Abstract
INDONESIA:
Pengadilan Agama merupakan salah satu lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman yang bertugas menerima, memeriksa dan memutuskan perkara-perkara perdata yang diajukan ke Pengadilan. Demi kelancaran proses persidangan kehadiran dari para pihak yang berperkara sangatlah penting agar dalam memutuskan perkara yang disidang Hakim dapat mendengarkan kesaksian dari kedua belah pihak, sehingga putusanya tidak berat sebelah dan bisa diterimah oleh penggugat maupun tergugat. Berdasarkan Pasal 103 Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 yang bertugas untuk memanggil para pihak yang berperkara untuk hadir didepan persidangan adalah Juru Sita/ Juru Sita Pengganti.
Fokus dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana aplikasi peran Juru Sita Pengadilan Agama Bangil. Hal ini bertujuan agar mengetahui peran dari Juru Sita ketika menyampaikan panggilan kepada para tergugat kasus perceraian. Fokus penelitian selanjutnya, mengapa tergugat mengabaikan panggilan persidangan di Pengadilan Agama Bangil. Hal ini bertujuan agar mengetahui alasan kenapa tergugat mengabaikan panggilan dari Pengadilan Agama Bangil.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis empiris. Bahan hukumnya berupa bahan hukum primer yaitu hasil wawancara lansung dengan beberapa informan yaitu, panitera, juru sita dan tergugat. Sedangkan bahan hukum sekunder berupa dokumen, foto, dan buku-buku penunjang lainya. Analisis yang digunakan adalah deskriptif kualitatif, yang menguraikan dengan secara jelas dan ringkas tentang peran juru sita Pengadilan Agama Bangil dan alasan tergugat mengabaikan panggilan persidangan.
Hasil penelitian yang diperoleh adalah pertama upaya yang dilakukan Juru Sita Pengadilan Agama Bangil agar tergugat yang dipanggil mau hadir di persidangan adalah dengan melakukan komunikasi yang baik tanpa mengungkit hal-hal yang dirasa bisa membuat tergugat marah, Juru Sita memberikan penjelasan jika dirasa tergugat tidak faham isi surat panggilan dan Juru Sita memberikan arahan serta pemahaman kepada tergugat tentang pentingnya hadir di persidangan. Kedua adalah ditemukan beberapa hal yang melatar belakangi tergugat mengabaikan panggilan di persidangan, yaitu, tergugat sudah merasa malas untuk mengurus perkaranya, waktu sidang berbenturan dengan waktu kerja tergugat, tergugat sangat kecewa dengan sikap penggugat yang tidak berpikir panjang, dan yang terakhir tergugat merasa takut untuk hadir di pengadilan.
ENGLISH:
The Islamic Court is one of the implementing agencies of the judicial authorities in charge of receiving, examining and deciding civil cases filed with the Court. For the smooth process of the trial, the presence of the litigants is crucial for deciding cases in which trial judges may hear testimony from both sides, so that the decision not rated bias and can be accepted by the plaintiff or defendant. Pursuant to Article 103 of Law No. 50 In 2009 the duty to summon the litigants to appear before the court is Bailiffs / Substitute Bailiffs.
The research focus is to determine how the application role BangilThe Islamic Court Bailiffs. It aims to determine the role of Bailiffs when delivering the call to the defendant a divorce case. The future researchfocus, why the defendant ignores calls in The Islamic CourtBangil trial. It aims to find out the reasons why the defendant ignores the call of The Islamic Courts Bangil.
The type research used in this study is empirical jurisdiction. Legal materials in the form of primary legal materials is the result of direct interviews with several informants, clerks, bailiffs and defendant. While the secondary legal materials include documents, photographs and other supporting books. The analysis used is descriptive qualitative, which describe clearly and concisely about the role of The Islamic Court bailiff Bangil defendant ignores the call and the reason the trial.
The results obtained by researchers is the first effort made The Islamic CourtBangil Bailiffs to a defendant who would be called to appear in court is to do a good communication without bring up the things that could make the defendant felt angry and give direction to the defendant as well as an understanding of the importance of attendance in the trial. The second was found a few things that the background defendants ignore the call at the trial, that is, the defendant has been unintended to deal with the case, the court day is clash with defendant working time, defendant is really disappointed with the short thought of the judge, defendant is frightened to present in the court.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Peradilan Agama adalah salah satu lembaga
pelaksana kekuasaan kehakiman yang harus menempatkan dirinya sebagai lembaga
peradilan yang sesungguhnya (court of law) yang disegani dan dihormati serta
memiliki otoritas dan kewenangan yang tinggi. Peradilan Agama sendiri adalah
terjemahan dari bahasa Belanda yaitu godsdienstige rechtspraak. Kata
godsdienstige berarti ibadah atau agama, adapun kata rechtspraak berarti
peradilan. Dalam Perundangan-undangan Belanda istilah godsdienstige rechtspraak
dipakai sebagai pemisah dari Peradilan Agama ke Peradilan Umum yang lebih
bersifat keduniawian atau dikenal dengan istilah wereldlijke rechtpraak.1 Keberadaan
Peradilan Agama sendiri telah diakui jauh sebelum Negara Republik Indonesia ini
memploklamirkan diri sebagai bangsa yang merdeka, meskipun sempat mengalami
masa-masa pasang surut baik itu dari segi penamaan, status, kedudukan maupun
kewenanganya. Mengutip pernyataan Kurt A. Raaflaub dalam tulisanya polis and
political thought ia berkata; adanya korupsi dan ketidakadilan pemimpin/
pemerintah, akan berakibat pada munculnya keburukan bagi seluruh wilayah serta
penderitaan bagi rakyatnya.2 Pernyataan tersebut menggambarkan betapa
pentingnya peran dan eksistensi dari suatu lembaga peradilan dalam menegakkan
keadilan, hal ini tergambarkan oleh banyaknya realita yang masih menunjukan
bahwa keadilan hanya dinikmati dan dimiliki oleh pemimpin. Kepastian hukum
menjadi suatu hal yang sangat sulit diperoleh oleh rakyat kecil. Kesejahteraan
menjadi jatah bagi orang-orang yang mampu secara materi dan dekat dengan para
penguasa, kesenjangan sosial jarak antara pencari keadilan bagi si kaya dan si
miskin sangatlah jauh. Tidak berlebihan jikalau pernyataan tersebut dijadikan
sebagai potret representasi Lembaga Peradilan Negara Republik Indonesia,
khususnya yang berkaitan dengan permasalahan hukum dan peradilan. Eksistensi
dari sebuah lembaga Peradilan sangat dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia, tak
terkecuali bagi kalangan pemeluk agama mayoritas di Negara ini, yaitu kaum
muslim. Perbandingan antara jumlah pemeluk 1 Zaini Ahmad Noeh dan Abdul Basit
Adnan, “Sejarah Singkat Pengadilan Agama Islam di Indonesia”, (Surabaya: Bina
Ilmu,1980), h. 15. 2 Dr. Jaenal Aripin, MA. “Peradilan Agama dalam bingkai
Reformasi Hukum di Indonesia”, (Jakarta: Kencana Predana Media Group-2008)”, h.
3. Agama Islam dengan agama lainya sangatlah jauh, permasalahan yang kian
banyak dan makin kompleks menjadikan kaum muslim membutuhan lembaga peradilan
khusus bagi kaum muslim, yang mana lembaga peradilan tersebut khusus menangani
permasalahan perdata kaum muslim dan berasaskan kepada Al-qur’an dan Al-hadits.
Hal ini karena ia tidak hanya berfungsi sebagai “pedang” melainkan juga sebagai
medan akhir dalam menyelesaikan proses sengketa yang terjadi pada masyarakat
muslim. Disamping itu, hal tersebut juga berfungsi sebagai penjaga eksistensi
dari keberlansungan penegakkan Hukum Islam di Indonesia. Keberadaanya merupakan
sebuah comditio sine qua non dan melekat di tengah-tengah eksistensi yang
berbanding lurus dengan masyarakat muslim itu sendiri. Pada Pasal 18
Undang-Undang No.48 Tahun 2009 jo Undang-Undang No.14 Tahun 1970 tentang
kekuasaan kehakiman yang mana sekarang ditambah lagi dengan adanya Mahkamah
Konstitusi di dalamnya. Undang- Undang di atas menyebutkan bahwa kekuasaan
kehakiman yang dilakukan oleh pengadilan mempunyai ruang lingkup maing-masing,
terdiri dari: 1. Peradilan Umum; 3 2. Peradilan Agama; 3. Peradilan Militer; 4.
Peradilan Tata Usaha Negara; 5. Peradilan Mahkamah Konstitusi.
3Alimuddin,“Memperkuat peran Jurusita/Jurusita pengganti pada Pengadilan
Agama”, http://www.badilag.net/data/Artikel/Memperkuat Peran Jurusita.pdf.
diakses tanggal 27 Januari 2014 Peradilan Agama merupakan salah satu literature
resmi diantara Lembaga Peradilan atau Kekuasaan Kehakiman lainya. Peradilan
Agama adalah salah satu peradilan khusus di Indonesia. Dua peradilan khusus
lainya adalah Peradilan Militer dan Peradilan Tata usaha Negara. Dikatakan
sebagai peradilan khusus karena Peradilan Agama mengadili perkara-perkara
tertentu. Dalam hal ini wewenang Peradilan Agama hanya di bidang perdata saja
dan tidak bisa menangani perkara di bidang pidana dan hanya berlaku bagi
kalangan penganut agama islam.4 Masing-masing pada setiap peradilan terdiri
dari tingkat pertama sampai tingkatan banding, yang mana semua tingkatan
peradilan tersebut berpuncak pada Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Jika
hal tersebut dijabarkan maka susunan badan-badan peradilan di Indonesia adalah
sebagai berikut: 1. Lingkungan Peradilan Umum adalah wilayah Pengadilan Negeri
(PN), Pengadilan Tinggi (PT), dan Mahkamah Agung (MA); 2. Lingkungan Peradilan
Agama adalah wilayah Pengadilan Agama (PA), Pengadilan Tinggi Agama (PTA) dan
Mahkamah Agung (MA); 3. Lingkungan Peradilan Militer adalah wilayah Mahkamah
Militer (MAHMIL), Mahkamah Militer Tinggi ( MAHMILTI), dan Mahkamah Militer
Agung (MAHMILGUNG); 4. Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara adalah wilayah
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
(PPTUN), dan Mahkamah Agung (MA); 4 A. Basiq Djalil, “Peradilan Agama di
Indonesia”, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 9. 5. Sedangkan Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili dalam hal sengketa yang berkaitan tentang konstitusi dan
Undang-Undang mulai tingkat pertama sampai tingkat akhir, dan keputusanya
bersifat final tidak ada lagi upaya banding setelahnya. Kemudian setelah
lahirnya Undang-Undang No.7 Tahun 1989 yang telah diubah dan ditambah dengan
Undang-Undang No.3 Tahun 2006. Lalu pada perubahan kedua di ubah menjadi
Undang-Undang No.50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama. Dengan demikian
lahirnya Undang-Undang tersebut membuat beberapa perubahan yang signifikan bagi
Peradilan Agama dan menjadikan kedudukanya semakin kuat dan betul-betul eksis.5
Hal itu ditandai dengan kewenanganya yang dapat mengeksekusi putusannya
sendiri. Hal tersebut mengandung arti yang cukup luas, yang mana aparatur
Pengadilan Agama yang meliputi para hakim, panitera dan juru sita dituntut
untuk bekerja secara sigap dengan profesionalisme yang tinggi dalam menjalankan
tugastugas dan wewenangnya agar tercipta sebuah lembaga peradilan yang bersih,
jujur dan adil dalam memberikan sebuah putusan. Agar tercipta peradilan yang
baik, adil dan cepat Pengadilan Agama harus meningkatkan kualitas semua jajaran
aparatnya sehingga dalam melaksanakan tugas-tugasnya dapat melaksanakan dengan
hukum acara yang baik dan benar, hal ini sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang
berlaku atau telah ditetapkan. Salah satu unsur yang harus dilakukan dalam
menjalankan hukum acara adalah pemanggilan para pihak-pihak yang berperkara
untuk 5 R. Wirjono Projodikoro, “Hukum Acara Perdata di Indonesia” (Bandung:
Sumur Bandung, 1992), h. 8 menghadap di persidangan pada hari, tanggal dan jam
yang telah di tentukan oleh Ketua Majelis Hakim yang menangani perkara
tersebut. Sesuai dalam Undang-Undang No.50 Tahun 2009 jo Undang-Undang No.3
tahun 2006 jo Undang-Undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Tugas dalam
melaksanakan pemanggilan adalah bagian tugas seorang juru sita, bahwa hal
tersebut harus dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab secara patut dan
sah. Surat untuk melakukan suatu panggilan biasa disebut dengan relaas, yang mana
di dalam Hukum Acara Perdata relaas biasa disebut sebagai akte autentik (Pasal
285 RBg)6 . Dengan keabsahan dan kepatutan dalam pelaksanaan pemanggilan perlu
untuk dijalankan dengan baik dan benar sesuai dengan aturan-aturan yang telah
ditetapkan.7 Juru sita mempunyai tugas dan peran yang tidak kalah penting
dengan pejabat lainya, hal itu dikarenakan keberadaannya diperlukan sejak
sebelum dimulainya persidangan hingga pelaksanaan putusan. Suatu perkara yang
diproses di pengadilan tidak mungkin dapat berjalan dengan lancar dan sah
menurut hukum tanpa peran dan bantuan tugas di bidang kejurusitaan. Dalam
menangani proses perkara yang masuk seorang hakim tidak mungkin dapat
menyelesaikan perkara tersebut tanpa dukungan juru sita, begitu juga sebaliknya
juru sita juga tidak mungkin bertugas tanpa perintah dari hakim. Berdasarkan
Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor KMA/055/SK/X/1996 tentang tugas dan
tanggung jawab serta tata kerja 6 Pasal 285Rbg 7 Syamsir Suleman, “Tata cara
pemanggilan para pihak”, http://www.ms-aceh.go.id/bimtek-
diskusi/materi-materi-diskusi/718-tata-cara-pemanggilan-para-pihak.html.,
diakses pada tanggal 29 Januari 2014 jurusita pada Pengadilan Negeri dan
Pengadilan Agama, dalam Pasal 5 diatur juru sita mempunyai tugas untuk melakukan
pemanggilan, melakukan tugas pelaksanaan putusan, membuat berita acara
pelaksanaan putusan yang salinan resminya disampaikan kepada pihak-pihak yang
berkepentingan. Namun dalam pembangunanya, sebuah hukum tidak hanya lahir dari
pembentuk Undang-Undang saja, tetapi praktik peradilan sangat besar peranannya
untuk pembangunan hukum. Bahkan, pembaharuan sebuah hukum kebanyakan lahir dan
diciptakan oleh sebuah praktik peradilan. Oleh karena itu pemahaman dan
penguasaan di bidang teknis sebuah peradilan sangatlah penting dan harus
dikuasai oleh para pejabat peradilan, termasuk juru sita, dan bagi para pejabat
peradilan penguasaan hukum acara dan bidang teknis peradilan merupakan pegangan
pokok atau aturan permainan sehari-hari untuk memeriksa, mengadili serta menyelesaikan
suatu perkara. Hukum acara dan teknis peradilan tidak hanya penting di dalam
praktik peradilan saja, tetapi juga mempunyai sebuah pengaruh yang besar di
masyarakat baik praktik di dalam maupun di luar pengadilan. Tidak hanya
aparatur pengadilan saja yang wajib bersikap profesional, masyarakat yang
berkedudukan sebagai subjek hukum pun berkewajiban bersikap profesional ketika
menghadapi sebuah persoalan hukum, menurut Algra yang dimaksud subjek hukum
adalah setiap orang yang mempunyai hak dan kewajiban, jadi mereka mempunyai
wewenang hukum (rechtsbvoegheid). Sedangkan pengertian wewenang hukum
(rechtsbvoegheid) menurut Algra yaitu; kewenangan untuk mempunyai hak dan
kewajiban untuk menjadi subjek dari hak-hak8 . Tetapi realita di lapangan
berbeda dan seringkali kontra dengan hukum yang berlaku, hal ini terbukti
dengan adanya temuan bahwa para tergugat yang terpanggil khususnya dalam kasus
gugat cerai di Pengadilan Agama Bangil seringkali tidak hadir pada saat
persidangan. Padahal dari pihak Pengadilan Agama Bangil sendiri sudah mengutus
juru sita untuk menyampaikan surat panggilan kepada yang bersangkutan, tapi
realita yang ditemukan selama ini kontradiktif dengan harapan, masih saja
banyak para tergugat kasus perceraian yang tidak hadir saat persidangan,
padahal dari apa yang mereka perbuat dapat menimbulkan akibat dan konsekuensi
hukum jika mereka mangkir dari panggilan. Berangkat dari realita diatas,
peneliti tidak hanya sekedar ingin tahu tapi juga bermaksud menjelaskan tentang
apa tugas dari juru sita itu sendiri serta penjelasan dasar dari pengaturannya
atau pasal-pasalnya. Penulis ingin lebih menekankan pada pokok permasalahan dan
penemuan aspek-aspek di lapangan terkait masih banyaknya para tergugat yang
tidak hadir di depan persidangan, serta ingin mengangkat penyebab para tergugat
mengabaikan panggilan untuk hadir di persidangan. Hal ini menimbulkan tanda
tanya terkait kinerja seorang juru sita sewaktu melaksanakan tugasnya di
lapangan. Karena praktik kejurusitaan sewaktu di lapangan harus di laksanakan
secara patut dan sah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada. Selama
ini praktik juru sita di lapangan acap kali masih jauh dari harapan terutama
bagi para pihak-pihak yang berperkara. Padahal semua prosedur telah dilakukan
oleh 8 Salim HS, S.H., M.S “Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW)”, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2006), h. 23 pihak yang berperkara, mulai mendaftar, membayar
uang panjar, melengkapi administrasi dengan membawah documen-dokumen yang
diperluhkan hingga menunggu hari persidangan yang telah di tetapkan. Tetapi
realitanya masih banyak dijumpai para tergugat yang tidak hadir di pesidangan.
Padahal dalam Pasal 103 Undang-Undang No.50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama
dijelaskan bahwa tugas melaksanakan pemanggilan bagi para tergugat adalah
bagian dari tugas juru sita yang mana dalam melaksanakan tugas pemanggilan juru
sita dituntut untuk melaksanakanya dengan patut dan sah serta penuh dengan rasa
tanggung jawab. Berangkat dari paparan realita di atas peneliti bermaksud
mengangkat kinerja juru sita sewaktu melaksanakan tugasnya di lapangan serta
penyebab ketidakhadiran tergugat di persidangan khususnya dalam konteks
yuridiksi Pengadilan Agama Bangil Kabupaten Pasuruan. Dari penelitian ini
diharapkan akan ditemukan upaya dari kinerja juru sita agar tergugat hadir di
persidangan dan penyebab yang menjadi alasan mengapa para tergugat mengabaikan
panggilan yang dilayangkan Pengadilan Agama Bangil lewat juru sitanya.
Signifikasi dari penelitian ini adalah peran yang akan dilakukan oleh peneliti
terkait masih banyaknya tergugat yang mengabaikan panggilan di persidangan,
bagaimana pemahaman tergugat tentang taat hukum dan pentingnya hadir di depan
persidangan. Oleh karenanya penelitian ini diberi judul; “Peran juru sita dalam
upaya menghadirkan tergugat kasus perceraian di Pengadilan Agama Bangil
Kabupaten Pasuruan”. Sebagai objek dari penelitian ini tentunya peneliti
memilih juru sita Pengadilan Agama Bangil dan para tergugat yang pernah
berperkara di Pengadilan Agama Bangil dan diputus secara verstek serta memiliki
keputusan dengan kekuatan hukum tetap. Peneliti memilih Kecamatan Bangil
sebagai tempat penelitian karena secara waktu dinilai lebih efisien serta
didukung dengan tempat yang strategis dan kondusif serta masyarakat yang sangat
ramah, tebuka dan kental nuansa agamis. B. Rumusan Masalah Dari paparan data
diatas, maka peneliti mengambil rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana
aplikasi peran juru sita Pengadilan Agama Bangil dalam upaya menghadirkan
tergugat kasus perceraian? 2. Mengapa para tergugat kasus perceraian
mengabaikan panggilan Pengadilan Agama Bangil? C. Batasan Masalah Adanya
batasan masalah dalam suatu penelitian sangatlah diperluhkan, karena hal ini
diperluhkan untuk memberi batasan pembahasan dalam penelitian tersebut,
sehingga pembahasanya akan lebih terfokus pada subtansi persoalan yang diteliti
dengan lebih spesifik dan hasil dari penelitian tersebut dapat terarah dengan
baik sesuai dengan ekspektasi. Oleh karena itu berdasarkan rumusan masalah di
atas penulis menyusun batasan masalah sebagai berikut ini: 1. Dalam penelitian
ini penulis membatasi aplikasi peran juru sita Pengadilan Agama Bangil dalam
upaya menghadirkan para tergugat kasus perceraian; 2. Ruang lingkup penelitian
ini akan membahas serta membatasi penelitian terkait masih banyaknya para
tergugat kasus perceraian yang mengabaikan panggilan di persidangan; 3. Objek
lokasi dari penelitian ini peneliti membatasi hanya di Kecamatan Bangil,
Kabupaten Pasuruan sebagai lokasi penelitian. D. Tujuan Penelitian Tujuan dari
penelitian ini adalah agar: 1. Untuk mengetahui aplikasi peran juru sita
sewaktu melaksanakan tugasnya; 2. Untuk mengetahui sebab-sebab mengapa masih
banyak para tergugat yang mengabaikan panggilan Pengadilan Agama Bangil. E.
Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan bisa memberikan
sumbangsih pemikiran bagi disiplin keilmuan yang secara umum dapat mencakup
kalangan akademisi dan masyarakat umum. Ada dua aspek manfaat dalam penelitian
ini: 1. Aspek teoritis, penelitian ini diharapkan mampu menambah khazanah
keilmuan dalam bidang hukum, khususnya dalam hal kejurusitaan, serta penelitian
ini di harapkan bisa menjadi acuan munculnya refrensi awal yang bisa melahirkan
teori-teori baru tentang kejurusitaan; 2. Aspek praktis, penelitian ini
diharapkan mampu memberikan pemahaman kepada kalangan akademisi dan khususnya
bagi masyarakat umum agar mengetahui dengan benar tugas dari juru sita di
lembaga peradilan serta bisa menjadi refrensi bagi masyarakat agar sadar hukum.
F. Sistematika Pembahasan Dari hasil paparan data di atas maka penulis membagi
skripsi ini menjadi lima bab agar dapat mempermudah pembaca memahami isi dari
pada skripsi tersebut. Secara garis besarnya kelima bab tersebut terdiri dari
Bab I Pendahuluan, Bab II Tinjauan Pustaka, Bab III Metode penelitian, Bab IV
Paparan dan Analisis Data dan Bab V Saran dan Penutup. Adapun sistematika
pembahasan sub bab tersebut sebagai berikut: Bab I: Yaitu berisi pendahuluan,
yang mana di sub ini segala permasalahan dan kendala yang ada di lapangan serta
alasan penelitian ini dilakukan dan pentingnya arti sebuah penelitian akan
dijelaskan secara global pada latar belakang. Dilatar belakang akan menyinggung
kasus-kasus yang akan diteliti secara umum terkait “Peran juru sita dalam upaya
menghadirkan tergugat kasus perceraian di Pengadilan Agama Bangil Kabupaten
Pasuruan”. Selanjutnya akan diteruskan oleh rumusan masalah yang akan
memberikan pertanyaan terkait dengan apa yang akan diteliti. Batasan masalah
yang mana memfokuskan pada obyek yang akan diteliti sehingga tidak keluar dari
pembahasan. Tujuan penelitian, tujuanya membahas factor-faktor dan kendala yang
menghambat kinerja dari obyek yang akan diteliti. Manfaat penelitian,
mengangkat judul yang akan dibahas agar mengetahui manfaat- manfaatnya dan
selanjutnya sistematika pembahahasan, membahas penulisan serta isi dari sub
bab. Bab II: Merupakan bab yang secara khusus membahas tentang tinjauan
pustaka. Pada bab ini juga akan membahas tentang penelitian terdahulu yang akan
dijadikan acuan sebagai pembahasan penulisan, serta membahas secara spesifik
tentang kajian-kajian teori lewat kepustakaan, termasuk di dalamnya terdapat
kerangka teori yang berhubungan dengan tema yang akan diangkat di dalam
penelitian. Bab II ini juga berperan penting sebagai acuan untuk menganalisis
data yang telah dikumpulkan sebagai proses seleksi penelitian. Diawal
pembasahan bab II ini akan memaparkan tentang penelitian terdahulu, kemudian
pembahasan selanjutnya memaparkan tentang “Peran juru sita dalam upaya menghadirkan
tergugat kasus perceraian di Pengadilan Agama Bangil Kabupaten Pasuruan”. Bab
III: Membahas tentang metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi,
yang mana di antara metode tersebut meliputi: jenis penelitian, lokasi
penelitian, pendekatan penelitian, sumber data, metode pengumpulan data serta
metode pengolahan dan analisis data. Bab IV: Di antara sub bab lainya bab ini
di nilai yang terpenting, karena bab ini secara khusus memaparkan hasil
penelitian dan analisis data, serta didukung dengan data-data yang valid yang
sudah dikumpulkan, kemudian diolah dalam bentuk sebuah analisis sehingga akan
menghasilkan sebuah temuan penelitian yang sangat baik dan akurat serta dapat
dipertanggung jawabkan. Bab V: Kesimpulan dan saran merupakan bab terakhir dari
penyusunan penelitian ini. Di bagian kesimpulan ditegaskan kembali poin-poin
penting dari penelitian ini sebagai jawaban dari rumusan masalah yang ada pada
bab I. Setelah kesimpulan telah dipaparkan kemudian dilanjutkan dengan memberi
kesempatan pada semua pihak yang telah membaca serta ikut berpartisipasi dalam
penyelesaian penulisan skripsi ini untuk memberikan saran-saran yang
konstruktif kepada semua pihak serta rekomendasi peneletian yang lebih baik
yang akan dikembangkan oleh peneliti selanjutnya.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi al-Ahwal al-Syakhshiyyah" : Peran juru sita dalam upaya menghadirkan tergugat kasus perceraian di Pengadilan Agama Bangil Kabupaten Pasuruan." Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment