Abstract
INDONESIA:
Banyak permasalahan yang sering dihadapi oleh remaja seperti kegagalan bercinta, masalah keluarga serta masalah sosial dan masalah lainnya. Oleh karena itu, kesejahteraan subjektif dibutuhkan oleh remaja, karena pada masa remaja sangat rentan terhadap tindakan yang menyimpang dan juga masa remaja juga merupakan masa peralihan dari masa anak-anak menuju dewasa. Pada masa ini remaja mengalami banyak perubahan, baik secara biologis, sosial budaya, kognitif, dan sosioemosi. Remaja yang tinggal di pondok pesantren juga tidak luput dari masalah, berbagai macam masalah yang dialami seperti masalah akademik, melanggar peraturan pondok, kehilangan barang, berselisih dengan teman sekamar, serta masalah dengan berbagai pihak di lingkungan baik dengan teman sebaya, pengurus pondok bahkan dengan pengasuh/ustadz dan ustadzah.
Selain itu, perasaan khawatir ketika sudah lulus serta mengahdapi masa pernikahan juga menjadi permasalahan remaja yang tinggal di pondok pesantren. Salah satu aspek psikologis yang diyakini dapat memberikan dampak menurunkan emosi negatif sehingga dapat meningkatkan emosi positif adalah dengan adanya kemampuan untuk meregulasi emosi. Apabila seseorang mempunyai kemampuan regulasi emosi yang baik, maka dia akan mampu memiliki kemampuan reaksi emosional yang positif.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pelatihan regulasi emosi terhadap kesejahteraan subjektif remaja pondok pesantren. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen dengan model one group pretest-posttest dengan jumlah subjek sebanyak 9 orang yang merupakan remaja akhir yang berada di PP. Salafiyah Kalimalang. Data diperoleh melalui angket terbuka, lembar evaluasi dan skala linkert yang terdiri dari skala SWLS dan SPANE.
Hasil analisis data menggunakan paired samples t test menunjukkan t= -8.895 dan sifnifikansi p= 0.000 < 0.05 yang menunjukkan bahwa adanya perbedaan kesejahteraan subjektif antara sebelum dan sesudah diberikannya pelatihan regulasi emosi yang berarti hipotesis diterima. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pelatihan regulasi emosi memberikan pengaruh dalam meningkatkan kesejahteraan subjektif pada remaja yang tinggal di PP. Salafiyah Kalimalang.
ENGLISH:
Many problems frequently faced by adolescents such as failure to make love, family problems and social problems and other issues. Therefore, subjective well-being needed by adolescents, because puberty is very prone to defiance and puberty is also a period of transition from childhood to adulthood. In this period a teenager encountered many changes, both the biological, social, cultural, cognitive, and emotional. Teens who live in boarding school was not immune from the problem, the various problems encountered such as academic problems, breaking rules cottage, loss of goods, clashed with roommates, as well as problems with various parties in the well with their peers, cottage caretaker even with caregivers / Ustadz and Ustadzah.
In addition, feeling saturated with all the activities and routines and wanted to return home to meet the parents and playmates is a problem that commonly experienced by students. One of the psychological aspect which is believed to decrease the impact of negative emotions that can enhance positive emotions is by their ability to regulate emotions. If someone has the capability to regulate their emotions, then he will be able to have a positive emotional reaction capabilities.
This study aims to determine the effect of emotion regulation training on subjective well-being in teenager boarding school. The method used in this study is an experimental method with a model of one group pretest-posttest with a number of subjects were 9 people who are late teens in PP. Salafiyah Kalimalang. Data obtained through open questionnaire, the evaluation sheet and linkert scale consists of scale SWLS and SPANE.
The results of data analysis using paired samples t test showed t = -8.895 and significance of p = 0.000 <0.05 which indicates that the difference in subjective well-being between before and after the training given emotion regulation means that the hypothesis is accepted. It can be concluded that the training of emotion regulation gives effect in improving subjective well-being in adolescents living in PP. Salafiyah Kalimalang.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Manusia seringkali mengalami hal
yang tidak menyenangkan dalam kehidupannya. Banyak permasalahan yang sering
dihadapi seperti kegagalan bercinta, masalah keluarga serta masalah sosial dan
masalah lainnya. Tetapi permasalahan tersebut tidak menghilangkan kebahagiaan
pada diri manusia. Setiap manusia menginginkan kebahagiaaan, kebahagiaan tidak
mengenal usia, anakanak, remaja, bahkan dewasa dan lansia membutuhkan
kebahagiaan. Menurut Aristoteles (dalam Williams, Sawyer & Wahlstrom, 2006)
kebahagiaan merupakan bentuk kesempurnaan, sehingga banyak upaya untuk
mencapainya. Hal ini sama seperti yang diungkapkan oleh James (dalam Williams,
Sawyer & Wahlstrom, 2006), bahwa kebahagiaan merupakan hal yang sangat
penting sehingga upaya untuk mencapai kebahagiaan menjadi fokus perhatian dan
tujuan dari manusia sepanjang waktu. Sebagai bentuk emosi positif kebahagiaan
menjadi kebutuhan penting bagi manusia dalam menjalani setiap fungsi dan
aktivitasnya dalam kehidupan seharihari. Oishi dan Koo (2008) mengungkapkan
bahwa kebahagiaan menjadi hal yang penting karena dapat memberikan dampak
positif bagi keberfungsian manusia dalam berbagai aspek kehidupan seperti
pendidikan, pekerjaan, kesehatan serta hubungan sosial. Penelitian kepribadian
menunjukkan bahwa individu yang 2 bahagia adalah individu yang extrovert,
optimis, memiliki harga diri yang tinggi serta memiliki locus of control
internal yang baik (Carr, 2004). Manusia dipandang sebagai makhluk yang bisa
bangkit dari segala ketidakberdayaan dan dapat memaksimalkan potensi diri.
Psikologi positif melihat manusia sebagai sosok yang mampu menentukan cara
pandang kehidupan. Fokus dari kajian psikologi positif adalah pada bagaimana
manusia memaknai hidupnya, dimana pemaknaan ini memiliki perbedaan pada setiap
diri manusia. Dengan pemaknaan hidup yang positif maka manusia mampu meraih
kebahagiaan yang diinginkannya atau yang disebut sebagai kesejahteraan
subjektif. Menurut Seligman (2006) istilah kebahagiaan juga banyak dikenal
dalam psikologi positif. Teori psikologi menggunakan istilah yang lebih tepat
yang dapat didefinisikan secara operasional, yakni kesejahteraan subjektif.
Seligman dan Csikszentmihalyi (2000) mengatakan bahwa dalam praktik
kesejahteraan subjektif lebih ilmiah untuk mengartikan istilah kebahagiaan.
Kesejahteraan subjektif dianggap lebih luas dan dapat didefinisikan sebagai
sisi afektif seseorang (suasana hati dan emosi) serta mampu menjadi evaluasi
kognitif kehidupan mereka. Penelitian ini peneliti menggunakan istilah
kesejahteraan subjektif untuk menggambarkan kebahagiaan seseorang, karena hal
ini mengacu kepada istilah kesejahteraan subjektif yang lebih tepat dan dapat
didefinisikan lebih jelas dan operasional, meskipun pada dasarnya konsep
kesejahteraan subjektif merupakan konsep yang luas dan meliputi emosi
menyenangkan, rendahnya tingkat mood negatif dan memiliki kepuasan hidup yang
tinggi (Arbiyah, Imelda & Oriza. 2008). 3 Rakhmat (dalam Winarsih, 2006)
mengungkapkan bahwa pakar psikologi membagi kebahagiaan menjadi dua macam,
yaitu kebahagiaan yang bersifat objektif dan subjektif. Kebahagiaan objektif
dapat diukur dengan menggunakan standar, misalnya aturan agama atau definisi
penguasa, sedangkan kebahagiaan subjektif tidak didasarkan pada ketentuan
apapun, melainkan perspektif dari masing-masing individu, sehingga pada setiap
orang dapat berbeda. Para ilmuwan psikologi tidak menggunakan ukuran objektif
karena sulit diterapkan untuk dibuktikan secara ilmiah, sehingga mereka lebih
senang menggunakan ukuran kebahagiaan yang subjektif. Kebahagiaan subjektif ini
disebut sebagai subjective well-being atau kesejahteraan subjektif atau
merupakan nama lain dari kebahagiaan. Kebahagiaan adalah keadaan emosi positif
yang didefinisikan secara subjektif oleh setiap orang (Snyder & Shane,
2007). Aristoteles (dalam Bertens, 2004) menyebutkan bahwa kebahagiaan
merupakan tujuan utama dari eksistensi manusia di dunia. Kebahagiaan itu
sendiri dapat dicapai dengan terpenuhinya kebutuhan hidup dan ada banyak cara
yang ditempuh oleh masing-masing individu. Kebahagiaan agak sulit untuk
diartikan karena cakupannya yang luas dan dalam (Strongman, 2005). Istilah
kesejahteraan subjektif didefinisikan sebagai evaluasi kognitif dan afektif
seseorang tentang hidupnya. Evaluasi ini meliputi penilaian emosional terhadap
berbagai kejadian yang dialami yang sejalan dengan penilaian kognitif terhadap
kepuasan dan pemenuhan kebutuhan hidup. Seseorang dikatakan memiliki
kesejahteraan subjektif yang tinggi jika mereka merasa puas dengan kondisi
hidup 4 mereka, sering merasakan emosi positif dan jarang merasakan emosi
negatif. Saat mengevaluasi kesejahteraan subjektif digunakan tiga aspek yakni
kepuasan hidup, kepuasan terhadap wilayah penting dalam hidup, serta respon
emosional terhadap sebuah kejadian (Diener, 2000). Sedangkan menurut Hefferon
dan Boniwell (2011), kesejahteraan subjektif atau kesejahteraan merupakan
gabungan dari kepuasan dengan hidup yang dimiliki atau yang telah dialami oleh
seseorang, dengan pengaruh positif yang tinggi dari lingkungan, dan adanya
pengaruh negatif yang rendah dari kehidupan seseorang. Lebih lanjut disimpulkan
oleh Compton (2005), bahwa secara garis besar, indeks kesejahteraan subjektif
seseorang dapat dilihat dari skor dua variabel utama, yaitu kebahagiaan dan
kepuasan dalam hidup. Berdasarkan pendapat dari beberapa tokoh dapat
disimpulkan bahwa kesejahteraan subjektif merupakan komponen inti untuk
mencapai kehidupan yang baik. Hal ini dapat dilakukan dengan menilai atau
mengevaluasi terhadap diri sendiri dengan meliputi tingginya pengaruh positif
dari lingkungan, serta kepuasan terhadap hidup yang telah dijalani.
Kesejahteraan subjektif dirasakan dan dialami oleh semua orang, termasuk
remaja. Remaja merupakan tahap perkembangan dimana individu mengalami peralihan
dari masa anak-anak menuju dewasa. Pada masa ini remaja mengalami banyak
perubahan, baik secara biologis, sosial budaya, kognitif, dan sosioemosi
(Santrock, 2003). Perubahan yang terjadi pada masa remaja berkaitan dengan
perkembangan masa pubertas dan seksualitas, perubahan peran sosial,
perkembangan kognitif, emosi dan moral serta transisi sekolah (Perkins &
Borden, 2003). Piaget menyatakan remaja berada pada tahap perkembangan kognitif
5 operasional formal, yang berarti remaja telah dapat berpikir secara abstrak,
logis, dan sistematik (Santrock, 2003). Selain itu, Erickson secara psikososial
mengungkapkan remaja dianggap sebagai periode yang penting bagi individu untuk
menemukan identitasnya (Joronen, 2005). Masa ini dibagi menjadi tiga tahap
yakni early (10-13 tahun), middle (14-16 tahun), dan late (17-19 tahun)
(Recapp, 2003). Penelitian tentang kesejahteraan subjektif pada remaja sudah
banyak dilakukan. Pada penelitian tersebut hasil yang dievaluasi adalah faktor
demografi dan intrapersonal. Kesejahteraan subjektif pada remaja juga
dievaluasi dengan membandingkan remaja normal dan remaja yang bermasalah,
mengevaluasi hubungan antara optimisme dengan harga diri, dan hubungan antara
coping dengan personal character (Eryilmaz, 2011). Diener (2000) dalam
penelitiannya pada mahasiswa di 17 negara menunjukkan bahwa individu yang
memiliki kesejahteraan subjektif tinggi akan mempunyai kepuasan hidup dan
kebahagiaan yang tinggi. Penelitian lain dilakukan oleh Eryilmaz (2010)
menunjukkan bahwa remaja usia 15 tahun merasa lebih bahagia dibandingkan dengan
remaja usia 17 tahun. Hasil penelitian tersebut tidak sesuai dengan dengan
pernyataan Ryff pada tahun 1989 (dalam Eryilmaz, 2010) yang menyatakan bahwa
kesejahteraan subjektif akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Hasil
penelitian ini berbeda karena penelitian yang dilakukan kepada siswa SMA di
Turki yang duduk dikelas 8 dengan rentang usia 14-15 tahun. Tetapi penelitian
yang dilakukan Eyilmaz (2010) sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan oleh
Wilson (dalam Diener, Suh, Lucas & Smith, 1999) yang menyatakan bahwa orang
tua mengalami penurunan kebahagiaan dan mood. 6 Menurut Diener (dalam
Nisfiannor & Kartika, 2004) individu dengan kesejahteraan subjektif tinggi
pada umumnya memiliki kualitas yang mengagumkan. Myers dan Diener (1995) juga
menjelaskan bahwa individu yang memiliki kesejahteraan subjektif tinggi dapat
mengontrol emosinya dan menghadapi berbagai peristiwa didalam menjalani hidup
yang lebih baik. Remaja perlu kesejahteraan subjektif tinggi karena usia remaja
merupakan usia yang rentan terhadap masalah. Hal itu terjadi karena adanya
perubahan hormon dan berkembangnya kelamin sekunder pada diri remaja. Seperti
yang dikatakan oleh Batubara (2010) bahwa masa remaja yang merupakan masa
peralihan memicu adanya perubahan-perubahan yang mencakup aspek fisik,
kognitif, dan sosial. Sedangkan menurut Gunarsa (dalam Hantoro, 2003) remaja
adalah sebagai masa timbulnya perasaan baru tentang identitas. Oleh karena itu
penting sekali bagi remaja khususnya di Indonesia mempunyai kesejahteraan
subjektif yang tinggi, karena remaja dengan kesejahteraan subjektif yang tinggi
akan cenderung mempunyai emosi yang selalu positif yang pada akhirnya segala
permasalahan hidup dan tugas perkembangannya dapat terselesaikan dengan baik.
Permasalahan yang dialami remaja yang tinggal di pondok pesantren sangat
beragam, tentu hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi remaja yang tinggal di
pondok pesantren. Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan agama Islam dengan
sistem komplek asrama sebagai tempat tinggal santri dalam menerima pendidikan
(Qamar, dalam Kadarusman, 2005). Sistem asrama dengan tata tertib dan sikap
tawadhu’ diyakini memberikan ilmu yang barokah terlebih ketika berada di
pesantren salaf yang masih sangat percaya terhadap do’a dan barokah dari para
pengasuh, 7 menjadikan pesantren memiliki kesan tersendiri sebagai tempat
pendidikan terbaik. Salah satu pondok pesantren tersebut adalah Pondok
Pesantren Salafiyah (PP. Salafiyah) Kalimalang. PP. Salafiyah Kalimalang
merupakan pondok pesantren yang memiliki kajian utama pembelajaran kitab kuning
serta pengetahuan agama Islam lain yang berlandaskan ahlussunnah wal-jama’ah
atau yang biasa dikenal dengan pondok pesantren salaf. Pondok pesantren ini
memiliki santri berjumah 83 orang yang terdiri dari anak-anak, remaja awal
hingga remaja akhir. Santri (sebutan untuk perempuan yang tinggal di pondok
pesantren) yang menuntut ilmu di PP. Salafiyah Kalimalang mayoritas berasal
dari keluarga kurang mampu, sehingga dalam menjalankan proses pengajaran santri
tidak dipungut biaya. Latar belakang pekerjaan orang tua Santri adalah buruh
tani, kuli bangunan, pedagang pasar dan pedagang keliling. Kewajiban untuk
tinggal di lingkungan pesantren menuntut santri untuk mampu beradaptasi dengan
segala aktivitas, budaya dan segala kebiasaan yang ada. Namun dalam
perjalannnya tersebut, tak jarang seorang santri akan menemukan berbagai macam
masalah. Permasalahan yang terjadi pada umumnya sangat kompleks, mulai dari
masalah akademik, melanggar peraturan pondok, kehilangan barang, berselisih
dengan teman sekamar, serta masalah dengan berbagai pihak di lingkungan baik
dengan teman sebaya, pengurus pondok bahkan dengan pengasuh/ustadz dan
ustadzah. Selain itu, perasaan jenuh dengan segala aktivitas dan rutinitas dan
ingin pulang kerumah untuk bertemu dengan orang tua serta teman 8 bermain
merupakan permasalahan yang dialami santri. Masalah tersebut juga dialami oleh
mayoritas santri remaja yang tinggal di PP. Salafiyah Kalimalang. Informasi
yang diperoleh santri untuk belajar dan tinggal di PP. Salafiyah Kalimalang
didapatkan dari tetangga sekitar dan alumni yang sudah pernah belajar di PP.
Salafiyah Kalimalang. PP. Salafiyah Kalimalang tidak memungut biaya pendidikan
kepada santri, sehingga banyak santri yang berasal dari keluarga kurang mampu
belajar dan tinggal di PP. Salafiyah Kalimalang. Jumlah santri yang tidak
banyak menjadi pengawasan yang dilakukan sangat ketat, biasanya santri yang
sudah menginjak remaja akhir dan sudah lama tinggal di PP. Salafiyah Kalimalang
menjadi abdi dalem untuk membantu meringankan pekerjaan dirumah pengasuh
(Wawancara, 22 Desember 2017). Ketika dilakukan observasi dan melakukan
penggalian data awal santri akan menghadapi ujian catur wulan, mereka menuturkan
bahwa mereka khawatir tidak bisa saat mengerjakan ujian dengan baik dan tidak
dapat memperoleh hasil yang maksimal. Sistem akademik di PP. Salafiyah
Kalimalang masih mengutamakan metode hafalan, dimana semua santri diharuskan
menghafal dan memahami materi yang diajarkan di madrasah diniyah, sehingga
ketika ujian santri harus mampu menghafal materi dengan baik. Setiap harinya
santri harus menghafal syair dari berbagai kitab sesuai dengan tingkat
pendidikannya. Salah satu dari santri yang menjadi subjek penelitian adalah
juara kelas dan di favoritkan untuk menjadi bintang pelajar pada akhir tahun.
Santri tersebut menuturkan bahwa dia khawatir tidak mampu mempertahankan
juaranya dan tidak dapat menjadi bintang pelajar. Santri selalu berusaha
belajar hingga larut untuk dapat menguasai materi, kebiasaan 9 lain yang ada di
PP. Salafiyah Kalimalang adalah saat malam hari ketika musim ujian suasana
pondok menjadi sepi, hal ini terjadi karena mereka belajar sendirisendiri dan
fokus mempelajarinya secara individu. Kekhawatiran menghadapi ujian dan
perosalan akademik yang dihadapi santri di PP. Salafiyah Kalimalang berdampak
kepada tingkat kebahagiaan yang rendah dan berpengaruh kepada kesejahteraan
subjektif santri remaja akhir di PP. Salafiyah Kalimalang (Wawancara, 22
Desember 2017). Kehidupan di pesantren menuntut santri untuk mudah beradaptasi
dengan kondisi pesantren, salah satunya adalah beradaptasi dengan kebiasaan dan
perilaku yang harus dilaksanakan. Pengawasan yang ketat dari pengurus dan
pengasuh mengenai perilaku yang muncul berdampak kepada santri harus
berperilaku sesuai dengan aturan yang telah disusun. Bayang-bayang dari hukuman
atau biasanya disebut takzir menjadikan santri selalu berusaha mentaati
peraturan pesantren, terlebih lagi dalam berperilaku dan bertutur kata. Rasa
takut terkena takzir dan dipanggil pengasuh berpengaruh kepada kesejahteraan
subjektif santri, terkadang mereka ingin berteriak dan mengekspresikan
kegembiraan dengan suara keras tidak dapat mereka lakukan, karena hal itu
merupakan sebuah larangan di pesantren. Hal tersebut menimbulkan rasa terkekang
dan dibawah kontrol dari pengasuh, sehingga santri merasa bahwa tidak memiliki
kebebasan di pesantren (Wawancara, 22 Desember 2017). Rasa kahwatir juga kerap
dirasakan oleh santri yang berada pada usia remaja akhir, karena pada usia
tersebut banyak santri yang sudah menikah terlebih lagi jika sudah lama di
pesantren dan sudah lulus menyelesaikan pendidikannya. 10 Kekhawatiran tersebut
muncul dikarenakan belum siapnya santri untuk menghadapi masa pernikahan dan
ada beberapa santri yang berfikir tidak ingin dijodohkan apalagi mengetahui ada
santri sebelumnya menikah bercerai karena tidak cocok dengan suaminya
(Wawancara, 22 Desember 2017). Beberapa santri mengatakan bahwa dia berusaha
untuk menuruti perintah dan perimntaan orang tua meskipun beberapa santri
sebenarnya tidak menginginkan untuk menikah, tetapi dengan alasan birul
walidain atau taat dan patuh terhadap perintah orang tua maka santri terpaksa
untuk menuruti. Faktor lain yang menjadi penyebab santri dinikahkan adalah saat
dia menikah akan mengurangi beban yang dirasakan orang tua karena sudah tidak
berkewajiban membiayainya lagi (Wawancara, 22 Desember 2017). Untuk
mempersiapkan diri ketika keluar dari pesantren dan dinikahkan oleh orang
tuanya, santri belajar untuk menjadi abdi dalem dengan membantu dirumah
pengasuh seperti memasak, menyetrika, mencuci pakaian dan aktivitas rumah
tangga lain dengan diiringi barokah dari pengasuh sehingga ilmu yang diperoleh
menjadi lebih manfaat (Wawancara, 22 Desember 2017). Hal lain yang selalu
difikirkan santri remaja akhir adalah rasa takut ilmunya tidak bermanfaat.
Mereka belum mengetahui rencana selanjutnya ketika keluar dari pondok pesantren
sehingga mereka berfikir menikah adalah satusatunya solusi agar setelah lulus
dari pesantren tidak kembali membebani orang tua. Pemikiran tersebut terus
berkembang sehingga santri selalu memikirkan saat proses pembelajaran dan
santri merasa bahwa pembelajaran di pesantren adalah sebuah beban yang harus dilaksanakan.
Ketika santri berfikir demikian, maka dalam 11 menjalani kehidupan di
pesantren, santri tidak bahagia dan tidak tenang, dan akan berdampak kepada
kesejahteraan subjektif pada setiap santri remaja akhir yang tinggal di PP.
Salafiyah Kalimalang (Wawancara, 22 Desember 2017). Compton (2005) menyatakan
bahwa seseorang dapat meningkatkan kesejahteraan subjektif yang dimilikinya
jika memiliki beberapa hal, salah satunya adalah kondisi psikologis yang baik.
Salah satu aspek psikologis yang diyakini dapat memberikan dampak untuk
menurunkan emosi negatif sehingga dapat meningkatkan emosi positif adalah
dengan adanya kemampuan untuk melakukan regulasi emosi. Apabila seseorang
mempunyai kemampuan regulasi emosi yang baik, maka dia akan mampu memiliki
kemampuan reaksi emosional yang positif. Remaja pondok pesantren yang memiliki
kemampuan regulasi emosi yang baik, akan dapat mengontrol emosi dengan cara
menghambat pengungkapan emosi negatif yang akan dimunculkan. Mereka mampu
melaksanakan kegiatan rutinitas di pondok pesantren dengan bahagia sehingga
aktivitas yang dilakukan menjadi lebih baik dan tidak merasa terbebani. Selain
itu ketika remaja yang tinggal di pesantren memiliki perasaan bahagia, akan
memiliki dampak terhadap kesehatannya sehingga dalam menjalani kehidupan di
pesantren tidak mudah sakit dan tidak ingin memiliki rasa untuk selalu kembali
kerumah atau biasa disebut home sick. Menurut Goss (dalam Manz, 2007) respon
emosional yang ditampakkan dapat membawa individu menuju arah yang salah.
Individu sering mencoba untuk melakukan kontrol terhadap respon emosional yang
dimunculkan agar emosi tersebut dapat memberikan manfaat untuk mencapai tujuan
yang diharapkan, 12 sehingga diperlukan adanya strategi yang dapat diterapkan
untuk menghadapi situasi emosial yakni berupa regulasi emosi yang mampu
mengurangi keluaran emosi negatif menjadi emosi positif. Bonano & Mayne
(2001) menjelaskan bahwa regulasi emosi adalah kemampuan yang dimiliki individu
untuk menilai pengalaman emosi dan kemampuan mengontrol emosi, mengekspresikan
emosi dan perasaan dalam kehidupan sehari-hari. Thompson (Gross, 2006)
mendefinisikan bahwa regulasi emosi sebagai kemampuan untuk memonitor,
mengevaluasi, dan memodifikasi reaksi emosional individu untuk mencapai tujuan
yang diharapkan. Kemampuan individu dalam mengelola emosi akan memiliki dampak
dalam menghadapi ketegangan dan situasi rumit dalam kehidupannya. Proses
regulasi emosi adalah suatu proses yang berjalan secara lambat dan bertahap
selama masa perkembangan (Schore, 2003). Menurut Reivich & Shatte (2002)
regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah tekanan. Individu
yang memiliki kemampuan regulasi emosi yang baik dapat mengendalikan dirinya
apabila sedang kesal dan dapat mengatasi rasa cemas, sedih, atau marah sehingga
mempercepat dalam pemecahan suatu masalah. Pengekspresian emosi, baik negatif
ataupun positif, merupakan hal yang sehat dan konstruktif asalkan dilakukan
dengan tepat. Reivich dan Shatte (2002) mengemukakan dua hal penting yang
terkait dengan regulasi emosi, yaitu ketenangan (calming) dan fokus (focusing).
Individu yang mampu mengelola kedua keterampilan ini, dapat membantu meredakan
emosi yang ada, dan mampu memfokuskan pikiran-pikiran negatif yang dapat
mengganggu dan mengurangi stress. 13 Sistem pembelajaran di PP. Salafiyah
Kalimalang adalah menggunakan sistem salafi yang berarti santri diajarkan
mengenai pengetahuan agama islam berdasarkan kitab-kitab yang disusun oleh
pengarang pada jaman dahulu atau biasa dikenal sebagai kitab kuning. Seluruh santri
di PP. Salafiyah Kalimalang tidak ada yang mengikuti pendidikan formal, mereka
hanya belajar mengenai keagamaan yang bersumber dari kitab-kitab terdahulu.
Dalam kesehariannya santri diajarkan untuk selalu sabar ikhlas, selain itu
sifat qona’ah juga diajarkan agar santri mampu menerima kondisi dengan penuh
rasa syukur. Kemampuan mengaplikasikan nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan
sehari-hari menjadikan Santri mampu melakukan regulasi emosi dengan baik,
tetapi regulasi emosi tersebut tidak mampu memberikan dampak positif kepada
kesejahteraan subjektif santri. Hal tersebut terlihat ketika dilakukan
penggalian data awal. Hasil penggalian data awal dilakukan dengan menggunakan
angket yang disebar kepada 20 santri, tetapi yang kembali hanya 15. Santri yang
dipilih adalah santri yang sesuai dengan kriteria subjek penelitian yakni usia
16-21 tahun. Dari hasil angket pra penelitian menunjukkan mayoritas santri
pernah bertengkar dengan teman sekamarnya atau dengan santri lain. Penyebab
mereka berselisih antara lain adalah karena persoalan antrian kamar mandi dan
mengenai pergaulan sehari-hari di pesantren. Selain itu, hukuman yang diberikan
atas kesalahan yang santri lakukan juga menjadi masalah bagi para santri.
Hukuman atau dalam bahasa santri sering disebut dengan ta’ziran merupakan
konsekuensi yang harus dilakukan akibat dari pelanggaran yang dilakukan santri,
seperti telah melakukan jama’ah, telat mengaji dan tidak mengikuti kegiatan
pesantren. Dengan begitu banyaknya kegiatan dan 14 diwajibkannya sholat jama’ah
selama 5 waktu dan juga jama’ah sholat dhuha dan sholat tahajud menjadikan
santri harus mengikuti kegiatan sholat jama’ah secara rutin. Selain itu, ketika
mereka salah dalam bersikap atau ucapan biasanya para santri akan dipanggil
oleh pengasuh untuk diberikan nasihat, dan panggilan yang dilakukan pengasuh
juga merupakan sebuah masalah yang para santri rasakan. Hukuman akan diberikan
jika santri melanggar peraturan yang telah di tetapkan. Hukuman yang diberikan
menjadi masalah yang dialami santri, dan semua santri merasa bahwa itu
merupakan permasalahan yang selalu mereka hadapi. Emosiemosi negatif yang
dirasakan seperti sering jengkel ke temannya, tidak menerima dengan kondisi
lingkungan, dan sering merasa sedih mayoritas dialami oleh santri. Banyaknya
masalah yang dialami santri menunjukkan bahwa pengajaran nilai-nilai keagamaan
belum mampu untuk meningkatkan kemampuan regulasi emosi pada setiap individu,
dengan demikian pelatihan regulasi emosi dibutuhkan untuk meningkatkan
kemampuan santri dalam melakukan regulasi emosi. Hal ini menunjukkan bahwa
remaja yang tinggal di pondok pesantren cenderung merasakan emosi negatif dan
dengan demikian menunjukkan kesejahteraan psikologis atau emosi positif berupa
kebahagiaan masih cenderung rendah. Diener (2008) mengatakan bahwa
kesejahteraan subjektif atau kebahagiaan ditentukan oleh individu dengan cara
bagaimana dia mengevaluasi informasi dari kejadian yang dialami dalam
kehidupannya sehari-hari. Pelatihan regulasi emosi ini disusun berdasarkan
teori Thompson (Gross, 2006), yaitu memonitor emosi, mengevaluasi emosi dan
memodifikasi emosi. 15 Bentuk pelatihan yang akan dilakukan adalah dengan
metode diskusi, ceramah, role play, tes, analisa kasus dan game (Sikula, dalam
Musslifah 2013). Pelatihan regulasi emosi ini pernah dilakukan oleh peneliti
lainnya seperti penelitian tentang pengaruh pelatihan regulasi emosi yang
mempunyai dampak positif antara lain Setyowati (2010) pelatihan regulasi emosi
memiliki dampak signifikan terhadap penurunan tingkat stress pada ibu yang
memiliki anak ADHD, selanjutnya Nughraheni (2011) bahwa pengendalian emosi
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap penurunan kecenderungan agresi pada
tunalaras, selanjutnya Syahadat (2013) mengungkapkan bahwa pelatihan regulasi
emosi dapat menurunkan perilaku agresif pada anak sekolah yang sesuai dengan
kriteria subjek dan Musslifah (2013) dalam hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa keterampilan regulasi emosi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
penurunan perilaku prokastinasi akademik pada mahasiswa tingkat akhir yang
sedang mengerjakan dan menyelesaikan skripsi (Musslifah, 2013). Selain itu,
penelitian yang dilakukan Aesijah (2014) bahwa pelatihan regulasi emosi
memberikan dampak yang positif terhadap peningkatan kebahagiaan pada remaja yang
tinggal di panti asuhan yatim piatu. Penelitian lain yang memiliki relevansi
dengan regulasi emosi adalah pelatihan regulasi emosi yang efektif untuk
mencegah perilaku bullying pada siswa SMP kelas IX disalah satau SMP Swasta di
Kota Surakarta (Sa’adah, 2016). Tetapi pelatihan regulasi emosi ini tidak
berhasil untuk meningkatkan resiliensi pada remaja yang tinggal di panti
asuhan. Keterampilan regulasi emosi yang efektif dapat meningkatkan
pembelajaran mengelola emosi secara signifikan. Penelitian mengenai regulasi 16
emosi yang dilakukan oleh Barret, Gross, Christensen dan Benvenuto (dalam Manz,
2007) menemukan bahwa emosi negatif dapat mempengaruhi aktivitas seseorang dan
kemampuan meregulasi emosi dapat mengurangi emosi-emosi negatif akibat
pengalaman-pengalaman emosional serta meningkatkan kemampuan untuk menghadapi
ketidakpastian hidup, memvisualisasikan masa depan yang positif dan mempercepat
pengambilan keputusan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Isen, Daubman, dan
Nowicki (dalam Manz, 2007), menyebutkan bahwa emosi-emosi positif bisa
memberikan pengaruh positif pada pemecahan masalah, sementara emosi-emosi
negatif malah akan menghambatnya. Tampaknya emosi positif melibatkan atau
memfungsikan mekanisme otak yang lebih tinggi dan meningkatkan pemrosesan
informasi dan memori, sementara emosi negatif dapat menghalangi fungsi kognitif
yang lebih tinggi tersebut sehingga akan mengurangi pemrosesan informasi dan
memori yang ada pada otak. Regulasi akan mempengaruhi koping individu terhadap
masalah. Koping positif dipengaruhi oleh emosi-emosi yang positif, sementara
emosi-emosi negatif lahir dari koping yang tidak efektif (Lazaruz, dalam
Hidayati, 2008). Individu yang mampu menilai situasi, mengubah pikiran yang
negatif dan mengontrol emosinya akan memiliki koping yang positif terhadap
masalahnya. Pada proses koping yang berhasil akan terjadi proses adaptasi yang
meningkatkan kemampuan individu untuk bertahan dalam menghadapi kemungkinan
stres selanjutnya. Sebaliknya bila terjadi kegagalan dalam proses koping maka
individu bersangkutan akan mengalami stres yang berkelanjutan, yang
termanifestasi dalam berbagai gangguan 17 psikis dan fisik, seperti gangguan
kesehatan, dan masalah sosial lainnya (Gross & John, 2000, dalam Wade &
Tavris, 2007). Keterampilan regulasi emosi sangat diperlukan bagi remaja yang
tinggal di pondok pesantren dalam meningkatkan kesejahteraan subjektif. Karena
dengan memiliki kesejahteraan subjektif yang baik, maka keadaan psikologis
remaja akan menajdi lebih baik. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk
melihat bagaimana pengaruh pelatihan regulasi emosi terhadap peningkatan
kesejahteraan subjektif pada remaja yang tinggal PP. Salafiyah Kalimalang. B.
Rumusan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah mengenai pelatihan regulasi emosi
dengan kesejahteraan subjektif, maka rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah: 1. Bagaimana tingkat kesejahteraan subjektif sebelum diberikan
pelatihan regulasi emosi pada remaja yang tinggal di pondok pesantren putri
Salafiyah Kalimalang? 2. Bagaimana tingkat kesejahteraan subjektif setelah
diberikan pelatihan regulasi emosi pada remaja yang tinggal di pondok pesantren
putri Salafiyah Kalimalang? 3. Bagaimana pengaruh pelatihan regulasi emosi
terhadap peningkatan kesejahteraan subjektif remaja yang tinggal di pondok
pesantren putri Salafiyah Kalimalang? 18 C. Tujuan Penelitian Berdasarkan
rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut
1. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan tingkat kesejahteraan subjektif remaja
sebelum diberikan pelatihan regulasi emopsi pada remaja yang tinggal di pondok
pesantren Salafiyah Kalimalang. 2. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan tingkat
kesejahteraan subjektif remaja setelah diberikan pelatihan regulasi emopsi pada
remaja yang tinggal di pondok pesantren Salafiyah Kalimalang. 3. Untuk
mengetahui pengaruh pelatihan regulasi emosi terhadap peningkatan kebahagiaan
remaja yang tinggal di pondok pesantren putri Salafiyah Kalimalang. D. Manfaat
Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis maupun
praktis dalam pengembangan khasanah keilmuan disiplin ilmu psikologi. 1.
Manfaat teoritis Manfaat teoritis yang disumbangkan dari hasil penelitian ini
adalah dapat memberikan informasi dan data-data empiris bagi kepentingan disiplin
ilmu psikologi terutama dalam pengembangan pelatihan-pelatihan yang dilakukan
untuk remaja dalam meningkatkan kesejahteraan subjektif khususnya bagi remaja
yang tinggal di pondok pesantren. 19 2. Manfaat praktis a. Bagi lembaga PP.
Salafiyah kalimalang, hasil penelitian ini dapat memberikan data empiris
mengenai pengaruh pelatihan regulasi emosi terhadap peningkatan kesejahteraan
subjektif remaja yang tinggal di PP. Salafiyah kalimalang sehingga dengan
demikian dapat dijadikan sebagai model yang dapat diaplikasikan dalam
memberikan perlakuan untuk meningkatkan kesejahteraan subjektif remaja,
terutama bagi remaja yang merupakan santri baru di PP. Salafiyah Kalimalang. b.
Bagi santri, santri dapat menjadikan hasil pelatihan regulasi emosi sebagai
cara untuk mengelola, mengendalikan dan memodifikasi emosi negatif menjadi
emosi positif sehingga akan berdampak kepada kesejahteraan subjektif dan
kebahagiaan pada individu santri. c. Bagi peneliti selanjutnya, hasil
penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi dalam melakukan pelatihan
serupa dengan subjek dan kondisi yang berbeda dan dapat bermanfaat bagi semua
pihak yang memerlukan.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" : Pengaruh pelatihan regulasi emosi terhadap kesejahteraan subjektif remaja pondok pesantren.." Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment