Abstract
INDONESIA:
Kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan tertinggi, landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ (kecerdsan intelektual), EQ (kecerdasan emosional) secara efektif. SQ (kecerdasan spiritual) tidak hanya menentukan kesuksesan saja, melainkan juga kebahagiaan seseorang dan dapat memberikan kita kemampuan membedakan serta rasa moral. Kecerdasan spiritual tidak tumbuh ketika dewasa, akan tetapi harus dipupuk semenjak dini. Keluarga yang harmonis dibangun berdasarkan hubungan antar anggota keluarga yang rukun, saling menyanyagi, dan menghormati. Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana tingkat keharmonisan keluarga, 2. Bagaimana tingkat kecerdasan spiritual, dan 3. Apakah ada pengaruh antara keharmonisan keluarga terhadap kecerdasan spiritual siswa-siswi di MI Miftahul Huda Kedunglumpang Mojoagung Jombang.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui tingkat keharmonisan keluarga dan kecerdasan spiritual siswa-siswi MI Miftahul Huda Kedunglumpang Jombang, serta pengaruh keharmonisan keluarga terhadap tingkat kecerdasan spiritual anak di MI Miftahul Huda Kedunglumpang Jombang.
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dan jenisnya berupa korelasi yang bertujuan untuk menemukan ada tidaknya pengaruh antara variabel. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sebanyak 57 siswa yang diambil dari kelas IV-IV MI Miftahul Huda Kedunglumpang Jombang. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode
kuisioner atau angket, wawancara, dan dokumentasi. Angket keharmonisan keluarga yang berjumlah 14 aitem dengan reliabilitas α =0,899, angket kecerdasan spiritual yang berjumlah 26 aitem dengan reliabilitas α =0,872 teknis analisa data yang digunakan adalah dengan cara mengklasifikasikan ke dalam tiga kategori; tinggi, sedang, rendah dan menggunakan regresi linier sederhana.
kuisioner atau angket, wawancara, dan dokumentasi. Angket keharmonisan keluarga yang berjumlah 14 aitem dengan reliabilitas α =0,899, angket kecerdasan spiritual yang berjumlah 26 aitem dengan reliabilitas α =0,872 teknis analisa data yang digunakan adalah dengan cara mengklasifikasikan ke dalam tiga kategori; tinggi, sedang, rendah dan menggunakan regresi linier sederhana.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: (1) Tingkat keharmonisan keluarga siswa MI Mifathu Huda Kedunglumpang Jombang, dari 57 responden pada kategori rendah sebesar 0% dengan frekuensi 0 responden, kategori sedang sebesar 1,75% dengan frekuensi 1 responden, dan kategori tinggi sebesar 98,25% dengan frekuensi 56 responden, jadi tingkat keharmonisan keluarga siswa MI Miftahul Huda Kedunglumpang Jombang berada pada tingkat tinggi, (2) Tingkat kecerdasan spiritual pada siswa MI Mifathul Huda Kedunglumpang Jombang dari 57 responden, pada ketegori rendah sebesar 0% dengan frekuensi 0 responden, kategori sedang sebesar 7,02% dengan frekuensi 4 responden, dan kategori tinggi sebesar 92,98% dengan frekuensi 53 responden. Jadi hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar siswa MI Mifathul Huda Kedunglumpang Jombang mempunyai kecerdsan spiritual yang tinggi, dan (3) terdapat pengaruh yang positif antara keharmonisan keluarga terhadap tingkat kecerdasan spiritual anak di MI Miftahul Huda Kedunglumpang Jombang, dapat dinyatakan dengan hasil r = 0,473 dan p= 0,000. Nilai dari R Square = 0,223 dapat diartikan bahwa variabel keharmonisan keluarga dapat menerangkan variabelitas sebesar 22,3%, dengan demikian masih ada sekitar 77,7% variabel lain yang mempengaruhi dalam meningkatkan kecerdasan spiritual anak. dan dapat dinyatakan dengan hasil perbandingan nilai F = 15,82 dengan nilai p = 0,000 kemudian dibandingkan dengan Ft5% = 4,00, , yang artinya bahwa analisis regresi sebesar 15,82 lebih besar dari Ft (Fhit = 15,82 > Ft5% = 4,00 ). Hasil ini berarti hipotesis yang menyatakan adanya pengaruh antara keharmonisan keluarga terhadap tingkat kecerdasan spiritual anak adalah diterima. Artinya semakin harmonis hubungan dalam keluarga semakin tinggi pula tingkat kecerdasan spiritualnya.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kecerdasan
spiritual merupakan potensi yang harus dimiliki oleh anak, karena pengaruhnya
sangatlah besar dalam kehidupan anak kelak dimasa depan. Sungguh sangat
menyedihkan jika anak-anak sekarang kurang dalam spiritualitasnya. Banyak orang
tua tanpa disadari telah melakukan proses dalam mendorong anak untuk mencapai
kesuksesan materi, popularitas dan menyisihkan nilai-nilai spiritualitas
terhadap anak. Akibatnya anak hanya akan memikirkan bagaiamana dia mencapai
keinginannya dengan cara apapun, serta hanya mementingkan egoisme semata
(Safaria, 2007:11-12). Ketiadaan kecerdasan spiritual ibarat suatu kehampaan
pada jiwa seseorang, seperti orang yang merasa sepi di tengah keramaian,
orang-orang miskin di tengah limpahan kekayaan. Ketiadaan kecerdasan ruhaniah
atau spiritual akan mengakibatkan hilangnya ketenangan batin dan pada akhirnya
mengakibatkan hilangnya kebahagiaan pada diri seseorang tersebut. Kecerdasan
spiritual memberi kita kemampuan membedakan yang baik dan yang buruk,
kecerdasan spiritual memberi manusia rasa moral dan memberi kemampuan untuk
menyesuaikan dirinya dengan aturan-aturan yang baru. Robert Coles (1990)
menerbitkan salah satu karya yang komprehensif tentang spiritualitas pada anak,
diperoleh dari wawancara dengan anak-anak muda 2 dari berbagai negara dan
persuasi agama. Meskipun latar belakang anak-anak yang berbeda, Coles mencatat
bahwa mereka menyatakan perhatian dan aspirasi spiritual yang sama. Dia
berkomentar bahwa spiritualitas anak-anak muncul dari keinginan mereka untuk
ingin tahu, tidak hanya apa tapi mengapa. Selanjutnya, setiap aspek kehidupan
mereka menghubungkan dengan pemikiran spiritualnya. sehingga, sikap moral dan
emosi, seperti rasa malu dan rasa bersalah membentuk dasar awal dari pemahaman
spiritual. Kecerdasan yang semula hanya berupa kecerdasan intelektual saja,
kini Donah Zohar dan Ian Marshall memperkenalkan dua kecerdasan lain, yaitu
kecerdasan emosional (EQ= Emosional Quotient ) dan kecerdasan spiritual (SQ=
Spiritual Quotient). Berfikir bukanlah proses otak semata-mata dan bukan urusan
IQ saja. Sebab, hematnya berfikir tidak hanya dengan otak tetapi juga dengan
emosi dan tubuh (EQ), serta dengan semangat, visi, harapan, kesadaran akan
makna dan nilai (SQ) (Zohar dan Marshall, 2002). Sehingga pada saat ini kita
telah mengenal adanya tiga kecerdasan, ketiga kecerdasan itu adalah kecerdasan
otak (IQ), kecerdasan hati (EQ), dan kecerdasan spiritual (SQ). Kecerdasankecerdasan
tersebut memiliki fungsi masing-masing yang sangat kita butuhkan dalam hidup di
dunia ini. Untuk itu ketiga dasar kecerdasan ini harus di didik dan
dimaksimalkan kemampuanya. Mendidik anak untuk memperoleh kecerdasan spiritual
adalah usaha yang sangat penting karena banyak orang yang mempunyai kecerdasan
intelektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ) yang tinggi tetapi tidak
mempunyai akhlak yang baik. Fenomena seperti ini banyak dijumpai di 3
masyarakat sekitar kita. Fenomena yang terjadi ini dapat dikurangi jika
orangorang yang dekat dengan anak-anaknya dalam hal ini adalah keluarga (kedua
orang tua) mendidik anaknya dengan menekankan pembinaan kecerdasan spiritual
(SQ) tanpa meninggalkan kecerdasan intelektual dan keceradasan emosional. Hal ini
sependapat dengan Ary Ginanjar Aguatian dalam ESQ POWER ia mengatakan IQ memang
penting kehadirannya dalam kehidupan manusia, yaitu agar manusia dapat
memanfaatkan teknologi demi efesiensi dan efektifitas. Begitupun peran EQ yang
memegang begitu penting dalam membangun hubungan antara manusia yang efektif
sekaligus peranannya dalam meningkatkan kinerja namun tanpa SQ yang mengajarkan
nilai-nilai kebenaran maka keberhasilan itu hanyalah akan menghasilkan
hilter-hilter baru atau firaun-firaun kecil di muka bumi (Agustian, 2003:58).
Banyak orang tua tanpa disadari melakukan proses dehuamnisasi pada anaknya,
dengan hanya mendorong anak untuk mencapai kesuksesan materi, popularitas dan
meminggirkan nilai-nilai ruhaniah dan spiritual. Akibatnya anak hanya belajar
untuk bagaimana memperoleh uang banyak. Belajar untuk bagaimana mementingkan
egoisme semata. Mendorong anak melakukan segala cara untuk mencapai tujuan yang
diinginkan. Akibatnya anak menjadi rentan terhadap kekosongan atau penyakit
ketidakbermaknanaan spiritual (spiritual emptinness and meaningless) (Agustian,
2003). Setiap anak memilki kebutuhan dasar spiritual yang harus terpenuhi dalam
hidupnya (Cinebell, dalam Hawari, 1996). Jika kebutuhan dasar spiritual ini
terpenuhi akan menimbulkan keadaan damai, aman, dan tentram dalam hidup anak.
Ia akan mempercepat proses 4 perkembangannya dan kebajikan spiritual dalam jiwa
anak sehingga akan mencerahkan setiap tindakannya. Sebaliknya jika kebutuhan
spiritual ini tidak terpenuhi maka anak akan merasakan keadaan hampa secara
spiritual (Safaria, 2007:6). Bersamaan dengan perkembangan peradaban dan
teknologi serta kemajuan diabad globalisasi, jika anak tidak memilki kecerdasan
spiritual maka akan berakibat mudah terjangkit krisis spiritual dan penyakit
spiritual. Siapakah yang harus bertanggung jawab atas masalah ini?. Tentu saja
yang harus bertanggung jawab adalah orang tua sebagai pemimpin dalam keluarga,
dimana selama ini anak tumbuh dan berkembang. Sebagaimana dengan hal tersebut
maka peranan keluarga sangat berpengaruhi dalam mendidik anak terutama sekali
di dalam pendidikan agama Islam. Anak merupakan bagian dari masyarakat yang di
pundaknya terpikul beban pembangunan dimasa mendatang dan juga sebagai generasi
penerus, maka dari itu orang tua harus lebih memperhatikan dan selalu
membimbing, serta mendidik dengan baik, sehingga tercapailah baginya
kebahagiaan dunia dan kebahagiaan akhirat. Penelitian Coles menunjukkan bahwa
sifat spiritualitas berasal dari rasa ingin tahu dan daya tarik dengan dunia
yang terlihat jelas sejak usia dini. Demikian pula, Carlsson-Paige (2001)
berpendapat bahwa, pada usia lima tahun, anak-anak mengajukan pertanyaan
tentang Tuhan dan sudah mulai merumuskan teori tentang makna kehidupan. Coles
menggunakan teorinya pada percakapan dengan anak-anak untuk menggambarkan
bahwa, tanpa memandang kemampuan, 5 umur, pengalaman atau budaya, anak-anak
bertanya-tanya tentang filosofis dan teologis pertanyaan mereka. Dia
menyimpulkan bahwa spiritualitas menegaskan kemanusiaan anak-anak dan peran orang
tua dan pendidik memiliki tugas untuk membantu perkembangan spiritual anak.
Keluarga sebagai pranata sosial pertama dan utama, mempunyai arti paling
strategi dalam mengisi dan membekali nilai-nilai kehidupan yang dibutuhkan oleh
anak untuk mencari makna kehidupannya. Keluarga dipandang sebagai lembaga
pendidikan pertama dan utama karena peranannya yang begitu besar bagi pelekat
pondasi pengembangan-pengembangan kepribadian anak berikutnya. Seperti pendapat
Liberg Hignest ia menyatakan bahwa: “Kebiasaan yang dimiliki anakanak sebagian
besar terbentuk oleh pendidikan keluarga, sejak dari bangun tidur hingga akan
tidur kembali, anak menerima pengaruh dan pendidikan dari lingkungan keluarga”
(Jalaludin, 2001). Jika dihitung-hitung sejak bayi hingga remaja waktu anak
lebih banyak dihabiskan bersama orang tua. Namun kebanyakan orang tua seperti
tidak memilki waktu untuk membimbing serta mendidik anak dengan baik. Mereka
kurang menanamkan bibit pencerahan spiritual, nilai-nilai moral dan
kemanusiaan. Sehingga anak sendiri tidak mampu menyaring atau membedakan
permasalahannya dengan baik. Ditambah lagi hubungan orang tua yang tidak
harmonis (penuh konflik), anak akan menghadapi masa yang sulit dan traumatis
ketika menyaksikan kedua orang tuanya bertengkar. Anak menjadi tidak betah
dirumah. Orang tua yang sibuk dan jarang dirumah juga menjadi kebermakanaan 6
spiritual anak. Jika orang tua jarang dirumah dan tidak punya waktu untuk
proses pembimbingan kebermaknaan spiritual anak akan terhambat. Al-qur’an
menegaskan bahwa gaya hidup serba kebendaan (hedonistis) merupakan salah satu
sebab kehancuran yang akan dialami manusia. Manusia akan kehilangan kemuliaanya
sebagai manusia, dan terperosok dalam lingkaran hawa nafsu yang selalu
memperbudaknya. Sehingga manusia secara perlahanlahan akan terjerumus dalam
perbuatan-perbuatan yang menghancurkan dirinya sendiri. Hal ini tentu
berpengaruh terhadap anak (Safaria, 2007). Allah SWT berfirman dalam surat
shaad ayat 26 y7¯=ÅÒãsù 3uqygø9$# ÆìÎ7®Ks? wur Èd,ptø:$$Î/ Ĩ$¨Z9$# tû÷üt/ Läl÷n$$sù ÇÚöF{$# Îû Z pxÿÎ=yz y7»oYù=yèy_ $¯RÎ) ß¼ãr#y»t tPöqt (#qÝ¡nS $yJÎ/ 7Ïx© Ò>#xtã öNßgs9 «!$# È@Î6y `tã tbq =ÅÒt tûïÏ%©!$# ¨bÎ) 4 «!$# È@Î6y `tã ÇËÏÈ É>$|¡Ïtø:$#
Artinya: Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di
muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan
Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab
yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan” (Q.S. Shaad : 26 ).
Sebagai orang tua, apapun yang dilakukan orang tua akan dicontoh oleh anak.
Penelitian-penelitian yang dilakukan di Barat menunjukkan bahwa kebermaknaan
religiusitas dan spiritual sangat penting dalam kehidupan manusia, apalagi bagi
seorang anak Lindenthal (dalam Hawari, 1996) menemukan dari hasil penelitiannya
bahwa individu yang religius jauh kurang menderita distres dibandingkan dengan
individu kurang (tidak) religius. Hal ini jika di kaitkan dengan keceerdasan
spiritual akan menunjukkan peran kecerdasan spiritual sangat 7 penting dan
efektif dalam mebimbing anak utuk menghadapi permasalahannya (Safaria, 2007:6).
Banyak kasus napza yang terjadi pada remaja salah satunya disebabkan faktor
keluarga yang tidak harmonis. Konflik yang terjadi pada orang tua, komunikasi
yang terhambat, pola interaksi yang penuh dengan permusuhan, orang tua yang
sibuk, sehingga tidak ada waktu lagi untuk memperhatikan dan membimbing
anaknya. Sebagai pengganti rasa bersalah orang tua maka anak dimanjakan dengan
kekayaan. Orang tua lupa bahwa uang dan kekayaan tidak bisa memenuhi kebutuhan
spiritual anak. Bahkan sebaliknya untuk meningkatkan potensi spiritualnya. Anak
akan terjebak dalam budaya materealisme yang mementingkan kenikmatan duniawai
dalam budaya hedonistis , dugem, kehidupan malam, seks bebas, dan narkoba
(Safaria, 2007:12-13). Pada kasus lainnya sorang anak laki-laki (B) yang sejak
kecil hanya depenuhi dengan materi orang tuanya, orang tua yang sibuk karena
mereka seorang pembisnis yang besar, jadi secara materi dia sangat terpenuhi,
akan tetapi sangat disayangkan anak tersebut pada akhirnya ketergantungan
narkoba dalam kategori berat, padahal dia tergolong anak yang pandai
disekolahnya. Bahkan selama 2 tahun orang tuanya tidak mengetahui dengan
kejadian yang telah dialami oleh anaknya, saat itu langit terasa runtuh dan
impian kedua orang tuanya pun hancur (Safaria, 2007:40). Disitulah sumbernya
perjalanan hidup anak laki-laki (B) dimulai dalam kesendirian akibat seringnya
ditinggal kedua orang tuanya. Otomatis (B) kehilangan perhatian dan terutama
kebutuhan akan kasih sayang dan kurang 8 bimbingan oranga tua. (B) merasakan
kegersangan jiwa akibat kehampaan spiritual membawa seseorang bisa terjerumus
dalam jerat narkoba. Setiap anak manusia yang dilahirkan ke dunia ini sudah
dibekali dengan banyak kecerdasan, dan setiap anak sudah memiliki potensi
kecerdasan untuk menjadi manusia yang genius. Namun, kapasitas kecerdasan
tersebut hanya dipergunakan oleh manusia beberapa persen saja. sebagai orang
tua yang sangat sayang terhadap anak-anak sudah barang tentu mempunyai tanggung
jawab besar sekaligus mulia untuk meningkatkan kecerdasan anak yang sudah
dianugerahkan oleh Tuhan, terutama kecerdasan spiritual anak, jangan sampai
anugerah yang luar biasa ini dibiarkan begitu saja. disinilah perlunya setiap
orang tua untuk memperhatikan hal ini. Termasuk, memperhatikan tindakan yang
ternyata bukannya meningkatkan kecerdasan anak, melainkan malah menghambatnya.
Seperti halnya dalam keluarga jika anak yang berkembang dalam keluarga kurang
harmonis bisa saja mengahambat kecerdasan anak, hubungana antara orang tua dan
anak, dan orang tua sendiri, adanya goncangan atau cekcok antara ayah dan ibu
maka akan berpengaruh terhadap anak. Disamping itu juga dengan perkembangan
zaman sekarang yang kebutuhan masyarakat sangat dipengaruhi oleh budaya barat,
pada saat itu manusia dinilai dari kecerdasan spiritualnya sangat
memprihatinkan. Jika dihadapkan dalam suatu permasalahan mereka akan mengambil
jalan yang tidak baik. Ketika manusia tidak memiliki kecerdasan spiritual maka
akan merasa hampa dalam kebermaknaan hidupnya, karena pada dasarnya kecerdasan
spiritual adalah bagian dari kejiawaan yang bahagia. Ketika manusia menjauhkan
diri dari 9 kebahagiaan, dengan begitu manusia akan terjebak dengan persoalan
kejiawaan, seperti cemas, kebingungan, kehilangan orientasi, stress, hampa,
mudah putus asa. Apalagi jika terjadi terhadap anak yang masih panjang masa
depannya. MI (Madrasah Ibtida’iyah) Miftahul Huda adalah salah satu jenjang
pendidikan Sekolah Dasar di Desa Gedangan Kecamatan Mojoagung Kabupaten
Jombang. Saat ini tahun ajaran 2012/2013, Madrasah Ibtidaiyah ini memilki siswa
sebanyak 130 siswa. Dari hasil wanwancara dengan kepala sekolah pada tanggal
05/02/13. “Pada dasarnya perilaku anak-anak sekarang sangat berbeda dengan
anakanak jaman dulu. Dulu kalau diajar di dalam kelas disuruh untuk anteng
ya..anteng, kalau sekarang malah jawab “kayak manten ja?”, kadang anteng
sebentar rame lagi. Sebenarnya semua juga dikembalikan pada bagaimana kedua
orangtuanya, kita tidak harus menyalahkan juga kedua orangtuanya, namun pada
umumnya lembaga sekolah hanyalah sarana pembelajaran anak, untuk mereka belajar
pelajaran umum, namun secara perkembangan orang tua juga sangat berperan
penting. Ya..kadang kita juga ga boleh kalu menyalahkan, saya sendiri terkadang
bingung siapa yang salah?, kita sebagai guru sudah berusaha mengajari yang baik
tapi anake susah untuk diatur?. Sebenarnya tidak hanya dari kedua orangtua saja
ada kemungkinan dari temannya, lingkungannya juga bisa mempengaruhi bagaimana
dia berperilaku. Wong orang tua sekarang juga, seng penting anake sekolah.
Berdasarkan keterangan diatas yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa
perilaku anak jaman sekarang kurang adanya kepatuhan terhadap guru. Pada
dasarnya lembaga sekolah adalah sarana untuk meningkatkan kebutuhan anak,
seperti kebutuhan anak dalam meningkatkan pengetahuan umumnya, namun disamping
itu juga dukungan dari orang tua sangatlah penting bagi anak untuk meningkatkan
kebutuhannya, termasuk meningkatkan kecerdasan spiritual anak. Para siswa-siswi
masing-masing memiliki latar belakang yang bebeda-beda, termasuk keluarganya.
Hal tertsebut yang menjadi salah satu faktor bagaimana 10 anak melakukan
sesuatu yang tidak pada aturannya. Pada umunya orang tua hanya mewajibkan
anaknya bersekolah agar menjadi pintar secara intelektualnya, tidak banyak juga
yang tahu bahwa kebutuhan siritualnya juga sangatlah penting bagi anak. Padahal
jika kecerdasan intelektual tidak diimbangi dengan kecerdasan spiritual maka
akan menjadi kehampaan dalam jiwa anak. Terkadang orang tua masih kurang
mengetahui bagaimana meningkatkan kecerdasan spritual anak mereka menganggap
bahwa anaknya baik-baik saja, mereka terlihat bahagia dll, namun belum tentu
jiwanya bahagia, jika anak dihadapkan dalam suatu permasalahan belum tentu anak
dapat menyelesaikan dengan kepala dingin karena krisisnya spiritual. Apalagi
jika anak tersebut berkembang didalam keluarga yang kurang harmonis, secara
mental pun bisa terpengaruhi, karena didalam keluarga harus terdapat
keharmonisan sehingga dapat menenangkan kejiwaan sang anak juga. Seperti
hubungan antara anak dan orang tua atau antar orang tua. Dari uraian diatas
orang tua/keluarga menjadi penentu atau mempunyai peran penting dalam
meningkatkan kecerdasan spiritual anak, karena disamping anak tumbuh kembangnya
didalam keluraga dorongan moril maupun psikologis akan menjadi kuat jika orang
tua yang memberikannya. Orang tua juga harus mengetahui dan memahami bagaimana
perilaku anak dan bagaimana membentuk sebuah keluarga yang harmonis, sehingga
anak dapat berkembang dengan baik. Berpijak dari pemikiran diatas, peneliti
melihat bahwa keharmonisan keluarga sangantlah berpengaruh terhadap tingkat
kecerdasan spiritual anak. Siswa-siswi MI Miftahul Huda Kedunglumpang Mojoagung
Jombang, yang mana meskipun mereka bersekolah dalam sekolahan yang berbasis
islam namun belum 11 tentu secara kecerdasan spiritulanya dapat terpenuhi
semuanya, karena hal tersebut juga harus ada dukungan secara eksternal dari
orang tua. Mereka cenderung masih krisis secara kecerdasan spiritualitasnya,
dikarenakan latar belakang keluarga yang kurang mendukung untuk meningkatkan
kecerdasan spiritual anak. Penelitian terdahulu tentang peran orang tua dalam
membina kecerdasan spiritual anak dalam keluarga oleh (Hendra Susanti, 2006),
Keluarga memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya meningkatkan pribadi
anak. Perawatan orang tua yang penuh kasih sayang dan pendidikan tentang
nilai-nilai kehidupan beragama dan bermasyarakat, merupakan faktor yang
kondusif untuk mempersiapkan anak menjadi pribadi dan anggota masyarakat yang
sehat. Orang tua merupakan orang yang terdekat dengan anak. Di mana sikap dan
tingkah laku orang tua akan menjadi panutan bagi anaknya, terutama anak yang
masih kecil. Pengalaman anak semasa kecil ini akan terbawa dan membekas sampai
ia dewasa. Dan akhirnya akan mewarnai corak kepribadianya. Dalam hal ini
terutama sekali dari pihak ibu lebih dituntut untuk berperan aktif, karena ibu
merupakan orang yang lebih dekat dengan anaknya. Seorang ibu yang penuh
keseriusan perhatian, penyayang dan tekun menjalankan ajaran-ajaran agama,
serta untuk hidup sesuai nilai-nilai moral yang telah digariskan oleh agama,
maka ia dapat membina moral dan mental (pribadi) anaknya secara sehat dan
teratur. Penelitian terdahulu tentang peran orang tua dalam membina kecerdasan
spiritual anak dalam keluarga oleh (Syaiful Arifin: 2012), menunjukkan bahwa
(1) peran orang tua dalam membina kecerdasan spiritual kepada anak dimulai 12
sejak dini dengan mengajarkan anak mulai dari belajar doa sehari-hari, membaca
dan menulis al-Qur’an sampai shalat. Dengan adanya fenomena-fenomena yang sudah
banyak terjadi seperti halnya kasus diatas, peneliti tertarik untuk meneliti
lebih lanjut mengenai “Pengaruh Keharmonisan Keluarga Terhadap Tingkat
Kecerdasan Spiritual Anak di MI Miftahul Huda Kedunglumpang Jombang”. B.
Rumusan Masalah 1. Bagaimana tingkat keharmonisan keluarga siswa-siswi MI Miftahul
Huda Kedunglumpang Jombang Tahun Pelajaran 2012-2013? 2. Bagaimana tingkat
kecerdasan spiritual siswa-siswi MI Mifthul Huda Kedunglumpang Jombang Tahun
Pelajaran 2012-2013? 3. Apakah ada pengaruh keharmonisan keluarga terhadap
tingkat kecerdasan spiritual siswa-siswi MI Mifthul Huda Kedunglumpang Jombang
Tahun Pelajaran 2012-2013? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui tingkat
keharmonisan keluarga siswa-siswi MI Mifthul Huda Kedunglumpang, Jombang 2.
Untuk mengetahui tingkat kecerdasan spiritual siswa-siswi MI Mifthul Huda
Kedunglumpang, Jombang 3. Untuk membuktikan apakah ada pengaruh keharmonisan
keluarga terhadap tingkat kecerdasan spiritual siswa-siswi MI Mifthul Huda
Kedunglumpang, Jombang 13 D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan
dapat diambil dari penelitian ini adalah: 1. Kegunaan Secara Teoritis Hasil
dari penelitian ini secara teoritis dapat dijadikan sebagai input positif
dimana nantinya diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan masukan untuk
memperluas khasanah ilmu pengetahuan psikologi khususnya dalam rangka
pengembangan pendidikan kecerdasan anak dan dalam bidang keilmuan psikologi.
penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan wacana dan kajian selanjutnya
dalam upaya meningkatkan konsep-konsep pendidikan. 2. Kegunaan Secara Praktis
Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan
informasi-informasi pada pihak-pihak yang berkepentingan, diantaranya dosen,
mahasiswa, dan yang lebih penting lagi bagi orang tua agar dapat memperhatikan
pekembangan anak terlebih tentang kecerdasan spiritulnya, serta pihak-pihak
yang terkait lainnya.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" : Pengaruh keharmonisan keluarga terhadap tingkat kecerdasan spiritual anak di MI Miftahul Huda Kedunglumpang Jombang" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment