Abstract
INDONESIA:
Pada anak tunanetra, tunarungu, dan tunagrahita, yakni mereka yang mengalami hambatan pada segi fisik, motorik, perilaku, akademik, keperibadian, dan sosialnya. Kematangan sosial menjadi hal yang sangat penting karena anak diharapkan mandiri sehingga tidak selalu bergantung dengan orang lain..Tujuan dari penelitian ini adalah 1) mengetahui kematangan sosial tunanetra di SDLB, 2) mengetahui kematangan sosial tunarungu di SDLB, 3) mengetahui kematangan sosial tunanetra di SDLB, serta 4) perbandingan kematangan sosial tunanetra, tunarungu, dan tunagrahita di SDLB.
Kematangan sosial adalah keterampilan individu dalam mengerti dan bagaimana bereaksi pada situasi sosial yang tercermin dari perilaku kemandiriaan dan penerimaan sosialnya. Kematangan sosial mencakup beberapa aspek diantaranya: Menolong diri sendiri (self-help),kemampuan ketika makan (self- eating), kemampuan berpakaian (self-dressing), mengarahkan pada diri sendiri (self-direction), gerak (locomotion), pekerjaan (occupation), sosialisasi (socialization), dan komunikasi (communication). Sedangkan terdapat beberapa faktor yang menyebabkan perbedaaan keterampilan sosial anak dengan lainnya, yaitu: a) Perkembangan dan kematangan khususnya kematangan intelektual, sosial, dan emosi. b) Faktor biologis, pengalaman belajar, kondisioning frustasi dan konflik. c) Keadaan lingkungan, terutama dalm hal ini adalah lingkungan rumah dan keluarga. d) Faktor kebudayaan, adat istiadat dan agama. e) Keadaan fisik dan faktor keturunan, konstitusi fisik meliputi sistem syaraf, kelenjar otot- otot serta kesehatan dan penyakit
Metode yang digunakan adalah kuantitatif deskriptif. Sedangkan subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah tiga anak masing-masing memiliki ketunaan yang berbeda: tunanetra, tunarungu, serta tunagrahita, dengan usia 12-14 tahun. Alat ukur yang digunakan adalah alat tes VSMS dengan metode observasi dan wawancara. Penelitian ini menggunakan analisis statistik deskriptif.
Hasil penelitiannya sebagai berikut : Kematangan sosial pada tunanetra dengan subjek DN memiliki kecerdasan sosial (SQ) 40,5 atau setara dengan usia 5,1 tahun, artinya DN memiliki kematangan sosial (SA) yang dimiliki kurang sesuai dengan usianya saat ini. Kematangan sosialnya jauh lebih rendah dibandingkan usia kronologis yang dimiliki (12 tahun, 6 bulan). Sedangkan pada tunarungu dengan subjek RZ memiliki kecerdasan sosial 69,7 atau setara dengan usia 8,5 tahun yang artinya kematangan sosial yang dimiliki oleh RZ berada di atas rata-rata usia yang dimiliki saat ini. Kematangan sosialnya sedikit rendah dari usia kronologisnya 12 tahun, 2 bulan, 8 hari. Pada tunagrahita dengan subjek UD memiliki kecerdasan sosial (SQ) 50,76 atau setara dengan usia 7,0 tahun, artinya UD kematangan sosial yang dimiliki oleh UD sesuai dengan usia yang dimiliki saat ini. Kematangan sosialnya separoh lebih dari usia kronologisnya 13 tahun, 9 bulan, 15 hari. Perbandingan kematangan sosial antar ketiga ketunaan sangant berbeda, pada tunarungu lebih tinggi dari tunagrahita, sedangkan anak tunagrahita lebih tinggi dari pada tunanetra. Kesimpulan tambahan kematangan sosial tersebut dipengaruhi oleh bebrapa faktor diantaranya 1) keterebatasan yang dialami baik fisik atau psikis, 2) pembiasaan keluarga, 3) system pembelajaran meliputi kompetensi guru serta optimalisasi fasilitas. 4) waktu belajar/ durasi belajar.
ENGLISH:
In visual impaired, hearing impaired, and mental retardation children, those who experience barriers in terms of physical, motor, behavioral, academic, personality, and social. Social maturity becomes very important because children are expected to self that is not always dependent on the others. The purpose of this study is 1) knowing social maturity of visual handicapped/ impaired in out of ordinary elementary school (SDLB), 2) determine the social maturity of hearing impaired in SDLB, 3) determine social maturity of visual impairment in SDLB, and 4) the comparison of social maturity visual impaired, hearing impaired, and mental retardation children in out of ordinary elementary school (SDLB).
Social maturity is the skill of the individual to understand and how to react in social situations are reflected in the behavior of independence and social acceptance. Social maturity covers several aspects including: Helping yourself (self-help-general), when eating ability (self-eating), ability to dress oneself (self- dressing), directed at oneself (self-direction), movement (Locomotion), employment (occupation), socialization, and communication. While there are several factors that lead to differences in social skills with other children, namely: a) The development and maturity of the particular maturity of intellectual, social, and emotional. b) Biological factors, experiential learning, conditioning frustration and conflict. c) The environment, especially home and family environment. d) Factors of culture, customs and religion. e) Physical conditions and heredity, physical constitution includes the nervous system, muscles and glands of health and diseases.
The method used is quantitative descriptive. While the subjects used in this study were three children each have different disabilities: visual impaired, hearing impaired, and mental retardation, ages 12-14 years. Measuring instrument used is VSMS assay with observation and interview methods. This study used a descriptive statistical analysis.
Research results are as follows: social maturity blind to the subject DN having social intelligence (SQ) 40.5, equivalent to 5.1 years of age, meaning that DN has the social maturity (SA) owned less according to his age. Social maturity is much lower than chronological age-owned (12 years, 6 months). While on the subject of deaf RZ has social intelligence or equivalent age 69.7 8.5 years, which means social maturity owned by RZ is above the average age of which is owned today. Social maturity slightly lower than the chronological age of 12 years, 2 months, 8 days. On the subject of mental retardation with UD has social intelligence (SQ) 50.76, equivalent to 7.0 years of age, means the social maturity of UD in accordance with the same age. Social maturity is more than half the chronological age of 13 years, 9 months, 15 days. Comparison between the three social disabilities maturity is very different, the hearing impaired is higher than mental retardation, while mental retardation child is higher than the visually impaired. Additional conclusion of social maturity is influenced by factors such as 1) disability factor, either physical or psychological, 2) habituation of family, 3) learning systems include teacher competence and optimizing facilities. 4) duration of the study.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Manusia
adalah makhluk sosial yang selalu membutuhkan dan perlindungan dari orang lain.
Tanpa bantuan dari orang lain dan lingkungan sosial maka manusia tidak mudah
dalam mencapai tingkat normal, dari kebutuhan manusia tersebut salah satunya
adalah kematangan sosial. Kematangan sosial adalah kemampuan seseorang dalam
melakukan aktivitas secara mandiri serta ikut serta dalam melakukan kegiatan
sosial. Hal tersebut seiring dengan pernyataan Doll (1965:10) bahwa kematangan
sosial seseorang tampak dalam perilakunya. Perilaku tersebut menunjukkan
kemampuan individu dalam mengurus dirinya sendiri dan partisipasinya dalam
aktifitas-aktifitas yang mengarah pada kemandirian sebagaimana layaknya orang
dewasa. Selain itu kematangan sosial adalah kemampuan untuk mengerti orang lain
dan bagaimana bereaksi terhadap situasi sosial yang berbeda (Goleman, 2007). Di
mana manusia dituntut untuk mandiri dalam melakukan sesuatu dan mampu melakukan
penerimaan sosial. Chaplin (1985:433) mendefinisikan kematangan sosial
merupakan suatu perkembangan ketrampilan dan kebiasaan-kebiasaan individu yang
menjadi ciri khas kelompoknya. Hal tersebut bisa berupa kegiatan menolong diri
sendiri secara umum (self-help-general), mengarahkan pada diri sendiri 2
(self-direction), gerak (locomotion), pekerjaan (occupation), sosialisasi
(socialization), dan komunikasi (communication) sebagaimana dinyatakan Doll
sebagai kriteria kematangan sosial. Gassel (dalam Gunarsa, 1991:61) menyatakan
bahwa kematangan sosial adalah proses instrinsik yang terjadi dengan sendirinya
sesuai dengan potensi yang ada, dimana antara kematangan dan latihan ada proses
belajar terdapat interaksi erat yang mempengaruhi kematangan sosial.
Perkembangan sosial merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan sosial. Anak
dilahirkan belum bersifat sosial dalam arti dia belum memiliki kemampuan untuk
berinteraksi dengan orang lain. Untuk mencapai kematangan sosial, anak harus
belajar tentang cara-cara menyesuaikan diri dengan orang lain. Kemampuan ini
diperoleh anak melalui berbagai kesempatan atau pengalaman belajar bergaul
dengan orang-orang di lingkungannya, baik orang tua, guru, saudara, teman
sebaya atau orang dewasa lainnya. Gunarsa (1991:90) mengatakan, kematangan
sosial dipengaruhi beberapa hal diantaranya a) perkembangan dan kematangan
khususnya kematangan intelektual, sosial, dan emosi, b) faktor biologis dan
fisiologis, c) keadaan lingkungan, terutama dalam hal ini adalah lingkungan
rumah dan keluarga, d) faktor kebudayaan, adat istiadat dan agama, e) keadaan
fisik dan faktor keturunan, konstitusi fisik meliputi sistem syaraf, kelenjar
otot-otot serta kesehatan dan penyakit. 3 Begitu juga kematangan sosial bagi
anak berkebutuhan khusus bukanlah yang mudah untuk dicapai karena keterbatasan
indra dan intelektual merupakan hal yang fatal, terutama dalam memperoleh
informasi untuk mengenal dan berpikir keberadaan mereka di lingkungan, yang
sangat berpengaruh terhadap perkembangan, proses belajar, dan penyesuaian diri
sendiri serta penyesuaian dengan lingkungan sosialnya. Biasanya anak tersebut
disebut Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) merupakan istilah terbaru yang
digunakan, dan merupakan terjemahan dari child with special needs yang telah
digunakan secara luas di dunia internasional. Ada beberapa istilah lain yang
pernah digunakan di antaranya anak cacat, anak tuna, anak berkelainan, anak
menyimpang, dan anak luar biasa, ada satu istilah yang berkembang secara luas
telah digunakan yaitu difabel, sebenarnya merupakan kependekan dari difference ability.
Sejalan dengan perkembangan pengakuan terhadap hak asasi manusia termasuk
anak-anak ini, maka digunakanlah istilah anak berkebutuhan khusus (Suparno dan
Purwanto, 2007) Cakupan ABK sangat luas di dalamnya terdapat anak-anak yang
memiliki cacat fisik, atau kemampuan IQ rendah, serta anak dengan gangguan
permasalahan sangat kompleks, sehingga fungsi-fungsi kognitifnya mengalami
gangguan. Menurut Heward (2003) ABK adalah anak dengan karakteristik khusus
yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukkan pada
ketidakmampuan mental, emosi atau fisik, yang termasuk ke dalam ABK antara
lain: tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, kesulitan belajar, gangguan
perilaku, anak berbakat, anak dengan gangguan kesehatan. Istilah 4 lain bagi
ABK memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus yang disesuaikan dengan
kemampuan dan potensi mereka. ABK biasanya bersekolah di Sekolah Luar Biasa
(SLB) sesuai dengan kekhususannya. Adapun klasifikasi yang diberikan oleh
direktorat PSLB (dalam Suparno dan Purwanto 2007) adalah sebagai berikut: Tabel
1 Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus SLB Jenis SLB Jenis A Tunanetra I Gifted
: Potensi Kecerdasan Istimewa (IQ > 125 ) B Tunarungu J Talented : Potensi
Bakat Istimewa (Multiple Intelligences : language, logico mathematic,
visuospatial, bodilykinesthetic, musical, interpersonal, intrapersonal,
natural, spiritual) C Tunagrahita C : Berkebutuhan khusus Ringan (IQ = 50-70)
C1 : Berkebutuhan khusus Sedang (IQ = 25-50) C2 : Berkebutuhan khusus Berat (IQ
< 25 ) K Kesulitan Belajar (a.l. Hyperaktif, ADD/ADHD, Dyslexia/Baca,
Dysgraphia/Tulis, Dyscalculia/Hitung, Dysphasia/Bicara, Dyspraxia/ Motorik) D
Tunadaksa D : Tunadaksa Ringan D1 : Tunadaksa Sedang L Lambat Belajar ( IQ = 70
– 90 ) E Tunalaras M Autis F Tunawicara N Korban Penyalahgunaan Narkoba G
Tunaganda O Indigo H HIV AIDS 5 Namun pada umumnya di SLB menangani anak
berkebutuhan khusus A, B, C, D, E. Permasalahan yang sering muncul di lapangan
pada beberapa orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus merasa under
estimate sehingga tidak jarang mereka membatasi dalam pergaulannya dengan cara
tidak boleh keluar rumah, membatasi teman, serta tidak boleh melakukan
pekerjaan yang dianggap tidak mampu, padahal tidak demikian. Bagi orang tua di
dalam rumah merupakan tempat yang pas untuk kegiatan anak berkebutuhan khusus,
hal tersebut berimbas pada kematangan sosial, seperti anak cenderung sulit
menyesuaikan diri, kurang mandiri, pengendalian emosi, serta partisipasi
sosial. Alasannya takut anak-anaknya menjadi korban bullying, malu, dan
lain-lain. Selain itu peneliti mendapat permasalahan di lapangan bahwasanya
orang tua sangat khawatir, melindungi, dan mengasihi anakanya berlebihan dengan
tidak boleh melakukan kegiatan yang memberatkan anaknya, padahal anak mampu seperti
menggunting, menggupas dengan pisau, membeli jajan sendiri, menyuapi ketika
makan. Hal demikian sangat berpengaruh pada kematangan sosialnya, yang biasanya
anak matang sosial pada usia kronologisnya tetapi malah tidak sesuai.
Perlindungan yang berlebihan bagi anak akan menjadi racun dalam
perkembangannya. Anak cenderung bergantung dengan orang yang di dekatnya.
Berangkat dari pembahasan di atas peneliti menggambil tiga macam ketunaan yakni
tunanetra, tunarungu, dan tunagrahita. Tunanetra yakni individu yang mengalami
gangguan pada indra penglihatan baik ketika bayi atau sesudahnya. Hal itu
senada dengan Suparno dan Purwanto (2007) yang menyatakan bahwa anak tunanetra
adalah anak-anak yang mengalami kelainan 6 atau gangguan fungsi penglihatan,
yang dinyatakan dengan tingkat ketajaman penglihatan atau visus sentralis di
atas 20/200 dan secara pedagogis membutuhkan layanan pendidikan khusus dalam
belajarnya di sekolah. Selain itu anak tunarungu adalah individu yang mengalami
gangguan pada sistem pendengaran. Menurut pendapat lain tunarungu adalah
kehilangan atau kekurangan pendengaran yang mengakibatkan hambatan dalam
perkembangannya sehingga memerlukan bimbingan dan pendidikan secara khusus
(Brananta, 1978:10). Sedangkan definisi tunagrahita, tahun 1961 American
Asociation on Mental Deficiency (AAMD) dalam BP3PTKSM mendefinisikan
tunagrahita atau retardasi mental sebagai kelalaian yang (1) meliputi fungsi
intelektual umum di bawah rata-rata (subaverage), yaitu IQ 84 ke bawah
berdasarkan tes individual, (2) muncul sebelum usia 16 tahun, dan (3)
menunjukkan hambatan dalam perilaku adaptif. Ketiga kriteria tersebut harus
ditemukan sebelum dinyatakannya tunagrahita atau retardasi mental. Kematangan
sosial pada anak dengan tiga macam ketunaan menjadi pilihan menarik bagi
peneliti karena anak dengan kekurangannya atau tidak akan menghadapi kehidupan
selanjutnya, sehingga penting dalam mempersiapkan dengan melatih, membimbing,
dan mendidik menjadi manusia yang mandiri. Menurut penelitian terdahulu,
Pramudiati (2008) tentang kematangan sosial anak tunanetra. Hasil penelitian
subjek mampu melaksanakan aspek kegiatan menolong diri sendiri secara umum
(self-help-general), mengarahkan pada diri sendiri (self-direction), pekerjaan
(occupation), sosialisasi 7 (socialization), dan komunikasi (communication).
Sedangkan aspek yang tidak bisa dilakukan subjek adalah gerak (locomotion)
Meskipun subjek mempunyai kekurangan dalam hal penglihatan tapi subjek mampu
dalam melakukan komunikasi dan sosialisasi pada orang tua atau teman sebaya di
lingkungan. Selain itu pada tunarungu, mengenai kematangan sosial siswa SMPLB-B
Dharma Wanita Pare-Kediri yang tinggal di asrama oleh Dewi (2005). Hasil
penelitiannya kematangan sosial SMPLB-B yang tinggal di asrama cenderung sama
dengan anak normal yang usianya sama dengan mereka. yaitu mereka mencapai
kematangan sosial dengan kategori SQ normal dan tinggi dimana kategori normal
ditunjukkan bahwa kematangan sosial yang mereka capai sesuai dengan usia yang
dimilikinya saat ini sedangkan untuk kategori tinggi menunjukkan bahwa subjek
mencapai kematangan sosial di atas usianya saat ini. Meskipun mempunyai
keterbatasan dalam hal berkomunikasi tapi berdasarkan hasil tes VSMS
menunjukkan bahwa siswa SMPLB-B Dharma Wanita Pare-Kediri mempunyai kematangan sosial
seperti yang dimiliki oleh anak normal. Sedangkan pada tunagrahita, Putrantara
(2011) dengan judul kematangan sosial pada down syndrome Hasil penelitian Az
memiliki usia kematangan sosial 6 tahun 3 bulan. Kematangan sosial yang di
miliki AZ sedikit lebih rendah dari pada usia kronologis yaitu 7 tahun 1 bulan
yang dimiliki, sedangkan usia mental AZ adalah 6 tahun 5 bulan. Sedangkan Nung
memiliki usia kematangan sosial 5 tahun 3 bulan, artinya kematangan sosial yang
dimiliki Nung setara dengan kematangan sosial anak usia 5 tahun 3 bulan.
Kematangan sosial Nung jauh lebih rendah dibandingkan usia kronologis yang
dimiliki (12 tahun 10 tahun) sedangkan usia 8 mental Nung adalah 3 tahun 7
bulan. Ternyata tingkat kematangan sosial yang dikuasai AZ dan Nung sebagai
penderita Down Syndrome masih dibawah tingkat kematangan sosial yang ideal
untuk kategori anak yang normal sesuai usia kronologisnya. Dinamika kematangan
sosial antar tiga ketunaan sangat berbeda. Pada tunanetra secara emosional
cenderung labil sehingga mudah tersinggung, dan curiga, dalam mempelajari
lingkungan dengan menyentuh dan merasakan, tidak memiliki kendali yang sam
terhadap lingkungan dan diri sendiri, berkomunikasi membutuhkan waktu yang lama
dalam mengkombinasikan, melakukan interaksi terhadap lingkungan dengan
menyentuh dan mendengar, penampilan ekspresi wajah kurang, intelegensinya tidak
secara otomatis menjadikan rendah, mempunyai daya ingat yang kuat disebabkan
memiliki konseptual yang baik, dan dalam bergerak/orientasi mobilitas sangat membutuhkan
latian. (Delphie, 2006:114-17). potensi yang digali terkait indra pendengaran
dan peraba, fokus yang dikembangkan pada aktivitas sehari-hari serta pekerjaan
seperti memijat, menyanyi, bermain musik, berjualan, serta lainnya. Pada anak
tunanetra cenderung kurang mampu mengontrol emosi karena sering dihinggapi
perasaan tidak percaya dan curiga. Pada tunarungu secara fisiologis, emosi dan
sosial sama dengan anak awas walaupun biasanya agak labil, anak dengan hambatan
pendengaran biasanya berkesulitan dalam membaca, perkembangan bahasa dan
berkomunikasi kurang sempurna, hidup dalam lingkungan terisolir sehingga butuh
interaksi sosial dan perasaan diterima, memiliki kesulitan dalam melakukan
gerak keseimbangan dan 9 koordinasi gerak tubuh, dan secara intelektual sama
dengan ank normal karena keterbatasan berkomunikasi sehingga menjadi rendah
(Delphie, 2006: 111-113). Aktivitas yang bisa dilatih pada kebiasaan
sehari-hari bersifat visual, karena anak yang mengalami hambatan pendengaran
mengkompensasikan pada pengligatannya, seperti menjahit, membuat roti,
menganyam, mengetik, pada anak tunarungu ciri-ciri kematangan sosialnya
cenderung kurang pada penyesuaian sosial karena terhambat pada komunikasi.
Sedangkan pada tunagrahita dinamika kematangan sosialnya, dasar secara
fisiologis, sosial, dan emosional sama dengan ank awas, mudah melakukan
kesalahan, mempunyai perilaku tidak dapat mengatur diri sendiri, bermasalah
dengan perilaku sosial, bermasalah dengan karakteristik belajar, bermasalah
dengan komunikasi baik bahasa atau pengucapan, bermasalah dengan kesehatan
fisik, dan mempunyai kelainan sensori dan gerak (Delphie, 2006:17). Untuk
memaksimalkan potensi pada tunagrahita lebih difokuskan pada kegiatan ADL
(Activity Daily living), seperti makan, minum, mandi, berpakaian, serta pada
pekerjaan yang bersifat kontinyu misalnya menyapu, menanam, mencuci serta
lainnya. Pada anak tunagrahita cenderung tidak mampu menyesuaikan sosial secara
independen. Adanya gangguan pada macam-macam ketunaan di atas sangat menyulitkan
anak untuk bisa mengembangkan potensinya dan belajar secara optimal, karena
anak mengalami hambatan anak pada segi fisik, motorik, perilaku, akademik,
kepribadian, dan sosialnya. Kegiatan tersebut tidak dapat dilaksanakan begitu
saja melainkan dengan adanya bimbingan secara maksimal dan intensif 10 serta
dukungan emosional dan penerimaan yang lebih besar dari lingkungan sosialnya.
Berdasarkan dinamika permasalahan yang telah dipaparkan di atas, maka peneliti
mendeskripsikannya ke dalam judul “Perbandingan Kematangan Sosial Tunanetra,
Tunarungu, dan Tunagrahita di SDLB Negeri Sengonagung Pasuruan”. B. Rumusan
Masalah 1. Bagaimana tingkat kematangan sosial tunanetra di SDLB Negeri
Sengonagung, Purwosari, Pasuruan? 2. Bagaimana tingkat kematangan sosial tunarungu
di SDLB Negeri Sengonagung, Purwosari, Pasuruan? 3. Bagaimana tingkat
kematangan sosial tunagrahita di SDLB Negeri Sengonagung, Purwosari, Pasuruan?
4. Bagaimana perbandingan kematangan sosial tunanetra, tunarungu, dan
tunagrahita di SDLB Negeri Sengonagung, Purwosari, Pasuruan? C. Tujuan
Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui tingkat
kematangan sosial anak tunanetra di SDLB Negeri Sengonagung, Purwosari,
Pasuruan 2. Untuk mengetahui tingkat kematangan sosial anak tunrungu di SDLB
Negeri Sengonagung, Purwosari, Pasuruan 11 3. Untuk mengetahui tingkat
kematangan sosial anak tunagrahita di SDLB Negeri Sengonagung, Purwosari,
Pasuruan 4. Untuk mengetahui perbandingan kematangan sosial anak tunanetra,
tunarungu, tunagrahita di SDLB Negeri Sengonagung, Purwosari, Pasuruan D.
Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Diharapkan penelitian ini memberikan
pemahaman konsep teoritk tentang kondisi kematangan sosial anak tunanetra,
tunarungu, dan tunagrahita, serta mendapatkan gambaran awal usaha-usaha yang
dilakukan orang tua dalam membantu proses kematangan sosial anak mereka. 2.
Manfaat Praktis a. Untuk orang tua, penelitian ini dapat memberikan informasi
kepada orang tua tentang pentingnya memperhatikan anak serta diharapkan peka terhadap
kebutuhan anak agar dapat melalui tahap-tahap tumbuh kembang sebagaimana
mestinya terutama kematangan sosial baik anak tunanetra, tunarungu, maupun
tunagrahita b. Untuk pendidik dan sekolah dimana anak tunanetra, tunarungu, dan
tunagrahita ini bersekolah, guru atau terapis dapat mengetahui kematangan
sosial anak apakah sudah sesuai dengan tugas perkembangan usia kronologis anak
di sekolah, sehingga dapat dijadikan acauan dalam memperbaiki kegiatan yang
menunjang 12 kematangan sosial. Selain itu pihak sekolah disarankan melakukan
kegiatan preventif dan kuratif pada orang tua dengan cara memberikan pelatihan
seperti pelatihan “orang tuaku adalah terapisku” dan melakukan konseling secara
berkala kepada orang tua yang ditemukan anaknya mengalami hambatan pada salah
satu ketunaan.
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment