Abstract
INDONESIA:
Dalam kehidupan, individu pasti pernah mengalami hambatan, kesulitan dan tantangan, begitu juga yang dialami pada siswa akselerasi. Siswa akselerasi yang tergolong tahap perkembangan remaja, dengan banyaknya tugas perkembangan remaja selain menjadi siswa, anak diharapkan mampu memenuhi kebutuhan perkembangan sosial maupun emosional. Karena itu diperlukan kemampuan tersendiri dalam menghadapi krisis yang terjadi pada masa remaja yang dapat disebut resiliensi. Aspek-aspek resiliensi diantaranya, yaitu Emotion regulation, Impuls control, Optimism, Causal analysis, Emphaty, Self-efficacy dan Reaching out. Salah satu aspek yang mempengaruhi ialah Emotion regulation atau kontrol emosi, dimana kontrol emosi merupakan inti dari kecerdasan emosional.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kecerdasan emosional dan tingkat resiliensi pada siswa akselerasi, serta hubungan kecerdasan emosional dengan siswa akselerasi SMPN 1 Sidoarjo. Hipotesis yang diajukan adalah ada hubungan antara kecerdasan emosional dengan resiliensi. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan jenis penelitian korasional. data yang diperoleh dari hasil penelitian ini digunakan untuk mengungkap dua variabel yaitu tingkat kecerdasan emosional dan resiliensi. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa akselerasi SMPN 1 Sidoarjo yang berjumlah 40 anak. Instrument penelitian menggunakan skala kecerdasan emosional dan skala resiliensi (The Connor- Davidson Resilience Scale). Teknik analisis data menggunakan product moment correlation dengan menggunakan SPSS versi 16.0 for windows.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kecerdasan emosional siswa akselerasi berada pada tingkat sedang dengan prosentase 42,5%, dan tingkat resiliensi siswa akselerasi berada pada tingkat sedang dengan prosentase 45%. Korelasi antara dua variabel tersebut (rxy) = 0,665 dan koefisien determinan (r²) = 0,442 (r² x 100%) yang berarti sumbangan efektif faktor tingkat kecerdasan emosional terhadap tingkat resiliensi sebesar 44,2%.
ENGLISH:
In life, individuals must have experienced obstacles, difficulties and challenges, as well as the acceleration experienced by the students. Students belonging acceleration adolescent developmental stage of adolescent development with many tasks, in addition to being a student, a child is expected to meet the needs of social and emotional development. Because it needed its own capabilities in the face of a crisis that occurs in adolescence that can be called resilience.
Aspects such resilience, namely Emotion regulation, impulse control, Optimism, Causal analysis, Emphaty, Self-efficacy and Reaching Out. One aspect that affects Emotion is emotion regulation or control, which controls emotions are at the core of emotional intelligence. The purpose of this study was to determine the level of emotional intelligence and resilience in students' levels of acceleration, and the relationship of emotional intelligence with students of acceleration in SMPN1 Sidoarjo. The hypothesis is there a relationship between emotional intelligence and resilience. This research is a quantitative research study with correlational types . Data obtained from the results of this study are used to reveal the two variables, namely the level of emotional intelligence and resilience. The population in this study was student acceleration SMPN1 Sidoarjo totaling 40 children. Research instrument using a scale of emotional intelligence and resilience scale (The Connor-Davidson Resilience Scale ). Analysis using product moment correlation with using SPSS version 16.0 for Windows.
The results showed that the level of emotional intelligence students are at moderate acceleration with the percentage of 42.5 % , and the level of resilience of students are at moderate acceleration with the percentage of 45 % . The correlation between the two variables ( rxy ) = 0.665 and determinant coefficient ( r ² ) = 0.442 ( r ² x 100 % ) which means that the effective contribution of emotional intelligence level factors on the level of resilience by 44.2 % .
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dari hasil survei yang dilakukan oleh World
Condference for Gifted and Talented Children (WCGTC) tahun 1999, menyatakan
bahwa Indonesia merupakan salah satu dari beberapa negara yang sangat menaruh
perhatian terhadap masalah anak berbakat. Sedikitnya terdapat 2,2 % anak usia
sekolah yang memiliki kualifikasi anak cerdas berbakat. Berdasarkan data yang
diperoleh Badan Pusat Statistik tahun 2006 menjelaskan, terdapat 52.989.800
anak usia sekolah. Ini berarti ada sekitar 1.059.796 anak cerdas berbakat
istimewa yang ada di Indonesia. 1 Anak yang cerdas dan berbakat (gifted and
talent) merupakan sebuah aset berharga bagi kualitas SDM bangsa Indonesia,
sehingga anak yang memiliki kemampuan luar biasa memerlukan penanganan yang khusus
agar dapat berkembang secara optimal. Dikutip dalam Hawadi, Departemen
Pendidikan Nasional mendefinisikan akselerasi sebagai salah satu bentuk
pelayanan pendidikan yang diberikan bagi siswa dengan kecerdasan dan kemampuan
luar biasa untuk dapat menyelesaikan pendidikan lebih awal dari waktu yang
telah ditentukan. Secara konseptual, pengertian acceleration diberikan oleh
Pressey sebagai suatu kemajuan yang 1 Ester Lince Napitupulu, Didik anak sesuai
potensi, diakses dari http://kesehatan. kompas. com/read/xml
/2009/03/17/03132718 /Didik.Anak.Sesuai.Potensi pada tanggal 19 Februari 2014,
pukul 20.00 WIB. 2 diperoleh dalam program pengajaran, pada waktu yang lebih
cepat atau usia yang lebih muda daripada konvensional.2 Untuk SLTP
ditindaklanjuti dengan melihat Keputusan Mendikbud Nomor 054/U/1993. Kep.
Mendikbud pasal 16 ayat 1 yang menyebutkan bahwa siswa yang memiliki bakat
istimewa dan kecerdasan luar biasa dapat menyelesaikan program belajar lebih
awal dari waktu yang telah ditentukan, dengan ketentuan telah mengikuti
pendidikan SLTP sekurang-kurangnya dua tahun. 3 Transisi memasuki sekolah
menengah atau sekolah menengah pertama dari sekolah dasar merupakan sebuah
pengalaman normatif yang dialami oleh semua anak. Meskipun demikian, transisi
tersebut dapat menimbulkan stres karena transisi ini terjadi secara simultan
dengan banyak perubahan lain di dalam diri individu, di dalam keluarga dan di
sekolah. Perubahan-perubahan ini mencangkup hal-hal yang berkaitan dengan
pubertas dan perhatian terhadap citra tubuh, kemunculan beberapa aspek
pemikiran operasional formal, termasuk perubahan kognisi sosial, meningkatnya
tanggung jawab dan menurunnya ketergantungan pada orang tua, memasuki struktur
sekolah lebih besar dan impersonal, perubahan dari satu guru ke banyak guru
serta perubahan kawan yang lebih besar dan heterogen, meningkatnya fokus pada
prestasi dan performa, serta pengukuran.4 Apalagi masa usia siswa sekolah
menengah ini, bertepatan dengan masa perkembangan remaja. Dimana siswa SMP
dapat dikategorikan dalam masa perkembangan remaja awal yaitu usia 12 -15
tahun. Dalam Diane E,P, Sally Wendkos Old& Ruth D.F menjelaskan, Masa
remaja awal, merupakan masa transisi keluar dari masa kanak-kanak, menawarkan
peluang untuk tumbuh, 2 Reni,A.Hawadi, Akselerasi A-Z Infoemasi Program
Percepatan Belajar dan Anak Berbakat Intelektual. (Jakarta: PT. Gramedia,
2004), hal. 31 3 Ibid, hal. 20 4 Santrock, Remaja-Ed II (Jakarta,
Erlangga,2002) Hal. 105 3 bukan hanya dalam dimensi fisik, tetapi juga
kompetensi kognitif dan sosial. Periode ini juga amat beresiko. Sebagian anak
muda kesulitan menangani begitu banyak perubahan yang terjadi pada satu waktu
dan mungkin membutuhkan bantuan untuk menghadapi bahaya di sepanjang jalan.
Masa remaja adalah waktu meningkatnya perbedaan di antara anak muda mayoritas,
yang diarahkan untuk mengisi masa dewasa dan menjadikannya produktif, dan
minoritas yang akan berhadapan dengan masalah besar. 5 Santrock menjelaskan,
Remaja masa kini menghadapi tuntutan dan harapan demikian juga bahaya dan godaan,
yang tampaknya lebih banyak dan kompleks ketimbang yang dihadapi remaja
generasi yang lalu.6 Monks menyatakan bahwa remaja masih memiliki tugas
perkembangan untuk menyelesaikan pendidikan di tingkat menengah dan belum
mendapatkan kedudukan di tengah masyarakat.7 Memasuki masa remaja, anak mulai
melepaskan diri dari ikatan emosi orang tua, mencari jati diri dan menjalin
hubungan yang akrab dengan teman-teman sebayanya. Havighurst menjelaskan
beberapa tugas perkembangan remaja berhubungan dengan perkembangan
sosial-emosional.8 Perkembangan lainnya pada masa remaja ini adalah munculnya
perasaan-perasaan negatif pada anak, anak mulai timbul keinginan untuk
melepasakan diri dari kekuasaan orang tua. Seringkali masa ini juga disebut
masa negatif.9 Desmita juga menjelaskan, Remaja adalah tahap perkembangan yang
merupakan masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa dan masa sulit atau
masa krisis. Pada tahap remaja ini dihadapkan dengan tugas perkembangan yaitu
menyelesaikan krisis identitas sehingga diharapkan terbentuk suatu identitas
diri yang stabil pada akhir masa remaja. Proses 5 Papalia, Diane. F, Sally
E,O&Ruth, D.F. 2008. Human Development (Psikologi Perkembangan), ed.
IX.(Jakarta; Kencana Prenada Media Group, 2008)Hal. 535 6 Santrock, Remaja-Ed II
(Jakarta, Erlangga,2002) Hal. 17 7 F.J, Moks, A.M.P. Knoers, Siti Rahayu
Haditono, Psikologi Perkembangan, Pengantar dalam berbagai
bagiannya.(Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, ) hal. 8 H.Abu
Ahmadi&Sholeh M,Psikologi Perkembangan [Edisi Revisi]. (Jakarta: PT. Rineka
Cipta,2005) hal. 69 9 Ibid, hal. 23 4 pencarian identitas diri yang tidak
mudah, perubahan biologis, sosial dan psikologis yang terjadi serta kepekaan
yang ada dalam diri remaja membuat mereka merasa terisolasi, hampa, cemas, dan
bimbang. Jika remaja mampu melewati masa ini dengan baik, maka remaja akan
berkembang secara otonom. Namun jika tidak, remaja cenderung ingin mencoba
hal-hal baru dan bila tidak ada kontrol orang tua, maka bisa jadi mereka
terjerumus pada perilaku-perilaku yang menyimpang dan beresiko. 10 Dengan
banyaknya tugas perkembangan remaja, selain menjadi siswa, anak diharapkan
mampu memenuhi kebutuhan perkembangan sosial maupun emosional. Karena itu
diperlukan kemampuan tersendiri dalam menghadapi krisis yang terjadi pada masa
remaja yang dapat disebut resiliensi. Untuk tujuan tersebut resilience individu
perlu dikembangkan. Pengembangan daya lentur sangat bermanfaat sebagai bekal
dalam menghadapi situasi-situasi sulit yang tidak dapat dihindarkan. Resiliensi
adalah suatu kemampuan yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan setiap orang. Hal
ini karena kehidupan manusia senantiasa diwarnai oleh adversity (kondisi yang
tidak menyenangkan). Adversity ini menantang kemampuan manusia untuk
mengatasinya, untuk belajar darinya, dan bahkan untuk berubah karenanya. Dimana
individu yang mengalami berbagai permasalahan dan kekacauan kemudian
menggunakan kekuatan personal untuk tumbuh lebih kuat dan berfungsi secara
lebih baik dianggap sebagai individu yang resiliensi. Dengan resiliensi akan
membuat seseorang berhasil menyesuailkan diri dalam berhadapan dengan
kondisi-kondisi tidak menyenangkan, perkembangan sosial, akademis, kompetensi
vokasional dan bahkan dengan tekanan yang inheren dalam dunia sekarang
sekalipun. 11 Dalam buku resiliency in school juga menjelaskan, kajian
resiliensi yang dihubungkan dengan siswa menekankan bahwa sekolah merupakan
lingkungan yang kritis 10 Desmita, Psikologi Perkembangan,Cetakan kelima,
(Bandang, Remaja Rosdakarya, 2009) hal. 214 11 Ibid, Desmita, hal. 228 5 untuk
individu berkembang. Siswa diharapkan mampu beradaptasi secara positif terhadap
berbagai kondisi-kondisi kritis dan menekan. Sehingga mereka tetap dapat
berprestasi secara akademik, menyelesaikan studi tepat waktu, dan mempunyai
hubungan sosial yang baik. 12 Dalam kehidupan individu pasti pernah mengalami
kondisi yang tidak menyenangkan, begitu juga dapat dialami pada siswa
akselerasi. Dalam Santrock menjelaskan bahwa, ketika remaja yang berbakat
merasa kurang tertantang, mereka menjadi kacau, absen di kelas, dan kehilangan
minat berprestasi. Ellen winner juga berpendapat bahwa para remaja berbakat
sering terisolasi sosial dan berasa kurang tertantang di dalam kelas. 13
Program akselerasi yang berlangsung lebih pendek dari kelas reguler, menyebabkan
beban pelajaran yang harus diselesaikan 3 tahun menjadi 2 tahun, dipersingkat 1
tahun. Permasalahan yang terjadi pada siswa akselerasi juga dapat dilihat dari
observasi dan wawancara yang telah dilakukan kepada siswa dan guru dilapangan.
Dimana beberapa siswa menyatakan permasalahan yang banyak terjadi pada siswa
yaitu materi pelajaran padat, siswa mengalami kesulitan untuk bisa cepat
memahami materi yang di berikan. Selain itu, banyak siswa yang mengalami
kebosanan karena materi pelajaran yang monoton, semangat belajar menurun, dan
tidak masuk sekolah. Tidak hanya permasalahan di sekolah, beberapa siswa juga
mengalami permasahalan di rumah dengan keluarganya. Kondisi yang tidak
menyenangkan lainya, dialami beberapa siswa akselerasi, ketika siswa mendapat
nilai jelek atau dibawah teman-temannya, membuat beberapa siswa takut apabila
diturunkan menjadi kelas reguler.14 Ada salah satu alumni siswa akselerasi
setelah lulus SMP, kemudian melanjutkan ke SMA memilih untuk masuk kelas
reguler.15 Hal tersebut dapat terjadi apabila individu kurang 12
Nan,Henderson&Mike,M.Milsten, Resiliency in school.(Corwin Press,Inc. A
Sage Publications Company, Thousan Oaks, Carlifornia, 2003). hal.11 13 John,W,
Santrock, Remaja – Ed.II. (Erlangga, Jakarta; 2002). Hal. 136 14 (Hasil
wawancara, tanggal 19 Desember 2013). 15 (Hasil wawancara dengan guru, tanggal
18 Desember 2013). 6 mempunyai daya tahan/resiliensi untuk meneruskan pada
kelas akselerasi seperti yang sebelumnya. Dikutip dari Singgih juga menyatakan
bahwa dorongan yang terus-menerus untuk berprestasi tersebut akan menimbulkan
tingkat stres yang tidak dapat diterima, dan pada akhirnya siswa akselerasi
akan kehabisan energi (burnout) karena tekanan-tekanan yang ada. Menurut
psikolog anak David Elkind, anak masa kini adalah “anak yang diburu-buru” (the
hurried child). Tekanan kehidupan modern memaksa anak untuk tumbuh terlalu
cepat dan menjadikan masa kanak-kanak mereka penuh stres.16 Sebuah studi
penelitian oleh singgih, terhadap siswa berbakat pada tahun 2003 terhadap 99
siswa berbakat, dari tingkat stresnya, ditemukan bahwa mayoritas subyek (70,7%)
memiliki stres di bidang akademis yang tergolong sedang. Sementara itu, subyek
yang memiliki stres yang rendah di bidang akademis adalah sebanyak 15,2% dan
sisanya 14,1% memiliki stres di bidang akademis yang tergolong tinggi.17 Dengan
banyaknya permasalahan siswa akselerasi mulai dari burningout, stres,
permasalahan di sekolah maupun dirumah, berbagai macam permasalan yang dialami
siswa tersebut dapat menyebabkan resiliensi pada siswa akselerasi rendah. Hal
ini dapat dilihat dari siswa akselerasi yang mengalami stres, tertekan dan
semangat belajar yang menurun. Bland, Sowa dan Callahan juga sepakat bahwa
penelitian tentang resiliensi pada siswa berbakat sangat penting. Karena meskipun
beberapa karakteristik umum yang ada cukup baik tapi banyak siswa berbakat
tidak mengembangkan ketahanan/resiliensi.18 Dalam dinamika psikologi, kondisi
sulit atau pengalaman yang tidak menyenangkan sebagai risk factor, terdapat
Protective factor yang memungkinkan seseorang dapat 16 D.G Singgih, Dari anak
sampai usia lanjut: Bunga Rampai Psikologi Perkembangan. (Jakarta: Gunung
Mulia,2004) hal. 17 Ibid. hal. 227 18 Sally M. Reis, Robert D. Colbert,Thomas R
Hebert, Understand resiliensi in Diverse, Talented Students in an Urban High
School article, 2005. hal.111 7 mengatasi tekanan dalam kehidupan mereka, serta
aspek-aspek resiliensi diantaranya, yaitu Emotion regulation, Impuls control,
Optimism, Causal analysis, Emphaty, Self-efficacy dan Reaching out. 19 Menilik
pada hal tersebut salah satu aspek yang mempengaruhi adalah Emotion regulation
atau pengaturan/kontrol emosi, dan inti dari kontrol emosi merupakan kecerdasan
emosional, yaitu kemampuan seseorang mengendalikan emosi. Selain itu aspek yang
lain yang termasuk kecerdasan emosional yaitu Emphaty. Aspek-aspek yang sama
dapat menghubungkan antara kecerdasan emosional dengan resiliensi. Dalam
Desmita, sejumlah riset telah dilakukan meyakinkan bahwa gaya berpikir
seseorang sangat ditentukan oleh resiliensinya, dan resiliensi juga menentukan
keberhasilan seseorang dalam hidupnya. Selain resiliensi, seperti yang
dikemukakan oleh Goleman, kecerdasan emosional (emotional intelligence) adalah
salah satu faktor penentu kesuksesan seorang dalam meniti kehidupan. Karena
bukan hanya memerlukan anak bangsa yang pandai, melainkan juga anak bangsa yang
seimbang dalam kehidupan sosial dan emosional.20 Dalam studi yang mengkaji
tentang akselerasi ditemukan dua pendapat berbeda tentanag permasalahan
sosial-emosional siswa akselerasi. Dalam perspektif pertama, beberapa tokoh
sependapat bahwa siswa akselerasi banyak mengalami masalah-masalah sosial dan
emosional. Gibson mengatakan bahwa kelemahan utama program akselerasi adalah
menyangkut penyesuaian sosial. Richardson dan Benbow juga berpendapat sama,
bahwa dampak negatif program akselerasi bagi siswa adalah perkembangan sosial
dan emosional. Dobrowski menjelaskan juga bahwa karakteristik persoalan yang
membedakan pada siswa akselerasi. Karakteristik inilah yang dapat menyebabkan
kerentanan emosi siswa akselerasi serta menimbulkan masalah dalam kehidupan
emosi dan sosial mereka. Penelitian lebih lanjut juga mengemukakan bahwa siswa
yang sangat berbakat dalam bidang akademis 19 Ahmad,Junaedi S.P&Tarmidi,
Gambaran Resiliensi Siswa SMA yang beresiko putus sekolah di masyarakat
pesisir, Jurnal (Medan: Universitas Sumatera Utara, 2012) hal.47 20 Ibid,
Desmita, hal.229 8 mengalami kesulitan sosial dan emosional dua kali lebih
banyak dari pada siswa yang tidak berbakat.21 Namun, Bertolak belakang dengan
pendapat negatif tersebut, pendapat kedua menyatakan perspektif berbeda bahwa
menurut beberapa tokoh antara lain, Ablard mengatakan, kesulitan-kesulitan
sosial yang dihadapi tidak berdampak besar karena kesempatan untuk mendapatkan
tantangan intelektual jauh lebih berarti daripada kesulitan sosial yang
dihadapi. Gross juga mengatakan bahwa program akselerasi tidak akan menimbulkan
masalah pada perkembangan sosial dan emosional siswa apabila pelaksanaan
program akselerasi dirancang secara matang dan dilakukan pemantauan terhadap
performansi akademik siswa. Migran sependapat bahwa kekhawatiran terhadap
kemungkinan terjadinya permasalahan psikososial siswa akselerasi tidak perlu
berlebihan, karena menurutnya siswa yang cerdas dan berbakat istimewa adalah
kelompok individu yang memiliki karakterisrik personal dan sosial lebih
positif, mengalami kesukaran lebih sedikit dibanding dengan siswa yang
kecerdasannya normal, dan hanya sedikit yang mengalami problem penyesuaian
psikologis.22 Perbedaan pendapat tersebut menunjukkan bahwa siswa akselerasi
yang mengalami permasalah pada sosial-emosionalnya tidak akan berpengaruh
dengan dikembangkannya kecerdasan emosional pada siswa akselerasi. Keberhasilan
kita dalam kehidupan ditentukan oleh keduanya, tidak hanya oleh IQ, tetapi
kecerdasan emosional yang memegang peranan.23 Goleman mengatakan bahwa
perbedaan kemampuan individu seringkali terletak pada kecerdasan emosional yang
mencangkup pengendalian diri, semangat dan ketekunan, serta kemampuan untuk 21
A.Alsa, Keunggulan dan Kelemahan Program Akselerasi-Pidato. (Yogyakarta:
Universitas Gajah Mada, 2007). Hal. 11 22 Ibid, alsa. hal. 13-14 23 Daniel,
Goleman. Kecerdasan Emos; Mengapa EI lebih penting daripada IQ, (Jakarta,
Gramedia, 1998.) hal.38 9 memotivasi diri sendiri.24 Padahal kita tahu bahwa
siswa akselerasi IQ tinggi tapi kecerdasan emosionalnya belum tentu tinggi
juga. Sehingga timbul pertanyaan, bagaimanakah tingkat kecerdasan emosional
yang terjadi pada siswa akselerasi? Bagaimana resiliensi pada siswa akselerasi?
Apakah ada hubungan antara kecerdasan emosional itu sendiri dengan resiliensi
pada siswa akselerasi? Apakah tingginya tingkat kecerdasan emosional berbanding
lurus dengan tingkat resiliensi siswa akselerasi? Mengacu pada beberapa pertanyaan
tersebut, akhirnya peneliti tertarik untuk meneliti tentang “Hubungan antara
kecerdasan emosional dengan resiliensi pada siswa akselerasi.” B. Rumusan
Masalah 1. Bagaimana tingkat kecerdasan emosional siswa Akselerasi ? 2.
Bagaimana tingkat resiliensi siswa Akselereasi ? 3. Apakah ada hubungan antara
kecerdasan emosional dengan resiliensi pada siswa Akselerasi? C. Tujuan
Penelitian Terdapat beberaapa tujuan dalam penelitian ini, antara lain : 1.
Untuk mengetahui tingkat kecerdasan emosional siswa Akselerasi SMPN 1 Sidoarjo
2. Untuk mengetahui tingkat resiliensi siswa Akselerasi SMPN 1 Sidoarjo 3.
Untuk mengetahui ada atau tidak hubungan antara kecerdasan emosional dengan
resiliensi pada siswa Akselerasi SMPN 1 Sidoarjo 24 Op cit, hal.47 10 D. Manfaat
Penelitian 1. Manfaat teoritis penelitian ini, diharapkan dapat berkontribusi
untuk pengembangan ilmu pengetahuan khususnya bagi kajian ilmu psikologi dan
penelitian-penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan kecerdasan emosional
dan resiliensi. 2. Selain itu dari aspek praktis, diharapkan dapat memberikan
faedah sebagai rujukan bagi sekolah dan bahan pertimbangan guru-guru untuk
mengambil kebijakan bagi siswa akselerasi.
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment