Abstract
INDONESIA:
Masa pensiun merupakan kehidupan baru yang dijalani oleh setiap orang yang bekerja sehingga rentan terhadap stres. Salah satu penyebab beberapa pensiunan mengalami stres, karena adanya perubahan yang berasal dari fisik, emosional, intelektual dan interpersonal. Selain itu, stres itu sendiri juga erat kaitannya dengan konsep efikasi diri, yang merupakan kepercayaan atau keyakinan bahwa seseorang dapat berperilaku sesuai kebutuhan untuk menghasilkan sesuatu yang diinginkan. Oleh karena itu tujuan dari penelitian ini adalah: 1) Mengetahui tingkat efikasi diri para pensiunan, 2) Mengetahui tingkat stres para pensiunan, 3) Mengetahui hubungan antara efikasi diri dengan stres para pensiunan.
Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling dengan sampel 33 orang pensiunan yang mengalami gejala-gejala stres dan efikasi diri yang tinggal di RW XIV Kelurahan Kebonsari Kulon Kecamatan Kanigaran Kota Probolinggo. Metode pengumpulan data menggunakan angket skala Likert berjumlah 20 pertanyaan dengan analisis validitas menggunakan teknik product moment, dan analisis reliabilitas menggunakan teknik alpha chronbach dengan bantuan komputer program SPSS.
Setelah dilakukan analisis dengan menguji statistik korelasi Product Moment Pearson, dapat diketahui bawa dari 33 pensiunan, menunjukkan tingkat efikasi diri yang dimiliki oleh pensiunan berada pada kategori tinggi sebesar 6% (2 orang), pada kategori sedang dengan nilai 79% (26 orang), dan pada kategori rendah sebesar 15% (5 orang), ini berarti bahwa sebagian besar pensiunan memiliki tingkat stres yang sedang. Sedangkan tingkat stres pada pensiunan berada pada kategori tinggi sebesar 15% (5 orang), pada kategori sedang dengan nilai sebesar 79% (26 orang), dan pada kategori rendah sebesar 6% (2 orang)., ini berarti bahwa sebagian besar dari pensiunan rata-rata menpunyai efikasi diri yang sedang. Hasil penelitian dari kedua variabel tersebut menunjukkan hasil korelasi (rxy= - 0,696) dengan p = 0.000 (p < 0,05) menunjukkan arah yang negatif, artinya semakin tinggi efikasi dirinya maka semakin rendah tingkat stres yang dialaminya, sebaliknya semakin rendah efikasi dirinya maka semakin tinggi tingkat stres yang dialaminya. Hal ini membuktikan bahwa hipotesis dalam penelitian ini diterima.
ENGLISH:
A retire period is new life that must be passed by every worker so that they have big risk to get stress. Some causes that pensioners feel stress are the changing of physical, emotional, intellectual and interpersonal. Beside that stress has closed relation with concept of self efication, the concept is trust or believe that someone can act according to requirement to yield something that he want. As for aims of this research are 1. Knowing the self effication level of retired, 2. Knowing the stress level of retired, 3. Knowing the relation among self effication and stress of retired.
The method of taking the sample that used is purposive sampling by exerting 33 retired. They get stress symptom and self efication living in RW XIV sub district of Kebonsari Kulon Distric of Kanigaran, Probolinggo city. The method of collecting data by using inquiry scale Likert is 20 questions while to look for scale of validity is used calculation technique of product moment, searching scale of reliability use technique of alpha chronbach and method analyze data use correlation analysis of product moment Pearson constructively program computer of SPSS.
After analyze by testing statistic of correlation product moment pearson, can be known that 33 retired show the effication level. The result is, in high level category 6% (2 peoples), in medium level category 79% (26 peoples), and in low level category 15% (5 people ). It means that most of the retired is in medium stress level. While the stress level to the retired in high level category 15% (5 peoples) in medium level is 79% (26 peoples), and in low category is 6% (2 peoples). It means that most of the retired have stress in medium level category. The result of research both of them show result of correlation (r – 0,696) with p = 0.000 (p < 0.005) showing negative direction. It means that, when they are in high self effication they will have low stress level on the contrary when they are in low self effication they will have high stress level. This proves that hypothesis in this research can be accepted.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Manusia tidak terlepas dari aktivitas bekerja.
Ada orang yang bekerja untuk mencari uang, ada yang bekerja untuk mengisi waktu
luang, ada pula yang bekerja untuk mencari identitas, dan lain sebagainya.
Apapun alasan manusia bekerja, semuanya adalah untuk memenuhi kebutuhannya.
Menurut Maslow kebutuhan manusia secara garis besar dapat dibagi menjadi 5
bagian yaitu: 1) kebutuhan fisiologis, 2) kebutuhan rasa aman, 3) kebutuhan
dimiliki, 4) kebutuhan harga diri, dan 5) aktualisasi diri (Atkinson, 2000:
218). Bila ditelusuri lebih jauh, selain untuk memenuhi kebutuhan materi, suatu
pekerjaan juga berkaitan dengan kebutuhan psikologis seseorang. Secara materi,
orang bisa memenuhi kebutuhan sandang pangan melalui bekerja. Sedangkan secara
psikologis arti bekerja adalah menimbulkan rasa identitas, status, ataupun
fungsi sosial. Seseorang akan merasa berharga jika ia bisa mengatakan posisi
dan pekerjaannya. Semakin lama seseorang bekerja, tentunya identitas itu akan
semakin melekat pula. Pada saat memasuki usia tertentu seseorang akan berhenti
dari pekerjaan atau disebut juga dengan pensiun dan mulai memasuki masa
istirahat (Triratnasari, 2009: 17). Pekerjaan memberikan individu identitas
diri, kegiatan rutin dan teratur, dan rasa keterlibatan dalam suatu usaha
bersama. Namun pensiun dipandang 2 sebagai sesuatu yang mengurangi hal-hal
tersebut, bahkan bisa sampai mengancam kesejahteraan psikologis individu
(Newman, 2006). Pensiun juga biasanya menimbulkan kecemasan tersendiri dalam
diri pekerja. Ketika menghadapi pensiun, setiap orang merasakan tekanan batin
yang mengimpit (Sutarto, 2008). Lemme (1995) mengemukakan Teori Krisis yang
menyebutkan bahwa terdapat pandangan tradisional tentang pensiun, dimana pensiun
dianggap sebagai sesuatu yang buruk yang dapat menimbulkan ancaman terhadap
kesehatan fisik dan psikologis. Teori ini memandang bahwa kehilangan pekerjaan
dan peran akan mengarahkan individu kepada harga diri dan status yang rendah,
penolakan, isolasi, dan mengurangi kepuasan hidup. Kebijakan yang mengatur
tentang pensiun bagi karyawan di Indonesia adalah Peraturan Menteri Tenaga
Kerja R.I Nomor: PER.02/MEN/1995 Tentang Usia Pensiun Normal Dan Batas Usia
Pensiun Maksimum Bagi Peserta Peraturan Dana Pensiun. Disebutkan dalam Pasal 2
ayat (i) Usia pensiun normal bagi peserta ditetapkan 55 (lima puluh lima)
tahun. Dan ayat (ii) Dalam hal pekerja tetap dipekerjakan oleh Pengusaha
setelah mencapai usia 55 (lima puluh lima) tahun, maka batas usia pensiun
maksimum ditetapkan 60 (enam puluh) tahun. Berdasarkan Peraturan Menteri
tersebut dapat disimpulkan bahwa usia pensiun pekerja di Indonesia berkisar
antara 55 – 60 tahun. Namun kebijakan mengenai batas usia pensiun pekerja ini
dapat disesuaikan oleh masing-masing perusahaan dengan kondisi di dalam
perusahaan itu sendiri. Ini berarti perusahaan memiliki 3 kewenangan untuk
mengatur batas usia pensiun pekerjanya sendiri, yang biasanya disepakati
bersama dengan serikat pekerja perusahaan itu, dan dicantumkan di dalam Perjanjian
Kerja Bersama (PKB) antara perusahaan dan serikat pekerja di perusahaan itu.
Menurut Zarit, “Seseorang yang memasuki masa pensiun menganggap bahwa pensiun
berarti kehilangan peran dan status sosial serta kekuasaan, akibatnya banyak
orang yang menganggap pensiun sebagai masa yang mendatangkan stres dan
merupakan peristiwa yang menakutkan (Santrock, 1999: 227).” Pensiun seringkali
dianggap sebagai kenyataan yang tidak menyenangkan sehingga menjelang masanya
tiba sebagian orang sudah merasa cemas karena tidak tahu kehidupan macam apa
yang akan dihadapi kelak. Dalam era modern seperti sekarang ini, pekerjaan
merupakan salah satu faktor terpenting yang bisa mendatangkan kepuasan (karena
uang, jabatan dan memperkuat harga diri). Oleh karenanya, sering terjadi orang
yang pensiun tidak bisa menikmati masa tua dengan hidup santai, bahkan
sebaliknya, mereka mengalami problem serius (kejiwaan ataupun fisik) Bagi
kebanyakan pegawai, mereka menghadapi dan memandang pensiun dengan kacamata
yang agak buram. Memasuki wilayah yang serba asing dan tidak menentu ini harus
mereka jalani sendiri. Masa depan seolah dipenuhi perasaan was-was dan berbagai
pertanyaan yang membingungkan. Masa depan 4 lebih sebagai akhir kehidupan.
Umumnya ketika memasuki pensiun mereka membayangkan kondisi yang semakin buruk,
antara lain: kehilangan status dan penghormatan, kekurangan penghasilan,
kehilangan fasilitas dan kemudahan, dan ketersisihan dari pergaulan lama serta
perasaan menjadi tua (Sutarto, 2008: 4-5). Pensiun pada umumnya dialami oleh
banyak orang dengan perasaan negatif atau tidak senang. Bahkan mereka yang
belum siap mentalnya, benarbenar mengalami shock atau kejutan mental hebat.
Sebab kejadian tersebut dianggap sebagai kerugian, degradasi sosial, ataupun
hal yang memalukan. Tidak heran masa pensiun ini menimbulkan masalah psikologis
baru bagi yang menjalaninya, karena banyak dari mereka yang tidak siap
menghadapi masa ini. Ketidaksiapan menghadapi masa pensiun pada umumnya timbul
karena adanya kecemasan dan kekhawatiran tidak dapat memenuhi
kebutuhan–kebutuhan tertentu. Tidak semua orang dapat menerima masa pensiun
sebagai masa istirahat dari pekerjaannya atau jabatannya. Bagi sebagian orang,
pensiun adalah sesuatu yang harus dihindari. Ketakutan ini muncul karena
individu merasa bahwa pensiun berarti kehilangan apa yang dimiliki antara lain
jabatan, status sosial, kekuasaan, penghasilan dan penghormatan, yang
mengakibatkan banyak orang memandang pensiun sebagai hal yang negatif dan
cenderung untuk menolak pensiun. Sejauh ini banyak kasus yang terjadi bahwa
tidak semua orang 5 mempunyai pandangan yang positif tentang pensiun hal
tersebut terjadi karena ketidaksiapan seseorang menghadapi masa pensiun
(Triratnasari, 2009: 17). Sebuah survey yang dilakukan oleh Decker (1980: 121)
menemukan bahwa orang yang pensiun merasa kehilangan uang dan orang-orang di
lingkungan kerja. Sebagian besar mengatakan bahwa mereka merasa kehilangan
pekerjaan itu sendiri, perasaaan berguna, peristiwa-peristiwa disekitar mereka
dan sikap hormat dari orang lain. Hartati (2002: 17) mengatakan bahwa
orang-orang pensiunan yang terputus dari pekerjaan dan dari arus kehidupan
menghadapi masalah penyesuaian keuangan dan psikologis. Kenyataan yang dihadapi
oleh semua pensiunan pada dasarnya sama, pertama akan menghadapi masalah
berkurangnya penghasilan dan ketidaksibukan kerja Reaksi yang kurang
menyenangkan juga akan datang bagi orang yang tidak siap untuk menghadapi masa
pensiun, baik tidak siap dengan segi keuangan maupun dari segi mengisi
kesibukan dengan bekerja tambahan ataupun pengembangan hobi, sehingga dapat
menimbulkan stres dalam dirinya. Perasaan stres sendiri merupakan keadaan
psikologis yang tidak menyenangkan, sehingga pikiran menjadi terganggu dan
akhirnya timbul perasaan kehilangan keseimbangan mental. Jika hal tersebut
dibiarkan maka akan timbul stres yang akan mengganggu kehidupannya. Ada Hasil
penelitian dari psikolog Jungmeen E. Kim dan Phylis Moen dari Cornell
University (www.e-psikologi.com) yang melakukan penelitian 6 tentang hubungan
antara pensiun dengan depresi ditemukan bahwa laki-laki yang baru pensiun
cenderung mengalami konflik dibandingkan dengan yang belum pensiun karena
mereka belum mampu menyesuaikan diri terhadap masa baru yaitu masa pensiun,
sehingga hal itu akan menyebakan stressor bagi pensiunan. Hal serupa juga
diungkapkan oleh Gershaw (dalam Risk, 2009:16) bahwa pria lebih bermasalah
menghadapi masa pensiun terlebih bagi keluarga yang masih memegang prinsip
tradisional mengenai peran dalam sebuah keluarga, dimana istri menjadi ibu
rumah tangga dan suami pencari nafkah. Orang yang mengalami stres bisa menjadi
tegang karena ada kondisikondisi yang mempengaruhi dirinya. Menurut Robbins
(1996: 223), stres didefinisikan sebagai kondisi yang dinamis di mana seseorang
dikonfrontasikan dengan suatu peluang (constraints) atau tuntutan (demands)
yang dikaitkan dengan apa yang diinginkannya dan hasilnya dipersepsikan sebagai
sesuatu yang tidak penting atau tidak pasti. Stres juga dapat diartikan sebagai
suatu tanggapan penyesuaian yang merupakan konsekuensi dari setiap tindakan,
situasi atau peristiwa di lingkungan luarnya yang menetapkan tuntutan berlebih
pada seseorang Gibson, dkk (1996: 336). Melihat beberapa pendapat di atas
tentang stres, maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa stres adalah munculnya
reaksi psikologis yang membuat 7 seseorang merasa tegang atau cemas yang
disebabkan ketidakmampuan mengatasi atau meraih tuntutan atau keinginannya. Ada
4 indikator stres menurut Agus M Hardjana (1994: 24-26) sebagai berikut: 1)
Gejala fisikal, seperti: sakit kepala, pusing, insomnia (susah tidur), urat
tegang- tegang terutama pada leher dan bahu, mudah lelah atau kehilangan daya
energi, bertambah banyak melakukan kekeliruan atau kesalahan dalam hidup, 2)
Gejala Emosional, seperti: gelisah atau cemas, sedih, mudah marah, gugup, mudah
jenuh, menjadi beban bagi orang lain, 3) Gejala Intelektual, seperti: susah
berkonsentrasi, sulit membuat keputusan, pikiran kacau, dalam kerja bertambah
jumlah kekeliruan, 4) Gejala Interpersonal, seperti: kehilangan kepercayaan
kepada orang lain, mengambil sikap terlalu membentengi dan mempertahankan diri.
Berdasarkan hasil wawancara pada 2 warga yang sudah pensiun memberikan pendapat
yang berbeda-beda saat menjalani masa pensiunnya, yakni warga yang berinisial “M”
masih belum menerima kenyataan bahwa ia telah pensiun karena ia merasa
kehilangan peran dan identitas dirinya. Warga berinisial “H” mengatakan bahwa
setelah pensiun ia tidak memiliki pekerjaan lain dan ia juga masih memiliki
tanggungan anak yang masih sekolah dan merasa sudah tidak ada gunanya lagi buat
keluarganya. Penilaian tersebut tergantung pada penilaian analisis seseorang
tentang tuntutan situasi, strategi yang tersedia, dan kemampuan
mengimplementasikan 8 strategi yang dibutuhkan. Penilaian terhadap situasi erat
kaitannya dengan konsep efikasi diri, yang merupakan kepercayaan atau keyakinan
bahwa seseorang dapat berperilaku sesuai kebutuhan untuk menghasilkan sesuatu
yang diinginkan (Yogi, 2010: 3). Albert Bandura (dalam Rini 2010: 6) melalui
teori sosial kognitif mendifinisikan efikasi diri sebagai sebagai keyakinan
yang menentukan bagaimana seseorang berfikir, memotivasi dirinya dan bagaimana
akhirnya memutuskan untuk melakukan sebuah perilaku untuk mencapai tujuan yang
diinginkan. Menjadi sebuah hal yang penting bagi para pensiun untuk
meningkatkan efikasi dirinya, hal ini diperlukan untuk menentukan pilihan dalam
melakukan suatu tindakan. Seseorang yang memiliki efikasi diri yang tinggi
berarti memiliki keyakinan dan kepercayaan yang besar terhadap kemampuan yang
dimilikinya, sedangkan seseorang yang memiliki efikasi diri yang rendah, mudah
terkena stres dan depresi. Efikasi diri dibentuk melalui empat proses utama
yaitu kognitif, motivasi, afektif, dan proses interaksi. Berbagai sumber dapat
membantu meningkatkan efikasi diri diantaranya adalah pencapaian prestasi,
pengalaman dari orang lain, persuasi verbal, umpan balik fisiologis, dan
kondisi emosional. Efikasi diri dapat membantu seseorang untuk menentukan
pilihan dan mempunyai komitmen dalam mempertahankan tindakan yang dipilihnya
(Bandura, 1994 dalam Rini, 2011: 6). 9 Lebih lanjut Bandura (1986: 309)
mengatakan bahwa efikasi diri adalah salah satu komponen dari pengetahuan
tentang diri (self knowledge) yang paling berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari.
Bandura juga menegaskan bahwa semua proses perubahan psikologis dipengaruhi
oleh efikasi diri. Wood dan Bandura (dalam Hill dan Linsey, 1993: 290),
mengatakan bahwa efikasi diri merupakan kepercayaan tentang kemampuan seseorang
dalam mengarahkan motivasi, sumber daya kognitif dan menentukan tindakan yang
dibutuhkan untuk mencapai suatu situasi yang diinginkan. Teori kognitif sosial
memandang bahwa persepsi tentang efikasi diri berperan sebagai sebuah mekanisme
kognitif yang mengendalikan individu untuk menghadapi tekanan. Hal tersebut
disebabkan efikasi diri lebih menekankan pada keyakinan pada diri individu
mengenai kemampuannya didalam menjalankan suatu tugas. Apabila individu merasa
tidak dapat mengendalikan situasi dan lingkungan yang sedang dihadapinya, dan
situasi serta lingkungan dirasa mengancam, maka individu tersebut akan merasa
gelisah dan cemas. Sebaliknya jika individu merasa mampu menghadapi tekanan
yang berasal dari lingkungan, maka individu tersebut tidak akan merasa cemas.
Individu tersebut akan melihat situasi dan lingkungan yang menekan sebagai
sesuatu yang menantang dan kemudian akan melakukan tindakan yang sudah matang
dan sudah diperhitungkan. 10 Menurut Bandura (1994: 75) efikasi diri
menghasilkan perbedaan dalam cara berfikir, merasakan dan bertindak. Keyakinan
efikasi diri berpengaruh terhadap pilihan yang dibuat dan tindakan yang dicapai
oleh individu. Keyakinan pada efikasi turut menentukan seberapa besar usaha
yang dilakukan individu serta berapa lama kemampuan untuk bertahan dalam
menghadapi situasi yang kurang menguntungkan. Individu yang memiliki sikap
efikasi diri tinggi dalam menghadapi suatu tugas yang sulit akan merasa
tertantang untuk menyelesaikannya, memiliki tanggung jawab yang kuat dan tekun
dalam menyelesaikan suatu masalah, sehingga tidak mudah putus asa dan
menganggap kegagalan sebagai motivasi untuk dapat bekerja lebih baik. Sedangkan
individu dengan efikasi diri yang rendah cenderung merasa malu dan ragu
terhadap kemampuan yang dimilikinya, menganggap suatu persoalan yang rumit
sebagai ancaman terhadap diri mereka sendiri ,akan berdiam diri dan menyerah
dengan cepat apabila berhadapan dengan kesulitan (Bandura, 1994: 73-74). Adapun
penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Wahyu Tri Ratnasari (2009) di Badan Kepegawaian
Daerah Kabupaten Ponorogo untuk mengetahui perbedaan tingkat kecemasan
menghadapi pensiun antara pegawai negeri sipil yang tidak mempunyai pekerjaan
dan mempunyai pekerjaan sampingan. Subyek penelitian berjumlah 59 orang,
berusia 59 tahun dengan menggunakan teknik random ordering. Hal ini menunjukkan
bahwa terdapat perbedaan kecemasan 11 menghadapi pensiun, baik mereka yang
mempunyai pekerjaan sampingan ataupun yang tidak mempunyai pekerjaan sampingan.
Dari penelitian di atas, subyek yang diteliti sama namun pada penelitian Wahyu
Tri Ratnasari menggunakan pensiunan PNS, sedangkan pada penelitian ini subyek
yang digunakan adalah pensiunan swasta. Teknik yang dipakai menggunakan
purposive sampling yakni berjenis kelamin laki-laki, usia pensiun 1-3 tahun,
dan belum mempunyai pekerjaan setelah pensiun. Hasil yang diperoleh dalam
penelitian Wahyu Tri Ratnasari (2009) bahwa pegawai negeri sispil yang tidak
mempunyai pekerjaan mempunyai tingkat kecemasan menghadapi pensiun lebih tinggi
dari pada pegawai negeri sipil yang mempunyai pekerjaan sampingan. Berdasarkan
pemaparan di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang "Hubungan
Efikasi Diri Dengan Stres Para Pensiunan di RW XIV Kelurahan Kebonsari Kulon
Kecamatan Kanigaran Kota Probolinggo". B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana
tingkat efikasi diri para pensiunan di RW XIV Kelurahan Kebonsari Kulon
Kecamatan Kanigaran Kota Probolinggo? 2. Bagaimana tingkat stres para pensiunan
di RW XIV Kelurahan Kebonsari Kulon Kecamatan Kanigaran Kota Probolinggo? 12 3.
Apakah ada hubungan antara efikasi diri dengan stres para pensiunan di RW XIV
Kelurahan Kebonsari Kulon Kecamatan Kanigaran Kota Probolinggo? C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dari
penelitian ini adalah: 1. Mengetahui tingkat efikasi diri para pensiunan di RW
XIV Kelurahan Kebonsari Kulon Kecamatan Kanigaran Kota Probolinggo 2.
Mengetahui tingkat stres para pensiunan di RW XIV Kelurahan Kebonsari Kulon
Kecamatan Kanigaran Kota Probolinggo 3. Mengetahui hubungan efikasi diri dengan
stres para pensiunan di RW XIV Kelurahan Kebonsari Kulon Kecamatan Kanigaran
Kota Probolinggo. D. Manfaat 1. Manfaat Teoritis a. Sebagai bahan kajian
tambahan bagi mahasiswa psikologi yang berminat untuk mempelajari psikologi
sosial. b. Sebagai penambah wawasan dan pengalaman bagi penulis dalam
penelitian ini 13 2. Manfaat Praktis a. Sebagai dasar pengembangan alat ukur
psikologis mengenai stres dan efikasi diri para pensiunan baik melalui proses
modifikasi dari alat ukur yang sudah ada maupun dengan menyusun sendiri b.
Diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan rujukan dalam
penelitianpenelitian yang akan datang.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" : Hubungan efikasi diri dengan stres para pensiunan di RW XIV Kelurahan Kebonsari Kulon Kecamatan Kanigaran Kota Probolinggo" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment