Abstract
INDONESIA:
Manusia merupakan komponen terpenting dalam dunia kerja meskipun di zaman teknologi ini peralatan canggih berupa mesin-mesin sedemikian deras arusnya di mana-mana. Peralatan canggih yang dikatakan bisa menggeser posisi manusia dalam dunia kerja (efisiensi), bisa menjadi tidak benar ketika manusia memiliki komitmen dalam bekerja sehingga menghasilkan yang terbaik bagi perusahaan. Untuk mendukung komitmen karyawan, maka dibutuhkanlah kerjasama yang baik antara karyawan satu dengan yang lain sehingga menjadikan karyawan memiliki sense of belonging terhadap perusahaan. Menuju kerjasama yang baik, dibutuhkanlah pola kepemimpinan untuk memandu, menuntun, membimbing, membangun, memberi motivasi kerja, memberikan pengawasan, dan mengkomunikasikan kepada bawahan tentang target yang direncanakan (Kartono, 2002; hal. 200). Oleh karena itu, dibutuhkan pembahasan lebih spesifik dengan mengadakan penelitian tentang kepemimpinan transformasi karena memuat kebutuhan kepemimpinan seperti yang diungkapkan oleh Kartono.
Penelitian ini dilakukan di BCA Kota Malang dengan tujuan untuk mengetahui peran kepemimpinan transformasi dengan komitmen organisasi. Metode pengumpulan datanya menggunakan metode angket berupa skala. Skala penelitian terdiri dari dua skala yaitu kepemimpinan transformasi dan komitmen organisasi yang masing-masing terdiri dari 40 dan 25 aitem. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis product moment.
Berdasarkan analisa penelitian didapatkan hasil sebagai berikut: Jumlah responden dalam penelitian ini adalah 70 orang, pada variabel komitmen organisasi menghasilkan 2 karyawan (3%) memiliki komitmen organisasi sangat tinggi, 26 karyawan (37%) dengan komitmen organisasi tinggi, 16 karyawan (23%) memiliki komitmen organisasi sedang, 24 karyawan (34%) dengan komitmen organisasi rendah, dan 2 karyawan (3%) sangat rendah. Sedangkan variabel kepemimpinan transformasi menghasilkan 2 karyawan (3%) memiliki anggapan adanya kepemimpinan transformasi sangat tinggi, 27 karyawan (39%) memiliki anggapan tinggi, 11 karyawan (16%) beranggapan sedang, 24 karyawan (34%) beranggapan rendah, dan 6 karyawan (8%) beranggapan sangat rendah. Hasil penelitian di atas kedua variabel (kepemimpinan transformasi dan komitmen organisasi) menghasilkan bahwa terdapat peran yang positif (Rxy 0,673; dengan sig < 0,05). Artinya, peran variabel kepemimpinan transformasi dan komitmen organisasi adalah positif signifikan dengan mendapatkan nilai 0,000 dan nilai signifikansinya Sig. (2-tailed) adalah dibawah atau lebih kecil dari 0,05 dengan sumbangan efektif sebesar 44,5% (R2).
ENGLISH:
Human is the most substantial component in the workforce even though at this technology era advanced equipments like the machines are dominant. Advanced equipments that could shift the human position in the workforce (efficiency), could be not true when people are committed in working to produce the best for the company. To support the commitment of the employees, there is a need of good cooperation between employees with one another to engender them possessing the sense of belonging toward the company. Towards good cooperation, a pattern of leadership is needed to guide, lead, control, build, motivate, supervise, and communicate to subordinates about proposed targets (Kartono, 2002; p. 200). Therefore, it takes a more specific discussion of the research about the leadership of transformation because it includes leadership needs as expressed by Kartono.
This research was conducted in the office of BCA (Bank Central Asia) located on Malang city. The aim is to know transformation leadership roles with the commitment of the organization. The method of data collection uses scale questionnaires. The scale of the research consists of two scales that leadership transformation and organizational commitment, each of which consists of 40 and 25 items. The technique of analysis uses product moment.
Based on the analysis of the research results obtained are as follows: the total of respondents in this study are 70 people, thus on organizational commitment variable, 2 employees (3%) have a very high organizational commitment, 26 employees (37%) are with high organizational commitment, 16 employees (23%) have moderate organization commitment, 24 employees (34%) are with low organizational commitment, and 2 employees (3%) are in very low organizational commitment. While the variable of transformation leadership results that 2 employees (3%) have a very high presumption of leadership transformation, 27 employees (39%) have a high presumption, 11 employees (16%) is assumed as medium, 24 employees (34%) is considered low, and 6 employees (8%) is considered very low. The findings on the two variables (leadership transformation and organizational commitment) result that there is a positive role (Rxy 0.673; with sig < 0.05). That is, the role between the variables of transformation leadership and organization commitment is a significant positive by getting the value 0.000 and the significance Sig (2-tailed) below or less than 0.05 with effective contribution to 44.5% (R2).
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam kehidupan zaman modern kini, banyak
dijumpai para remaja mengenakan celana jeans dan menghabiskan waktu mereka
untuk pergi ke tempat-tempat hiburan seperti mall dibandingkan pergi ke tempat
yang lainnya seperti pasar. Tak hanya itu, banyak juga dijumpai mengapa mereka
lebih suka mengikuti mode-mode pakaian yang sekarang lagi populer dibandingkan
dengan berpakaian yang biasa saja yang sudah menjadi kebiasaannya. Hal inilah
yang dinamakan budaya populer atau lebih dikenal sebagai budaya pop saja yaitu
budaya yang banyak diminati oleh masyarakat tanpa ada batasan geografis. Tidak
bisa dipungkiri pada masa kini budaya populer telah merambah keseluruh belahan
dunia tidak terkecuali Indonesia. Meskipun senang atau tidak senang, meskipun
berdampak buruk atau baik, meskipun produk budaya berkualitas atau tidak, budaya
populer merefleksikan kebutuhan dan keinginan masyarakat sehari-hari ( Adi:
2011: 1). Budaya pop saat ini tidak hanya menjadi dominasi budaya Barat, tetapi
Asia juga mulai menjadi pengekspor budaya pop. Selain Jepang, Korea pun mulai
menunjukkan dirinya sebagai negara pengekspor budaya pop melalui tayangan
hiburannya dan menjadi saingan berat bagi Amerika dan negara-negara Eropa. Hal
ini sejalan dengan kemajuan industri hiburan Korea dan kestabilan ekonomi
mereka. Selama sepuluh tahun terakhir ini, demam budaya pop Korea melanda
Indonesia. Fenomena ini dilatarbelakangi Piala Dunia Korea-Jepang 2002 yang 2
berakhir dengan masuknya Korea sebagai kekuatan empat besar dunia dalam hal
persepakbolaan. Kesuksesan Korea di Piala Dunia 2002 semakin mempersohor nama
Korea di mata dunia. Beberapa waktu menjelang, selama dan setelah hirukpikuk
Piala Dunia, beberapa stasiun televisi swasta di tanah air gencar bersaing
menayangkan musik, film-film maupun sinetron-sinetron Korea (Sari: 2011: 2).
Berbeda dengan budaya pop Jepang yang penikmatnya didominasi anakanak dan
remaja, budaya pop Korea ternyata mampu menjangkau segala usia, mulai dari
anak-anak hingga orang dewasa sekalipun menjadi penikmat budaya pop Korea.
Menurut Kim Song Hwan, seorang pengelola sindikat siaran televisi Korea
Selatan, produk budaya Korea berhasil menjerat hati penggemar di semua kalangan
terutama di Asia disebabkan teknik pemasaran Asian Values-Hollywood Style.
Artinya, mereka mengemas nilai-nilai Asia yang dipasarkan dengan gaya modern.
Istilah ini mengacu pada cerita-cerita yang dikemas bernuansakan kehidupan
Asia, namun pemasarannya memakai cara internasional dengan mengedepankan
penjualan nama seorang bintang atau menjual style. Di tengah arus globalisasi
dan modernisasi yang semakin memudarkan nilai-nilai budaya tradisional,
tayangan Korea secara konsisten menampilkan nilai-nilai budaya Korea dan Asia,
seperti sopan santun, penghormatan pada orang tua, pengabdian pada keluarga,
nilai kolektivitas atau kebersamaan, serta nilai kesakralan cinta dan
pernikahan. Nilai-nilai ini ditampilkan secara unik dalam situasi kehidupan
sehari-hari masyarakat Korea modern yang telah mengalami kemajuan teknologi dan
ekonomi yang pesat (Sari: 2011: 10). 3 Masyarakat konsumen Indonesia tumbuh
beriringan dengan sejarah globalisasi ekonomi dan transformasi kapitalisme
konsumsi yang ditandai dengan menjamurnya pusat perbelanjaan seperti mall,
indsutri waktu luang, industri mode atau fashion, industri kecantikan, industri
kuliner, industri nasihat, industri gosip, kawasan hunian mewah, apartemen,
real esatete, gencarnya iklan barang-barang supermewah, liburan wisata ke luar
negeri, berdirinya sekolah-sekolah mahal, kegandrungan terhadap merek asing,
makanan serba instant (fast food), telepon seluler (HP), dan tidak ketinggalan
serbuan gaya hidup melalui industri iklan dan tayangan televisi ( Chaney:
2009:8). Globalisasi industri media dari mancanegara juga ikut mempengaruhi
dengan modalnya yang besar yang masuk ke tanah air sekitar tahun 1900-an, yakni
berupa serbuan majalah-majalah mode dan gaya hidup yang terbit dalam edisi
khusus bahasa Indonesia yang jelas menawarkan gaya hidup yang tidak mungkin
terjangkau oleh kebanyakan masyarakat Indonesia. Majalah-majalah itu tentunya
diperuntukkan bagi laki-laki dan perempuan (yang berselera) kelas menengah ke
atas. Dari kemasan dan rubrik atau kolom yang disajikan jelas-jelas menanamkan
nilai, cita rasa, gaya dan ideologi yang bisa dilihat dari slogannya yakni
menawarkan fantasi hidup seperti „Be smarter, richer, & sexier’ atau “Get
Fun”, dan sebagainya. Berkembangnya industri penerbitan khusus untuk anak-anak
dan para remaja juga semakin membuat berkembangnya gaya hidup. Majalah-majalah
anak muda, baik perempuan maupun laki-laki, di peruntukkan khusus bagi para ABG
(anak baru gede) yang menurut teori Erikson mereka dalam masa pencarian 4
identitas diri, kini banyak beredar dengan kemasan yang lebih menarik dan
terlihat elegan. Bacaan anak muda saat ini didalamnya banyak menawarkan gaya
hidup dengan budaya selera diseputar perkembangan tren busana, pergaulan,
pacaran, shopping, dan cara mengisi waktu senggang yang jelas perlahan tapi
pasti akan ikut membentuk budaya para anak muda yang berorientasi dengan gaya
hidup fun! ( Chaney:2009:8). Dalam keberagamaan juga begitu. Contohnya
dikalangan umat islam, kini mulai marak iklan dan industri jasa yang menawarkan
“wisata religius”, umroh bersama kiai beken, berdirinya sekolah-sekolah islam
yang mahal, kafe khusus muslim, salon khusus muslim, berdirinya pusat-pusat
perbelanjaan yang menawarkan fashion-fashion muslim, serta maraknya penerbitan
majalah anak muda islam (khususnya muslimah) yang isinya tidak jauh berbeda
dengan majalah-majalah anak muda umumnya (Chaney:2009:10). Belum lagi kalau
dilihat sekarang banyak sekali counter, butik, dan juga rumah mode-mode di
kotakota besar di Indonesia yang menjual busana muslimah yang tergolong sangat
mahal, mulai harga ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Kerudung yang dulu hanya
dipakai oleh segelintir kaum muslimah atau yang dulu hanya dipakai oleh remaja
putri yang ada di pesantren kini justru berubah menjadi status modis ketika
para anak dan istri-istri para pejabat, pengusaha dan artis berbondong-bondong
memakainya. Setiap manusia itu unik, maka gaya hidup mereka pun unik. Gaya
hidup dipahami sebagai tata cara hidup yang mencerminkan nilai dan sikap dari
seseorang. Gaya hidup merupakan adaptasi aktif individu terhadap kondisi sosial
5 dalam rangka memenuhi kebutuhan untuk menyatu dan bersosialisasi dengan orang
lain. Cara berpakaian, konsumsi makanan, cara kerja, dan bagaimana individu
mengisi kesehariannya merupakan unsur-unsur yang membentuk gaya hidup. Di dalam
masyarakat, persoalan gaya adalah sesuatu yang penting (atau malah gaya
merupakan segalanya), semua manusia adalah performer. Setiap orang diminta
untuk bisa memainkan dan mengontrol peranan mereka sendiri. Gaya pakaian,
dandanan rambut, segala macam aksesoris yang menempel, selera musik, atau
pilihan-pilihan kegiatan yang dilakukan, adalah bagian dari pertunjukan
identitas dan kepribadian diri. Seseorang kemudian bisa memilih tipetipe
kepribadian yang diinginkan melalui contoh-contoh kepribadian yang beredar di
sekitar, seperti bintang film, bintang iklan, penyanyi, model, bermacam-macam
tipe kelompok yang ada atau seseorang bisa menciptakan sendiri gaya kepribadian
yang unik, yang berbeda, bahkan jika perlu yang belum pernah digunakan orang
lain. Kesemuanya itu adalah demi gaya karena gaya adalah segala-galanya, dan
segala-galanya adalah gaya. Dengan gaya seseorang bisa menunjukkan siapa
dirinya. Menurut susanto (2001), gaya hidup saat ini bukan hanya diikuti oleh
artis, orang-orang metropolis saja, tapi sudah merambah sampai pelosok-pelosok
daerah. Gaya hidup tidak hanya dimiliki kalangan kelas menengah ke atas, akan
tetapi kalangan menengah kebawahpun bisa mencomot dan memakai model gaya
tertentu. Meskipun itu hanya bersandiwara, meniru-niru, atau berpura-pura.
Dalam masyarakat kini seringkali soal citarasa dan gaya hidup sudah tidak jelas
6 lagi batasannya. Gaya hidup kini sudah merambah ke berbagai kalangan. Seperti
gaya hidup yang ditawarkan lewat iklan misalnya, menjadi lebih beraneka ragam
dan cenderung mengambang bebas, sehingga tidak hanya orang-orang tertentu saja
yang bisa memiliki apa yang ditawarkan lewat iklan tersebut, akan tetapi semua
bisa menikmatinya. Ia menjadi citra netral yang mudah ditiru, dijiplak, dan
dipakai sesuka hati oleh setiap orang (Chaney:2009:11). Dari sekian banyak
model pilihan gaya hidup yang telah dibuat oleh masing-masing individu,
merupakan hasil dari pergulatan diri individu tersebut dalam pencarian
identitas dengan lingkungan dimana individu tersebut hidup (Chaney:2009).
Seperti yang di ungkapkan Giddens ialah pilihan gaya hidup semakin penting
dalam penyusunan identitas diri dan aktifitas keseharian. Bagi Giddens,
identitas diri adalah suatu proyek yang diwujudkan, yang dipahami oleh para
individu dengan cara-cara pendirian mereka sendiri, dan cara-cara menceritakan
mengenai identitas personal dan biografi mereka. Cara khusus yang dipilih
seseorang untuk mengekspresikan diri, tidak dipungkiri merupakan bagian dari
usahanya mencari gaya hidup pribadinya (Chaney:2009:14). Pencapaian rumusan
identitas diri menurut Erikson adalah bagian penting dari proses perkembangan
remaja. Identitas diri yang dirumuskan Erikson sebagai “perasaan sbyektif akan
kesamaan dan kontinuitas yang nyata” menjadikan individu seolah-olah menjadi
orang yang sama sepanjang waktu. Proses perumusan identitas diri pada masa
remaja menjadi penting karena terjadinya pengorganisasian, sintesis, dan
transformasi identitas-identitas dimasa kanak- 7 kanak menuju satu struktur
tunggal yang disebut sebagai konfigurasi identitas (Chusairi:2008:1). Marcia
dengan mengembangkan gagasan Erikson dalam teori ego identity status menyatakan
bahwa identitas diri merupakan hasil dari komitmen individu pada identitas
tertentu. Identitas dengan demikian dicapai melalui proses memilih dan
berkomitmen pada pilihan tersebut. Proses pencapaian identitas ini menjadi hal
yang mengancam individu karena membutuhkan proses menghubungkan dan
mengorganisasikan berbagai aspek diri. Kegagalam dalam proses pembentukan
identitas menjadikan individu mengalami kebingungan (diffuse) atau kemandegan
(moratorium) dalam proses pembentukan identitas diri (Chusairi:2008:1). Pengkritik
pandangan Erikson dan Marcia menyatakan bahwa idealisasi identitas diri di atas
hanya mungkin ketika individu hidup dalam sistem sosial dimana nilai-nilai
sosial dan proses pembentukan identitas bersifat tunggal. Nilainilai sosial
yang bersifat tunggal akan memudahkan individu dalam mengadaptasi simbol sosial
dan memaknai simbol sosial tersebut berdasarkan rumusan makna sosial yang
diyakini bersama-sama (Chusairi:2008:2). Kontradiksi dalam pencarian identitas
diri kaum muda yang tercermin dalam gaya hidup mereka salah satunya berwujud
pada dalam pola berpakaian yang terus-menerus mengikuti mode fashion. Pola
berpakaian adalah bagian dari sumber daya perumusan identitas diri dalam
kategori bagian fisik dari tubuh (feature of corporal body), selain kategori
sumber daya yang lain yaitu dongengdongeng tradisi, wacana kebudayaan, ideologi
politik, dan peran sosial (Callero dalam Chusairi:2008:4). 8 Pada saat ini
dapat dilihat adanya kecenderungan umum ke arah pembentukan identitas melalui
gaya hidup dalam penggunaan pakaian, aksesoris, atau produk-produk lainnya
sebagai bahan komunikasi. Jika diperhatikan, budaya pop Korea telah merambah
kota-kota di Indonesia. Ia berhasil mempengaruhi gaya hidup masyarakat
sekitarnya yang ia datangi. Tidak terkecuali di Malang, bentuk dan gaya hidup
remaja yang dalam hal ini dikategorikan sebagai mahasiswa terwujud dalam
fashion, gaya rambut, selera makan, tempat rekreasi, alat komunikasi yang
digunakan, serta kepemilikan terhadap barang. Tidak hanya dikota besar saja,
tetapi dikota kecil seperti Malang begitu mudah dijumpai pusatpusat
perbelanjaan yang menyediakan fashion-fashion Korea yang dibuka dari pagi
sampai malam. Barang-barang yang dipajang dibuat semenarik mungkin sehingga
semakin menambah daya tarik yang disajikan untuk para penyuka Pop Korea. Hal
yang banyak dijumpai saat ini adalah fashion yang berupa pakaian yang banyak
dijual di pusat perbelanjaan seperti mall dan pasar. Terkait dengan hal
tersebut, peneliti melakukan wawancara dan observasi pada mahasiswa yang menyukai
Korea yang sekaligus menjadi subjek dalam penelitian ini. Berdasarkan hasil
wawancara dengan ketiga subjek, masing-masing subjek mengatakan bahwa mereka
menyukai budaya pop Korea dan mengkoleksi barang-barang yang berhubungan dengan
budaya pop Korea. Seperti mempunyai koleksi poster para artis Korea yang
disukai, selain itu juga mengkoleksi film-film drama, lagu-lagu dan video
Korea. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Karatika Eka
Okirianti, S.S pada tahun 2011, menunjukkan hasil yang menunjukkan bahwa 9
budaya pop Korea memiliki pengaruh terhadap pola perilaku sosial remaja di Kota
Tegal. Namun, pengaruh tersebut masih dalam dimensi konkret seperti gaya atau
penampilan dan kepemilikan artefak yang berhubungan dengan hiburan Korea.
Budaya pop Korea tersebut pun tidak mempengaruhi atau menggeser eksistensi
kebudayaan asli Indonesia di kalangan remaja Kota Tegal. Adapun menurut
penelitian yang lainnya yaitu pada kasus penyebaran budaya pop Korea di
Makassar yang dilakukan oleh Wulan Zaty Sari pada tahun 2011, terjadi hegemoni
dalam hal selera dimana pemilihan tayangan hiburannya lebih dominan pada Korea,
sehingga terjadi homogenisasi selera akan segala sesuatu yang bernuansa Korea.
Tiap subjek memiliki tingkatan yang berbeda dalam mengadopsi budaya pop Korea.
Disini terjadi pemilahan mana yang cocok dan mana yang tidak untuk mereka. Hal
ini dikarenakan pengaruh sosialisasi keluarga dan lingkungan cukup kuat pada
diri subjek, dengan aneka norma dan nilai budaya lokal yang melekat dalam
praktek sosial sehari-hari, mempengaruhi tingkat dominasi budaya pop Korea
terhadap diri subjek. Budaya pop Korea telah mampu mendominasi gaya hidup pada
masa sekarang. Hal ini terlihat dari banyaknya trend yang berkiblat pada budaya
pop Korea. Seperti fashion Korea yang sudah banyak dijual ditoko-toko, makanan
Korea yang dijual dirumah makan yang menyajikan makanan Korea, banyaknya dijual
kaset film maupun lagu-lagu Korea, dan terlebih lagi munculnya boyband dan
girlband Indonesia yang meniru boyband dan girlband Korea. Peran media massa
sangat berpengaruh terhadap perkembangan masuknya budaya pop Korea ini di
Indonesia. Beberapa stasiun televisi yang ada di Indonesia meprogramkan 10
dalam salah satu acaranya yang menayangkan drama-drama Korea, bahkan ada satu
stasiun televisi yang khusus menayangkan acara-acara Korea baik itu dramanya
maupun musiknya. Pengaruh budaya Korea juga menimbulkan banyaknya grup-grup
boyband dan girlband di Indonesia. Tak hanya pada remajanya saja, akan tetapi
pada anakanaknya juga. Hal ini dapat dilihat dari adanya boyband dan girlband
junior yang mulai muncul dan semakin bertambah. Gaya yang mereka pakai juga
tidak jauh berbeda dengan gaya yang dipakai oleh artis-artis Korea baik itu
dari segi pakaian maupun dari segi performance mereka. Seperti yang di
ungkapkan akademisi periklanan, Prof. Thomas C. O‟Guinn et al. dalam karya
mutakkhir mereka Advertising and Integrateed Brand Promotion (2003). Selebriti
adalah suatu kategori sosiologis yang unik, mereka dapat menjadi ekspresi diri
sekaligus pembangkit aspirasi bagi para konsumen (Chaney:2009:20). Peran
selebriti disini bisa membantu dalam pembentukan identitas para remaja yang
termasuk konsumen media. Meningkatnya demam pop Korea semakin merebak, bahkan
hampir di seluruh Indonesia. Begitupun juga di daerah Malang, cukup banyak
dijumpai mahasiswa yang melakukan imitasi terhadap budaya pop Korea tersebut,
hal itu terlihat dari bagaimana ketika para penggemar Korea bertemu dan saling
bertukar film serta dari model pakaian, aksesoris, sampai cara berinteraksi
dengan teman sebaya. Hal ini ditegaskan oleh pernyataan teman-teman mahasiswa
kepada peneliti bahwa mereka sangat menyukai budaya pop Korea seperti film
Korea, Boy Band Korea, sampai bintang top Korea. Salah satu alasannya adalah 11
keindahan gaya atau style para pemain film dan boy band, keindahan penampilan
dan fisik bintangnya, serta alur cerita film Korea yang dramatis dan unik.
Masuknya budaya pop Korea juga mempengaruhi seseorang terhadap identitasnya.
Karena berubahnya gaya hidup juga memungkinkan untuk berubahnya identitas diri.
Begitu juga dengan sebaliknya, identitas diri seseorang juga bisa merubah gaya
hidupnya. Karena identitas diri juga dipengaruhi berbagai faktor yang
menyebabkan identitas seseorang bisa terbentuk. Gaya hidup dapat dikatakan
sebagai usaha individu dalam membentuk identitas diri dalam interaksi sosial.
Seperti yang di ungkapkan oleh Erikson bahwasanya identitas seseorang terbentuk
dalam latar sosial. Identitas pribadi terbentuk karena adanya identitas
kolektif yang diwujudkan dalam pengakuan sosial, reaksi positif dari orang lain
terhadap pemikiran, sikap dan tindakan individu. Identitas diri merupakan
cerminan gaya hidup. Tiap individu memiliki gaya hidup masing-masing dan gaya
itulah yang membuat ia berbeda dari orang lain dan gaya itu jugalah yang
menunjukkan identitas dirinya. Dari wawancara yang telah peneliti lakukan
terhadap subjek, terlihat adanya indikasi gaya hidup penyuka budaya pop Korea
yang dilihat dari gaya berbahasa, cara menggunakan waktu luang dengan menonton
tayangan korea, dan fashionnya. Dari kesukaan mereka terhadap budaya pop Korea
hingga berubahnya gaya hidup mereka juga merubah identitas diri mereka menjadi
identitas diri yang dikenal oleh orang lain sebagai penyuka budaya pop Korea.
Dari sini bisa dilihat adanya kemungkinan peralihan identitas diri antara
sebelum menyukai budaya pop Korea dengan sesudah menyukai budaya pop Korea. 12
Lacan mengatakan bahwa budaya memiliki kekuatan untuk merubah identitas diri
seseorang. Terlebih lagi budaya populer yang pada saat ini tidak bisa ditolak
keberadaannya oleh tiap individu. Dari adanya kekuatan budaya ini, menciptakan
identitas diri semu yang dianggap oleh individu adalah identitas dirinya yang
sebenarnya. (Bracher: 1997) Berdasarkan hasil data awal yang peneliti temukan
dilapangan terhadap kesemua subjek, bahwa subjek 1 (Nana) menyukai budaya pop
Korea, ia aktif mengikuti kegiatan artis yang disukainya dan selalu update
berita terbaru mngenai artis yang ia sukai. Meskipun begitu, ia tidak ikut
kedalam fansclub artis yang ia sukai, alasan yang diutarakannya adalah karena
jika ia masuk kedalam fansclub dikhawatirkan akan mengganggu perkuliahannya.
Berbeda dengan yang dialami Nana. subjek kedua (Ceri) ini menyukai budaya pop
korea dan masuk kedalam fansclub idola yang ia senangi, akan tetapi ia
mengalami dilema karena ia berada pada dua lingkungan yang berbeda yang
mengharuskannya untuk berperan yang berbeda pula pada kedua lingkungan
tersebut. Sedangkan yang dialami oleh subjek 3 (Nina) yang merupakan mahasiswi
UIN Malang, ia menyukai budaya pop korea dan masuk kedalam fansclub, dan ketika
berada dalam kegiatan fansclub ia melepas jilbabnya. Dari latar belakang di
atas, penelitian tentang identitas diri mahasiswa penyuka budaya pop Korea dalam
konteks budaya mahasiswa yang ada di kota malang ini menjadi menarik dan
menurut penulis penting untuk diteliti dalam ranah keilmuan Psikologi. Oleh
karena itu, peneliti melakukan penelitian gaya hidup di kalangan mahasiswa
Malang berkaitan dengan merebaknya budaya pop 13 Korea di tanah air. Penelitian
ini merupakan penelitian kualitatif dengan judul “IDENTITAS DIRI MAHASISWA
PENYUKA BUDAYA POP KOREA di MALANG”. B. Rumusan Permasalahan Penelitian ini
berfokus pada budaya pop Korea, gaya hidup dan identitas diri mahasiswa
terhadap Pop Korea. Berdasarkan latar belakang diatas, dapat ditarik sebuah
rumusan masalah yaitu: 1. Bagaimanakah dampak budaya pop Korea terhadap gaya
hidup Mahasiswa Malang? 2. Bagaimana dampak budaya pop Korea terhadap identitas
diri Mahasiswa Malang? 3. Bagaimanakah dinamika psikologis mahasiswa yang
meyukai budaya pop Korea? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan
perumusan masalah, maka penulis merumuskan tujuan penelitian, yaitu: 1. Ingin
mengetahui bagaimana dampak budaya pop Korea yang saat ini populer di kalangan
mahasiswa UIN yang di adopsi sedemikian rupa sehingga mempengaruhi gaya hidup
mereka, baik itu dari segi fashion, selera mereka dalam memilih produk serta
hubungan mereka dengan lingkungan sekitar. 14 2. Untuk mengetahui bagaimana
dampak adanya Budaya pop Korea terhadap identitas diri mahasiswa penyuka pop
Korea di Malang. 3. Untuk mendeskripsikan dinamika psikologis mahasiswa yang
menyukai budaya pop Korea D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis a. Memberikan
kontribusi terhadap berkembangnya ilmu-ilmu sosial khususnya dalam bidang
psikologi b. Dapat dipakai sebagai acuan bagi penelitian-penelitian sejenis
untuk tahap selanjutnya. 2. Manfaat Praktis a. Penelitian ini diharapkan dapat
menjadi landasan dalam memahami fenomena merebaknya budaya pop akibat
globalisasi dan cara menghadapinya b. Penelitian ini diharapkan dapat menambah
wawasan tentang gaya hidup penyuka budaya pop Korea. E. Definisi Istilah 1.
Gaya hidup adalah tata cara hidup yang mencerminkan nilai dan sikap dari
seseorang. Gaya hidup merupakan adaptasi aktif individu terhadap kondisi sosial
dalam rangka memenuhi kebutuhan untuk menyatu dan bersosialisasi dengan orang
lain. Cara berpakaian, konsumsi makanan, 15 cara kerja, dan bagaimana individu
mengisi kesehariannya merupakan unsur-unsur yang membentuk gaya hidup. 2.
Identitas diri adalah segala sesuatu yang melekat pada diri individu yang
menunjukkan dirinya yang berbeda dengan orang lain. Identitas diri dapat berupa
atribut fisik, kepribadian, keanggotaan dalam suatu komunitas, keyakinan,
tujuan, harapan, prinsip moral atau gaya sosial. 3. Budaya pop Korea adalah
Budaya yang banyak digemari yang diproduksi untuk masyarakat massa, dalam hal
ini adalah tayangan-tayangan Korea baik berupa drama, film, musik yang pada
akhirnya akan menciptakan fanatisme terhadap produk budaya tersebut.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" :Peran kepemimpinan transformasi dengan komitmen organisasi" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment