Abstract
INDONESIA:
Pernikahan poligami adalah ikatan antara beberapa orang seperti laki-laki memiliki istri lebih dari satu dalam satu waktu. Mayoritas pernikahan poligami dilakukan secara sirri karena banyak perempuan yang menolak adanya pernikahan poligami. Ketika hal itu terjadi, dapat dipastikan seorang istri pertama tidak mudah untuk menerima sehingga mengakibatkan dampak psikologis. Bukan hanya itu saja, mayoritas pernikahan poligami mengabaikan kesetaraan dan keadilan gender. Sehingga istri pertama tidak mendapatkan hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan. Dalam hal ini, seorang istri pertama membutuhkan sebuah penerimaan diri atau penyesuaian diri. Kontruks yang terkait dengan penyesuain diri adalah resiliensi. Resiliensi merupakan salah satu kekuatan yang dimiliki individu untuk bangkit kembali dari situasi yang menekan. Dengan faktor protektif, individu dapat mencegah faktor resiko yang terjadi dalam diri individu.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika resiliensi istri pertama yang di poligami oleh suami, yang mana pernikahan tersebut tanpa adanya izin atau tanpa sepengetahuan dari istri pertama. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan menggunakan perspektif feminis. Subjek dalam penelitian ini sebanyak dua orang dengan kriteria yang telah ditentukan.
Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan kedua subjek dalam mencapai suatu resiliensi. Hal ini di pengaruhi oleh berbagai macam seperti aspek-aspek resilien yang di miliki individu, dukungan sosial, pola pikir dan lain sebagainya. Pernikahan poligami yang di alami oleh kedua subjek tidak lepas dari suatu ketidakadilan, baik dalam hal waktu, materi, kasih sayang dan cinta. Bahkan kedua subjek mengalami suatu ketidakberdayaan dan ketidaksetaraan gender. Dimana hal itu terjadi ketika suami mengambil keputusan secara sepihak tanpa adanya musyawarah dari seoarang istri. Tetapi adanya faktor protektif dalam resiliensi yang dimilikinya, kedua subjek mampu menyeimbangi faktor resiko dari hal-hal yang telah di alaminya. Seperti kekuatan religi di dalam diri individu juga memberikan kekuatan untuk bertahan dan mencapai tahap resiliensi.
ENGLISH:
Polygamy marriage is a bond between many people like a man have more than one wife at once. Many of polygamy marriage is done by sirri because less of women accept it. If that happen, the first wife must be not easy to accept it so it will cause psychology impact to her. Not only that, many of polygamy marriage ignoring gender equality. So that the first wife didn’t get her right. In this case, the first wife need a self-acceptance. The related construct with the self adjustment is a resilience. Resilience is a power in individual to rise up again. With protective factor, individual can prevent the risk that happen in the inside of the individual.
The purpose of this research is to know the first wife dynamic resilience who polygamed by her husband, which that marriage is without approval from the first wife. This research used qualitative descriptive method with the feminis perpective. This research used two subject with the specified criteria.
The result of this research shown there are difference between the two subject to achieve resilience. This is affected by many thing like individual resilience aspect, sosial endorsement, mindset, and etc. Polygamy marriage that happen on the two subject is not out from time, money, and love. Even the two subject experienced powerlessness and gender inequality. Where that thing happen when her husband take a decision by himself. But with the protective factor from her resilience, the two subject kan equalize risk factor from the thing that experienced by her. Like religious power from the inside of the individual
also give the power to last and achieve resilience.
also give the power to last and achieve resilience.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia adalah makhluk ciptaan Allah
SWT yang paling sempurna dan memiliki beragam keistimewaan yang tidak dimiliki
oleh makhluk lain. AlQur’an surat At- Tin ayat 4: َي ِ
ل ِ اف َ س َ َل ف ْ أَس م اه َ ن ْ د َ د َ ر . مُثَّ “Sesungguhnya kami ciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-
baiknya”.1 Kesempurnaan manusia di tandai dengan memiliki akal dan perasaan.
Dengan memiliki kesempurnaan tersebut, bukan berarti manusia adalah manusia
yang selalu bahagia. Manusia juga terkadang menjadi sedih, marah dan bahkan
menjadi stress ataupun depresi sesuai stimulus yang di dapatkan. Jika manusia
mendapatkan stimulus positif, otomatis respon yang dirasakan adalah senang,
gembira, bahagia dan bersyukur. Tetapi jika manusia mempunyai masalah atau
mengalami suatu musibah, maka secara otomatis mereka merespon dengan kesedihan
bahkan mengalami stress dan depresi karena tidak mampu untuk menyesuaikan diri
dengan keadaan tersebut. Konstruk yang terkait dengan kemampuan manusia dalam
melakukan penyesuaian antara lain adalah resilience2 . 1 Departemen Agama RI
Al-Qur’an dan Terjemahnya. 2005. Bandung: Diponegoro. h., 479 2 Sholichatun, Y.
Tanpa Tahun. Hidup setelah menikah, mengurai emosi positif dan resiliensi pada
wanita tanpa pasangan. Jurnal Psikologi. Fakultas Psikologi UIN Maulana Malik
Ibrahim Malang., h. 1 2 Studi resiliensi mencoba mencari penjelasan mengapa
sebagian individu menunjukkan kemampuan beradaptasi yang positif pada konteks
keadaan yang menekan dan terdapat individu yang tidak mampu menghadapinya
sehingga terjebak pada perilaku yang patologis3 . Resilien merupakan sebuah
atribut penting yang menjadi perpaduan antara kemampuan-kemampuan dan
karakteristik-karakteristik yang berinteraksi secara dinamis untuk memberikan
ketegaran individu dalam menghadapi segala tantangan dalam kehidupan secara
sukses4 . Seperti yang dinyatakan Werner bahwa banyak faktor yang berkontribusi
pada resiliensi seseorang5 . Reivich & Shatte mengungkapkan beberapa
kemampuan yang menyumbang pada resiliensi individu yaitu: regulasi emosi,
pengendalian dorongan, optimisme, analisis kausal, empati, kemampuan untuk meraih
apa yang diinginkan, dan self-efficacy6 . Pada penelitian Manara ditemukan
bahwa self-efficacy berpengaruh cukup besar terhadap resiliensi seseorang yaitu
39,4% dari self-efficacy berkontribusi pada resiliensi individu7 . Sedangkan
hasil penelitian Hasyim mengungkapkan bahwa social support dapat 3 Leadbeater,
B., Dodgen, D., & Solarz A. 2005. The Resilience Revolution: A Paradigm
Shift for Resilience Policy, Dalam Peters dkk., Resilience in Children,
Families and Community: Linking Context to Practice and Policy. New York:
Plenum Publisher. h., 47 4 Sholichatun, Y. Tanpa Tahun. h., 1. 5 Werner, Emmy,
E. 2005. Resilience Research: Past, Present, and Future. Dalam Peters dkk.,
Resilience in Children, Families and Community: Linking Context to Practice and
Policy. New York: Plenum Publisher. h., 5 6 Revich, K., & Shatte, A. 2002.
The resilience factor: seven essential skill for overcoming life’s inevitable
obstacle. New York: Random House. h., 36 7 Manara, Muhammad Untung. 2008.
Pengaruh self-efficacy terhadap resiliensi pada mahasiswa fakultas Psikologi
Universitas Islam Negeri (UIN) Malang. Skripsi tidak diterbitkan. Fakultas
Psikologi. Universitas Islam Negeri (UIN) Malang. h., 79 3 berkontribusi pada
resiliensi seseorang sebesar 33% dan 67% nya merupakan faktor lain yang
melatarbelakangi timbulnya resiliensi8 . Resilien juga telah banyak dikaji
terutama dalam hubungannya dengan transisi-transisi dari stres-stres berat
termasuk stres yang dimunculkan oleh transisi developmental seperti awal masuk
sekolah, pengasuhan anak, dan lainlain. Transisi juga muncul dari
kejadian-kejadian eksternal yang tidak diharapakan seperti bencana, PHK atau
krisis ekonomi nasional yang mempengaruhi munculnya problem di tingkat individu
dan keluarga. Bentukbentuk situasi stress semacam ini dan bentuk-bentuk stress
lain telah menempatkan individu dalam kondisi beresiko yang dapat memunculkan
simpton-simpton fisik maupun psikologis9 . Pernikahan adalah dua orang pria dan
wanita yang mengikat sebuah komitmen untuk saling berbagi, menghormati dan
saling mencintai satu sama lain. Tetapi ketika sebuah pernikahan itu menjadi
ikatan antara beberapa orang seperti suami yang beristrikan dua atau lebih
seorang istri maka itu disebut poligami. Terdapat beberapa wanita yang menerima
konsep poligami dalam keluarganya. Namun sangat banyak pula wanita yang menolak
terjadinya poligami dalam keluarganya dengan berbagai alasan yang diyakininya10
. Dalam aplikasinya, poligami sangat membutuhkan penerimaan diri seseorang
terutama 8 Hasyim, Rizkia Noor Faizza. 2009. Pengaruh dukungan sosial terhadap
resiliensi napi remaja di Lembaga Pemasyarakatan Anak (Lapas Kelas IIA Anak)
Blitar. Skripsi tidak diterbitkan. Fakultas Psikologi. Universitas Islam Negeri
(UIN) Malang. h., xii 9 Sholichatun, Y. Tanpa Tahun. Hidup setelah menikah,
mengurai emosi positif dan resiliensi pada wanita tanpa pasangan. Jurnal
Psikologi. Fakultas Psikologi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang., h. 1-2 10
Susanti, D.P, Siti, M dan Anita, Z. Tanpa Tahun. Penerimaan diri pada istri
pertama dalam keluarga poligami yang tinggal dalam satu rumah. Jurnal
Psikologi. Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma. h., 2 4 wanita yang
suaminya menikah lagi atau berada di posisi sebagai istri dari lakilaki yang
sudah menikah. Penerimaan diri pada istri pertama, kedua, ketiga dan seterusnya
akan berbeda. Pada istri pertama tentu saja akan lebih sulit dari pada
istri-istri lainnya11 . Tetapi berbeda lagi ketika seorang istri yang tidak
mengetahui bahwa ia di poligami oleh sang suami, dan ketika sang istri mengetahuinya,
dipastikan ia tidak dapat menerima kenyataan bahwa ia di poligami. Dalam hal
ini, penting sekali adanya penerimaan diri dan penyesuaian oleh istri pertama
ketika ia di poligami. Tetapi tidak mudah dalam menerima kenyataan tersebut,
sehingga mengakibatkan seorang istri pertama rentan mengalami stress dalam
menjalani kehidupan. Pernikahan yang berujung pada poligami tidak lepas dari
keadilan dan ketidakadilan. Karena salah satu syarat seorang suami untuk
melakukan poligami adalah adanya sikap adil terhadap istri pertama, kedua,
ketiga dan lainnya. Seperti dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 3: طموا ْسِ مق َّل ت أََّ ْ مم ت ْ ف ْن خِ ِ إ َ و ۟ وا م ٱنكِح
َ ف َٰ ى َ َٰم َ ت َ َث ِِف ۟ ٱلْي َٰ ث ملَ َ ََٰ و َْن ث َ م ِ آء َ ِّس ِ ٱلن َ
ِّن ِ َب لَ مكم م ا طَا َ م َٰ َ ب م ر َ و َ ۟ لموا ع ْدِ َع َّل ت أََّ ْ مم ت ْ
ف ْن خِ ِ إ َ ۟ ف ْ مكم م ن َٰ َ ْي ْت أَ لَ َك َ ا م َ م ْ أَو ً ة َ د َٰحِ َ َو
۟ ف ََٰ ْن َك أَد ِ ل َّل َٰ ذَ ۟ أََّ ولموا م َع ت . “Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yatim (bilamana kami mengawinnya) maka kawinlah
perempuan-perempaun (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat. Kemudian
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil 11 Susanti, D.P, Siti, M dan
Anita, Z. Tanpa Tahun. h., 2 5 maka (kawinlah) seorang saja, atau budak-budak
yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya”12 . Seperti yang terlihat secara nyata dalam literal terjemahan, fokus ayat
tersebut adalah anjuran pada dua hal; pertama, berbuat adil kepada anak yatim,
kedua, ketika berpoligami juga harus didasarkan pada moralitas keadilan. Jika
khawatir tidak mampu adil, seharusnya mencukupkan diri dengan satu istri saja
agar tidak terjadi kezaliman dan kenistaan13 . Sangat jelas sekali bahwa
terjemahan dari ayat di atas mengatakan kalau tidak mampu adil, sebaiknya
memiliki satu istri saja. Ketika suami dapat berlaku adil, maka tidak ada yang
disesali dalam pernikahan poligami tersebut. Sedangkan suami yang tidak bisa
berlaku adil, akan menyebabkan sesuatu yang tidak diinginkan dan berdampak
psikologis. Seperti seorang suami yang tidak dapat adil dalam hal kasih sayang.
Jika suami lebih berpihak dan memberikan kasih sayang kepada istri kedua,
akibatnya istri pertama sakit hati, stress bahkan tidak mampu mempercayai
suaminya lagi atau bahkan tidak akan mempercayai lagi kepada orang yang
berjenis laki-laki (trauma terhadap pernikahan dan lakilaki) atau sebaliknya.
Indonesia sebagai negara yang berpenduduk mayoritas muslim sudah menerapkan
aturan yang ketat dalam poligami. Menurut Undang-undang Perkawinan, suami boleh
berpoligami kalau mampu berlaku adil dan ada izin dari istri, dan izin itu bisa
diperoleh dengan tiga syarat: kalau istri mandul, istri 12 Departemen Agama RI
Al-Qur’an dan Terjemahnya. 2005. Bandung: Diponegoro. h., 61 13 Kodir,
Faqihuddin Abdul. 2005. Memilih monogamy pembacaan atas Al-Qur’an dan Hadits
Nabi. Pustaka Pesantren: Yogyakarta. h., 50 6 sakit berkepanjangan, istri tidak
dapat melaksanakan kewajiban sebagai istri. Sayangnya, peraturan ini tidak
berjalan efektif, mungkin karena tidak ada polisi yang mengawasi suami yang
berpoligami. Kebanyakan suami berpoligami bukan karena istrinya tidak punya
anak atau sakit, atau tidak melakukan kewajiban, melainkan semata karena tidak
mampu mengekang keinginan syahwatnya14 . Adapun pengakuan dari suami-suami yang
menikah lagi yaitu sebagai berikut, pengakuan Puspawardoyo, seorang pengusaha
tekenal dengan rumah makannya yaitu “wong solo”, yang mana ia juga melakukan
sebuah poligami. Hal ini dikutip dalam novel berbagi suami, ia mengakui kalau
ia mampu dalam hal materi dan spiritual sehingga ia berkewajiban untuk
berpoligami agar menjadi kebutuhan bersama antara dia dan istri-istrinya. Maksud
dari kebutuhan tersebut adalah bisa berbagi materi dan spiritual serta berbagi
beban. Ia juga mengaku bahwa sudah cukup adil dalam hal materi, meskipun hal
tersebut tidak bisa diselesaikan secara matematis. Sedangkan dalam membagi
cinta dengan adil dirasa sangat sulit, karena itu tergantung dari bagaimana
seorang istri bisa menarik perhatian laki-laki15 . Sedangkan berbeda lagi
pengakuan dari seorang pelawak dari srimulat yaitu Mamiek, ia mengatakan bahwa
memang sudah kodrat dan takdirnya untuk berpoligami. Almarhum kakeknya dahulu
memiliki dua belas istri dan ayahnya mempunyai enam istri. Mamiek mengibaratkan
adil sebagai keikhlasan atau menerima apa adanya. Ia berkata bahwa mencintai
semua istrinya. Mamiek juga 14 Dinata Nia. 2006. Berbagi suami, fenomena
poligami di Indonesia. Jakarta: Gramedia. h., 9 15 Dinata Nia. 2006. h., 20-21
7 mengalami masa-masa sulit saat istri pertamanya tidak mengizinkannya menikah
lagi dan ia mengerti keberatan istrinya tersebut. “Pertama-tama enggak
diizinkan. Siapa sih yang mengizinkan suaminya direbut orang?” katanya tanpa
mengharapkan jawaban. Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya ia mendapatkan
izin menikah lagi empat tahun kemudian. Namun ia harus benar-benar bisa
membuktikan bahwa ia menikah lagi bukanlah sematamata soal nafsu. Ada masalah
yang disebut Mamiek sebagai “Faktor X”, yang hanya diketahui oleh ia dan istri
pertamanya saja16. Kasus lain dari seorang lakilaki yang karena pergaulan dan
kehidupan ekonomi yang membuat ia menikah lagi. Dari kasus tersebut, faktor
seorang laki-laki berpoligami bukan hanya karena faktor pelayanan batin istri
yang kurang memuaskan tetapi karena faktor lingkungan dan ekonomi yang
mendukung sehingga seorang laki-laki tersebut melakukan poligami. Berbeda lagi
dari pernyataan seorang istri yang merasa dikhianati suaminya karena telah
mengambil istri kedua tanpa seizinnya. Padahal, menurutnya ia memegang surat
perjanjian madunya bahwa perkawinan itu tidak akan pernah terjadi tanpa izin
darinya. Ia merasa menjadi sangat serba salah atas perasaan curiga yang tidak
mampu ia tekan. Sejak suaminya membagi cinta dan menikah lagi ia telah
kehilangan kepercayaan kepada suaminya, sesuatu yang sama sekali tidak ia
kehendaki17 . Meskipun pernikahan poligami ini menginjak tahun keempat, caranya
mengemukakan deritanya seolah-olah pernikahan poligami itu baru terjadi kemarin
sore. Biasanya ia selalu terlihat ceria baik 16 Dinata Nia. 2006. h., 32-33 17
Kodir, Faqihuddin Abdul. 2005. Memilih monogamy pembacaan atas Al-Qur’an dan
Hadits Nabi. Pustaka Pesantren: Yogyakarta. h., xxxvii 8 lewat telepon, SMS,
atau pertemuan langsung, tetapi dengan seketika musnah berganti dengan tangisan
tertahan dan rasa putus asa ketika membicarakan soal suaminya dan akibat yang
ditinggalkannya kepada keluarga18 . Kasus lain pada seorang wanita yang
mendapati suaminya berpoligami dengan temannya sendiri. Dia (istri pertama)
kuliah di IAIN. Dia adalah seorang aktivis kampus yang tegar, memiliki harga
diri yang tinggi, pintar, berani dan lumayan keras. Akan tetapi, penghianatan
suaminya untuk berpoligami telah menjatuhkan mental dan kepribadiaannya. Suatu
hari ia memotong rambutnya yang semula panjang tergerai. Lalu yang biasanya
cukup pakai lipstik, saat itu ia jadi rajin menggunakan make up dan baju dengan
model yang tidak biasa ia gunakan. Tentu saja penampilannya menjadi sangat lucu
dan aneh. Poligami yang terjadi kepada dirinya telah menghilangkan jati diri
dan kepribadiannya19 . Dari beberapa kasus diatas, istri pertama korban
poligami bukan tak berusaha untuk merebut kembali suaminya. Seorang perempuan
korban poligami menyatakan bahwa segala usaha dilakukan dengan sepenuhnya dan
mengorbankan banyak hal. Berusaha bersabar adalah salah satunya jawaban yang ia
punya dalam menghadapi situasi itu. Kesabaran itu biasanya dipertahankan dengan
alasan untuk melindungi anak-anaknya20 . Pada fenomena tersebut, seorang istri
pertama bisa saja menjadi individu yang bangkit dari situasi tidak adil yang
dilakukan oleh suami yang berpoligami tanpa seizinnnya. Dan sebagian wanita
yang mengalami hal tersebut dapat 18 Kodir, Faqihuddin Abdul. 2005. h., xxxvii
19 Kodir, Faqihuddin Abdul. 2005. h., xI 20 Kodir, Faqihuddin Abdul. 2005. h.,
xI 9 menjadi fenomena yang traumatik, dan memberikan efek melemahkan diri.
Berbagai kondisi psikologis yang di alami oleh istri pertama pun sangat
beragam, seperti marah, stres, tak berdaya dan bahkan melemahkan dirinya atau
merendahkan dirinya karena keadaan yang tertekan. Sebagian besar istri pertama,
awalnya akan rentan mengalami hal tersebut, karena merasa dihianati oleh suami.
Tetapi dalam perjalanan waktu, konsep penilaian dirinya menurun.
Self-esteem-nya merendah, kepercayaan diri juga menghilang. Istri pertama akan
bertanya-tanya kekurangan yang dimiliki istri pertama, mulai dari segi fisik,
penampilan atau segi pelayanan kepada suami. Begitu pula dengan berjalannya
waktu, istri pertama akan menuntut sebuah keadilan atas tindakan suami
melakukan poligami. Baik keadilan dalam harta, kasih sayang, waktu dan lain
sebagainya yang seharusnya menjadi haknya. Sehingga dalam hal tersebut,
pentingnya reseliensi pada istri pertama dalam menjalani kehidupan. Bagaimana
ia bertahan dan berkembang ketika suami membagi kasih sayang kepada istri lain
atau bahkan suami memberikan kasih sayang lebih untuk istri kedua atau ketiga
dan lainnya daripada untuk istri pertama. Resiliensi memungkinkan seorang istri
pertama dapat mengatasi kesulitan yang dihadapi, sehingga dapat mengurangi
beban yang ditanggung serta dapat hidup secara normal kembali. Seperti yang
sudah diungkapkan di atas bahwa setiap orang memiliki kapasitas resiliensi
dalam dirinya. Tetapi, resiliensi dapat terlihat dengan jelas apabila seseorang
berada pada tantangan atau masalah. Semakin seseorang berhadapan dengan banyak
tantangan dan 10 hambatan, maka akan semakin terlihat apakah ia telah berhasil
mengembangkan karakteristik resiliensi dalam dirinya atau tidak21 . Dari latar
belakang di atas, peneliti mencoba untuk melakukan penelitian untuk mengetahui
dinamika resiliensi pada istri pertama. Dengan mengambil desain penelitian
riset feminis dari para wanita yang menjadi korban para suami yang berpoligami
tanpa adanya izin dari istri pertama. Maka judul penelitian ini adalah
“Dinamika Resiliensi Istri Pertama”. 1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana dinamika
resiliensi pada istri pertama dari suami yang berpoligami? 2. Bagaimana faktor
protektif dari istri pertama untuk menghadapi faktor resiko dalam resiliensi
pada istri pertama dari suami yang berpoligami? 1.3 Tujuan Penelitian 1. Untuk
mengetahui dinamika resiliensi pada istri pertama dari suami yang berpoligami.
2. Untuk mengetahui faktor protektif dari istri pertama untuk menghadapi faktor
resiko dalam resiliensi pada istri pertama dari suami yang berpoligami. 21
Bobey, Mary. (1999). Resilience : The ability to Bounce Back from Adversity.
American Academy of Pediatric. 11 1.4 Orisinalitas Penelitian 1. Penelitian
Resiliensi Sebelumnya Adapun penelitian resiliensi sebelumnya beserta hasilnya
yang dapat peneliti temukan adalah: a. Manara, Muhammad Untung (2008) yang berjudul
“Pengaruh SelfEfficacy Terhadap Resiliensi Pada Mahasiswa Fakultas Psikologi
Universitas Islam Negeri (Uin) Malang” dengan hasilnya yaitu selfefficacy
berpengaruh cukup besar terhadap resiliensi seseorang yaitu 39,4% dari
self-efficacy berkontribusi pada resiliensi individu. b. Hasyim, Rizkia Noor
Faizza (2009) yang berjudul “Pengaruh Dukungan Sosial Terhadap Resiliensi Napi
Remaja di Lembaga Pemasyarakatan Anak (Lapas Kelas IIa Anak) Blitar” dengan
hasilnya yaitu social support dapat berkontribusi pada resiliensi seseorang
sebesar 33% dan 67% nya merupakan faktor lain yang melatarbelakangi timbulnya
resiliensi. c. Hawabi, Agus Iqbal (2011) yang berjudul “Pengaruh Resiliensi
Terhadap Juvenile Delinquency Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri
Maulana Malik Ibrahim Malang” dengan hasilnya yaitu Resiliensi mempunyai
pengaruh yang cukup segnifikan terhadap Delequency. d. Rahmawati, Alfia Puji
(2012) yang berjudul “Perbedaan tingkat resiliensi pada remaja di SMA DR.
Musta’in Romly Payaman Lbetweenan. (Studi komparasi antara remaja dari keluarga
yang orang tuanya menjadi TKI dengan keluarga yang orang tuanya bukan TKI)”
dengan hasilnya yaitu tidak ada perbedaan tingkat resiliensi antara remaja dari
keluarga yang 12 orang tuanya menjadi TKI dengan remaja dari keluarga yang
orang tuanya bukan TKI. Proses pembentukkan resiliensi remaja dari keluarga
yang orang tuanya menjadi TKI ini dibentuk oleh beberapa faktor yang
mempengaruhi resiliensi, antara lain dukungan sosial, optimisme, coping yang
tepat, konsep diri yang positif, penyesuaian diri yang tepat terhadap
perubahan, dan efikasi diri. 2. Penelitian yang dilakukan oleh peneliti
memiliki tema yang sama dengan empat penelitian sebelumnya yang berada di
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Adapun hasilnya berbeda
dengan penelitian yang peneliti lakukan saat ini. Pada penelitian yang
dilakukan oleh Manara (2008) hasilnya mengatakan self-efficacy berpengaruh
cukup besar terhadap resiliensi seseorang yaitu 39,4% dari self-efficacy berkontribusi
pada resiliensi individu. Begitu juga pada penelitian Hasyim (2009) yang mana
hasilnya mengatakan bahwa adanya pengaruh dukungan sosial terhadap resiliensi
sebesar 33% dan 67% nya merupakan faktor lain yang melatarbelakangi timbulnya
resiliensi. Sehingga asalah satu faktor untuk menjadi individu resilien yaitu
adanya dukungan sosial dan self-efficacy. Pada penelitian ini juga menyebutkan
bahwa dukungan sosial dan self-efficacy berpengaruh terhadap tingkat resiliensi
seorang inidividu. Walaupun masih banyak faktor lain yang juga ikut
mempengaruhinya. 13 3. Keistimewaan Penelitian Resiliensi ini a. Kuantitatif
Seperti pada penelitian sebelumnya, keempat peneliti resiliensi di Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang Fakultas Psikologi menggunakan metode
kuantitatif. Dimana teknik analisis data menggunakan bantuan spss dan hasilnya
berupa angka. Sehingga kurang adanya pendalaman dalam tema resiliensi dalam
diri individu itu sendiri. b. Netral Penelitian resiliensi yang dilakukan oleh
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan menggunakan
perspektif feminis, sehingga hasilnya berbeda dengan penelitian resiliensi yang
netral pada umumnya seperti menggunakan metode kuantitaif. Sedangkan penelitian
ini yang menggunakan metode kualitatif yang mendalami bagaimana resiliensi
seseorang dengan dikuatkan oleh metode riset feminisme, membuat peneliti
mengetahui bagaimana pandangan resiliensi dalam diri seorang wanita yang telah
berjuang untuk bangkit dari keterpurukan dan ketidakadilan. Jadi dapat
diketahui bahwa keistimewaan penelitian ini dilihat dari sebuah pendalaman
dalam resiliensi pada diri seseorang dan di dukung dengan metode riset
feminisme. 1.5 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan manfaat bagi pengembangan keilmuan baik dari aspek teoritis maupun
praktis, diantaranya: 14 1. Manfaat Teoritis Diharapkan hasil penelitian ini
dapat memberikan masukan yang bermanfaat bagi perkembangan ilmu psikologi,
khususnya psikologi sosial dan psikologi perempuan dengan memberikan gambaran
yang berhubungan dengan resiliensi dari istri pertama dari suami yang
berpoligami. 2. Manfaat Praktis Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi
bahan informasi, memberikan wawasan dan pemahaman yang menyeluruh bagi masyarakat
guna memahami tentang penerimaan diri pada wanita yang menjadi istri pertama
dari suami yang berpoligami. Hasil penelitian ini juga diharapkan cukup relevan
untuk menjadi pertimbangan bagi kaum lelaki yang akan melakukan poligami.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" : Dinamika resiliensi istri pertama" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment