interfaith marriage.
BAB I
Pendahuluan
A.
Latar
Belakang
Masalah Perkawinan beda agama adalah suatu
perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria dengan seorang wanita, yang memeluk
agama dan kepercayaan yang berbeda antara satu dengan yang lain. Sebagai contoh,
perkawinan antara pria yang beragama Islam dengan wanita yang beragama Kristen
atau sebaliknya seorang pria yang beragama Kristen dengan wanita yang beragama
Islam. Masalah perkawinan beda agama bukan merupakan masalah yang mudah untuk
dipecahkan begitu saja, karena permasalahan agama dan permasalahan perkawinan
adalah masalah yang tidak bisa dipisah-pisahkan begitu saja. Hal ini
dikarenakan persoalan perkawinan telah diatur hukumnya oleh masing-masing
agama, setiap agama mempunyai aturan yang berbeda mengenai persoalan
perkawinan. Sayuti Thalib dalam bukunya Hukum Kekeluargaan Indonesia
mendefinisikan perkawinan merupakan suatu perjanjian suci dalam membentuk
keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. 1 Sementara Mahmud
Yunus menegaskan, perkawinan ialah akad antara calon mempelai lakilaki dan
istri untuk memenuhi hajat jenisnya menurut yang diatur oleh syariat.2 Yang
notabene perkawinan itu sendiri terjadi melalui sebuah proses, yaitu kedua
belah pihak saling menyukai dan merasa akan mampu hidup bersama dalam menempuh
bahtera rumah tangga yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang
dengancara yang ma’ruf dan diridhai Allah SWT, namun perkawinan itu sendiri
sudah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Hadist. Setiap manusia memiliki hak azasi
untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan melalui lembaga perkawinan. Setiap
manusia juga memiliki kebebasan untuk memilih pasangan hidupnya. Suatu
perkawinan idealnya dilandaskan oleh rasa cinta dan kasih sayang antara seorang
laki-laki dan perempuan. Dengan dilandaskan rasa cinta dan kasih sayang
tersebut diharapkan dapat terbentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera di
dunia dan akhirat. Budaya perkawinan dan aturan yang berlaku pada suatu
masyarakat atau pada suatu bangsa tidak terlepas dari pengaruh budaya dan
lingkungan dimana masyarakat itu berada serta pergaulan masyarakatnya. Ia
dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, dan keagamaan yang
dianut masyarakat yang bersangkutan. 1 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan
Indonesia,( Jakarta: UI Press, Cet. 5, 1986), hal. 47. 2 Mahmud Yunus, Hukum
Perkawinan dalam Islam, (Jakarta: PT Hidakarya Agung, Cet. 12, 1990), hal 1
Permasalahan agama yang menyangkut perkawinan, dapat kita lihat bahwa dalam
setiap agama tentunya mempunyai ketentuan-ketentuan yang mengatur masalah
perkawinan, sehingga pada prinsipnya diatur dan tunduk pada ketentuanketentuan
dari agama yang dianut oleh pasangan yang akan melangsungkan perkawinan.
Permasalahan sosial yang berkaitan dengan perkawinan, adalah merupakan cara pandang
masyarakat pada umumnya mengenai pelaksanaan perkawinan, yang akan membawa
dampak tertentu pada pasangan yang akan melangsungkan perkawinan dalam
lingkungan masyarakatnya. Dari sudut pandang hukum, perkawinan terjadi
disebabkan oleh adanya hubungan antar manusia, dari hubungan antar manusia
untuk membentuk suatu ikatan pekawinan inilah menyebabkan timbulnya suatu
perbuatan hukum. Di Indonesia perbedaan suku bangsa, budaya dan kewarganegaraan
antara laki-laki dan perempuan yang akan melangsungkan perkawinan bukanlah
masalah. Hukum negara Indonesia tidak melarang perkawinan yang dilakukan antara
laki-laki dan perempuan yang berbeda suku bangsa, budaya, dan kewarganegaraan.
Menurut Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan dalam bukunya: Hukum Perdata
Islam di Indonesia menyatakan bahwa UU Nomor 1/1974 tidak mengenal adanya rukun
perkawinan. Tampaknya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1/1974 hanya memuat
hal-hal yang berkenaan dengan syarat-syarat perkawinan sebagaimana diatur dalam
Bab II pasal 6 dan pasal 7.3 Berbeda dengan UU Nomor 1/1974, KHI ketika
membahas rukun perkawinan tampaknya mengikuti sistematika fiqh yang mengaitkan
rukun dan syarat yang dimuat dalam pasal 14. Meskipun KHI menjelaskan lima
rukun perkawinan sebagaimana fiqh, ternyata dalam uraian persyaratannya KHI
mengikuti UUP yang melihat syarat hanya berkenaan dengan persetujuan kedua
calon mempelai dan batasan umur.4 Di dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Nomor. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan disebutkan, bahwa tidak
ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu,
sesuai dengan UndangUndang Dasar 1945. Dari hal tersebut dapat disimpulkan,
bahwa perkawinan mutlak harus dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu, kalau tidak maka perkawinan itu tidak sah.5 Dari pasal
tersebut dapat ditafsirkan bahwa sepanjang hukum agama masing masing pihak
membolehkan terjadinya perkawinan beda agama, maka perkawinan beda agama tidak
akan menjadi masalah. Namun jika hukum agama masing masing pihak tidak
membolehkan adanya perkawinan beda agama, maka hal 3 Amiur Nuruddin dan Azhari
Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media,
2004), hal. 67. 4 Ibid., hal. 72 5 Wantjik K Shaleh, Hukum Perkawinan Di
Indonesia, (Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982), hal 16 tersebut akan menjadi
masalah karena menurut pasal 2 ayat (1) Undang-undang nomor 1 tahun 1974
keabsahan suatu perkawinan didasarkan pada hukum agama dan kepercayaan
masing-masing pihak. Ketentuan ini sejalan dengan kondisi masyarakat Indonesia
yang heterogen. Namun kebebasan memilih pasangan hidup tidaklah berlaku mutlak
di Indonesia. Salah satu hal yang menjadi masalah di Indonesia adalah
perkawinan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang berbeda agama.
Agama Islam membedakan hukum Perkawinan beda Agamanya sebagai berikut: 1.
Perkawinan antar pria Muslim dengan wanita musyrik 2. Perkawinan antar pria
Muslim dengan wanita Ahlul Kitab 3. Perkawinan antara seorang wanita Muslimah
dengan pria non Muslim6 Akibat hukum dari perkawinan beda agama di sini adalah
apabila perkawinan beda agama terjadi antara perempuan yang beragama Islam dan
lakilaki yang tidak beragama Islam, baik musyrik maupun Ahlul Kitab, maka para
ulama Imamiyah – sebagaimana halnya dengan keempat mazhab lainnya – sepakat
bahwa wanita Muslimah tidak boleh kawin dengan laki-laki non Muslim baik dari
kalangan musyrik dan Ahlul Kitab.7 Dengan demikian, apabila perkawinan beda
agama terjadi antara perempuan yang beragama Islam dan laki- 6 Masjfuk Zuhdi,
Masail Fiqhiyah,(Jakarta: PT Gunung Agung, 1997), hlm. 4. 7 Muhammad Jawad
Mughniyah, Al-Fiqh 'ala al-Mazahib al-Khamsah, Terj. Masykur AB, et al,
"Fiqh Lima Mazhab", (Jakarta: PT Lentera Basritama, 2000), hlm. 336.
laki non Muslim, baik laki-laki tersebut musyrik ataupun Ahlul Kitab, maka
ulama’ fiqh sepakat hukumnya tidak sah.8 Akan tetapi karena saat ini sangat
sulit sekali ditemui wanita Ahli Kitab yang benar-benar “Ahli Kitab”, maka
dapat simpulkan bahwa perkawinan beda agama yang ada saat ini tidak dapat dikatakan
sah karena hampir tidak ada wanita Ahli Kitab yang benar-benar berpegang teguh
kepada Kitab Taurat dan atau Kitab Injil. Karena kedua Kitab suci tersebut yang
ada saat ini bukan Kitab Taurat dan Injil yang asli. Sedangkan bagi wanita
muslimah yang menikah dengan pria nonmuslim, baik pria musyrik maupun pria Ahli
Kitab tetap dihukumi haram. Agama Kristen Katolik secara tegas menyatakan
perkawinan antara seorang katolik dengan penganut agama lain adalah tidak sah,
namun Gereja memberikan dispensasi dengan persyaratan yang ditentukan hukum
Gereja. Dispensasi dalam realisasinya diberikan oleh uskup setelah memenuhi
persyaratan tertentu dan kedua belah pihak membuat perjanjian tertulis. Pertama
yang beragama Katolik berjanji akan tetap setia pada iman Katolik, berusaha
memandikan dan mendidik anak-anak mereka secara Katolik. Kedua, mereka yang
tidak beragama Katolik berjanji menerima perkawinan secara Katolik, tidak akan
menceraikan pihak yang 8 Abdul Aziz Dahlan, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam,
Jilid 4,( Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), hal. 1409. beragama
Katolik, tidak menghalangi pihak yang beragama Katolik melaksanakan imannya,
dan bersedia mendidik anak-anaknya secara Katolik.9 Agama Kristen Protestan
mengajarkan kepada umatnya mencari pasangan hidup yang seagama. Menyadari
adanya kehidupan bersama dengan umat lain, maka gereja tidak melarang
penganutnya melangsungkan perkawinan dengan orang-orang yang bukan beragama
Kristen. Perkawinan beda agama dapat dilangsungkan di gereja menurut hukum Gereja
Kristen apabila pihak yang bukan beragama Kristen menyatakan tidak keberatan
secara tertulis. Gereja Kristen Indonesia telah mengatur perkawinan beda agama
yang bersifat rinci, dengan kesediaan pihak bukan Kristen untuk menikah di
Gereja dan anak-anaknya dididik secara Kristen.10 Namun demikian, yang umum
adalah bahwa Gereja Protestan memberi kebebasan kepada penganutnya untuk
memilih apakah hanya menikah di KCS atau diberkati di gereja atau mengikuti
agama dari calon suami/istrinya. Hal ini disebabkan karena Gereja Protestan
umumnya mengakui sahnya perkawinan dilakukan menurut adat ataupun agama mereka
yang bukan Protestan. Seperti yang telah di ketahui bahwa di Kota Batu banyak
masyarakat yang hidup berdampingan dengan orang yang beragama lain. Hal ini tidak
menutup 9 Asmin, Status Perkawinan Antar Agama (Ditinjau dari Undang-Undang
Perkawinan No.1/197),(Jakarta: PT. Dian Rakyat, 1986), hal 74. 10 Asmin, Status
Perkawinan Antar Agama (Ditinjau dari Undang-Undang Perkawinan
No.1/197),(Jakarta: PT. Dian Rakyat, 1986), hal 75. kemungkinan bahawa ada
sebagian kecil masyarakat yang melangsungkan perkawinan Beda Agama. Para elite
agama juga mengambil bagian dari perkawinan tersebut karena orang yang
melangsungkan perkawinan akan meminta bantuan kepada Para elite agama. Ini
sangat menarik diteliti sebaba dengan semakin berangamnya manusia maka
perkawinan beda agama sangat mungkin terjadi, tanpa meningalkan agama
masing-masing. Juga apakah para elite agama tersebut telah menjalankan ajaran
agama masing. A. Rumusan Masalah Dari latar belakang masalah tersebut, maka
terdapat rumusan masalah sebagaimana berikut : 1. Bagaimana Perkawinan Beda
Agama Menurut elite Agama Islam dan Kristen di Kota Batu dan apa dasar hukum
yang di pakai? 2. Bagaimana sikap elite agama Islam dan Kristen terhadapa
Perkawinan beda Agama di Kota Batu ? B. Tujuan Penelitian 1. Untuk Mengetahui
Pendapat para elite Agama Islam di Kota Batu tentang perkawinan beda agama, dan
apa yang menjadi dasar hukum dari pendapat para elite Agama tersebut tentang
perkawinan beda agama. 2. Mengetahui Pendapat dan sikap para elite Agama
terhadap perkawinan beda agama yang terjadi di masyarakat terutama di Kota
Batu. C. Manfaat Penelitian 1. Sebagai bahan kajian dalam mengambil keputusan
menikah bagi kita muslim yang mempunyai pasangan yang berbeda agama. 2. Hasil
penelitian ini dapat menjadi sumbangan pemikiran hukum Islam yang bisa
dimanfaatkan secara langsung dalam hidup dan kehidupan umat muslim secara luas.
D. Batasan Masalah Agar kajian ini tidak melebar dan hanya fokus pada suatu
permasalahan supaya dapat dipahami secara baik dan benar, maka peneliti
membatasi hanya pada pendapat para elite agama di Kota Batu tentang perkawinan
Beda agama, menurut masing masing elite agama tersebut. E. Penelitian Terdahulu
Penelitian yang pertama dilakukan oleh saudara Nanang Yakub Yuasa (2006) dengan
judul “Akibat yuridis perkawinan antar agama menurut Fiqh dan Kompilasi Hukum
Islam”. Fenomena perkawinan antar agama adalah sebuah masalah klasik yang
perdebatannya seputar tentang keabsahan perkawinannya. Dalam Al-Qur’an sendiri
telah diterangkan mengenai perkawinan antar agama, begitu juga dengan KHI yang
merupakan hukum positif dengan tegas melarang adanya perkawinan antar agama.
Semua agama juga tidak menghendaki umatnya untuk melakukan perkawinan dengan
pemeluk agama lain. Akan tetapi sebagai makhluk sosial, manusia selalu hidup
berdampingan dan selalu berinteraksi dengan manusia lainnya sehingga terjadi
suatu proses perkawinan antar agama. Dengan latar belakang demikian, penelitian
ini lebih ditekankan pada perkawinan beda agama serta akibat yuridisnya yang
ditinjau dari sudut fiqh dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang merupakan hukum
Islam positif yang berlaku di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode
Content Analysis yaitu mencoba untuk meneliti tentang akibat yuridis dari
perkawinan antar agama. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui akibat
yuridis dan dampak hukum dari perkawinan antar agama. Dari dua penelitian
diatas terdapat perbedaan dengan penelitian yang sekarang. Penelitian yang
pertama memaparkan akibat yuridis dari perkawinan beda agama, sedangkan yang
sekarang lebih memaparkan komparasi antara perkawian beda agama, antara Islam
dan Kristen. Skripsi yang disusun oleh Zakiyah Alatas (Nim 005255 Universitas Diponegoro
Semarang) berjudul “Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama Setelah Berlakunya
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Di Kabupaten Semarang”.
Dengan rumusan masalah Bagaimana sahnya perkawinan beda agama ditinjau dari
Undang- UndangNo. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan?, Bagaimanakah prosedur
perkawinan beda agama di Kabupaten Semarang?, dan Upaya hukum apa yang bisa
dilakukan oleh calon pasangan perkawinan beda agama, apabila kantor catatan
sipil menolak pencatatannya?. Berdasarkan rumusan masalah tersebut maka metode
pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis
empiris, yaitu data yang diperoleh dengan berpedoman pada segi yuridis dan
berpedoman pada segi empiris yang dipergunakan sebagai alat bantu. Dalam skripsinya
mempunyai kesimpulan bahwa Pelaksanaan perkawinan beda agama di Kabupaten
Semarang, dilakukan dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan ke Pengadilan
Negeri Kabupaten Semarang, untuk melangsungkan penikahan beda agama dan
pencatatannya, mengenai proses perijinan dan pencatatan perkawinan beda agama,
disertai dengan penetapan pengadilan mengenai dapat dilangsungkannya perkawinan
beda agama. Dengan demikian maka, pelaksanaan perkawinan beda agama di
Kabupaten Semarang, dilakukan dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan ke
Pengadilan Negeri Kabupaten Semarang, untuk melangsungkan penikahan beda agama
dan pencatatannya. F. Sistematika Pembahasan Untuk memudahkan dalam pembahasan
skripsi ini, maka penulis menyusun sistematika skripsi yang terdiri dari: Bab
pertama adalah pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, penelitian terdahulu, manfaat penelitian, metode
penelitian, dan sistematika penulisan. Bab ini menjadi penting karena merupakan
gerbang untuk memahami bab-bab selanjutnya. Bab kedua membahas tentang sekilas
tentang perkawinan beda agama yang meliputi kajian tentang pengertian nikah
beda agama dan dasar hukumnya, antara lain agama Islam dan Kristen yang ada.
Bab ketiga menjelaskan metode penelitian yang di gunakan, mengenai lokasi
penelitian, jenis penelitian, pendekatan penelitian, sumber data, teknik
pengumpulan data, dan analisis data. Bab Keempat merupakan pengurainan
data-data mengenai perkawinan beda agama oleh para elite agama Islam dan Kristen
di kota Batu yang telah di peroleh. Bab kelima yakni penutup yang meliputi
kesimpulan, saran, dan lampiran lampiran.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi al-Ahwal al-Syakhshiyyah" :Perkawinan beda agama perspektif elite agama Islam dan Kristen: Studi di Kota Batu." Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
No comments:
Post a Comment