Abstract
INDONESIA:
Asertif sering diasumsikan sebagai sikap yang mencerminkan tentang kebebasan emosi individu dalam gerak langkahnya di lingkungan sosial. Sikap ini memberikan kontribusi positif bagi pelaku asertif maupun orang-orang disekitarnya serta menjadi sebuah senjata yang membuat individu mampu mempertahankan hak-haknya dan tetap menghargai hak orang lain. Pada masa remaja, perkembangan sosial ditandai dengan meningkatnya hubungan dengan teman sebaya, sehingga sikap asertif penting agar remaja bisa mengalokasikan keinginannya sesuai dengan hati dan pemikiran juga sebagai mediasi remaja untuk tetap membentengi diri dari efek negatif teman sebaya. Hal tersebut berkaitan erat dengan kepuasan hidup remaja yang mengarah pada kebahagiaan. Kebahagiaan sendiri merupakan emosi positif yang dirasakan individu sebagai hasil persepsinya terhadap kehidupan sehingga menghasilkan kepuasan, keceriaan, pola pikir yang positif, serta harga diri yang tinggi. Persinggungan antara asertif dan kebahagiaan ini perlu dikaji lebih dalam pada santri yang menetap di Pondok Pesantren yang memiliki budaya tersendiri serta ciri khas yang unik.
Mengacu pada latar diatas problematika masalah yang dibahas dan yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah bagaimana tingkat sikap asertif santri remaja putri di Pondok Pesantren Miftahul Mubtadiin Nganjuk, bagaimana tingkat kebahagiaan santri remaja putri di Pondok Pesantren Miftahul Mubtadiin Nganjuk, dan bagaimana hubungan antara sikap asertif dengan kebahagiaan santri remaja putri di Pondok Pesantren Miftahul Mubtadiin Nganjuk.
Rancangan penelitian menggunakan penelitian kuantitatif korelasi. Sampel penelitian sebanyak 82 santri remaja putri Pondok Pesantren Miftahul Mubtadiin Nganjuk, dan pengambilan data menggunakan metode angket dan wawancara. Pada pengolahan data menggunakan Product Moment Correlation dari Pearson, dan uji validitas serta realibilitas memakai Alpha Cronbach. Pengolahan data tersebut diolah dengan program SPSS 16.0 for Windows.
Berdasarkan analisa penelitian, diperoleh hasil sebagai berikut: pada variabel sikap asertif, yakni kategori sikap asertif tinggi memiliki prosentase 98,8%, sedangkan sikap asertif sedang 1,2%, sedangkan pada variabel kebahagiaan, yakni kebahagiaan tinggi memiliki prosentase 52,4%, kategori kebahagiaan sedang 43,9%, dan kebahagiaan rendah 3,7%. Pada hasil analisa uji hipotesis diperoleh hubungan yang signifikan yakni sebesar 0.325 (rxy = 0.325 ; sig = 0.003 < 0.05). dengan demikian semakin tinggi sikap asertif santri maka akan semakin tinggi pula kebahagiaannya.
ENGLISH:
An assertive often assumed as an attitude that reflects on freedom of individual emotion in his motion in the social environment. This attitude is contribute positively to assertive actors and the people around him and becomes a weapon that makes an individual able to defend their rights and respect for the rights of others. During adolescence, social development characterized by the increase of relationship with their peers, so that assertiveness is important that teenagers can allocated their desires according to their heart and thoughts as well as teen mediation to fortify themselves from the negative effects of peer. It is closely related to life of adolescent satisfaction’s that lead to happiness. Happiness itself is a positive emotion that is felt as a result of individuals perception of life so as to produce satisfaction, happiness, positive mindset, high self-esteem as well. The intersection between assertive and happiness is needs to be studied more on students who live in boarding school that have a distinctive culture and unique characteristics.
Referring to the background of study above, the problematic issues that to be discussed and which will be answered in this research is how the level of assertiveness of young women students at Miftahul Mubtadiin Islamic boarding school Nganjuk, how happiness level of young women students at Miftahul Mubtadiin Islamic boarding school Nganjuk, and how the relationship between assertiveness with happiness of young women students at Miftahul Mubtadiin Islamic Boarding School Nganjuk.
The research design using quantitative correlation. Research sample of 82 young women students of Miftahul Mubtadiin Islamic boarding school Nganjuk, and retrieval of data using the questionnaire and interview methods. In the processing of data using Product Moment Correlation from Pearson, test of validity and reliability using Alpha Cronbach. Processing of data was processed with the program SPSS 16.0 for Windows.
Based on the analysis of research, obtained the following results: the assertiveness variables, ie category of high assertiveness have percentage of 98.8%, while the medium assertiveness 1.2%, while the variables of happiness, that happiness have high percentage of 52.4%, 43.9% medium category of happiness, and low happiness 3.7%. In the analysis results testing the hypothesis obtained a significant association ie 0.325 (rxy = 0.325 ; sig = 0.003 < 0.05). Thus the higher assertiveness students then the higher happiness they will feel.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Manusia merupakan mahluk ciptaan Allah yang
paling tinggi derajatnya di alam raya ini, akan tetapi setiap manusia memiliki
potensi, sifat, kepribadian, karakter, dan tanggung jawab yang berbeda,
sehingga dengan perbedaan inilah dalam psikologi muncul istilah “individual
diferenses” (setiap individu itu berbeda), begitu pula efek yang ditimbulkan
dengan adanya perbedaan tersebut juga mempengaruhi kualitas kehidupanya. Ilmu
Psikologi secara utuh membahas tentang perilaku manusia dan proses mentalnya,
akan tetapi selama setengah abad terahir, Psikologi disibukkan oleh satu topik
bahasan yaitu penyakit mental beserta cara jitu untuk menanganinya (Seligman,
2005). Upaya ilmu Psikologi dalam menanggulangi kondisi-kondisi yang
menyengsarakan hidup agaknya telah mengalahkan upaya pengembangan potensi yang
membuat hidup manusia menjadi berharga untuk dijalani, namun terbukti, manusia
ingin lebih dari pada sekedar memperbaiki kelemahan mereka. Mereka menginginkan
kehidupan yang bermakna, bukan kegelisahan sampai ajal menjemput. Beberapa
tahun terahir sebuah gerakan baru telah dicanangkan oleh para Pakar Psikologi
mengenai Psikologi Positif (Seligman, 2005). Para ilmuwan sosial-pun belakangan
ini tengah mempelajari “kebahagian” dengan semangat yang menggebu. Awalnya
mereka menyebut dengan istilah “kesejahteraan subjektif” (subjevtive
well-being). Hasil 2 penelitian-pun memperlihatkan adanya suatu kondisi semacam
kebahagiaan personal (Khavari, 2006). Psikologi positif sebagaimana yang
dikatakan oleh Seligman memiliki tiga pilar utama: pertama, pengkajian terhadap
emosi positif, kedua, pengkajian terhadap sifat positif, yang paling utama
diantaranya adalah kekuatan dan kebajikan, termasuk pula kemampuan seperti intelgensi
dan atletisisme, dan ketiga, pengkajian terhadap institusi positif-seperti
demokrasi, keluarga yang kukuh, dan kebebasan informasi-yang mendukung
kebajikan dan pada saatnya nanti mendukung emosi positif (Seligman, 2005).
Pilar pertama dalam Psikologi Positif merupakan asas yang membicarakan tentang
sebuah emosi positif. Pengkajian ini masuk dalam tatanan yang sedemikian
fundamentalnya bagi kehidupan manusia yaitu sebuah kebahagiaan. Kebahagiaan
sendiri menurut Carr didefinisikan sebagai kondisi psikologis yang positif,
ditandai dengan adanya kepuasan pada masa lalu, tingginya tingkat emosi
positif, dan rendahnya tingkat emosi negatif (Fauziah, 2009). Lebih lengkap
lagi bahwa Psikologi Positif menunjukkan kepada manusia tentang bagaimana cara
untuk dapat menjalani hidup pada level-level atas rentang kebahagiaan yang ada
dalam dirinya. Hal ini dikarenakan manusia memerlukan strategi tersendiri untuk
merasakan sebuah kebahagiaan atas potensi yang dimiliki (Seligman, 2005)
Kebahagaiaan dalam psikologi positif di asumsikan dengan kesehatan mental, yang
mana manusia dengan kekuatan dan potensinya dapat meningkatkan secara terus
menerus kebahagiaan tersebut (Seligman, 2005). 3 Sedangkan dalam hazanah Islam
juga terdapat konsep mengenai kesehatan mental yang diwakili oleh Ibnu Rusyd
dalam “Fashl al Maqol”nya, Ibnu Qayyim atau Imam Ghozali sebagai pelopornya.
Hazanah paling kaya diwakili oleh sosok yang menjadi suri tauladan bagi umat
Islam, yaitu Rasulullah Muhammad SAW. yang menjadi gerbang keilmuan, menjadi
sentralistik kepemimpinan, dan menjadi rahmat bagi umat manusia dengan target
penyempurnaan akhlak yang ditandai dengan stabilitas kesehatan jasmani dan
kesehatan mental. Peran sebuah kebahagiaan dalam kehidupan manusia di muka bumi
ini memang sangat urgens, terbukti di Amerika pencarian kebahagiaan diabadikan
dalam Deklarasi Kemerdekaan “life, liberty, and the pursuit of happiness“,
melalui deklarasi tersebut setiap warga negara Amerika memiliki hak untuk
mencari dan merasakan kebahagiaan dalam hidup., sementara itu Indonesia sendiri
juga dengan gamblang mengadopsi kata bahagia dalam pembukaan UUD 1945 yang
berbunyi “Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah
kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia
ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu,
berdaulat, adil dan makmur”. Richards dan Arkoff, 1975 (Rahardjo, 2007) pernah
melakukan penelitian dimana tujuan hidup tertinggi yang diinginkan manusia
adalah menjadi kaya dan bahagia. Tentu saja hal tersebut banyak benarnya,
karena kebahagiaan memiliki sumbangsih yang besar agar hidup terasa lebih 4
bermakna. Penelitian ini menunjukkan bahwa kebahagiaan merupakan salah satu
tujuan hidup yang mutlak bagi manusia. Kebahagiaan merupakan proses kejiwaan
yang terjadi pada setiap manusia, dengan kebahagiaan maka akan menimbulkan
kesehatan fisik dan mental. Kebahagiaan merupakan evaluasi yang dilakukan
seseorang terhadap hidupnya, mencakup segi kognitif dan afeksi. Evaluasi kognitif
sebagai komponen kebahagiaan seseorang diarahkan pada penilaian kepuasan
individu dalam berbagai aspek kehidupan, seperti pekerjaan, keluarga, dan
pernikahan, sedangkan evaluasi afektif merupakan evaluasi mengenai seberapa
sering seseorang mengalami emosi positif dan negatif (Mardliyah, 2010).
Kebahagiaan yang dirasakan oleh setiap orang bersifat subyektif dan tidak akan
sama karena mereka memiliki perbedaan faktor yang mendasarinya. Misalnya ada
orang yang merasakan kebahagiaan karena rasa puasnya dalam pekerjaan maupun
keberhasilannya dalam membina rumah tangga, ada juga orang yang tidak memiliki
banyak materi tetapi mereka merasakan kebahagiaan hidup dan puas dengan apa
yang telah mereka dapatkan, begitu pula sebaliknya ada orang yang berlimpah
materi tetapi mereka justru merasakan hidupnya hampa dan tidak bahagia
(Khavari, 2006). Hal tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya kebahagiaan juga
bergantung pada penilaian, cara pandang, dan kemampuan seseorang dalam
menyikapi segala keadaan dalam hidupnya secara positif (Fauziah, 2009).
Mengenai faktor pencetus kebahagiaan umumnya dipercaya bahwa uang, kesuksesan,
usia, jenis kelamin, kecerdasan, kehidupan seksual, 5 kesehatan, kebersamaan,
agama, cinta, perkawinan, dan kepuasan kerja, serta kebahagiaan sekarang berperan
menciptakan kebahagiaan jangka panjang, namun kepercayaan-kepercayaan umum ini
tak selalu benar adanya (Khavari, 2006). Lebih lanjut dalam sebuah penelitian,
faktor yang menyebabkan kebahagiaan salah satunya adalah kebudayaan, sehingga
bahagia dan ketidakbahagiaan adalah keadaan-keadaan yang bersifat relatif
(Rahardjo, 2007). Pada penelitian lain faktor penunjang kebahagiaan adalah
naluri, rendah hati, tenang, kekuatan tekad, berani, optimis, menerima,
percaya, apresiatif, inovatif, perenungan, iman, kasih sayang, cinta, dan ridla
(Al-Kusayer, 2009). Berbeda lagi mengenai faktor kebahagiaan remaja yang mana
dalam sebuah penelitian dari Putri O. & Kwartarini W.Y. (Oetami &
Yuniarti, 2011) terbukti bahwa faktor utama yang mempengaruhi kebahagiaan remaja
adalah keluarga, prestasi, mencintai dan dicintai, spiritualitas, teman sebaya,
waktu luang, dan uang, akan tetapi dalam penelitian ini tidak terbukti ada
perbedaan kebahagiaan yang signifikan antara laki-laki remaja dan wanita
remaja. Penelitian lain dar Comtom (2005) menyebutkan bahwa Peristiwa yang
membuat responden remaja laki-laki sangat bahagia adalah peristiwa yang
berhubungan dengan prestasi, spiritualitas, teman, dan waktu luang, sedangkan
pada remaja perempuan, peristiwa yang berhubungan dengan keluraga, mencintai
dan dicintai, serta uang. Namun demikian, tidak terdapat perbedaan yang
signifikan antara orientasi kebahagiaan remaja laki-laki dan perempuan. Tidak
ada yang lebih bahagia antara remaja laki-laki dan perempuan (Oetami &
Yuniarti, 2011). 6 Menurut Baihaqi (Muqim, 2010), salah satu konsep teori Barat
yang diwakili Gordon Allport berpendapat tentang kesehatan mental melalui
konsep kematangan, bahwa kepribadian-kepribadian sehat terarah kepada orang
lain, jadi orang yang sehat terlibat secara aktif dan terikat pada sesuatu atau
seseorang diluar diri. Orang yang sehat dapat mencintai dan memperluas dirinya
ke dalam hubungan yang penuh perhatian dengan orang lain. Pertumbuhan dan
pemenuhan orang lain sama pentingnya dengan pertumbuhan dan perkembangan
dirinya sendiri. Gordon Allport (Wirawan, 2010) juga mengemukakan bahwa
kebahagiaan bukanlah merupakan tujuan, tetapi merupakan konsekuensi yang
mungkin terjadi dari keterlibatan sepenuhnya dalam kehidupan seseorang. Kondisi
kebahagiaan sendiri bukanlah merupakan kekuatan yang memotrivasi akan tetapi
merupakan dampak dari termotivasinya seseorang dalam melakukan serangkaian
aktivitas. Banyak tokoh maupun pendapat yang memaparkan mengenai faktor
kebahagiaan, namun sampai dekade saat ini masih banyak perbedaan pendapat
tentang sumber dan penyebab seseorang bahagia. Bebarapa pakar mengidentikkan
dengan waktu dan pengalaman hidup yang menyenangkan. Penelitian Thomas dan
Diener menemukan bahwa kebahagiaan seseorang dipengaruhi oleh suasana hati
individu pada saat tertentu, keyakinannya tentang kebahagiaan serta seberapa
mudahnya seseorang bisa menerima sesuatu dengan cara positif atau negatif
(Diener E, 2005). Disisi lain sejumlah 7 pakar juga mengaitkan kebahagiaan
dengan seberapa mampu individu mempersepsi pengalaman hidupnya secara positif
(Diener E, 2005). Sedangkan McAdams & Constantian menjelaskan bahwa
orangorang dengan motivasi intimasi yang tinggi cenderung memiliki interaksi
yang lebih intim satu dengan yang lain, dengan adanya motivasi intimasi maka
hubungan yang intim dan bermakna bisa diperoleh sehingga kebahagiaan yang
ditimbulkannya juga bisa dirasakan. Lebih jauh, kebahagiaan tentu bisa
didapatkan dengan adanya interaksi yang efektif dengan orang-orang yang dekat
di hati (Rahardjo, 2007). Melihat faktor kebahagiaan yang diungkap oleh McAdams
& Constantian menimbulkan sebuah persepsi baru bahwa untuk merasakan
kebahagiaan dalam kehidupan sosial bisa diperoleh dengan menjalin hubungan yang
harmonis dengan orang lain. Secara detail, Lazarus (Rahardjo, 2007) menyatakan
bahwa suatu kebahagiaan mewakili suatu bentuk interaksi antar manusia dengan
lingkungan, dalam hal ini manusia bisa mangupayakan kebahagiaanya sendiri,
tetapi di sisi lain manusia juga bisa mengusahakan sebuah kebahagiaan dari orang
lain. Hal ini sekaligus memberikan sebuah pengetahun baru bahwa sebuah
kebahagiaan tidak bersifat egositis melainkan dapat dibagi dengan orang lain
dan lingkungan sekitar. Berbicara mengenai sebuah keharmonisan dalam hubungan
sosial, setidaknya akan membicarakan tentang sebuah komunikasi, yang mana hal
ini merupakan kebutuhan primer manusia sebagai mediasi untuk menciptakan suatu
hubungan dengan orang lain. Terdapat dua hal yang penting dalam proses
komunikasi, yaitu keterbukaan dan kejujuran, akan tetapi berdasarkan 8 data,
unsur keterbukaan dan kejujuran sering dinafikan oleh seseorang dalam proses
komunikasi dengan alasan tidak ingin menyinggung dan menyakiti perasaan lawan
jenisnya (Fauziah, 2009). Oleh karena itu seseorang memerlukan ketrampilan sikap
yang dapat mengkomunikasikan pendapat dan gagasanya, juga apa yang diinginkan,
dirasakan, dan dipikirkan terhadap orang lain, hal ini semata-mata untuk
memperoleh sebuah kebahagaiaan. Salah satu ketrampilan yang bisa diadopsi dalam
perilaku sehari-hari dalam lingkungan sosial adalah sikap asertif. Sikap
asertif merupakan salah satu pola komunikasi yang paling ideal, pasalnya dalam
sikap asertif seseorang akan mengedepankan pengetahuan dan kepemilikan hak-hak
pribadi dengan pertimbangan pikiran dan kesejahteraan orang lain (Admin, 2009),
dengan demikian sikap asertif memiliki pengaruh besar terhadap keharmonisan
sosial (A'yuni, 2010). Orang yang memiliki sikap asertif akan terbantu dalam
pengungkapan ide-ide atau pendapatnya baik dengan teman sebaya maupun dengan
orang lain sesuai pemikiran dan perasaanya. Lebih lanjut lagi Galassi
(Fensterheim, 1995) mengemukakan bahwa sikap asertif merupakan sikap yang penuh
ketegasan yang timbul karena adanya kebebasan emosi dari setiap usaha untuk
membela hak-haknya serta adanya keadaan efektif yang mendukung meliputi : a)
Mengetahui hak pribadi, b) Berbuat sesuatu untuk mendapatkan hak-hak tersebut
dan melakukan hal itu sebagai usaha untuk mencapai kebebasan emosi
(Fensterheim, 1995). Gallasi juga memaparkan bahwa terdapat aspek penting dalam
sikap asertif yang bisa menjadi tolak ukur apakah seseorang 9 sudah bisa
dikatakan memiliki sikap asertif atau belum. Aspek tersebut meliputi, a)
mengungkapkan perasaan positif, b) mengungkapkan perasaan negative, dan c)
afirmasi diri (A'yuni, 2010). Peneliti mengasumsikan bahwa sikap asertif ini
perlu dimiliki oleh setiap lapisan usia, terlebih pada usia-usia remaja karena
dalam perkembangannya mereka di tuntut untuk bisa mencari identitas diri. Lebih
lanjut mengenai perkembangan sosial remaja ditandai dengan gejala meningkatnya
pengaruh teman sebaya dalam kehidupan mereka dan sebagian besar waktunya
dihabiskan untuk berhubungan dengan teman sebaya. Satu investigasi ditemukan
bahwa individu berhubungan dengan teman sebaya 10% setiap harinya pada usia 2
tahun, 20% pada usia 4 tahun, dan lebih dari 40% pada usia antara 7-11 tahun
(Desmita, 2009). Hubungan dengan teman sebaya merupakan ciri khas khusus bagi
para remaja dan memiliki arti penting bagi kehidupan remaja. Lebih rinci Kelly
dan Hansen (1987) menyatakan bahwa teman sebaya dapat membantu remaja
mengontrol impuls-impuls negatif melalui efektifitas komunikasi, memberikan
dorongan emosional, meningkatkan ketrampilan sosial, mengembangkan sikap
terhadap pengetahuan seksualitas, menguatkan penyesuaian moral dan nilai, serta
meningkatkan harga diri (Desmita, 2009). Adanya fungsi teman sebaya, diharapkan
bisa memberi kontribusi positif bagi perkembangan remaja. Fungsi ini akan
berlaku jika intensitas komunikasi antar teman sebaya dilakukan secara efektif
dan menggunakan sikap asertif, pasalnya dengan perilaku asertif remaja akan
mampu mengungkapkan ide-ide 10 dan gagasannya sesuai dengan perasaan dan
pikiran mereka tanpa harus melanggar hak orang lain dan tetap berpegang teguh
pada pendirianya. Pada perkembangan selanjutnya dalam kehidupan sosial remaja,
mereka dituntut untuk mengikuti nila-nilai serta norma yang ada di masyarakat,
begitu pula dalam kelompok teman sebaya. Sosialisasi yang dilakukan oleh remaja
masih bersifat differentiation dan practice, artinya seorang remaja masih
memiliki persepsi yang kadang bertentangan dengan norma dan nilai yang ada
dalam masyarakat maupun dalam lingkup keluarga (Desmita, 2009). Banyaknya
persoalan yang dihadapi oleh remaja, menuntut adanya sikap asertif yang
dibutuhkan untuk mengarahkan remaja agar tetap konsisten dan tidak mudah
terpengaruh dengan lingkungan yang kurang baik. Seseorang yang asertif selalu
dalam kondisi atau keadaan yang positif, percaya diri, merasa pasti, tegas dan
kuat. Remaja yang asertif lebih mampu mengatakan “tidak” untuk hal-hal yang
bersifat negatif dan tidak diinginkan. Mereka lebih dapat mengekspresikan
emosinya secara benar tanpa harus menjadi agresif atau permisif, dengan ini
remaja tidak akan merasa tertekan dan mendapatkan kesehatan mental yang
mengarah kepada kebahagiaan. Sebetulnya kebahagiaan yang di-impikan setiap
manusia itu ada di mana saja dan dalam kondisi apapun, hanya dengan hal yang
sederhana mampu menimbulkan kebahagiaan, seperti ketika individu bersikap asertif,
ia akan bisa menjalin sebuah komunikasi yang harmonis yang mana hal ini juga
sebagai penunjang kebahagiaan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Esty Tristyaningtyas dan Mochammad Nursalim 11 (Trisnaningtyas &
Nursalim, 2010) pada siswa kelas VIII-D SMPN 1 Krian Sidoarjo yang menyatakan
bahwa latihan asertif efektif untuk meningkatkan ketrampilan komunikasi
interpersonal siswa. Berbicara mengenai sikap asertif dan sebuah kebahagiaan,
fenomena yang terjadi di Pondok pesantren tentang budaya komunikasi non asertif
menjadi pertanyaan besar bagi penulis. Pasalnya sikap asertif merupakan salah
satu hal yang mendukung dalam keharmonisan hubungan sosial, namun kenyataanya
para santri masih saja memegang teguh tentang “tepo sliro dan andap asor”. Salah
satu masalah tersebut terjadi di Pondok Pesantren Putri Miftahul Mubtadiin,
yang mana mayoritas santrinya kurang memiliki ketrampilan komunikasi.
Penelitian ini sengaja menggunakan tolak ukur komunikasi interpersonal sebagai
bahan awal menuju penelitian asertif dikarenakan ada hubungan yang signifikan
antara keduanya. Sebagaimana penelitian dari Esty Tristyaningtyas dan Mochammad
Nursalim yang menggabungkan antara kedua variebel di atas yakni komunikasi
interpersonal dan asertif, terdapat pula penelitian serupa yang dilakukan oleh
Windy Hervita yang menggabungkan antara asertif dan komunikasi interpersonal
(Hervita, 2010), sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam berkomunikasi
interpersonal dibutuhkan sikap asertif. Dari data hasil survey pertama Minggu,
30 Oktober 2011 pada 122 santri dengan karakter umur yang sama (15-21 tahun)
dan berpredikat sebagai santri minimal 2 tahun didapatkan hasil bahwa 29,28%
santri dinyatakan memiliki ketrampilan komunikasi interpersonal yang baik dan
71,72% santri 12 kurang memiliki ketrampilan komunikasi interpersonal. Data
observasi kedua, hari Sabtu 19 november 2011 dengan karakter santri yang sama
diperoleh hasil bahwa 66% memiliki ketrampilan komunikasi interpersonal dan 34%
kurang memiliki ketrampilan komunikasi interpersonal. Peneliti sengaja
menggunakan stimulus awal pengukuran asertif menggunakan tolak ukur kemampuan
komunikasi interpersonal karena dalam komunikasi unterpersonal terdapat aspek
aspek yang mana asertif masuk didalam kategori aspek komunikasi interpersonal
(Nashori, 2008). Dengan adanya realitas yang ada, muncullah ketertarikan dalam
diri peneliti untuk melakukan penelitian tentang bagaimana tingkat kebahagiaan
santri yang mayoritas mengalami krisis dalam ketrampilan komunikasi
interpersonal. Tujuan khusus penelitian ini adalah mengungkap hubungan sikap
asertif dalam mencapai kebahagiaan santri. Dari latar belakang diatas, maka
judul penelitian yang diangkat oleh peneliti adalah “Hubungan Sikap Asertif
dengan Kebahagiaan pada Santri Remaja Putri Pondok Pesantren Miftahul Mubtadiin
Nganjuk”. B. Rumusan Masalah Berpijak pada latar belakang masalah yang telah
dikemukakan di atas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut : 1.
Bagaimana tingkat sikap asertif santri remaja putri di Pondok Pesantren
Miftahul Mubtadiin Nganjuk ? 13 2. Bagaimana tingkat kebahagiaaan santri remaja
putri di Pondok Pesantren Miftahul Mubtadiin Nganjuk ? 3. Apakah ada hubungan
antara sikap asertif dan kebahagiaan pada santri remaja putri di Pondok
Pesantren Putri Miftahul Mubtadiin Nganjuk ? C. Tujuan Sejalan dengan persoalan
yang telah dikemukakan di atas tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk
mengetahui tingkat sikap asertif santri remaja putri di Pondok Pesantren
Miftahul Mubtadiin Nganjuk ? 2. Untuk mengetahui tingkat kebahagiaaan santri
remaja putri di Pondok Pesantren Miftahul Mubtadiin Nganjuk ? 3. Untuk
mengetahui hubungan antara sikap asertif dan kebahagiaan pada santri remaja
putri di Pondok Pesantren Putri Miftahul Mubtadiin Nganjuk ? D. Manfaat Penelitian
ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun praktis.
1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menambah sumbangan keilmuan
dalam bidang psikologi pada khususnya dan pada bidang keilmuan yang lain pada
umumya. 14 2. Manfaat Praktis Bagi Lembaga (Pondok Pesantren): Dapat digunakan
sebagai sumbangan pengetahuan terhadap para santri dalam mencapai sebuah
kebahagiaan melalui sikap asertif sehingga memberi kontribusi yang sangat
positif bagi kesehatan mental. Bagi Peneliti : Untuk menambah pengetahuan dan
pengalaman tentang pentingnya sikap asertif untuk menumbuhkan kebahagiaan dan
pembentukan mental yang sehat, serta menambah wawasan berfikir kritis guna
melatih kemampuan, memahami dan menganalisis masalah-masalah yang menghambat
sikap asertif khususnya dalam Pondok Pesantren. Bagi Subjek : Dapat melatih dan
membudayakan sikap asertif dalam kehidupan sehari-hari sehingga subjek mampu
mengaplikasikanya di lingkungan Pondok Pesantren maupun di lingkungan
masyarakat untuk memperlancar hubungan sosial sehingga melahirkan sebuah
kebahagiaan. Bagi mahasiswa psikologi : Untuk memberikan pengetahuan tentang
pentingnya sikap asertif sebagai mediasi penunjang kesehatan mental berupa
kebahagiaan. 15 Bagi Almamater Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, untuk
dapat menambah pembendaharaan kepustakaan, terutama bagi Fakultas Psikologi.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" : Hubungan sikap asertif dengan kebahagiaan pada santri remaja putri Pondok Pesantren Miftahul Mubtadiin Nganjuk" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment