Abstract
INDONESIA:
Memahami manajemen konflik sangat penting. Dengan memahami konflik narapidana wanita maka akan bisa mengatasi kerentanan konflik pada napi.Manajemen konflik dapat menghasilkan solusi yang memuaskan kedua belah pihak yang terlibat konflik. Solusi yang memuaskan kedua belah pihak akan menghilangkan perbedaan mengenai objek konflik. Hilangnya perbedaan membawa keduanya kembali dalam interaksi sosial yang harmonis. Jika narapidanadi Lapas Wanita Klas IIA Malang tidak memiliki perubahan dalam tingkah lakunya, karena belum memiliki solusi dalam memecahkan konflik,maka kejahatan akansemakin bertambah. Sehingga penting adanya pemetaan pada manajemen konflik yang akan bermanfaat untuk mengurangi potensi problem pada narapidana.
Menurut Wirawan (2009: 5) konflik adalah proses pertentangan yang diekspresikan di antara dua pihak atau lebih yang saling tergantung mengenai objek konflik, menggunakan pola perilaku dan interaksi konflik yang menghasilkan keluaran konflik.Manajemen konflik menurut Wirawan (2009 : 129) merupakan proses pihak yang terlibat konflik atau pihak ketiga menyusun strategi konflik dan menerapkannya untuk mengendalikan konflik agar menghasilkan resolusi yang diinginkan.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif yang bersifat survey. Subyek penelitian yang digunakan sebanyak 100 napi dari 314. Untuk mengukur kecenderungan manajemen konflik narapidana, peneliti mengadopsi Thomas-Kilmann Conflict Mode Instrument yang telah melalui perubahan redaksi tanpa mengubah maksud dari pernyataan agar mudah dimengerti oleh responden.
Hasil penelitian diperoleh dengan analisa frekuensi menggunakan IBM SPSS Statistics 20.0 for windows bahwasanya narapidana di Lembaga Pemasyarakatan wanita Klas IIA Malang memiliki kecenderungan untuk menggunakan gaya manajemen konflik menghindar (avoiding) dengan 837 respon. Gaya kompromi (compromising) sebanyak 760 respon, gaya akomodasi (accomodation) 635 respon, gaya kolaborasi (collaboration) 535 respon, dan gaya yang paling sedikit digunakan adalah gaya manajemen konflik kompetisi (competition) sebanyak 233 respon
ENGLISH:
By understanding the conflict women prisoners will be able to overcome the vulnerability of conflict on the prisoner. Conflict management can produce a solution that is satisfactory to both parties involved in the conflict. Solutions that satisfy both parties will eliminate the difference of the object of the conflict. The loss of the differences brought them back in a harmonious social interaction. If inmates in Prison Class IIA Malang Women do not have a change in his behavior, because it does not yet have a solution to solve the conflict, then crime will increase. So essential to the existence of a mapping conflict management would be beneficial to reduce the potential for problems on the inmates.
According Wirawan (2009: 5) conflict is expressed in the conflict between two or more parties that are dependent on the object of the conflict, using patterns of behavior and interaction that produces output conflict conflict. Conflict management by Wirawan (2009: 129) is a party to the conflict process or third party conflicts and implement a strategy to control the conflict in order to produce the desired resolution.
This study used quantitative research methods are survey. Subjects used in this study as many as 100 inmates of 314. To measure the propensity of conflict management inmates, researchers adopted the Thomas-Kilmann Conflict Mode Instrument that has been through the editorial changes without changing the intent of the statement to be easily understood by the respondents.
The results were obtained by frequency analysis using IBM SPSS Statistics 20.0 for windows that female prison inmates in Class IIA Malang has a tendency to use avoidance conflict management style (avoiding) with 837 responses. Style compromise (compromising) of 760 responses, style accomodation (accomodation) 635 responses, style collaboration (collaboration) 535 responses, and the least amount of force used is conflict management style competition (competition) as many as 233 responses.
BAB
I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Manusia
adalah makhluk sosial yang hidup secara berkelompok dan melakukan interaksi
dengan sesamanya. Pada dasarnya, pribadi manusia tidak sanggup hidup seorang
diri tanpa lingkungan psikis atau rohaniahnya walaupun secara biologis maupun
fisiologis ia mungkin dapat mempertahankan dirinya pada tingkat kehidupan
vegetatif. Dalam hidup berkelompok dan melakukan interaksi terkadang timbul
ketidakserasian antar sesama sehingga dapat muncul berbagai macam konflik.
Konflik menurut Wirawan (2009 : 5) adalah proses pertentangan yang
diekspresikan di antara dua pihak atau lebih yang saling tergantung mengenai
objek konflik, menggunakan pola perilaku dan interaksi konflik yang
menghasilkan keluaran konflik. Terdapat macam-macam konflik, yaitu konflik
personal dan interpersonal, konflik interes (conflict of interest), konflik
destruktif dan konstruktif (Wirawan, 2009: 55), serta konflik realistis dan non
realistis (Coser, dalam Wirawan, 2009 : 59). Dari beberapa macam konflik,
setiap orang pasti memiliki cara-cara tersendiri untuk menghadapi atau
menyelesaikan konflik yang dialaminya. Konflik dapat dihadapi dengan cara
bersikap acuh tak acuh, menekan, atau dengan mengacuhkan konfliknya. Kesuksesan
seseorang menyelesaikan masalah tergantung pada strategi dalam menghadapi
berbagai situasi masalah. Kemampuan managerial seseorang dalam menanggulangi
konflik disebut dengan manajemen konflik. Memahami manajemen konflik adalah
salah satu cara yang dapat membantu menyelesaikan masalah. Thomas dan Kilmann (dalam
Wirawan, 2009 : 140) adapun gaya atau pendekatan seseorang dalam menghadapi
situasi konflik sebagai berikut yaitu: 1) tindakan kompetisi (competition), 2)
kolaborasi (collaboration), 3) kompromi (compromising), 4) menghindar
(avoiding), dan 5) mengakomodasi (accomodating) . Menurut laporan UPT Ditjen
PAS di Lapas Wanita Klas IIA Malang mengalami kelebihan kapasitas (overload
capacity) dari yang seharusnya. Daya tampung seharusnya hanya 164 orang, tetapi
yang terjadi melebihi 300 orang. Hal ini terjadi dari tahun ke tahun. Hasil
terakhir pada bulan Januari 2014, jumlah napi yang menghuni Lapas Wanita Klas
IIA Malang mencapai 314 orang dan 37 tahanan (http://smslap.ditjenpas.go.id/).
Menariknya secara teori perempuan memiliki sisi yang lemah lembut dibandingkan
laki. Mansour Fakih (1999 : 8) berpendapatbahwa konsep gender merupakan suatu
sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi
secara sosial maupun kultural. Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal lemah
lembut, cantik, emosional, dan keibuan. Banyak faktor yang dapat memengaruhi
tindak kejahatan dan tingkah laku kejahatan itu bisa dilakukan oleh siapa saja,
baik wanita maupun pria, anak-anak, remaja, bahkan usia dewasa. Tindak
kejahatan bisa dilakukan secara sadar yaitu dengan dipikirkan, direncanakan dan
diarahkan pada satu maksud tertentu secara sadar benar. Tapi dapat pula
dilakukan dengan tidak sadar, misalnya karena terpaksa untuk mempertahankan
hidupnya (Kartono, 2003 : 121). Tindak kejahatan yang ada di tengah masyarakat merupakan
suatu permasalahan yang menuntut banyak perhatian dari berbagai pihak, hal ini
dikarenakan kejahatan tidak pernah berhenti muncul di tengah-tengah masyarakat,
meskipun telah ada hukum atau peraturan yang disahkan pemerintah untuk
menghentikan kejahatan tersebut. Tindak kejahatan merupakan perilaku antisosial
yang sangat meerugikan orang lain. Oleh karena itu, kejahatan harus memperoleh
tentangan keras dan tegas dari negara dengan cara pemberian hukuman atau
tindakan sesuai dengan tindak kejahatan yang telah dilakukan. Pemberian hukuman
yang paling berat di Indonesia adalah hukuman penjara. Poernomo (1986 : 250)
mengutip anonim menyatakan bahwa para pelaku tindak pidana tersebut nantinya
akan ditempatkan di lembaga pemasyarakatan (LAPAS). LAPAS adalah tempat untuk
melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan. Pemasyarakatan
merupakan kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan pemasyarakatan
berdasarkan sistem, kelembagaan dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir
dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana. Hutapea (2009 : 37-38) UU
Nomor 12 Tahun 1992 tentang Pemasyarakatanpasal 1 angka 2 menyatakan bahwa yang
dimaksud dengan Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan
batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila
yang dilaksanakan secara terpadu antara Pembina, yang dibina, dan masyarakat
untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari
kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat
diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam
pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan
bertanggung jawab. Menurut Efendi dan Prayitno (dalam Setyawati, 2012 :41)
bahwa pelaksanaan sistem pemasyarakatan narapidana dibimbing dengan pembinaan.
Pembinaan yang dilakukan diharapkan dapat merubah narapidana menjadi warga
negara yang baik dan dapat hidup di tengah-tengah masyarakat sesuai dengan
aturan dan norma yang berlaku. Sistem pemasyarakatan merupakan salah satu
pilihan pembaharuan pelaksanaan pidana penjara yang mengandung upaya baru
pelaksanaan pidana penjara dan perlakuan cara baru terhadap narapidana yang
berlandaskan kemanusiaan yang bersifat universal. Pembaharuan baru tersebut
menumbuhkan pemikiran tentang metode baru untuk mencegah kejahatan dan
memperbaiki penjahat. Sistem pemasyarakatan dapat diartikan sebagai kegiatan
untuk mewujudkan upaya baru pelaksanaan pidana penjara dan perlakuan cara baru
terhadap narapidana agar hasil pembinaan menjadi manusia yang baik. Pujileksono
(2009 : 20) mengutip gagasan Masdiana tentang kekerasan di penjara bahwa
“Kekerasan di penjara erat kaitannya dengan hilangnya beberapa hak napi.
Pertama, lost of liberty (hilangnya kebebasan). Setiap napi akan merasa
kehidupannya semakin sempit dan terbatas. Mereka tidak hanya terkungkung
pekatnya penjara, tapi juga terbatasnya ruang spiritualitasnya. Kedua, lost of
autonomy (hilangnya otonomi). Setiap orang yang telah dikategorikan sebagai
napi secara tidak langsung akan kehilangan sebagian haknya, khususnya masalah
hak pengaturan dirinya sendiri, dan mereka diharuskan untuk tunduk pada
aturan-aturan yang berlaku di lingkungan penjara. Akibatnya, mereka menghadapi
depersonalisasi dan infantilisme. Ketiga, lost of good and service.
Ketidakbebasan memiliki barang-barang tertentu secara pribadi dan pelayanan
yang tidak memadai dari petugas, memicu perilaku-perilaku baru, seperti
mencurigaisesama napi, negosiasi atau menyuap sipir penjara demi satu tujuan tertentu.
Masuknya barang-barang terlarang (narkoba dan senjata) misalnya, adalah
kategori keinginan tertentu itu. Keempat, lost of heterosexual relationship.
Hilangnya kesempatan untuk menyalurkan nafsu seksual dengan lawan jenis akan
berakibat timbulnya perilaku-perilaku seks menyimpang (homoseksual, perkosaan
homoseksual, pelacuran dan pelacuran homoseksual). Kelima, lost of security.
Suasana keterasingan sebagai akibat hilangnya komunikasi dengan sesamanya dan
timbulnya persaingan antar napi pada gilirannya akan berubah menjadi bentuk
kekhawatiran dan kecemasan bagi individuindividu.Selain kehilangan kebebasan
tersebut, napi juga kehilangan kebebasan dalam berkomunikasi (lost of personal
communication), kehilangan harga dirinya (lost of prestige), kehilangan rasa
percaya diri (lost of self confident) dan kehilangan kreatifitasnya (lost of
creativity). Pendapat tersebut juga dikuatkan oleh Lamintang bahwa pidana
penjara adalah suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang
terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah lembaga
pemasyarakatan, dengan mewajibkan orang itu untuk mentaati semua peraturan tata
tertib yang berlaku di dalamlembaga pemasyarakatan, yang dikaitkan dengan
sesuatu tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan
tersebut. Napi tidak hanya mengalami tekanan di lapas, sebab mereka juga
mungkin mempunyai masalah di luar. Dan masalah-masalah tersebut akan menjadi
lebih berat dengan berada di dalam lapas. Seseorang yang berada dalam lapas
akan mengalami suatu perubahan. Mereka harus meninggalkan keluarga dan
teman-temannya. Sering kali mereka adalah orang-orang terdekat tempat napi bisa
mencurahkan isi hati. Pada umumnya, cara terbaik untuk mengatasi tekanan ialah
berbicara dengan seseorang yang bersedia mendengar dan mengerti. Kebanyakan
orang berbagi dengan keluarganya. Jika keluarga tidak ada karena napi berada
dalam lapas, tekanan itu akan terus berakumulasi. Walaupun ada kunjungan dari
keluarga, waktu yang ada tidakakan cukup untuk mengatasi tekanan. Bagi keluarga
di luar, perubahan ini juga bisa mengganggu. Terlebih bila masih ada anak kecil
dalam keluarga. Napi sering khawatir, apa yang akan dikatakan kepada anaknya.
Ini akan menambah tekanan pada napi. Apakah lebih baik mengatakan apa adanya,
namun beresiko anaknya akan diolok-olok di sekolah ? atau haruskah membuat
cerita seolah-olah ibunya sedang bekerja di luar kota atau di rumah sakit ?
Selain kehilangan keluarga dan teman-teman, napi juga kehilangan kegiatan
sehari-hari mereka. Kegiatan rutin di lapas dan tidak ada variasi dalam hal
wajah yang dilihat dan kegiatan yang bisa dilakukan membuat hidup mereka
menjadi monoton. Kurangnya stimulasi ini bisa berdampak pada cara berpikir,
sehingga membuat napi menjadi sulit untuk menyelesaikan suatu masalah. Hal lain
yang bisa menyebabkan konflik pada napi adalah tidak ada kebebasan untuk
memilih apa yang akan dilakukan. Memilih merupakan fungsi manusia yang paling
mendasar, seperti memilih kapan dan apa yang akan dimakan. Hal ini tidak dapat
dilakukan karena berada di luar kendali napi. Kebanyakan napi merasa terhina
dan cemas/takut terutama saat pertama kali masuk lapas. Sehingga, berbagai
macam reaksi bisa mucul seperti marah, frustasi, bingung, agitasi, putus asa,
atau depresi. Konflik tersebut dapat berakibat fatal seperti terjadinya
kerusuhan. Kerusuhan di Lembaga Pemasyarakatan semakin marak terjadi. Seperti
kerusuhan dua hari di penjara Kerobokan, Bali pada tahun 2012 menyebabkan
sejumlah korban cedera dan kerusakan berat bangunan lembaga pemasyarakatan itu.
Keadaan tersebut sungguh
memprihatinkan.(http://www.bbc.co.uk/indonesia/forum/2012/02/120223_for
um_lapas.shtml). Selain kerusuhan di Lapas Kerobokan Bali, hal yang sama juga
terjadi di Lapas Tanjung Gusta, Medan, Sumatera Utara. Kerusuhan tersebut
mengakibatkan Lapas kebakaran dan merenggut lima korban jiwa. Dua di antaranya
adalah sipir Lapas tersebut. Selang satu bulan kemudian kembali terjadi di kota
yang sama yaitu Lapas Labuhan Ruku, Kabupaten Batubara, Medan pada tahun 2013.
Pakar psikologi forensik Universitas Indonesia Reza Indragiri Amril mengatakan
bahwa narapidana saling membenturkan kekuatan dan berebut kekuasaan satu sama
lain, sehingga suatu saat akan timbul konflik.
(http://nasional.inilah.com/read/detail/2010263/minimnyapembinaan-penyebab-konflik-di-lapas#.UuvrRfldV1Y)
Hal serupa juga terjadi Lapas Palopo, Sulawesi Selatan pada tahun 2013.
Kerusuhan di Lapas ini menyebakan korban luka-luka di antaranya Kepala Lapas
(Kalapas) Palopo, petugas Lapas, serta dua tahanan. Hal tersebut terjadi karena
adanya prokator dari salah seorang narapidana, sehingga akhirnya menimbulkan
kerusuhan ini.
(http://www.jpnn.com/read/2013/12/15/205842/Menkum-HAM-BeberPenyebab-Rusuh-Lapas-Palopo-)
Dalam penelitian ini subjeknya adalah narapidana wanita. Dengan memahami
konflik narapidana wanita maka akan bisa mengatasi kerentanan konflik pada
napi.Konflik dapat menghasilkan solusi yang memuaskan kedua belah pihak yang
terlibat konflik. Solusi yang memuaskan kedua belah pihak akan menghilangkan perbedaan
mengenai objek konflik. Hilangnya perbedaan membawa keduanya kembali dalam
interaksi sosial yang harmonis. Di sisi lain, lapas tidak menjamin perubahan
pada tingkah laku narapidana. Menurut Undang-Undang No.12 Tahun 1995 Tentang
Pemasyarakatan Pasal 14 ayat (1), narapidana memiliki hak untuk mendapatkan
pendidikan dan pengajaran, mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan,
menyampaikan keluhan, mendapatkan kunjungan keluarga, dan lain-lain. Melihat
dari undang-undang tersebut lapas tidak menjamin perubahan pada tingkah laku
narapidana. Jika narapidanadi Lapas Wanita Klas IIA Malang tidak memiliki
perubahan dalam tingkah lakunya, karena belum memiliki solusi dalam memecahkan
konflik,maka kejahatan akansemakin bertambah dan kerusuhan akan terjadi Lapas.
Melihat dari permasalahan-permasalahan diatas, peneliti mengharapkan penting
adanya pemetaan pada manajemen konflik yang akan bermanfaat untuk mengurangi
potensi problem pada narapidana. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang
masalah yang telah diuraikan sebelumnya maka permasalahan yang dapat dirumuskan
sebagai berikut: “Bagaimana kecenderungan gaya manajemen konflik narapidana
wanita dalam menghadapi suatu situasi konflik?” C. Tujuan Penelitian Untuk
mengetahui kecenderungan gaya manajemen konflik narapidana wanita dalam
menghadapi suatu situasi konflik. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis :
a. Untuk memperkaya khasanah ilmu psikologi khususnya mengenai gaya manajemen
konflik narapidana wanita b. Menambah informasi sebagai bahan penelitian-penelitian
lain yang berkaitan dengan topik gaya manajemen konflik narapidana wanita 2.
Manfaat praktis : a. Memberikan pandangan kepada khalayak profesional tentang
gaya manajemen konflik narapidana wanita. b. Menjadi acuan dan landasan untuk
memberikan konseling maupun pelatihan kepada narapidana wanita tentang
manajemen konflik.
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment