Abstract
INDONESIA :
Problematika poligami sebenarnya bukan terkait hubungan antara suami dan istri saja, tetapi juga bagaimana anak tetap dapat mengembangkan potensinya. Akar dari munculnya persoalan anak kebanyakan adalah karena ketidakmampuan keluarga dalam membangun kebahagiaan dan kesejahteraan dalam kehidupannya. Sebagian persoalan anak memang tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab keluarga, tetapi juga pemerintah. Salah satu wujud komitmen pemerintah Indonesia mengeluarkan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Namun pada umumnya, persoalan perlindungan anak kurang dianggap penting dalam pembicaraan tentang poligami. Tetapi menurut Syahrur, poligami harus dikaitkan dengan persoalan perlindungan anak sebagaimana yang diamanatkan al-Qur’an.
Tujuan penelitian ini yang pertama adalah: 1) untuk mendeskripsikan perlindungan anak dalam perkawinan poligami menurut Muhammad Syahrur; 2) untuk mendeskripsikan perlindungan anak dalam perkawinan poligami menurut Muhammad Syahrur perspektif UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Penelitian ini tergolong penelitian pustaka. Dalam penelitian hukum, termasuk kategori penelitian yuridis normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach) yang menelaah undang-undang perlindungan anak yang berkaitan dengan isu hukum yang diteliti dan menelaah konsep yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa melalui teori hudûd Muhammad Syahrur, hudûd minimal poligami adalah satu istri tanpa memperdulikan perawan atau janda, sedangkan hudûd maksimalnya adalah empat istri dengan catatan istri kedua hingga keempat adalah janda cerai mati/hilang suaminya yang memiliki anak yatim. Jika dilihat dari perspektif UU No. 23 Tahun 2002, pemikiran Syahrur tersebut sejalan dengan apa yang diupayakan pemerintah Indonesia, yakni kewajiban untuk memelihara dan melindungi hak-hak anak meskipun dari bentuk dan perwujudannya berbeda. Selain itu, menurut peneliti perlu ditambahkan juga terkait persyaratan kumulatif yang terdapat dalam UU No. 1 Nomor 1974 tentang Perkawinan, harus ditambahkan poin-poin sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 2 huruf b dan d UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagai syarat seorang suami akan mengajukan permohonan poligami.
ENGLISH :
The problems of polygamy is not only due the relationship between husband and wife, but it also due to the development of children’s potential. The basic of children’s problem are mostly because of the incompetence of families in building happiness and prosperity in their life. It is not all of the children’s problems become the family’s responsibility, however, the government also the key roles in handling some of the children’s problems as committed on law Number 23 of 2002 concerning child protection. Yet, in the case of polygamy, the issue of child protection is considered as unimportant issue. In fact, according to Syahrur, polygamy must be related to the issue of child protection as commanded in the Qur’an.
The aims of this study are: 1) to describe the child protection in polygamy according to Muhammad Syahrur; 2) to describes child protection in polygamy based on Muhammad Syahrur’s perspective in which written in Law Number 23 of 2002 according Child Protection.
This research is library research. In the study of law this study is called juridicial research that is categorized into normative pr legal library research. The approach used in this study is a statute approach and conceptual approach where examines the law of child protection concerning the legal issues that are examined and revealed the concepts that focus on the views and doctrines developed in the law discipline.
Based on the theory of hudûd Muhammad Syahrur, the results of this study show that the minimum of hudûd in polygamy is one wife in which withouth thinking whether she is virgin or widow, while the maximum of hudûd is four wives with the notes that the second to fourth wife are the widow who divorce because of the dead or missing and they have an orphan. Based on the perspective of Law Number 23 of 2002, the Syahrur opinion is in line with what Indonesian government’s endeavor that is maintaining and protecting the rights of the child thought it is different from the form and its realization. In addition, according to the researchers, it needs to be enhanced in regard to the accumulative requrements contained in Law Number 1 of 1974 concerning Marriage where some points must be added as mentioned in article 2 letter b and d Law Number 23 of 2002 dealing Child Protection as the regulation of a husband who will concern in polygamy
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Masalah Permasalahan hukum keluarga dari zaman
jahiliyyah hingga sekarang masih menjadi topik yang penting dan menarik untuk
dikaji, baik dalam kaitannya dengan state law maupun perbedaan interpretasi
dalam memahami ayat al-Qur’an. Salah satu persoalan karena perbedaan memahami
ayat adalah permasalahan poligami. Jumhur ulama’ menganggap bahwa dalam surat
an-Nisâ ayat 2-3 adalah landasan bahwa poligami termasuk dalam kategori ibahah,
sedangkan sebagian kalangan modernis menganggap bahwa ayat tersebut bukan
merupakan ayat tentang pembolehan poligami, namun merupakan ayat transisi
(naqlah) sebagai penyempitan (tadyiq) dari tradisi poligami di masa jahiliyah
yang tidak terbatas.1 Banyak orang awam menyatakan bahwa poligami baru dikenal
pada masa Islam. Mereka beranggapan bahwa Islam-lah yang membawa ajaran tentang
poligami. Bahkan ada yang secara tegas menuduh Islam sebagai penyebab munculnya
poligami dalam sejarah manusia. Padahal poligami sudah dikenal jauh 1Atajul
Arifin, “Poligami dalam Prespektif Muhammad Syahrur”,
https://atajularifin.wordpress.com/2010/10/19/poligami-dalam-prespektif-muhammad-syahrur/,
diakses tanggal 27 Mei 2015. sebelum lahirnya Islam.2 Islam datang justru untuk
membatasi poligami yang ketika itu sangat lumrah. Menurut Yusuf Qardhawi
sebagaimana yang ditulis oleh A. Rodli Makmun bahwasanya pada masa pra-Islam,
hak mutlak lelaki dalam kaitannya dengan poligami juga ditemukan. Seorang suami
dibebaskan mempunyai istri tanpa pembatasan jumlah. Itupun dilakukan tanpa
syarat dan ikatan apapun. Poligami dapat dilakukan oleh semua suami, baik yang
mempunyai kemampuan secara materi atau tidak dan tanpa menghitung jumlah istri
yang dimilikinya.3 Inilah yang membuat masyarakat menjadi bingung dan simpang
siur mengenai poligami. Kasus poligami yang cukup menjadi sorotan media dan
perhatian publik adalah poligami yang dilakukan oleh Puspo Wardoyo, Parto,
Syekh Puji, AA Gym dan yang terakhir adalah praktik poligami yang dilakukan
oleh elite partai politik PKS yakni Anis Matta. Dalam pemberitaan itu
seolah-olah dikesankan bahwa poligami adalah perintah atau setidaknya anjuran
agama. Ada 2 bentuk kesalahpahaman masyarakat kita mengenai poligami. Pertama,
menganggap bahwa poligami adalah sunnah. Kedua, memandang bahwa poligami itu
boleh tanpa adanya penekanan pada syarat ketatnya. Kedua bentuk salah paham ini
berakar dari kekeliruan menangkap pesan ayat tentang poligami dan biografi
Rasulullah SAW.4 2Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2007), h. 44. 3A. Rodli Makmun, dkk., Poligami dalam
Tafsir Muhammad Syahrur (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2009), h. 33. 4Anshori
Fahmie, Siapa Bilang Poligami itu Sunnah? (Depok: Pustaka Iman, 2007), h. 14.
Sebelum membicarakan dalil kebolehan poligami dalam Islam, perlu dikemukakan
situasi sosial masyarakat ketika itu. Dalam tradisi Arab jahiliyyah,
pemeliharaan anak-anak yatim menjadi tanggung jawab walinya. Para wali berkuasa
penuh atas diri anak-anak yatim yang ada dalam perwaliannya, termasuk menguasai
harta-harta peninggalan orang tua mereka sampai mereka dewasa dan mengurus
hartanya sendiri. Dalam kenyataannya, banyak di antara para wali yang berlaku
tidak adil terhadap harta anak-anak yatim dan sering kali tercampur dengan
harta mereka. Demikian pula jika seorang laki-laki mengawini anak yatim
perempuan pada perkawinan poligami. Perilaku semacam inilah yang dikecam Allah
dan turunlah pentunjuk-Nya tentang pembatasan istri dalam poligami sekaligus
memberikan syarat bagi perkawinan poligami.5 Pembicaraan poligami selalu
mengacu pada ayat ke-3 QS. an-Nisâ’ [4]. Ayat ini merupakan satu-satunya ayat
yang menyebutkan tentang tema tersebut: Artinya: “Dan jika kamu khawatir takut
tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu
menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau
empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka
(nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya yang kamu miliki. Yang demikian itu
lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim. 6 (QS. an-Nisâ [4]: 3) 5Anita
Rahman, “Perkawinan Poligami Ditinjau dari Perspektif Agama dan Perempuan”,
Wacana Poligami di Indonesia (kumpulan tulisan) (Bandung: PT Mizan Pustaka,
2005), h. 79. 6QS. an-Nisâ [4]: 3. Lihat juga di Departemen Agama RI, al-Qur’an
dan Terjemahnya, (Surabaya: Pustaka Agung Harapan, 2006), h. 99. Ayat ini
diturunkan di Madinah setelah Perang Uhud. Dalam perang Uhud ini, karena
kecerobohan dan ketidakdisiplinan, kaum muslim mengalami kekalahan besar.
Banyak sahabat yang meninggal dalam perang itu. Dampak dari kekalahan itu
adalah banyak terdapat janda dan anak yatim dalam masyarakat muslim Madinah.
Oleh karena itu, tanggung jawab sosial terhadap anak yatim itu dilimpahkan
kepada para walinya. Banyak di antara anak-anak yatim itu baik laki-laki maupun
perempuan mewarisi harta yang banyak yang ditinggalkan oleh bapak mereka. Latar
belakang turunnya ayat ini berkenaan dengan perbuatan para wali yang tidak adil
terhadap anak yatim yang berada dalam perlindungan mereka.7 Dapat disimpulkan
bahwa ayat ini sebenarnya berisi tentang pemeliharaan anak yatim. Senada dengan
itu, menurut Asghar Ali Engineer bahwa menurut interpretasi ayat ini, al-Qur’an
membatasi jumlah istri menjadi empat (sehingga orang tersebut tidak berusaha
menyalahgunakan harta anak yatim yang di bawah perwaliannya untuk membiayai
jumlah istrinya yang banyak), dan ketika tidak dapat memelihara empat istri ini
dengan adil maka dianjurkan menikah hanya dengan satu orang istri saja.8
Menurut Quraish Shihab, QS. an-Nisâ’ [4] ayat 3 tersebut sama sekali bukan
anjuran apalagi perintah poligami, tetapi ia hanya berbicara tentang bolehnya
poligami. Poligami dalam ayat itu merupakan pintu kecil yang hanya dapat
dilalui oleh siapa yang sangat membutuhkan dan dengan syarat yang tidak 7Anita
Rahman, “Perkawinan Poligami...”, h. 80. 8Asghar Ali Engineer, The Qur’an Women
and Modern Society, terj. Agus Nuryanto, Pembebasan Perempuan (Yogyakarta:
LKis, 2003), h. 124 . ringan. Selain itu, kalaupun Nabi SAW dalam 8 tahun
terakhir hidupnya berpoligami, tidak lantas bisa dikatakan bahwa berpoligami
itu Sunnah Nabi. Hal ini dikarenakan tidak semua aturan yang berlaku buat Nabi
SAW berlaku pula pada umatnya. Banyak ketentuan khusus buat Nabi yang tidak
berlaku pada umatnya, barangkali sebagai penghormatan Allah kepada beliau.9
Namun karena Islam turun pada masyarakat yang tidak menghargai perempuan dan
seorang laki-lakinya dapat menikahi sepuluh atau dua puluh perempuan, maka
syari’at Islam membolehkan poligami secara terbatas, dan tidak secara langsung
menganjurkan monogami karena kondisi masyarakat yang tidak memungkinkan.
Perempuan ketika itu di samping jumlahnya lebih banyak, adalah karena kaum
laki-laki banyak yang mati dalam peperangan dan juga mereka sangat memerlukan
perlindungan dan penjagaan dari berbagai gangguan, sehingga adanya poligami
adalah lebih baik untuk saat itu sebagai aturan transisional.10 Tidak bisa
dipungkiri bahwa al-Qur’an memang memperbolehkan poligami. Meskipun demikian
al-Qur’an menekankan syarat yang berat dalam berpoligami yaitu adil. Sedemikian
ditekankan sehingga dalam ayat tersebut terdapat kata khiftum (takut) karena
hampir mustahilnya bisa berlaku adil di antara para istri. Allah berfirman
dalam QS. an-Nisâ’ [4]: 129, yang artinya: “Dan kamu tidak akan dapat berlaku
adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian,
karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga
kamu biarkan yang lain 9Anshori Fahmie, Siapa Bilang.., h. 18. 10Nurjannah
Ismail, Perempuan dalam Pasungan (Yogyakarta: Lkis, 2003), h. 57.
terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari
kecurangan), maka sungguh Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang”.11 Begitu
beratnya syarat berlaku adil sehingga wajar bila ada sebagian ulama dan tokoh
pemikir Islam yang tidak membolehkan poligami hanya kecuali dalam keadaan
darurat. Mengutip dari salah satu cendekiawan muslim yang memperjuangkan hak-hak
wanita, Asghar Ali Engineer tentang poligami. Dia berpendapat bahwa poligami
dibolehkan hanya dalam kondisi tertentu dengan persyaratan ketat berupa
keadilan bagi semua istri. Pria tidak bisa begitu saja mengambil lebih dari
satu istri hanya karena dia menyukai wanita-wanita lain atau jatuh cinta karena
kecantikannya.12 Berbeda dengan realita di masyarakat sekarang ini, jarang
sekali pelaku poligami karena sebab yang dibenarkan syar’i. Yang terjadi selama
ini karena kepentingan libido saja. Dalam melakukan poligami, biasanya orang
berlindung dengan QS. an-Nisâ’[4]: 3, dan bukti sejarah bahwa Rasulullah
menikah lebih dari satu istri. Dan bahkan ada yang lebih ekstrim dengan alasan
sunnah Nabi. Ada juga praktik poligami di mana suami menikah lagi tanpa memberikan
nafkah untuk istrinya dan tidak bertanggung jawab atas kehidupan anak-anaknya.
Dikutip dari kisah pilu di Bali, ada seorang ibu rumah tangga di Bali bersama 2
orang anaknya mengaku tidak mendapat nafkah dari suaminya selama 12 tahun dan
dimadu. Selain tidak menafkahi dirinya selaku istri yang sah, suaminya juga
tidak bertanggung jawab atas biaya hidup, kesehatan, dan 11QS. an-Nisâ’ [4]:
129. Lihat juga di Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 130.
12Abu Fikri, Poligami yang tak melukai hati? (Bandung: Mizania, 2007), h. 69.
pendidikan kedua anak mereka dan memadunya dengan perempuan lain tanpa
persetujuan dirinya.13 Banyaknya kasus poligami, dapat dipastikan bahwa setiap
poligami dapat mengundang reaksi dari pihak lain, terutama keluarga. Reaksi
tersebut bisa saja berimplikasi buruk, bisa juga tidak menjadi masalah. Apabila
sejak pertama kita menabur kebaikan, komunikasi dan sosialisasinya baik,
tanggung jawab penuh tanpa ada sesuatu yang merasa kehilangan, maka efek yang
muncul juga bersifat kebaikan. Namun banyak poligami yang mempunyai efek tidak
baik, tentu ini semua berawal dari sikap dan tanggung jawab suami.14 Salah satu
akibat poligami adalah adanya kebencian. Pada dasarnya tidak ada anak yang
benci kepada orang tua, demikian juga orang tua kepada anak. Perubahan itu
mulai muncul ketika anak merasa dirinya dan ibunya dinodai kecintaan kepada
ayahnya dengan poligami. Walaupun mereka sangat memahami poligami dibolehkan,
tetapi tidak mau menerima hal itu karena sangat menyakiti. Apalagi ditambah
orang tua yang akhirnya tidak adil. Persoalan yang kemudian muncul adalah
krisis kepercayaan dari keluarga, anak dan istri. Apalagi bila poligami
tersebut dilakukan secara sembunyi dari keluarga yang ada. Selain dampak
tersebut, ternyata poligami begitu besar efeknya terhadap anak. Dengan adanya
seorang ayah yang berpoligami membuat .
keluarga berantakan, walaupun tidak sampai bercerai. Tapi kemudian timbul efek
negatif, anak-anak menjadi trauma terhadap perkawinan dan pria. Selain trauma,
anak dari korban terjadinya poligami menjadi terlantar apabila ayahnya tidak
bertanggung jawab terhadap dirinya. Anak adalah tunas, potensi, dan generasi
penerus cita-cita bangsa, memiliki peran strategis dalam menjamin eksistensi
bangsa dan negara di masa mendatang. Agar mereka kelak mampu memikul tanggung
jawab itu, maka mereka perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk
tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental, sosial, maupun
spiritual. Mereka perlu mendapatkan hak-haknya, perlu dilindungi dan
disejahterakan.15 Perlindungan anak di sini sangat ditekankan karena mengingat
bahwa anak adalah anugerah Allah yang diberikan dari sebuah perkawinan. Tidak
boleh seorang anak menanggung beban akibat perkawinan orang tuanya yang
bermasalah yang dalam hal ini adalah keluarga yang melakukan poligami. Dari hal
inilah, prinsip kepentingan terbaik untuk anaklah yang harus dijadikan
pertimbangan paling utama. Karena keluarga adalah unit terkecil dalam
masyarakat yang bertanggung jawab untuk menanamkan nilai-nilai dasar pada anak
sekaligus menjadi tempat bagi anak untuk mendapatkan curahan kasih sayang dan
perlindungan. Beberapa kasus kenakalan remaja, perdagangan anak, kekerasan
terhadap anak dan sebagainya merupakan salah satu implikasi dari tidak
ditemukannya kebahagiaan dalam keluarga. 15Abu Huraerah, Child Abuse (kekerasan
terhadap anak) (Bandung: Nuansa, 2007), h. 11. Akar dari munculnya
persoalan-persoalan anak kebanyakan adalah karena ketidakmampuan keluarga dalam
membangun kebahagiaan dan kesejahteraan dalam kehidupannya. Oleh karena itu,
persoalan poligami sesungguhnya bukan terkait dengan hubungan antara suami dan
istri saja, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana anak tetap dapat
mengembangkan potensinya dalam kedewasaan dan kemandiriannya. Sebagian
persoalan anak memang tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab keluarga,
melainkan juga tanggung jawab pemerintah. Salah satu wujud komitmen pemerintah,
Indonesia telah mengeluarkan Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Undang-undang ini disahkan oleh pemerintah sebagai
perwujudan untuk melaksanakan pemenuhan, pemajuan, perlindungan hak anak bagi
seluruh anak Indonesia yang berlaku bagi semua jenis kelamin, ras, agama dan
etnis. Dalam Pasal 3 undang-undang tersebut dijelaskan bahwa perlindungan anak
adalah: “Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak
agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas,
berakhlak mulia, dan sejahtera”. 16 Seiring berjalannya waktu, pada
kenyataannya undang-undang tersebut dirasa belum dapat berjalan secara efektif
karena masih adanya tumpang tindih antar peraturan perundang-undangan sektoral
terkait dengan definisi anak, di sisi lain maraknya kejahatan terhadap anak di
tengah-tengah masyarakat, serta belum 16Lembaran Negara RI Tahun 2002 No. 109,
UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 3. terakomodirnya
perlindungan anak terhadap anak penyandang disabilitas. Sehingga berdasarkan
paradigma tersebut, maka Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak yang sudah berlaku kurang lebih 12 (dua belas) tahun akhirnya diubah
dengan Undang-undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang No.
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang lebih mempertegas tentang perlunya
pemberatan sanksi pidana dan denda baik bagi pelaku kejahatan maupun
penelantaran anak dan semacamnya terhadap anak. Dengan tanggung jawab yang
lebih besar, seorang poligan dihadapkan pada pilihan-pilihan: apakah dia mampu
mengayomi dan melindungi anak-anaknya sehingga persoalan-persoalan anak yang
dewasa ini mengkhawatirkan menjadi sedikit terselesaikan; ataukah dia mampu
melindungi anak-anaknya yang berarti ia telah mempertebal garis ketegasan akan
persoalan penelantaran anak.17 Pada umumnya, persoalan perlindungan anak
khususnya anak yatim kurang dianggap penting dalam pembicaraan-pembicaraan
tentang poligami. Poligami selalu diukur dari kemampuan pelaku dalam hal moril
(kasih sayang) dan atau materiil saja. Padahal jika melihat realita di
masyarakat, banyak dijumpai para poligan yang istri kedua atau ketiga dan atau
keempatnya terdiri dari perempuan yang masih perawan dan lebih muda bahkan
lebih cantik, tanpa lebih jauh memandang kepentingan dan kesejahteraan anak
yatim. Selain itu, poligami 17A. Rodli Makmun, dkk., Poligami..., h. 5.
dikatakan sebagai penindasan terhadap perempuan, pelanggaran terhadap Hak Asasi
Manusia yang tidak mengaitkan eksistensi anak yatim dalam konteks itu.18 Di
samping itu semua, ada salah seorang pemikir Islam yang mempunyai solusi
terkait poligami dan perlindungan anak yatim, yaitu Muhammad Syahrur yang
merupakan insinyur teknik sipil dengan spesialisasi mekanika dan bangunan
tanah, namun ia juga mempunyai minat besar terhadap filsafat dan fiqh lughah.
Bidang-bidang keilmuan tersebut kemudian banyak mendasari
pemikiranpemikirannya. Menurut Syahrur, poligami harus dikaitkan dengan
persoalan perlindungan anak yatim sebagaimana yang diamanatkan al-Qur’an.
Poligami menurutnya sahsah saja asalkan anak yatim terpenuhi kebutuhannya untuk
mencapai kebahagiaan dan kesejahteraannya. Oleh karena itu, ketika hendak
melakukan poligami, seorang poligan harus mengawini wanita yang berstatus janda
yang cerai mati dengan suaminya, atau cerai hidup, sebagai istri kedua, ketiga
atau keempatnya. Tetapi yang lebih penting adalah ketika janda-janda itu
dikawini, ia telah ditinggal mati oleh ayah kandungnya, sehingga ia menjadi
anak yatim.19 Di Indonesia, pemikiran Muhammad Syahrur sangat penting untuk
membuka pandangan dan pemikiran yang lebih luas bagi keluarga yang melakukan
poligami. Bagaimanapun juga, ketika seorang suami atau ayah melakukan poligami,
anaklah yang tetap menjadi korban dari hal itu. Sehingga dari salah satu 18A.
Rodli Makmun, dkk., Poligami..., h. 6. 19A. Rodli Makmun, dkk., Poligami..., h.
7. pemikiran Muhamamad Syahrur tersebut bisa jadi sejalan dengan upaya
pemerintah dalam melindungi hak-hak anak di Indonesia. B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat ditarik rumusan masalah sebagai
berikut: 1. Bagaimana perlindungan anak dalam perkawinan poligami menurut
Muhammad Syahrur? 2. Bagaimana perlindungan anak dalam perkawinan poligami
menurut Muhammad Syahrur perspektif Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak? C. Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini adalah
untuk menjelaskan perlindungan anak dalam perkawinan poligami menurut Muhammad
Syahrur perspektif Undangundang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk
mendeskripsikan perlindungan anak dalam perkawinan poligami menurut Muhammad
Syahrur. 2. Untuk mendeskripsikan perlindungan anak dalam perkawinan poligami
menurut Muhammad Syahrur perspektif Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak.
D. Manfaat Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian di atas
dapat ditarik manfaat penelitian sebagai berikut: 1. Secara Teoritis a. Dengan
hasil penelitian yang diperoleh diharapkan bisa menambah wawasan yang lebih
luas mengenai perlindungan anak dalam perkawinan poligami menurut Muhammad
Syahrur perspektif Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
b. Penelitian ini juga diharapkan bisa memberikan sumbangan ilmiah dalam
disiplin ilmu khususnya matakuliah Perkembangan Pemikiran Hukum Islam, Fiqh
Munakahat, Psikologi Keluarga, dan Sosiologi Hukum sehingga bisa memberikan
kontribusi ilmiah pada fakultas Syariah jurusan al-Ahwal al-Syakhshiyyah. 2.
Secara Praktis a. Bagi peneliti Penelitian ini digunakan untuk memenuhi
persyaratan dalam rangka menempuh studi akhir kesarjanaan (S1) di fakultas
Syariah jurusan al-Ahwal al-Syakhshiyyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.
Selain itu dengan penelitian ini diharapkan agar pengetahuan dan kemampuan
peneliti dapat bertambah sehingga dapat mengamalkan dan mengembangkannya di
tengah-tengah masyarakat. b. Bagi masyarakat Penelitian ini diharapkan agar
bisa menambah pemahaman dan memberikan gambaran mengenai perlindungan anak
dalam perkawinan poligami menurut Muhammad Syahrur perspektif Undang-undang No.
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, agar nantinya apabila melakukan
poligami memperhatikan perlindungan anak dan memberikan hak-hak anak
sebagaimana yang terdapat di dalam undang-undang tersebut.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Hukum Bisnis Syariah" : Perlindungan anak dalam perkawinan poligami menurut Muhammad Syahrur perspektif Undang-undang no. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak." Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
No comments:
Post a Comment