Abstract
INDONESIA :
Berbicara mengenai kekerasan, tentu tidak lepas dari peran manusia sebagai pelaku kekerasan. Di antara sekian banyak ragam serta bentuk kekerasan yang dilakukan manusia, terdapat satu bentuk kekerasan yang unik dan dari dulu hingga sekarang selalu terjadi di Madura, carok. Di Desa Kalebengan Kecamatan Rubaru Kabupaten Sumenep carok sedemikian mengakar dan bahkan mentradisi. Sehingga fenomena ini menjadi menarik untuk diteliti. Berpijak dari pemikiran tersebut, maka permasalahan yang ingin diangkat adalah bagaimana terjadinya fenomena carok di Desa Kalebengan Kecamatan Rubaru Kabupaten Sumenep Madura, dan mengapa masyarakat Kalebengan Kecamatan Rubaru Kabupaten Sumenep Madura memilih carok sebagai salah satu jalan penyelesaian masalah. Dengan demikian, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui terjadinya fenomena carok di tengah masyarakat Madura di Desa Kalebengan Kecamatan Rubaru Kabupaten Sumenep Madura, dan untuk mengetahui mengapa masyarakat Desa Kalebengan Kecamatan Rubaru Kabupaten Sumenep Madura memilih carok sebagai jalan penyelesaian masalah.
Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Orientasi teoritik untuk memahami makna gejala dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan fenomenologis. Dalam proses pengambilan data, peneliti menggunakan teknik observasi, wawancara dan dokumentasi. Sedangkan data yang digunakan berupa data primer dan sekunder. Teknik analisis data yang digunakan adalah reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.
Dari hasil penelitian yang dilakukan, carok adalah upaya saling membunuh yang dilakukan oleh orang laki-laki dengan menggunakan senjata tajam berupa celurit. Terjadinya carok di desa Kalebengan dilatarbelakangi oleh persoalan pelecehan harga diri, mempertahankan martabat, merebut harta warisan dan aksi balas dendam. Alasan masyarakat di Desa Kalebengan memilih carok sebagai salah satu media penyelesaian masalah, sesuai dengan teori belajar sosial yang dikemukakan oleh Bandura, adalah karena reciprocal determinism, beyond reinforcement, dan self-regulation/cognition.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Saat ini wacana kekerasan tidak asing lagi di
telinga masyarakat, terutama yang terjadi akhir-akhir ini di Indonesia.
Terdapat beragam faktor dan aneka bentuk tragedi yang dapat dijumpai. Mulai
yang ringan sampai pada tingkat yang mengkhawatirkan. Fragmen-fragmen kekerasan
dapat dengan mudah dijumpai apalagi kasus-kasus kekerasan sering dipublikasikan
oleh media, cetak dan elektronik. Jika disimak, berita mengenai kriminalitas
dan tindak kekerasan selalu mewarnai dalam porsi yang semakin meningkat.
Membicarakan kekerasan, tentu tidak lepas dari peran manusia sebagai pelakunya.
Kalau dilacak dalam lembar sejarah kehidupan manusia ternyata kekerasan hampir
selalu mewarnai perjalanan manusia. Tidak heran kalau ada yang mengatakan bahwa
mulai dari dulu –ketika manusia pertama kali hadir di dunia ini– sampai
sekarang, potensi timbulnya kekerasan seringkali menyertai. Menurut pandangan
Islam, potret kekerasan yang paling awal ditunjukkan oleh Qabil dan Habil,
anak-anak Adam dan Hawa (QS. al-Ma’idah/5: 27).1 1 tΑ$s% ( y7¨Ψn=çFø%V{ tΑ$s% ÌyzFψ$# zÏΒ ö≅¬6s)tFãƒ
öΝs9uρ $yϑÏδωtnr& ôÏΒ Ÿ≅Îm6à)çFsù
$ZΡ$t/öè% $t/§s% øŒÎ) Èd,ysø9$$Î/ tΠyŠ#u óo_ö/$#
r't6tΡ öΝÍκön=tã ã≅ø?$#uρ
* ∩⊄∠∪ tÉ)−Fßϑø9$# zÏΒ ª!$# ã≅¬7s)tGtƒ
$yϑ‾ΡÎ) “Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil)
menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima
dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain
(Qabil). Ia berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu!." Berkata Habil:
"Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orangorang yang
bertakwa”. Keduanya menggunakan jalan kekerasan sebagai pemaksaan kehendak satu
sama lain. Menurut Iin Tri Rahayu, kekerasan sampai saat ini seakan menjadi
simbol penekan kedaulatan terhadap orang lain.2 Secara sederhana ada dua
pandangan berbeda mengenai kekerasan. Pandangan pertama ditunjukkan oleh kaum
Barat yang memotret kekerasan cenderung pada aspek di luar normatifnya.
Sehingga menurut mereka kekerasan merupakan fenomena sosial karena mereka
cenderung menggunakan pendekatan positivistik. Positivistik merupakan salah
satu aliran yang ada dalam filsafat yang berkeyakinan bahwa sesuatu itu bisa
dianggap benar kalau berdasarkan fakta-fakta empiris yang mendukungnya.
Artinya, segala sesuatu harus berdasarkan fakta dan proses ilmiah yang bisa
dipertanggungjawabkan status kebenarannya. Karena itu wajar kalau tokohtokoh
dalam aliran positivistik menyatakan bahwa kekerasan itu timbul karena fenomena
sosial. Sedangkan al-Qur’an memandang kekerasan dari sisi normatif. Kekerasan
menurut al-Qur’an adalah bentuk perilaku yang disebabkan oleh hati yang keras
(ghalidh al-qalb) sebagai akibat dari penolakannya terhadap petunjuk Tuhan.
Hati yang keras dalam al-Qur’an diidentifikasi sebagai nurani yang sakit
(maridl al-qalb). Manusia yang demikian mudah melakukan perilaku kejahatan.3
Hal ini bisa dipahami bahwa kekerasan itu muncul dari aspek dalam diri manusia
itu sendiri, yaitu jiwa yang jelek. 2 Iin Tri Rahayu, Kekerasan dan
Agresivitas, (Malang: Psikoislamika, Jurnal Psikologi dan Keislaman Fakultas
Psikologi UIN Malang, Volume 1, Nomor 2, Juli 2004), 167. 3 M. Fauzan Zenrif,
Perempuan dan Kekerasan: Memposisikan Konsep Kekerasan Perspektif AlQur’an,
(Malang: El-Harakah, Majalah Wacana Kependidikan, Keagamaan dan Kebudayaan
STAIN Malang, Nomor 56, Tahun XXII, Januari-Maret 2001), 112. Ada perbedaan
yang cukup mendasar dari kedua perspektif di atas. Orang Barat memandang bahwa
kekerasan merupakan fenomena sosial, sedangkan dalam al-Qur’an kekerasan
dipandang sebagai perilaku yang muncul karena hati yang sakit. Bentuk-bentuk
kekerasan yang selalu muncul di benak masyarakat mungkin hanyalah kekerasan
pembunuhan dan penganiyaan. Padahal kekerasan cakupannya cukup luas, artinya
tidak terpaku pada dua hal tersebut. Kekerasan hampir sama dengan konsep agresi
dalam psikologi. Karena perilaku kekerasan dimaksudkan untuk menyakiti orang
lain, baik fisik atau psikis. Menurut Raymundus I Made Sudhiarsa, kekerasan
yang biasa terjadi dalam kehidupan manusia bisa berbentuk kekerasan terhadap
sesama maupun terhadap lingkungan alam, terhadap diri sendiri maupun terhadap
lingkungan sosial. Subyek dan obyek sasarannya potensial dilakukan dan dialami
oleh siapapun baik perorangan (individual) maupun kelompok (kolektif).4 Di
antara sekian banyak ragam serta bentuk kekerasan yang dilakukan manusia,
terdapat satu bentuk kekerasan yang unik dan dari dulu hingga sekarang selalu
terjadi di Madura. Kekerasan tersebut dikenal publik dengan sebutan carok.
Stigma yang menjadi ikon ketika orang mendengar nama Madura tersebut begitu
cepat dikenal publik seiring banyaknya orang Madura yang menjadi perantauan di
kota-kota besar di Indonesia bahkan sampai luar negeri. Apalagi peran pers
membantu mempercepat proses informasi mengenai kekerasan berupa carok di
Madura. Seperti kasus carok massal yang 4 Raymundus I Made Sudhiarsa, Membangun
Peradaban Dengan Religiusitas Anti-Kekerasan, (Malang: Psikoislamika, Jurnal
Psikologi dan Keislaman Fakultas Psikologi UIN Malang, Volume 1, Nomor 2, Juli
2004), 135. terjadi di Pamekasan pada lima bulan yang lalu, tepatnya pada Mei
2008, yang diliput oleh salah satu stasiun televisi yang ada di Indonesia,
SCTV, dalam program “Liputan 6 Petang”. Istilah carok sebenarnya merupakan
kekerasan yang dilakukan oleh orang Madura. Karena pada dasarnya kekerasan
seperti yang dilakukan oleh orang Madura sama halnya dengan kekerasan yang
dilakukan oleh orang di luar Madura. Mungkin yang membedakan hanyalah celurit
karena celurit merupakan alat yang digunakan ketika melakukan carok.5 Carok,
seperti yang diungkapkan A. Latief Wiyata, adalah pengejawantahan nilai-nilai
sosiobudaya yang berkembang di Madura. Bagi orang Madura ungkapan; “ango’an
poteya tolang etembang poteya mata”, atau “lebih baik mati – putih tulang,
daripada menanggung perasaan malu – putih mata”, dan ungkapan yang lebih tegas;
“thambana todus, mate”, atau “obatnya malu adalah mati” adalah merupakan
prinsip dalam melakukan carok yang dilakukan untuk membela atau mempertahankan
harga diri dan kehormatan. Oleh karena itu, tindakan tersebut selain dibenarkan
secara kultural juga mendapat persetujuan sosial.6 Kejadian carok yang secara
umum terjadi di Madura secara khusus juga terjadi di Madura bagian Timur,
tepatnya di Desa Kalebengan, Kecamatan Rubaru, Kabupaten Sumenep. Sebagaimana
diakui oleh Kepala Desa setempat bernama Hariyadi, bahwa terdapat indikasi
adanya perilaku carok di daerahnya sebagaimana pengamatannya selama menjabat
sebagai 5 Ibnu Hajar, Carok, Sarkasme Orang Madura,
http://www.kaskus.us/showthread.php., 27 Juli 2007. 6 A. Latief Wiyata, Carok
Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura, (Yogyakarta: LKiS, 2006), 17.
Kepala Desa. Walaupun tidak ada bukti secara statistik, namun Hariyadi yakin
bagian dari masyarakat yang ada di wilayahnya pernah melakukan carok. Berikut
cuplikan penuturannya mengenai hal tersebut: “Reng Madura paneka sarkasar
tamasok oreng Kalebengan. Artena reng kaenja paneka orenga cepet emosi, daddhi
segghudan acarok. Ja’ kadang masalana ghun sakone’ tape daddhi raje. Sampe’
samangken kaula dhibi’ ta’ oneng kadhinapa carana maelang tradisi enga’
ghaneka”. (Orang Madura itu kasar-kasar termasuk masyarakat Kalebengan.
Maksudnya, masyarakat yang ada di Desa Kalebengan ini cepat terpancing
emosinya, karena itu masyarakat di sini sering melakukan carok. Padahal
masalahnya cuma sepele atau ringan akan tetapi bisa menjadi besar. Sampai
sekarang saya sendiri tidak tau bagaimana caranya menghilangkan tradisi seperti
itu).7 Carok, sebagaimana yang disampaikan Hariyadi, sedemikian mengakar di
Kalebengan. Sehingga Hariyadi menyebut carok sebagai bentuk kekerasan yang
mentradisi di Kalebengan. Pernyataan Hariyadi mungkin berangkat dari intensitas
seringnya fenomena perilaku carok yang dilakukan oleh masyarakat Kalebengan.
Terutama ketika masyarakat Kalebengan dihadapkan atau menghadapi persoalan yang
tidak bisa diselesaikan dengan kepala dingin atau dengan cara kekeluargaan. Di
samping indikasi seperti yang disampaikan Kepala Desa Kalebengan, Hariyadi,
peneliti kemudian juga mencari data terutama pada masyarakat di Kalebengan.
Akhirnya peneliti menemukan sebagian masyarakat Kalebengan yang melakukan carok.
Berikut cuplikan keterangan tiga orang pelaku carok di Kalebengan beserta
alasan singkat mereka melakukan carok. 7 Hariyadi, wawancara, Kalebengan, 2
Agustus 2007. Rafi’ien mengaku melakukan carok karena istrinya sering diganggu
oleh Sattar. Gangguan yang dimaksud adalah dalam bentuk hubungan percintaan
yang dilakukan oleh Sattar terhadap istri Rafi’ien. Sehingga akhirnya Rafi’ien
memutuskan untuk membunuh dengan jalan carok.8 Carok dengan motif seperti yang
terjadi pada Rafi’ien (masalah perselingkuhan dan gangguan terhadap istri)
adalah motif yang biasa terjadi pada hampir semua kejadian carok di Madura.
Persoalan tersebut berujung pada perilaku carok karena ketika suami mengetahui
istrinya diganggu atau berselingkuh dengan orang lain itu berarti penghinaan
terhadap harga diri atau martabat diri si suami. Demikian juga si suami
menganggap perbuatan tersebut adalah tindakan merusak aturan tatanan sosial.
Oleh karena itu sanksi yang tepat menurut kebiasaan yang terjadi di Madura
adalah dengan jalan di bunuh (melakukan carok). Berbeda dengan Rafi’ien, Rafik
mengungkapkan bahwa carok yang dilakukannya karena diduga oleh Saleman telah
mendukung pihak Man Dullah yang pernah kecurian. Sebagai seorang yang memiliki
tanggung jawab dan loyalitas tinggi terhadap desa yang ditempatinya, Rafik
terpanggil untuk menjaga keamanan desa tersebut. Di samping itu, Rafik memang
terkenal sebagai orang yang memiliki karakter atau pembawaan yang lemah lembut.
Namun di sisi lain, dia juga bisa bersikap tegas ketika dihadapkan dengan
persoalan yang mengancam terhadap pelecehenan harga dirinya.9 8 Rafi’ien,
wawancara, Kalebengan, 7 Nopember 2007. 9 Rafik, wawancara, Kalebengan, 7
Nopember 2007. Hampir setiap hari Rafik mendapatkan ancaman dari Saleman
(terdakwa sebagai pencuri). Merasa harga dirinnya dilecehkan karena selalu
mendapat ancaman, pada akhirnya Rafik melayani juga keinginan Saleman. Perilaku
carok selain dilakukan karena faktor perselingkuhan dan gangguan terhadap
istri, carok juga seringkali disebabkan oleh di luar kedua hal tersebut.
Misalnya karena mempertahankan martabat, harta warisan, aksi balas dendam dan
lain sebagainya. Carok, seperti yang dilakukan oleh Rafik adalah carok karena
kepentingan untuk mempertahankan harga dirinya. Sedangkan Juman melakukan carok
karena persoalan cemoohan yang datang dari tetangga sebelahnya. Keluarga Juman
termasuk keluarga sederhana, baik secara sosial maupun ekonomi, sebagaimana
umumnya keluarga lain di desa itu. Bahkan, secara ekonomi mereka tergolong
keluarga miskin sehingga mudah dimengerti jika tidak seorangpun dari keluarga
Juman yang melanjutkan pendidikan ke jenjang di atas SMP.10 Selain itu, menurut
pengakuan orang tuanya, Juman termasuk anak yang patuh, tidak nakal, dan
terkesan pendiam. Suatu ketika dia ikut jamaah hadrah yang ada di desa tempat
tinggalnya, Kalebengan. Biasanya apabila orang yang ditunjuk untuk menjadi tuan
rumah dalam perkumpulan tersebut menyediakan hidangan setelah akhir acara.
Giliran Juman yang menjadi tuan rumah dia tidak mampu atau tidak bisa menyediakan
hidangan seperti biasanya karena memang kondisi ekonomi Juman yang tidak
memungkinkan. Oleh karenanya Juman diolok-olok oleh 10 Juman, wawancara,
Kalebengan, 8 Nopember 2007. salah satu tetangganya. Sehingga carokpun akhirnya
dia lakukan. Hampir sama dengan kedua kasus carok sebelumnya, kasus yang
terjadi pada Juman adalah karena alasan harga diri yang dilecehkan. Selain
masalah harga diri yang diinjak-injak oleh orang lain, demikian juga yang
tampak pada kasus carok ini adalah masalah ekonomi. Artinya ketidakmampuan
ekonomi seperti yang dialami oleh Juman menjadi alasan orang lain mengejeknya,
maka hal tersebut menjadi potensi terjadinya carok seperti yang tersebut di
atas. Motif-motif yang menjadi faktor penyebab meretasnya carok sangat beragam
dan bervariatif. Menurt Latief, kasus-kasus carok dan motifnya dapat
diklasifikasikan menjadi dua bagian. Bagian pertama, kasus-kasus carok yang
bermotif gangguan terhadap istri. Bagian kedua, kasus-kasus carok yang bermotif
selain gangguan terhadap istri. Kasus yang bermotif gangguan terhadap istri
dapat dikelompokkan lagi dalam beberapa motif, yang kurang lebihnya
diantaranya, cemburu membawa mati, cemburu dan persaingan bisnis, dan cemburu
kepada tetangga. Sedangkan kasus carok yang bermotif selain gangguan terhadap
istri dikelompokkan menjadi tiga motif, misalnya, karena mempertahankan
martabat, merebut harta warisan, membalas dendam kakak kandung.11 Adapun
hal-hal yang menjadi pertimbangan peneliti mengadakan penelitian di Kalebengan
diantaranya bahwa potensi timbulnya perilaku carok di Kalebengan sebenarnya
mempunyai kemiripan dengan daerah lain di Madura. Karena karakteristik
sosio-budaya, ekonomi, dan politiknya juga 11 Latief, Carok, 91-92. sama dengan
daerah lain. Hal ini bisa dilihat salah satunya pada karakter masyarakatnya
yang dikenal keras, pemberani, dan ulet. Bahkan ungkapanungkapan, istilah, dan
atau pepatah yang sering dilontarkan masyarakat setempat memang berbau kasar
misalnya, “mon tako’an ngangghui rok baih” (lebih baik mengenakan rok daripada
penakut), “Madura reya maddhu bi’ dhara” (Madura itu madu dan darah), “mate
lagghu’ otaba sateya ta’ kera epajungi emas” (mati besok atau sekarang sama
saja, tak mungkin dipayungi emas), dan lain sebagainya. Dalam hal ekonomi,
secara umum kondisi ekonomi di Desa ini hampir sama dengan daerah-daerah lain
yang ada di Sumenep. Hal tersebut terlihat pada tingkat kemampuan mereka
dibidang ekonomi yang berada pada tingkat ekonomi menengah ke bawah. Sehingga
dengan demikian sebagaimana pendapat analis sosial mengatakan bahwa
kepentingan-kepentingan atau sentiment-sentimen yang berbau ekonomi dapat
menciptakan potensi yang besar terjadinya perilaku kekerasan (carok). Di
samping itu, perilaku carok di desa tersebut seakan sudah menjadi tradisi
masyarakat setempat ketika terjadi pertentangan yang tidak bisa diselesaikan.
Karena selama ini tidak ada satupun masyarakat yang membuat norma tertulis atau
tidak tertulis yang mendeskripsikan bahwa perilaku carok adalah perbuatan yang
bersifat melanggar norma dan kesusilaan. Apalagi institusi yang seharusnya
menjadi penengah agar carok tidak terjadi bahkan tidak timbul lagi tidak
berjalan semestinya, misalnya aparat pemerintah seperti, polisi, camat, dan
kepala desa setempat, dan institusi di luar pemerintahan seperti kiai yang dikenal
dekat dengan masyarakat. Kenyataan-kenyataan lain, carok di desa Kalebengan
merupakan simbol akan pencitraan diri di samping sebagai pembelaan terhadap
keyakinan bahwa harga diri merupakan nilai (value) yang perlu dijaga dan
dijunjung tinggi. Kecuali itu, juga sebagai pengakuan bahwa pelaku carok
nantinya dianggap pemberani atau jagoan (blater). Maka tidak mengherankan
apabila masyarakat di desa Kalebengan kemanapun mereka pergi selalu membawa
celurit yang diselipkan di pinggang. Trend carok dan pembelaan harga diri
biasanya “diwariskan” kepada keluarga yang ditinggalkan bahkan sampai ada
istilah carok “pettong toronan” atau “tujuh turunan”. Artinya, apabila terdapat
kasus carok antara dua orang yang berbeda maka keturunan atau anak-anak mereka
akan melanjutkan permusuhan tersebut sampai tujuh turunan. Carok dengan istilah
“pettong toronan” menurut pengakuan masyarakat Kalebengan sebenarnya manifes
dari gejolak emosi yang dialami keluarga korban yang terbunuh dari peristiwa
carok. Balas dendam, demikianlah kata yang tepat untuk menunjukkan bahwa carok
“pettong toronan” dilakukan karena faktor tersebut. Dulu carok “pettong
toronan” di Desa ini bisa dikatakan sering terjadi. Namun carok yang demikian
sekarang ini sudah mulai ditinggalkan walaupun masih ada. Penelitian dan
pengamatan tentang carok sudah pernah dilakukan. Misalnya oleh Elly Touwen
Bouwsma (antropolog)12, Huub De Jonge (antropolog)13, Smith (ahli sejarah)14,
dan A. Latief Wiyata15 . 12 Rok Carok Acarok, (Gatra: Rubrik Ragam, 13 November
2004), 50. 13 Ibid.. 14 Latief, Carok, 21. 15 Ibid., 229. Elly Touwen Bouwsma,
dalam pengamatannya mengenai kekerasan dan carok di Madura, dengan mengutip
sebuah artikel Java Post, terbitan Belanda, (1922), mengemukakan bahwa; “orang
Madura dan pisaunya adalah satu; tangannya selalu siap merampas dan memotong.
Mereka terlatih menggunakan segala macam senjata, tetapi paling ahli dalam
menggunakan arit. Tanpa arit ini, dia tidak lengkap, hanya setengah laki-laki;
orang liar yang sudah dijinakkan”.16 Pendapat De Jonge mengenai kekerasan di
Madura hampir sama dengan apa yang di kemukakan oleh Bouwsma, sebagaimana yang
ditulis dalam bukunya, Across Madura Strait: The Dynamics of an Insular,
(1995), yaitu bahwa; “jika orang Madura dipermalukan, dia akan menghunus pisau
dan seketika itu pula akan menuntut balas atau menunggu kesempatan untuk
melakukannya”.17 Smith, ahli sejarah, memahami carok dengan memberi penjelasan
dari aspek historis serta kekuatan-kekuatan struktural dan sosial. Menurutnya
carok telah ada di Madura sejak abad ke-19, ketika Madura berada di bawah
pemerintahan kolonial Belanda. Kecenderungan orang Madura untuk melakukan carok
atau main hakim sendiri (individual justice) tidak dapat dilepaskan dari pola
atau struktur pemukiman keluarga Madura yang terpisah satu sama lain (taneyan).
Smith menyimpulkan bahwa dalam pola pemukiman terpisah seperti itu, kontrol
sosial menjadi longgar sehingga semakin terbuka kemungkinan bagi orang Madura
untuk melakukan carok. Artinya bahwa, ada relasi antara carok dan kontrol
sosial yang longgar. 18 16 Gatra, Rok Carok Acarok, 49. 17 Ibid.. 18 Latief,
Carok, 21. Satu-satunya penelitian murni yang membahas mengenai carok adalah
yang dilakukan oleh Latief A. Wiyata. Penelitian yang dilakukan Latief
ditempatkan di daerah Kabupaten Bangkalan. Fokus penelitiannya bertumpu pada
ranah etnografis. Esensi dari penelitian tersebut adalah memahami secara
mendalam arti atau makna peristiwa dalan suatu lingkungan sosial budaya. Adapun
konklusi dari penelitian tersebut ialah bahwa carok adalah institusionalisasi
kekerasan dalam masyarakat Madura yang memiliki relasi sangat kuat dengan
faktor-faktor struktur budaya, struktur sosial, kondisi sosial ekonomi, agama,
dan pendidikan. Sampai saat ini mungkin bisa dikatakan jarang atau mungkin pula
bisa dikatakan tidak ada, penelitian dan pengamatan mengenai carok melalui
pendekatan psikologis. Karena sebagaimana pendapat Latief bahwa penelitian atau
pengamatan tentang carok pada aspek psikologis dan psikoanalitis fokusnya hanya
pada frustasi sebagai penyebab utama kekerasan. Konsep demikian cenderung
menyederhanakan penjelasan tingkah laku manusia, sekaligus mengabaikan kerangka
budayanya, karena inti penjelasannya hanya berkaitan dengan kejadian-kejadian
hidup yang personal. Psikoanalisis, yang dilihat sebagai bagian dari psikologi,
membahas kekerasan hanya dalam kerangka aslinya (nativistic framework).19 Apa
yang disampaikan Latief Wiyata bisa dikatakan benar walaupun mungkin tidak
secara utuh benar. Sebab menurut hemat peneliti memandang kekerasan seperti
carok di Madura seharusnya dilihat dari seluruh aspek 19 Ibid., 11. komunal
dari segala disiplin ilmu pengetahuan. Sehingga pemahaman, penilaian, dan
asumsi mengenai carok tidak cenderung parsial apalagi sampai memposisikan salah
satu disiplin ilmu pengetahaun sebagai disiplin ilmu yang tidak lengkap dan
tidak utuh. Kekerasan, sebagaimana perilaku carok di Madura, dalam perspektif
psikologi dapat diidentifikasi melalui kondisi-kondisi dan gejala-gejala yang
menjadi penyebab terjadinya carok. Biasanya, kekerasan-kekerasan yang terjadi
diawali oleh situasi-situasi yang menimbulkan efek agresi. Salah satunya yaitu
faktor marah. Marah, sebagai bagian dari bentuk emosi memiliki ciri-ciri
aktifitas sistem saraf parasimpatik yang tinggi dan adanya perasaan tidak suka
yang sangat kuat yang biasanya disebabkan adanya kesalahan, yang mungkin
nyata-nyata salah atau mungkin juga tidak. Pada saat marah ada perasaan ingin
menyerang, meninju, menghancurkan atau melempar sesuatu dan biasanya timbul
pikiran kejam. Bila semua hal tersebut disalurkan maka terjadilah perilaku
agresi.20 Perilaku kekerasan sebenarnya ada dan berkembang di samping sebagai
kultur sosial budaya masyarakat setempat, demikian juga kekerasan bisa
ditelusuri pada pola-pola psikologis. Menurut Albert Bandura, seorang ahli
psikologi sosial, seringkali mengasosiasikan perilaku agresi dengan teori
belajar sosial. Mekanisme penting bagi perilaku agresi adalah adanya proses
belajar melalui pengamatan langsung (imitasi). Pendekatan ini menegaskan bahwa perilaku
carok di samping sebagai tradisi yang membudaya, demikian 20 Iin, Kekerasan,
169. juga ada pembelajaran sosial (social learning), baik pengamatan langsung,
pengalaman langsung, atau perspektif situasional yang dilakukan oleh masyarakat
Madura. Sehingga carok sampai saat ini masih tetap ada.21 Pendekatan psikologis
inilah yang menjadi perhatian peneliti, karena peneliti tetap yakin bahwa
perilaku carok sebagai unsur kekerasan menarik untuk diteliti dari aspek
psikologi. Yakni kasus carok yang terjadi di Desa Kalebengan dipandang melalui
perspektif psikologi dengan mengkaji gejalagejala yang muncul di tengah-tengah
masyarakat. Sehingga hasil-hasil tersebut seterusnya dapat dijadikan bahan
pertimbangan selain pendekatan yang lain. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar
belakang masalah tersebut di atas, maka peneliti menentukan dua rumusan masalah
yang menjadi dasar pokok pembahasan skripsi ini: 1. Bagaimanakah terjadinya
fenomena carok di Desa Kalebengan Kecamatan Rubaru Kabupaten Sumenep Madura? 2.
Mengapa masyarakat Desa Kalebengan Kecamatan Rubaru Kabupaten Sumenep Madura
memilih carok sebagai jalan penyelesaian masalah? C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan tersebut di atas, maka tujuan yang ingin dicapai adalah
sebagai berikut: 21 Avin Fadilla Helmi dan Soedardjo, Beberapa Perspektif
Perilaku Agresi, http://www.kaskus.us /showthread.php., 27 Juli 2007. 1. Untuk
mengetahui bagaimanakah terjadinya fenomena carok di tengah masyarakat Madura
di Desa Kalebengan Kecamatan Rubaru Kabupaten Sumenep Madura. 2. Untuk
mengetahui mengapa masyarakat Desa Kalebengan Kecamatan Rubaru Kabupaten
Sumenep Madura memilih carok sebagai jalan penyelesaian masalah. D. Manfaat
Penelitian Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat mengambil manfaat baik
dari sisi teoritis maupun praktis. 1. Teoritis Dapat memberikan sumbangan bagi
disiplin ilmu khususnya Psikologi Sosial dan tidak menutup kemungkinan bagi
disiplin ilmu lainnya. Yaitu bahwa terdapat perilaku kekerasan dalam masyarakat
Madura yang terkenal dengan sebutan carok yang sangat unik. Keunikan carok
merupakan fakta sosial yang niscaya di Madura. 2. Praktis Dapat dipakai acuan
(referensi) bagi publik dalam memberikan persepsi dan pemahaman yang utuh
mengenai perilaku carok sehingga stigma carok di Madura dipahami secara utuh
dan nantinya dapat dicarikan solusinya.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" : Perilaku agresi masyarakat Madura: Studi fenomenologi tentang carok di Desa Kalebengan Kecamatan Rubaru Kabupaten Sumenep." Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment