Abstract
INDONESIA:
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2 Ayat (1) dan (2) yaitu, Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu dan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tahun 2015 di Pengadilan Agama Blitar memiliki lima Permohonan Asal Usul Anak, dari perkawinan tersebut tidak dicatatkan secara sah di Lembaga Kantor Urusan Agama. Dari permohonan tersebut oleh majelis hakim tidak diterima padahal di Pengadilan Agama lainnya permohonan asal usul anak dapat diterima. Pada Tahun 2012 Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan Putusan 46/PUU-VIII/2010 bahwa “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. sehingga Putusan Mahkamah Konstitusi lebih bermaslahat bagi perlindungan anak.
Atas dasar bahan hukum di atas maka penulis merumuskan dua permasalahan yang perlu diteliti di dalam penelitian ini, yaitu pertama, bagaimana tinjauan yuridis hakim Pengadilan Agama Blitar terhadap perkara asal usul anak dan kedua, Mengapa terjadi perbedaan antara putusan hakim Pengadilan Agama Blitar dengan Putusan Mahkamah Konstitusi. Penelitian ini tergolong ke dalam penelitian normatif yang meneliti tentang perbandingan hukum. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan undang-undang dan pendekatan Kasus yang kemudian disimpulkan dengan metode analisis normatif.
Peneliti menyimpulkan bahwa permohonan para pemohon agar ditetapkan sebagai ayah biologis dari anak-anak tersebut tidak diterima, alasan yuridis majlis hakim permohonan asal usul anak bukan wewenang Pengadilan Agama dalam memutus perkara asal usul anak, kemudian Pertimbangan Putusan Pengadilan Agama lebih berpegang pada kemudhorotan dibelakangnya jika permohonan tersebut di kabulkan, Sedangkan pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi lebih menitiberatkan pada pertimbangan konsekuensi status hukum yang dialami oleh anak. untuk menjamin adanya kemanfaatan hukum dan memberikan adanya kepastian hukum, harus juga diiringi dengan kesadaran masyarakat akan budaya hukum itu sendiri
ENGLISH:
The ordinance No. 1 Year 1974 about Marriage Article 2 Paragraph ( 1 ) and ( 2 ) namely, Marriage is legitimate if it is done according to the law of each religion and beliefs and every marriage is noted according to the regulations of law as applied. 2015 in the Court of Religious Affairs Blitar have five petitions regarding to Origin of the Child, from a marriage wasn't legally noted in the Office of Religious Affairs. From the petition by councilor was not accepted whereas in other religion Court petition about the origin of the child can be accepted. In 2012 Supreme the Constitution has issued verdict 46/PUU-VIII/2010 that “Child who was born in the outside of marriage just have a civil relationship with his mother and family from his mother as well as with man as her father that can be evidenced by the science and technology and / or a evidence of the other things according to the law have a blood relationship, including civil relationship with the family of his father. So verdict of Supreme Constitution more useful for the protection of children.
On the basis of legal in the former explanation thus author formulate two problems that need to be researched in this study, which is the first, how juridical judge the Court of Religious Affairs Blitar review against the case of the origin of the child and the second, Why happened the difference between judgement of Court Religious Affairs Blitar with judgement of the Constitution. This research are relatively include the study normative were researching about a law comparison. The approach used in this study is the legislation and case approach that then summed up with the normative analysis.
The researchers concluded that the petetition from the appelant regarding to set as the biological dad of child is not accepted, the juridical reason of judge petition the origin of the child is not the authority of the religion in deciding case of origin of the child, then Jugdement Consideration Court of Religious Affairs more hold on to bad effect in the end if the petition is granted, While judgement consideration Supreme of the Constitution more focus on considerating some consequences of the status of law experienced by the child. To ensure the law benefit and give the certainty of law, it should also accompanied by the people’s awareness about the law culture itself.
ARABIC:
التشريعات رقم 1 س 1974 م عن الزواج في فصل الثاني أية 1 و 2، وهو يصح. إن كان الزواج يُعمل على حكم دين الفرد وكل الزواج يُكتب بنظام الشريعة المنطبقة. المحكمة الدينية ببليتار لها خمس عريضات عن أصل الولد في سنة 2015 م، و هذا لا يُكتب صحيحا في إدارة الشؤون الديني. رفض فريق من القضاة هذه العريضة وعندما لايرفض هذه في المحكمة الأخرى. في سنة 2012 قد قرر محكمة الدستور قرار 46/
PUU-VIII/2010 أن "الولد الذي يُلد خارج الزواج له العلاقة المدنية مع أمه وأسرة أمه والرجل كأبيه الذي يثبت بعلم الحياة والتكنولجيا والبيانات الأخرى من جهة النسب فحسب، وكذلك العلاقة المدنية مع أسرة أبيه. فلذلك قرار محكمة الدستور أصلح لحماية الولد.
الباحث يحدد مشكلتين أو مسألتين في هذا البحث وهما الأول كيف مراجعة الشريعة لقضاة محكمة الدينية ببليتار عن دعوى قضائية أصل الولد؟ والثاني لماذا يقع الفرق بين قرار القضاة في المحكمة الدينية ببليتار وقرار محكمة الدستور. هذا البحث يتضمن على بحث المعاري الذي يبحث عن مقارنة الحكم. ومنهج هذا البحث يستخدم نهج الشريعات والحالة الحكم ثم يخلصهما بتحليل المعاري.
والباحث يخلص أن العريضات رُفضت بسبب السلطة والمضارات. وأما اعتبار قرار محكمة الدستور هو بسبب الوضع الحكم للولد. وفائد هذه الحالة ولوجود إقامة الحكم لازم لكل شخص واعيا بالحك
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Masalah Manusia sebagai individu mempunyai
jiwa yang tidak lepas dari individu lainnya. Sekurang-kurangnya kehidupan
bersama itu terdiri dari dua orang yaitu suami istri. Untuk menjalin itu harus
adanya sebuah perkawinan.1 Perkawinan merupakan sunahtullah yang berlaku pada
semua makhluk Tuhan, baik pada manusia, hewan maupun tumbuhan-tumbuhan. Dalam
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 1 disebutkan,
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan di 1 Kansil
C.S.T, Pengantar ilmu hukum dan tata hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1986), h.29 19 selenggarakan harus sesuai dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan Pasal 2 Ayat (1) dan (2) yaitu, Perkawinan adalah sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu dan
tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan adanya perkawinan maka akan tercipta sebuah rumah tangga yang dapat
ditegakkan dan dibina sesuai dengan norma dan tata kehidupan masyarakat. Dalam
rumah tangga berkumpul dua insan manusia yang berlainan jenis yang disebut
suami dan istri. Mereka saling berhubungan agar mendapatkan keturunan yang
disebut sebagai “anak”. Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha
Esa, yang sanantiasa harus dijaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat
dan hakhak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Dari sisi kehidupan
berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus
masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa.2 Menurut ulama fiqh
mengatakan bahwa nasab atau keturunan adalah merupakan salah satu fondasi yang
kokoh dalam membina suatu kehidupan rumah tangga yang bisa mengikat antara
pribadi berdasarkan kesatuan darah. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia
dikemukakan bahwa anak adalah keturunan kedua sebagai hasil dari hubungan
antara pria dan wanita.3 Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) di indonesia anak
adalah orang yang belum 2 Koro Abdi, Perlindungan Anak Dibawah Umur, (Bandung:
PT Alumni, 2012), h.5 3 Poerwadarmina WJS, Kamus Besar Bahsa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 2008), h.38 20 genap berusia 21 tahun dan belum pernah
menikah dan karenanya belum mampu untuk berdiri sendiri.4 Kemudian dalam
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 42 disebutkan bahwa, anak yang sah
adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 298 disebutkan, Setiap anak
dalam tingkat umur berapapun wajib hormat dan segan terhadap ayah dan ibunya.
ayah dan ibunya wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka yang belum
dewasa. Menurut hukum adat yang wajib memelihara dan mendidik anak bukan hanya
saja orang tuanya tetapi juga para saudara ayah dimasyarakat yang patrilineal
dan para saudara ibu di masyarakat matrilineal dan saudara ayah dan ibu pada
masyarakat parental. Sedangkan menurut Hukum Agama Islam yang dibebani tugas
dan kewajiban memelihara dan mendidik anak adalah ayahnya, sedangkan ibu
bersifat membantu. Kemudian dalam Pasal 250 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
menjelaskan bahwa anak sah adalah anak yang dilahirkan dan dibuat selama
perkawinan. Jadi anak yang dilahirkan dalam suatu perkawinan yang sah mempunyai
status sebagai anak kandung yang melekat hak-hak keperdatanya, serta berhak memakai
nama belakang namanya untuk menunjukkan keturunan dan asal usulnya. Sedangkan
anak yang lahir diluar perkawinan yang sah hanya 4 Prinst Darwan, Hukum Anak
Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), h.119 21 memiliki hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya hal ini sesuai dengan pasal 43 ayat 1
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Sehingga Penetapan asal usul anak memiliki
arti yang sangat penting, karena dengan penentapan itulah dapat diketahui
hubungan nasab antara anak dan ayahnya. kendatipun pada hakikatnya setiap anak
yang lahir berasal dari sperma seorang laki-laki dan seharusnya menjadi
ayahnya. Status keperdataan seorang anak, sah ataupun tidak sah akan memiliki
hubungan keperdataan dengan bapak dan ibu yang melahirkannya. Pada Tahun 2012
Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan Putusan yang mengejutkan berbagai
kalangan, yaitu keluarnya Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 bahwa “Anak yang
dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat
dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain
menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan
keluarga ayahnya”. Hal ini bermula dari seorang wanita yang bernama Machica
alias Aisyah Mochtar yang mengajukan uji materiil pada tanggal 14 Juni 2010
kepada MK terhadap Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 2 Ayat (2) tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku dan pasal 43 ayat (1)
Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya. 22 Pengajuan ini berdasarkan tidak adanya pengakuan
dari suaminya yang bernama Moerdiono pernah melangsungkan perkawinan dengan
Machica Mochar, sehingga membuat status hukum Muhammad Iqbal. Anak yang
dilahirkan dari perkawinan tersebut menjadi anak diluar perkawinan, akta nikah
yang seharusnya dimiliki oleh pasangan istri tersebut tidak ada, oleh karenanya
perkawinan tersebut tidak dicatatkan. Kesengajaan meniadakan tanggung jawab,
khususnya dari laki-laki, merupakan ketidakadilan hukum terhadap anak dan
sekaligus pembiaran terjadinya kesewenang-wenangan terhadap seorang perempuan
yang harus bertanggung jawab sendiri terhadap kelangsungan hidup dan pendidikan
anak. Ketentuan yang selama ini berlaku, terhadap anak yang lahir di luar
perkawinan, hanya memberikan hubungan perdata dan tanggung jawab kepada ibu dan
keluarga ibu adalah sesuatu yang tidak adil. ketentuan tersebut membebankan
kesalahan dan tanggung jawab hanya kepada seorang perempuan sebagai ibu
merupakan ketidakaadilan dan kesewenang-wenangan sosial manakala hukum
memberikan stigma kepadanya sebagai “ anak tanpa bapak” dan anak tanpa ada yang
bertanggung jawab bagi kelangsungan hidup dan bertumbuh kembang secara wajar
dalam masyarkat melalui pendidikan. Setiap anak lahir dalam keadaan suci, tidak
berdosa. Anak lahir bukan atas dasar kehendaknya. Anak dapat memiliki ayah
biologis yang dapat melindungi anak dari segala hal yang membahayakan. Putusan
Mahkamah 23 Konstitusi membuka kemungkinan hukum bagi ditemukannya subjek hukum
yang harus bertanggung jawab terhadap anak dimaksud sebagai ayahnya melalui
mekanisme hukum dengan menggunakan pembuktian berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi mutakhir dan/atau hukum dalam rangka meniadakan ketidakpastian dan
ketidakadilan hukum di dalam masyarakat. Berkaitan dengan masalah diatas pada
Tahun 2015 di Pengadilan Agama (PA) Blitar memiliki lima Perkara Permohonan
“Asal Usul Anak”, yang mengajukan permohonan asal usul anak ialah lima istri
dari satu orang suami. Dari perkawinan tersebut tidak dicatatkan secara sah di
Lembaga Kantor Urusan Agama (KUA). Sehingga anak yang lahir di luar perkawinan
dianggap anak yang tidak sah. Tujuan dari lima istrinya mengajukan permohonan
asal usul anak di Pengadilan Agama Blitar untuk menetapkan keperdataan ayah
dalam Akta Kelahiran dan identitas hukum lainnya. Namun dari lima perkara
tersebut oleh hakim Pengadilan Agama Blitar tidak dikabulkan atau di NO (Niet
Ontvankelikje). Padahal pada umumnya di Pengadilan Agama lain pengajuan
permohonan asal usul anak selalu diterima atau dikabulkan dan pada Tahun 2012
Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan Putusan yang lebih bermaslahat bagi
kehidupan anak dan dapat melindungi hak dari anak. Untuk menggali makna lebih
jauh aturan hukum yang dipakai oleh praktisi atau Hakim Pengadilan Agama Blitar
dengan dikaitkan teori Putusan Mahkamah Konstitusi, Karena Menurut peneliti
putusan Mahkamah Konstitusi 24 lebih bermaslahat bagi kehidupan anak. Anak akan
mendapatkan perlindungan hukum dari kedua orang tuanya, bukan hanya ibunya
melainkan juga ayah selaku pemimpin dalam keluarga. Sehingga peneliti memiliki
ketertarikan untuk meneliti putusan tersebut dengan judul “Tinjauan Putusan
Pengadilan Agama Blitar Terhadap Perkara Asal Usul Anak (Studi Putusan No
195/Pdt.P/2015 Dan 196/Pdt.P/2015) Kaitannya Dengan Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 46/PUU-VIII/2010” dengan rumusan masalah sebagai berikut. B. Rumusan
Masalah 1. Bagaimana tinjauan yuridis hakim Pengadilan Agama Blitar terhadap
perkara asal usul anak No 195/Pdt.P/2015 Dan 196/Pdt.P/2015? 2. Mengapa terjadi
perbedaan antara putusan hakim Pengadilan Agama Blitar No 195/Pdt.P/2015 Dan
196/Pdt.P/2015 dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010? C.
Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah diatas, sedikitnya terdapat dua
tujuan yang harus tercapai dalam penelitian ini. Yaitu sebagai berikut. 1.
Mengetahui tinjauan yuridis hakim Pengadilan Agama Blitar terhadap perkara asal
usul anak No 195/Pdt.P/2015 dan 196/Pdt.P/2015. 2. Mengetahui perbedaan antara
putusan hakim Pengadilan Agama Blitar No 195/Pdt.P/2015 Dan 196/Pdt.P/2015
dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010. D. Manfaat
Penelitian 25 Kegunaan penelitian adalah deskripsi tentang pentingnya
penelitian terutama bagi perkembangan ilmu atau pembangunan dalam arti luas,
dengan arti lain. Uraian dalam subbab kegunaan penelitian berisi tentang
kelayakan atas masalah yang diteliti. Sedangkan kegunaan penelitian ini adalah
sebagai berikut: 1. Secara teoritis:sebagai bentuk usaha dalam
mengembangkankhazanah keilmuan dalam ruang lingkup asal usul anak di luar
perkawinan, baik penulis maupun mahasiswa Fakultas Syari‟ah 2. Secara praktis
:memberikan sumbangsih pemikiran hukum tentang asal usul anak di luar
perkawinan identik dengan pandangan negatifdalam masyarakat, namun pada
hakekatnya anak adalah generasi penerus bangsa, hak-haknya harus dijaga. Hak
mendapakan pemeliharaan dan perlindungan hukum.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Hukum Bisnis Syariah" : Tinjauan putusan Pengadilan Agama Blitar terhadap perkara asal usul anak: Studi putusan No 195/Pdt.P/2015 dan 196/Pdt.P/2015) kaitannya dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010." Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
No comments:
Post a Comment