Abstract
INDONESIA :
Kolonialisme telah menimbulkan perubahan yang radikal terhadap sistem hukum di dunia, termasuk di Indonesia. Qodri Azizy merupakan pemikir berpengaruh yang memosisikan hukum Islam Indonesia dalam sistem hukum nasional dan pemberlakuannya pasca kolonial.
Tujuan penelitian ini menganalisis resistensi Qodri Azizy terhadap wacana kolonial dalam hukum Islam di Indonesia dan kontestasi pluralisme hukum nasional. Selain melakukan tinjauan kritis terhadap pemikiran Azizy dan proyeksi metodologis pengembangan pemikirannya.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian sosio-legal dengan pendekatan sosio-historis dan cultural studies. Data primer diperoleh dari dokumentasi karya-karya Qodri Azizy, sementara data sekunder diperoleh dari dokumentasi anotasi pemikirannya oleh penulis lain dan literatur sejarah-sosial hukum Islam Indonesia era pra kolonial, kolonial, dan pasca kolonial. Data dianalisis dengan analisis wacana kritis.
Dapat disimpulkan bahwa resistensi pemikiran Qodri Azizy berusaha menentang dan menghapus pengaruh disiplin pengetahuan Orientalisme Christian Snouck Hurgronje via teori Receptie melalui ideologi anti-kolonialisme dan nasionalisme. Resistensi tersebut menunjukkan ambivalensi dan peniruan (mimikri), dengan memanfaatkan infrastruktur sistem hukum kolonial dan negara modern untuk mengafirmasi pemberlakuan hukum Islam. Qodri Azizy memosisikan hukum Islam berkompetisi dengan hukum lain dalam kontestasi pluralisme hukum Nasional melalui demokratisasi. Positivisasi hukum Islam diyakini niscaya diberlakukan di tengah ke-mayoritas-an Islam, perlu perluasan ke dalam ilmu hukum, sistem hukum atau peradilan lebih luas, dan hukum materiil. Meski meyakini fikih yang akan dipositi¬visasi harus sesuai tuntutan zaman, namun Azizy masih menarik garis batas yang tegas untuk membedakan suatu entitas hukum tertentu dari yang lain; hukum Islam, hukum Barat, dan hukum Adat, yang kurang strategis dan kontekstual di era Global yang telah memunculkan hukum hybrid. Proyeksi metodologi melalui pengembangan gagasan Qodri Azizy menjadi “Eklektisisme Hukum-Hybrid”, dengan memper¬tim¬bangkan tawaran Qodri Azizy melakukan positivisasi hukum Islam dan Ijtihad Saintifik-Modern, serta formasi fikih yang kontekstual dengan realitas (waqi’) pasca kolonial, bersama persilangan berbagai sistem hukum.
ENGLISH :
Colonialism has led to radical changes to the legal system in the world, including in Indonesia. Qodri Azizy an influential thinker positioning Indonesian Islamic law in the national legal system and its enforcement post-colonial.
The purpose of this study analyzes Qodri Azizy resistance against the colonial discourse in Islamic law in Indonesia and participate in the national legal pluralism. In addition to the critical review of Azizy thoughts and projections methodological development of his thinking.
This research uses socio-legal research with the approach of the socio-historical and cultural studies. Primary data were obtained from the documentation of the works Qodri Azizy, while secondary data obtained from the documentation annotation thinking by other writers and literature-social history of Indonesian Islamic law pre-colonial era, the colonial and post-colonial. Data were analyzed with a critical discourse analysis.
It can be concluded that Qodri Azizy indicates that resistance is trying to challenge and eliminate the influence of disciplinary knowledge Orientalism Christian Snouck Hurgronje via Receptie theory through the ideology of anti-colonialism and nationalism. Resistance from Azizy shows ambivalence and imitation (mimicry), by utilizing the infrastructure of colonial legal system and modern state for discussing imposition of Islamic law. National legal pluralism encourage contestation of Islamic law to compete with other laws in democratization. Positivization believed Islamic law should be enforced in all-an Islamic majority, with extension of coverage to the science of law, the legal system or judicial broader and substantive law. Although convinced of fiqh that will be converted into positive law must comply with the demands of the times, but still attractive Azizy distinct line of demarcation to distinguish a particular legal entity from the other; Islamic law, Western law and Customary law, which is less strategic and contextual in the Global era laws that have given rise to a hybrid. While the projection methodology that can be built in with the need to develop ideas Azizy "Eclecticism Law-Hybrid", taking into account the offer of Islamic law positivization and Modern-Scientific Ijtihad Azizy, as well as adjust fiqh formations which contextual with post-colonial reality along crossing various legal systems.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Masalah Kolonialisme telah menimbulkan
perubahan yang radikal terhadap sistem hukum di dunia, bersamaan dengan
pengalaman traumatik bangsa terjajah, termasuk Indonesia. Bangunan sistem hukum
Nasional tidak bisa dilepaskan dari pengalaman sejarah Indonesia era kolonial
yang memenangkan eksistensi hukum Barat (Belanda), di samping hukum Adat dan
hukum Islam. Dekade terakhir, di tubuh umat Islam Indonesia seperti terdapat
semangat anti-kolonial terhadap hukum Barat yang dianggap menjauhkan muslim
dari „hukum Tuhan‟. Akibat pengalaman traumatik kolonialisme, muncul mental
yang membuat umat muslim Indonesia selalu waspada berlebih dan mesti
mempertimbangkan betul norma-norma yang 2 terlihat datang dari Barat. Hal yang
disebut oleh Abdullahi Ahmed An-Na‟im sebagai post-colonial condition1 . Rentan
waktu selama 34 tahun, dari tahun 1974 hingga 2008, 18 produk legislasi hukum
Islam yang dimulai dengan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, hingga
lahirnya UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah2 . Secara de facto
maupun de Jure, eksistensi legislasi hukum Islam tersebut dianggap mampu
meruntuhkan teori Receptie Orientalis kawakan Snouck Horgronje. Teori yang
secara bertubi-tubi dilawan oleh teori Receptie Exit Hazairin, teori Receptie a
Contrario Sayuti Thalib, dan teori Eksistensi Ichtiyanto, serta eklektisisme
hukum Nasional Qodri Azizy. Teori Receptie dijadikan musuh bersama karena
mengancam eksistensi hukum Islam dalam sistem hukum Nasional. Sementara itu,
momentum tersebut, dimanfaatkan fikih skolastik dengan corak Islam Timur Tengah
untuk mereproduksi semangat pemberlakuan hukum Islam pasca Hurgronje dengan
semangat Islamisme3 dan Syar‟isme4 . Mereka diduga memiliki „syahwat politik‟
dengan nalar salafisme menjadikan syariat Islam sebagai narasi total dalam
segala ruang sosial-politik-budaya, lewat formalisasi syariat Islam yang
menjadi 1Lihat Abdullahi Ahmed An-Na‟im, Islam dan Negara Sekuler:
Menegosiasikan Masa Depan Syari‟ah (Bandung: Mizan, 2007). Juga dalam: Emory
University, The Postcolonial Condition of Muslim States: Abdullahi An-Naim,
https://www.youtube.com/watch?v=VGQUH--ar8g, diakses 2 Maret 2016. 2Lihat
Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia (Bandung: Citra Aditya, 2005), h.
45. 3 Islamisme diidentifikasi sebagai ideologi yang menggunakan Islam sebagai
narasi total dan monolitik yang menghendaki tatanan total yang meliputi sistem
ekonomi, sosial, budaya hingga politik atas tatanan masyarakat modern dan
membentuk komunitas ideologis Islam. Lihat Asef Bayat, Pos-Islamisme
(Yogyakarta: LKiS, 2011), h. 12-13; dan Oliver Roy, Gagalnya Islam Politik
(Bandung: Mizan, 2004), h. 48-51. 4 Syar‟isme dimaksudkan dari istilah Marshall
Hodgson yang dipinjam Haedar Nashir untuk menunjukkan sikap serba syariat atau
syariat mindedness, yang menunjukkan orientasi keislaman yang
mengaktualisasikan ajaran Islam ke arah yang lebih parsial atau terbatas hukum
Islam. Lihat Haedar Nasir, Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis
(Bandung: Mizan, 2013), h. 425-426. 3 subketatanegaraan dalam peraturan daerah.
Pasca perjuangan counter hegemony wacana kolonial dari Hazairin, Sayuti Thalib,
dan Ichtianto, kontestasi pemberlakuan Islam diwarnai aktor-aktor baru dengan
nalar serba syariat dan hiper anti-kolonial dengan penegakan syariat Islam, yang
menegasikan eksistensi pluralisme hukum Nasional dan nilai-nilai global
konsensus masyarakat dunia. Nilai demokrasi beserta pluralisme agama, keadilan
gender, dan perlindungan HAM begitu menjadi ancaman terhadap rasa kemapanan
diskursus hukum Islam dalam hukum Nasional di Indonesia. Pembaruan hukum Islam
(Islamic legal reform) di sisi yang lain menjadi hal yang sensitif dan
emosional karena secara langsung banyak menyentuh hajat hidup masyarakat luas5
. Terdapat sejumlah tuntutan merumuskan ulang jati diri hukum Islam yang
responsif terhadap lokalitas, nasionalitas, dan globalitas. Para intelektual
muslim transformatif menuntut reformulasi substansi hukum Islam dalam kerangka
hukum Nasional yang peka terhadap karakter keindonesiaan dan nilai-nilai etis-emansipatoris
global, seperti hak asasi manusia (HAM), demokrasi, pluralisme, dan keadilan
gender. Era global yang menembus batas-batas (borders) identitas nasional,
meniscayakan identitas hukum (keluarga) yang humanis dan demokratis lintas
agama, ideologi, ras, dan gender. 5Berdasarkan penelitian Tahir Mahmood, ada
minimal tiga belas isu krusial hukum keluarga yang harus diperbaharui, yakni:
batas usia minimal perkawinan, peran wali dalam perkawinan, pencatatan
perkawinan, kemampuan ekonomi dalam perkawinan, poligami, nafkah keluarga,
pembatasan hak cerai, hak dan kewajiban suami istri setelah perceraian,
kehamilan dan implikasinya, hak ijbar orang tua, pembagian dan jumlah hak
waris, wasiat wajibah dan wakaf. Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries
(New Delhi, Time Press, 1987), h. 11-12, dalam Siti Musdah Mulia, “Pembaharuan
Hukum Keluarga Islam di Indonesia”, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF
(Ed.), Islam, Negara & Civil Society (Jakarta: Paramadina Mulya, 2005), h.
304. 4 Dalam dekade terakhir, teori eklektisisme Azizy menjadi rujukan utama
akademisi dan praktisi hukum Islam di Indonesia dalam melihat relasi hukum
Islam, hukum Barat, dan hukum Adat dalam sistem hukum Nasional. Dalam puralisme
hukum ini, teori Azizy seolah menjadi pukulan kuat bagi sisa-sisa nalar dan
sistem hukum kolonial yang meminggirkan hukum Islam. Sekaligus memunculkan
euforia pengembangan hukum Islam dalam konteks kontestasi hukum positif di
Indenesia. Peneliti coba memahami dan menganalisa keunikan pemikiran Qodri Azizy
yang memiliki kemampuan berpikir kreatif. Hal itu tampak dalam gagasan yang
relatif orisinal yang diformulasikan dalam bentuk konsep dasar, epistemologi,
dan paradigma, serta latar historis pemikiran hukum Islam pada umumnya. Azizy
mengusung tema “Eklektisisme Hukum Nasional” dalam melakukan kritik
kolonialisme dalam diskursus hukum keluarga dan transformasi Peradilan Agama.
Sebagaimana fikih sosial yang melakukan shifting paradigm dari fikih sebagai
paradigma “kebenaran ortodoksi”, menjadi paradigma “pemaknaan sosial” (konteks
pasca kolonial), yang bukan lagi hitam-putih memandang dan menundukkan
realitas, namun memperlihatkan watak yang bernuansa dalam menyikapi realitas,
serta menjadi counter discourse6 dalam belantara politik (hukum) representasi kekuasaan
(pasca kolonial). Penelitian ini berusaha mengonstruksi pemahaman terpadu
perihal latar belakang, substansi makna, paradigma, tawaran metode, dan
resistensi Azizy dalam melawan wacana kolonial dalam perumusan jati diri hukum
6Hairus Salim HS dan Nurrudin Amin, “Ijtihad dalam Tindakan” (Pengantar), dalam
Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, Cet. 6 (Yogyakarta: LKiS, 2007), h. vii. 5
Islam Indonesia, serta kontestasi hukum Islam dalam pluralisme hukum Nasional.
Selain, peneliti melakukan analisis kritis dari konstruksi pemikiran utama
Azizy tersebut jika dilihat dari perspektif pluralisme hukum „baru‟.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang maslah di atas,
rumusan masalah penelitian ini yakni: 1. Bagaimana resistensi Qodri Azizy
terhadap wacana kolonial dalam hukum Islam Indonesia? 2. Bagaimana kontestasi
pluralisme hukum Nasional dalam pemikiran hukum Islam Qodri Azizy? 3. Bagaimana
tinjauan kritis pemikiran hukum Islam Qodri Azizy dan proyeksi metodologi yang
dapat dibangun jika dihubungkan dengan pengembangan hukum Nasional? C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini yakni: 1.
Menganalisis resistensi Qodri Azizy terhadap wacana kolonial dalam hukum Islam
Indonesia. 2. Menganalisis kontestasi pluralisme hukum Nasional dalam pemikiran
hukum Islam Qodri Azizy. 3. Menganalisis secara kritis pemikiran hukum Islam
Qodri Azizy dan memproyeksikan metodologi yang dapat dibangun jika dihubungkan
dengan pengembangan hukum Nasional. 6 D. Manfaat Penelitian Secara teoritis,
sejumlah hasil temuan dalam penelitian ini diharapkan bisa memberikan pemahaman
baru yang lebih tepat dan bisa menjadi pijakan bagi penelitian selanjutnya,
terkait diskursus kolonialisme hukum Islam beserta resistensi dan imbas
kontestasi pluralisme hukum Nasional. Riset ini diharapkan juga memiliki
kontribusi metodologis dalam penelitian hukum Islam dalam sistem hukum
Nasional, terutama memperkaya pendekatan dalam meneliti sejarah sosial hukum
Islam Indonesia dengan analisa PosKolonial. Secara praktis, sejumlah hasil
temuan dalam penelitian ini dapat dijadikan manual rujukan dalam memahami dan
mengritisi sejarah sosial pemikiran hukum Islam pasca kolonial. Kondisi hukum
Islam pasca kolonial dapat diproyeksikan dalam diskursus metodologis dan
dipahami untuk selanjutnya dapat diambil kebijakan pembaruan hukum Islam dalam
kerangka hukum Nasional yang lebih berimbang dan responsif di masa depan
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Hukum Bisnis Syariah" : Fikih pasca kolonial: Resistensi dan kontestasi pluralisme hukum Nasional dalam pemikiran hukum Islam Qodri Azizy." Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
No comments:
Post a Comment