Abstract
INDONESIA:
Kompilasi Hukum Islam yang merupakan sebuah terobosan baru dan cita- cita para cendikiawan muslim adalah sebuah peraturan yang pasti. Yang dijadikan sebagai bahan acuan dalam penetapan suatu masalah di dalam Pengadilan Agama. Namun, setelah KHI terbentuk terdapat beberapa perbedaan antara KHI dengan Fiqh yang merupakan ijtihad Ulama terdahulu, salah satunya yaitu mengenai kewarisan yaitu tentang bagian ayah dalam waris. Di mana dalam KHI ayah mendapatkan 1/3 jika tidak ada anak, dan mendapatkan 1/6 jika ada anak. Hal ini sangat berbeda dengan apa yang telah ada dalam Fiqh mawaris, bahwa ayah mendapatkan ashabah jika tidak ada far’ul waris dan mendapatkan 1/6 jika bersama far’ul waris.
Dari fenomena tersebut, penulis tertarik untuk meneliti sejarah penyusunan buku II tentang kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan tinjauan hukum Islam bagi ayah yang mendapatkan 1/3 dari harta waris dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Jenis penelitian ini adalah tergolong penelitian pustaka atau literature. Penelitian ini juga menggunakan pendekatan yuridis normatif analitis yaitu yang berupa pendekatan historis (historical approach). Untuk pengumpulan bahan hukum pengkajian penelitian ini menggunakan metode studi kepustakaan.
Hasil dari penelitian ini bahwa pembentukan Penyusunan buku II Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah berdasarkan kebutuhan umat Islam terhadap hukum yang pasti dan juga agar tidak terjadi kesimpang siuran dalam penetapan suatu masalah di ranah Pengadilan Agama. Sedangkan munculnya bagian 1/3 bagi bapak dikarenakan porsi ‘ashabah bagi bapak sama besarnya dengan 1/3 bagian dalam masalah jika bapak tidak bersama anak tetapi bersama suami dan ibu. Dan Tinjauan hukum Islam terhadap KHI pasal 177 tentang bagian ayah dalam waris terdapat perbedaan, namun sebagian besar kandungan pasal tersebut sama seperti di dalam nash al-Qur’an dan fiqih mawaris. Akan tetapi perbedaan kandungan dalam pasal 177 yaitu ketika mayit meninggalkan ayah, suami dan ibu. Pada permasalahan ini, fiqih mawaris telah mengikuti ijtihad Umar bin Khattâb yang mana ayah mendapatkan ‘ashabah, suami mendapatkan setengah bagian sedangkan ibu mendapatkan sepertiga sisa (setelah diambilnya bagian suami) dan permasalahan ini disebut dengan masalah gharrawain. Akan tetapi KHI memiliki ijtihad yang lain dengan menetapkan bahwa ayah mendapatkan sepertiga bagian, dengan pertimbangan ayat al-Qur’an surat an- Nisaa’ (4) ayat 11 serta kemaslahatan yang berdasarkan asas tanggung jawab yang adil dan berimbang, di mana ayah memiliki tanggung jawab lebih besar dari pada ibu dan memberikan kepastian hukum atas bagian ayah.
ENGLISH:
Compilation of Islamic Law which is a new breakthrough and the ideals of Muslim scholars is a definite rule. Which serve as reference material in the determination of an issue in the religious court. However, once formed Compilation of Islamic Law there are some differences between the Fiqh which is a former scholar of ijtihad, one of which is about the inheritance of the father in the inheritance. Where in the KHI father gets 1 / 3 if no children, and get 1 / 6 if there are children. This is very different from what already exists in the Fiqh inherit, that the father gets far'ul residuary heir if there is no inheritance and get 1/6 if the joint far'ul inheritance.
Of the phenomenon, the authors are interested in researching the history of the preparation of book II of inheritance in Compilation of Islamic Law (KHI) and review of Islamic law for the father who gets one third of the estate in Compilation of Islamic Law (KHI).
This type of study is classified as library research or literature. This study also uses analytical normative juridical approach is in the form of a historical approach (historical approach). For the collection of legal materials this research study using a method of literary study.
Results from this study that the formation of book II Compilation of Islamic Law (KHI) is based on the needs of Muslims against the law for sure, and also to avoid ambiguous in the determination of an issue in the realm of religious court. While the emergence of the third for the father because the portion 'residuary heir to the father as great as the third part of the problem if you are not with children but with her husband and mother. And review of Islamic law against the Compilation of Islamic Law (KHI) article 177 of the father in the estate there is a difference, but most of the content of the article the same as in the texts of the Qur'an and fiqh Mawaris. However, differences in the content of Article 177 when the deceased leaves a father, husband and mother. In this issue, jurisprudence has followed ijtihad Mawaris Umar bin Khattab which fathers get the 'residuary heir, the husband get half of the mothers get one-third while the rest (after her husband took part) and the problem is called with a problem gharrawain. However, Compilation of Islamic Law (KHI) has ijtihad others to provide that the father get a third part, with consideration of the letter the Koran verse an-Nisaa '(4) verse 11 and the benefit is based on the principle of responsibility of a fair and balanced, where the father has the responsibility greater responsibility than in the mother and provide legal certainty on the part of fathers.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Penduduk Indonesia mayoritas
beragama Islam, sudah sewajarnya jika di Negara ini berlaku hukum Islam yang
kemudian ditetapkan menjadi hukum positif. Hal ini merupakan suatu kebanggaan
bagi umat Islam, meskipun hukum atau undang-undang tersebut tidak menetapkan
semua syari‟at Islam tapi hal itu sudah merupakan terobosan dan hasil pemikiran
yang luar biasa.5 Banyak hal yang terjadi di tengah-tengah masyarakat yang
berkaitan dengan hukum-hukum Islam, diantaranya mengenai hubungan sesama
manusia, seperti muamalah, keluarga dan kehidupan rumah tangga, serta
pernikahan, perceraiaan, waris pembagian harta, gono-gini dan lain sebagainya.
Semua itu, jauh sebelumnya sudah diatur oleh Islam sebagaimana yang telah
dituntunkan Rasulallah SAW. 6 Di sini penulis membahas tentang hukum kewarisan
yang terdapat pada Kompilasi Hukum Islam (KHI). Islam sebagai agama samawi
mengajarkan hukum kewarisan, disamping hukum-hukum lainnya, untuk menjadi
pedoman bagi umat manusia agar terjamin adanya kerukunan, ketertiban,
perlindungan dan ketentraman dalam kehidupan ini di bawah naungan dan ridlo
Ilahi. Aturan hukum kewarisan Islam diturunkan secara berangsur-angsur sesuai
dengan kebutuhan masyarakat dan kesadaran hukumnya sehingga menjadi suatu
sistem hukum kewarisan yang sempurna. 7 Ulama pada umumnya menganggap bahwa persoalan
hukum kewarisan telah selesai, karena al-Qur‟an telah memberikan penjelesan
yang sangat rinci. Oleh sebab itu, menurut para ulama tidak perlu lagi ada
penambahan, pengurangan, atau perubahan. Tinggal sekarang bagaimana umat Islam
menjalankan ketentuan-ketentuan kewarisan tersebut sesuai apa yang ditunjukkan
Allah dan Rasul-Nya. Namun dalam perkembangannya, hal tersebut perlu
direkonstruksi ulang mengingat dalam masa sahabat Nabi saja sudah ditemukan
beberapa kasus yang menimbulkan kontroversi dalam penyelesaiannya. Adanya
kontroversi itu disebabkan, karena sahabat dihadapkan kepada keadaan apakah
nash waris harus diterapkan secara hitam-putih atau dengan mempertimbangan
aspek lain seperti asas keseimbangan, keadilan, kedekatan kekerabatan, dan lain-lain.
Oleh sebab itu, 6Arto, “Hukum Waris”, 9-10. 7Arto, “Hukum Waris”, 17. 3 muncul
kemudian kasus-kasus seperti kakek bersama saudara (al-jadd wa al ikhwah),
garwain, dan musyarrakah. Begitu juga dengan adanya praktik radd dan „aul di
mana kesemuanya adalah merupakan hasil sebuah interpretasi dari ayat-ayat waris
dalam rangka menyelesaikan sebuah kasus kewarisan. Berdasarkan paparan di atas,
masalah kewarisan masih perlu mendapatkan perhatian untuk diijtihadi guna dalam
pelaksanaannya lebih memenuhi rasa keadilan. Terlebih sosio-kultural masyarakat
Islam Indonesia mempunyai perbedaan meskipun tidak terlalu fundamental dengan
masyarakat Arab. Akan tetapi, hal itu sudah dianggap cukup untuk membuat
penilaian terhadap sistem yang merupakan warisan ulama fikih zaman klasik dalam
rangka melakukan reinterpretasi terhadap permasalahan kewarisan khususnya dalam
implementasi nash tersebut, atau paling tidak untuk merenungkan kembali,
sehingga sistem kewarisan Islam tersebut tidak hanya menjadi khazanah historis
intelektual, melainkan harus menjadi khazanah yang tetap menjadi rujukan
(referensi) umat Islam dalam menjalankan syariat Islam. Meskipun demikian,
pembaharuan yang dilakukan di dunia Islam pada umumnya hanya menyangkut masalah
implementasi nas-nas kewarisan Al-Qur‟an yang telah memberikan penjelasan rinci
perihal furûdl muqaddarah saja yang berhak atasnya dan sejumlah masalah yang
memang tidak dijelaskan secara detil dalam nas. Dengan demikian, aspek-apek
yang sudah mendapatkan penjelasan secara rinci dalam al-Qur‟an khususnya yang
berkaitan dengan fardl dibiarkan apa adanya dan tidak ada penafsiran ulang 4
tentang hal tersebut termasuk mereka yang berhak atas fardl tersebut. Akan
tetapi, dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 177 terdapat sebuah penambahan fardl
bagi ayah yang tadinya hanya 1/6 di tambah dengan fardl 1/3 dengan
menghilangkan kemungkinan menerima „„ashabah jika orang yang meninggal tidak
mempunyai anak. Ini merupakan sebuah penambahan yang perlu dikritisi mengingat
sejauh ini tidak ada landasan normatif yang melegitimasi fardl 1/3 ayah
tersebut. Sebelum melangkah lebih jauh, perlu kiranya dikemukakan di sini
bagian yang mungkin diterima ayah dalam pembagian warisan. Dalam fikih mawaris,
ayah mendapatkan 1/6 (seperenam) dari tirkah muwarris, jika ia mewarisi bersama
sama dengan anak laki-laki. Namun, jika menjadi ahli waris tidak bersama sama
dengan anak (baik laki-laki maupun perempuan) ia akan mendapatkan hak warisan
dengan jalan „ashabah (dalam Surat an-Nisa‟ 11). Permasalahan yang timbul kemudian
adalah bagaimana kewarisan ayah apabila bersama seorang anak perempuan atau
lebih. Hal ini perlu diperhatikan, mengingat ayah tidak mungkin hanya diberikan
fardl seperenam, karena ia di samping menerima fardl juga termasuk ahli waris
penerima „ashabah yang dapat menghijab semua ahli waris selain anak dan ibu.
Meskipun demikian, ayah juga tidak mungkin diberikan „ashabah secara lansung,
karena ada anak (perempuan) di mana berdasarkan petunjuk nas ayah harus
menerima fardl 1/6 (seperenam). Dalam menghadapi persoalan ini, ulama mengambil
jalan tengah, yaitu dengan memberikan fardl 1/6 5 (seperenam) terlebih dahulu
kepada ayah. Jika setelah itu masih ada harta yang tersisa, maka sisa tersebut
harus diberikan kepada ayah (tanpa melalui proses radd kepada seluruh ahli
waris selain kepada suami atau istri). Tindakan seperti itu diberlakukan
mengingat ayah ketika menerima secara „ashabah ada kemungkinan tidak
mendapatkan warisan jika harta semuanya telah dihabiskan oleh penerima faradl
atau karena berdasarkan komposisi ahli waris yang ada terpaksa diberlakukan
„aul. Oleh sebab itu, tindakan memberikan fardl 1/6 (seperenam) terlebih dahulu
manakala ada anak perempuan merupakan perlindungan dari kemungkinan ayah tidak
mendapatkan warisan sama sekali. Dengan demikian, dalam fikih mawaris ayah bisa
menerima warisan dalam tiga keadaan, yaitu menerima fardl 1/6 jika yang
meninggal mempunyai anak laki-laki atau cucu laki-laki dari anak laki-laki,
„ashabah jika yang meninggal tidak mempunyai keturunan, atau fardl 1/6 ditambah
„ashabah jika yang meninggal hanya mempunyai anak perempuan atau cucu perempuan
dari anak laki-laki apabila harta memang mencukup dan tidak terjadi proses
„aul. Apabila terjadi proses „aul, ayah hanya bisa menerima fardl 1/6 saja dan
bagiannya pun ikut mengecil seiring terjadinya aul tersebut. Dari permasalahan
di atas penulis mengangkat tema yang berjudul “Bagian Waris Sepertiga Bagi
Ayah” (Studi Analisis Pasal 177 Kompilasi Hukum Islam)
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah penyusunan buku II tentang kewarisan dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan mengapa muncul bagian sepertiga bagi ayah dalam
KHI pasal 177 ? 2. Bagaimana tinjauan hukum Islam bagi ayah yang mendapatkan
1/3 dari harta waris dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui
bagaimana sejarah penyusunan buku II tentang kewarisan dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI) dan mengetahui alasan munculnya bagian sepertiga bagi ayah dalam
KHI pasal 177. 2. Untuk mengetahui bagaimana tinjauan hukum Islam bagi ayah
yang mendapatkan 1/3 dari harta waris dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).
D. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian diatas, diharapkan penelitian ini
dapat mempunyai manfaat baik secara teoritis maupun praktis dalam rangka
memperluas pengetahuan pendidikan di masyakarat. Adapun manfaat penelitian ini
adalah sebagai berikut : 1. Secara teoritis : a. Sebagai sumbangan teoritis
bagi pengembangan dalam bidang keilmuan umumnya dan khususnya tentang bagian
ayah dalam waris. 7 b. Sebagai acuhan referensi bagi peneliti selanjutnya dan
bahan tambahan pustaka bagi siapa saja yang membutuhkan dan sebagai sumbangan
pemikiran untuk pembaca yang akan mengadakan penelitian lebih lanjut. 2. Secara
praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dan ilmu pengetahuan
bagi semua pihak, khususnya bagi: a. Peneliti Penelitian ini berguna sebagai
tambahan wawasan ilmu pengetahuan yang pada akhirnya dapat berguna ketika
peneliti sudah berperan aktif dalam kehidupan masyarakat. b. Masyarakat Dapat
digunakan sebagai bahan atau referensi dalam menyikapi hal-hal yang berkaitan
dengan permasalahan ini.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi al-Ahwal al-Syakhshiyyah" :Bagian waris sepertiga bagi ayah: Studi analisis pasal 177 kompilasi hukum islam" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
No comments:
Post a Comment