Abstract
INDONESIA:
Sekolah merupakan salah satu konteks yang memberikan peranan penting dalam pengembangan ketrampilan sosial anak dan remaja. Hal ini tidak lepas dari tugas perkembangan remaja yaitu berlajar bersosialisasi. Prososial merupakan salah satu bentuk dari sosialisasi. Sosialisasi dibutuhkan manusia untuk menjalin hubungan dan interaksi dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya. Dalam proses sosialisasi manusia perlu memiliki keterampilan mengelola emosi. Sebagaimana penuturan Goleman (1999) yang menyatakan bahwa membina hubungan dengan orang lain merupakan salah satu keterampilan seseorang dalam mengelola emosi atau sering disebut dengan kecerdasan emosional (EQ). Oleh karena itu, Penelitian ini bertujuan untuk (a). Mengetahui tingkat kecerdasan emosi Peserta didik (b). mengetahui tingkat Perilaku Prososial Peserta didik (c). mengetahui hubungan antara kecerdasan emosi dengan Perilaku Prososial Peserta Didik di SMPN 1 Lawang.
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif. Subyek penelitian berjumlah 75 responden yang dipilih dengan menggunakan cluster sampling. Pengambilan data menggunakan dua skala, yaitu skala kecerdasan emosi, dan skala Perilaku Prososial, dilengkapi dengan hasil angket, observasi, wawancara dan dokumentasi. Teknik pengumpulan datanya menggunakan analisa norma, analisa prosentase dan analisa korelasi product moment dengan menggunakan perangkat lunak komputer yaitu SPSS 16.0 for windows.
Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa kecerdasan emosi peserta didik di SMPN 1 Lawang dari sampel 75 responden memiliki tingkat kecerdasan emosi kategori tinggi sebanyak 15 responden dengan prosentase 20%, kategori sedang sebanyak 51 responden dengan prosentase yaitu 68% dan kategori rendah sebanyak 9 responden dengan prosentase 12%. Sedangkan pada tingkat perilaku prososial peserta didik kategori tinggi 10 responden dengan prosentase 13,3%, kategori sedang sebanyak 57 responden dengan prosentase 76% dan kategori rendah sebanyak 8 responden dengan prosentase 10,7%. korelasi antara kecerdasan emosi dengan perilaku prososial peserta didik yang ditunjukan dengan hasil korelasi yang signifikan (rxy=0,713;p=0,000<0,05) artinya ada hubungan yang positif antara kecerdasan emosi dengan Perilaku Prososial Peserta Didik di SMPN 1 Lawang.
ENGLISH:
School context is one that gives an important role in the development of social skills of children and adolescents. This is not out of the task of adolescent development that sailed to socialize. Prosocial is one form of socialization. Socialization humans need to establish relationships and interactions with others and their surroundings. In the process of human socialization needs to have the skills to manage emotions. As the narrative Goleman (1999) stated that relationships with other people is one of the person's skills in managing emotions or often referred to as emotional quotient (EQ). Therefore, this research aimed to (a). Knowing the level of emotional intelligence Learners (b). determine the level of Pro social behavior Learners (c). determine the relationship between emotional intelligence and Pro social behavior Students at SMP 1 Lawang.
This research uses quantitative methods. The research subjects are 75 respondents were selected using cluster sampling. Retrieval of data using two scales, the scale of emotional intelligence and Pro social behavior scale, complemented by questionnaires, observations, interviews and documentation. Analysis techniques used in data collection norms, percentage analysis and product moment correlation analysis using the computer software SPSS 16.0 for Windows.
From the results of this research note that the emotional intelligence of students at SMPN1 Lawang from sample 75 respondents had a high level of emotional intelligence category as much as 15 percent of respondents with 20 %, the categories are as many as 51 percent of respondents with 68 % and the low category as much as 9 percent of respondents with 12 %. While the level of prosocial behavior of learners high category 10 percent of respondents with 13.3 %, medium category with a total of 57 percent of respondents 76 % and lower category as much as 8 percent of respondents with 10.7 %. Correlation between emotional quotient and prosocial behavior of students who demonstrated a significant correlation with outcome ( rxy = 0.713 , p = 0.000 < 0.05 ) means that there is a positive relationship between emotional quotient and Pro social behavior Students at SMPN 1 Lawang.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Manusia
adalah makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang diciptakan dengan sempurna dan
berbeda dengan makhluk ciptaan Tuhan yang lain. Manusia dilengkapi dengan akal
dan nafsu untuk menjalani hidupnya. Akal diberikan kepada manusia untuk
berpikir dan melakukan analisa, sedangkan nafsu diberikan agar manusia memiliki
dorongan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Kedua kemampuan ini merupakan
kemampuan dasar manusia yang dibawanya mulai sejak lahir. Kemudian kemampuan
ini dikembangkan dalam proses belajar dan pengalaman. Perkembangan kemampuan
tersebut sangat dipengaruhi potensi manusia baik secara fisik, mental, sosial
maupun religinya. Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang akan selalu
membutuhkan individu lain dalam menjalani kehidupannya sehari-hari. Manusia
tidak dapat melepaskan diri dari lingkungannya, dan sebagai makhluk sosial
setiap individu akan berinteraksi dengan individu lain guna memenuhi berbagai
keperluan dalam hidupnya (Akbar & Listiara, 2012:121). Dalam kehidupan
sehari-hari, manusia tidak bisa lepas dari tolong-menolong. Setinggi apapun
kemandirian seseorang, pada saat tertentu dia akan membutuhkan orang lain.
Demikian juga kemampuan membayar pada setiap orang tertentu terbatas, sehingga
ia pun suatu saat membutuhkan pertolongan (Faturochman, 2009: 73). Hal ini
tidak lepas dari fenomena kin selection yang mana untuk mempertahankan 2
kelangsungan hidup harus ada kerjasama antara individu dengan lingkungannya
(Mahmudah, 2010: 85) Sebagai makhluk sosial sudah seharusnya setiap individu
memiliki perilaku prososial dalam dirinya, karena perilaku prososial ini
memiliki tujuan untuk menyejahterakan orang lain dan mengurangi penderitaan
dalam kesulitan. Perilaku prososial tersebut diharapkan mampu menciptakan
kehidupan yang selaras, saling membantu, dan saling menghargai sehingga
terbentuk hubungan yang harmonis antar setiap individu. Perilaku prososial
berkembang sejak anakanak hingga dewasa. Semakin bertambah usia, semakin
berkembang kematangan sosial dan tanggung jawab sosialnya. Hal ini juga terjadi
pada masa-masa remaja. Masa remaja adalah suatu fase perkembangan yang dinamis
dalam kehidupan seorang individu. Masa ini merupakan periode transisi dari masa
anak ke masa dewasa yang ditandai dengan kecepatan pertumbuhan dan perkembangan
fisik, mental, emosional serta sosial. Proses pertumbuhan merupakan proses
berkesinambungan yang dipengaruhi oleh faktor genetik (ras, keluarga) dan
faktor lingkungan bio-psikososialmulai dari konsepsi sampai dewasa
(Soetjiningsih dalam Suprapti, 2013: 1) Menurut Rifai (1987: 1) masa remaja
atau masa adolensi ini disebut juga masa “Physiological learning” dan “social
learning”, berarti bahwa pada masa ini remaja sedang mengalami suatu pematangan
fisik dan pematangan sosial. Kedua hal ini “serempak” terjadi pada waktu yang
bersamaan. Dalam pematangan fisik ini si remaja mengalami proses perubahan
struktur dan fungsi jasmaniah (fisiologis) mengarah pada kedewasaan fisik,
timbulnya kemungkinan reproduksi. 3 Dalam pematangan sosial si remaja
menghadapi proses belajar mengadakan penyesuaian diri atau “adjusment” pada
kehidupan sosial orang dewasa secara tepat. Hal ini berarti pula, bahwa remaja
harus belajar pola-pola tingkah laku sosial yang dilakukan orang dewasa dalam
lingkungan kebudayaan masyarakat dimana mereka hidup. Pada usia remaja,
diharapkan seseorang mampu mengembangkan dirinya sesuai nilai etika dan moral
dalam bentuk perilaku prososial (Rosanti, 2013:2). Perilaku prososial menurut
Staub, Baron & Byrne (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2009:175) merupakan
suatu tindakan menolong yang menguntungkan orang lain tanpa harus mengharapkan
keuntungan pada si penolong dan bahkan sangat mungkin penolong mendapat resiko
dari apa yang dia lakukan. Perilaku prososial ini memiliki bentuk yang berupa
rasa simpati, kerja sama, berderma dan suka menolong. Lebih lanjut Mussen dkk
(dalam Nashori, 2008:38) mengungkapkan bahwa perilaku prososial meliputi :
Sharing yaitu kesediaan berbagi dengan orang lain baik dalam situasi suka
maupun duka, Cooperating yaitu kesediaan untuk bekerjasama dengan orang lain
demi terciptanya tujuan, Helping yaitu kesadaran untuk menolong orang lain yang
sedang kesulitan, Donating yaitu kesediaan berderma, memberi secara sukarela
sebagian barang miliknya untuk orang yang membutuhkan dan Honesty yaitu
kesediaan untuk jujur atau tidak berbuat curang terhadap orang lain. Menurut
Maslow (dalam Sobur, 2003: 278) setiap orang perlu membutuhkan aktualisasi diri
pada lingkungannya. Orang yang telah melakukan 4 perilaku prososial akan
merasakan kepuasan tersendiri terhadap dirinya, yang merasa mampu membantu
orang lain. Dengan demikian, kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri dengan
cara berbuat baik dengan orang lain bisa terlaksana. Terkadang manusia hanya
membutuhkan rasa diakui sesamanya. Untuk mendapatkan perasaan tersebut mereka
melakukan perilaku prososial, misal saja membantu orang. Jadi walaupun
dikatakan bahwa perilaku prososial adalah perilaku yang tidak membutuhkan
imbalan dari orang yang telah ditolongnya, namun sejatinya mereka tetap
mengharapkan rasa diakui untuk bisa menunjukkan eksistensi dirinya kepada orang
lain. Sehingga untuk mendapatkan sebuah eksistensi tersebut mereka melakukan
perilaku prososial. Dari wawancara yang telah peneliti lakukan pada salah
seorang guru Bimbingan Konseling di SMPN 1 Lawang yang merupakan lokasi
penelitian diperoleh fenomena bahwa banyak dari para peserta didik cenderung
kurang peduli dengan teman dan lingkungan sekitarnya. Sikap itu terlihat dari
sifat acuh tak acuh pada saat temannya yang sedang mengalami kesulitan atau
kesusahan dan suka mementingkan diri sendiri. Peneliti juga menemukan adanya
peserta didik yang suka mengganggu temannya seperti mengejek, mengolok-olok, berbicara
kasar dan kotor terhadap temannya sendiri. Hal ini menunjukkan kurangnya sikap
prososial mereka. Adanya kecenderungan kurangnya perilaku prososial diatas
sesuai dengan wawancara salah satu siswa SMPN 1 lawang, Anisa (nama samaran)
mengungkapkan bahwa” saya tidak pernah nganterin teman berobat kalau sakit,
lebih baik mengikuti pelajaran, disekolah ini juga sudah disediakan UKS dan
disini juga banyak gurunya mas”, Ungkapan diatas 5 sama dengan Roni (nama
samaran) ”disekolah ini sudah ada petugas kebersihannya mas jadi ya saya tidak
pernah ikut membantu, jam istirahat saya lebih suka main dikantin. Namun di
sisi lain juga tidak sedikit peserta didik yang mempunyai kepedulian dengan
lingkungan sosial dimana tempat mereka belajar. Rasa kepedulian itu ditunjukkan
dengan perilaku prososial yang tercermin dengan adanya beberapa kegiatan sosial
diantaranya; kegiatan memberi sumbangan untuk fakir miskin atau orang kurang
mampu dan membantu membiayai masjid pada setiap hari jum’at, memberi hadiah
kepada teman yang sedang berulang tahun, kerjasama antar anggota OSIS dan
pramuka dalam suatu kegiatan, meminjamkan tugas catatan dan membantu teman yang
mengalami kesulitan dalam pelajaran. Meskipun tidak semua para peserta didik
yang berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Namun semua tindakan diatas
mempunyai konsekuensi yang positif pada lingkungan sosial atau sekolah
tersebut. Pengambilan SMP Negeri 1 Lawang sebagai lokasi penelitian ini
dikarenakan lembaga ini merupakan lembaga pendidikan yang memiliki integritas
dalam bidang IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi), pendidikan karakter dan
wawasan keagamaan. Dalam visinya SMPN 1 Lawang berusaha untuk berpartisipasi
dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, berperilaku santun dan tekun beribadah.
Perilaku santun tersebut dapat dilihat dari perilaku semua warga sekolahnya.
Perilaku tersebut salah satunya dapat dilihat dari perilaku prososial yang
dimiliki oleh warga sekolahnya (Wawancara, 11 juni 2013). 6 Salah satu faktor
yang mempengaruhi perilaku prososial adalah kecerdasan emosional yang dimiliki
masing-masing individu. Kecerdasan emosional dapat diartikan dengan kemampuan
untuk “menjinakkan” emosi dan mengarahkannya kepada hal-hal yang lebih positif.
Seseorang dapat melakukan sesuatu dengan didorong oleh emosi, dalam arti bagaimana
yang bersangkutan dapat menjadi begitu rasional di suatu saat dan menjadi
begitu tidak rasional pada saat yang lain. Dengan demikian, emosi mempunyai
nalar dan logikanya sendiri (Hude, 2006: ix). Salovey dan Mayer (dalam Goleman,
2005: 513) mendefinisikan kecerdasan emosional atau yang sering disebut IE
sebagai himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan
memantau perasaan sosial yang melibatkan kemampuan pada orang lain,
memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran
dan tindakan. Kecerdasan emosional sangat dipengaruhi oleh lingkungan, tidak
bersifat menetap, dapat berubah-ubah setiap saat. Untuk itu peranan lingkungan
terutama orang tua pada masa kanak-kanak sangat mempengaruhi dalam pembentukan
kecerdasan emosional. Anak-anak yang mempunyai masalah dalam kecerdasan
emosinya akan mengalami kesulitan belajar, sulit bergaul dan tidak dapat
mengontrol emosinya. Sebaliknya para remaja yang berkarakter atau mempunyai
kecerdasan emosi tinggi akan terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi
oleh remaja seperti kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas,
bullying dan sebagainya. 7 Goleman (2005:512) menjelaskan kecerdasan emosional
adalah kemampuan untuk mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain
kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik
pada diri dan dalam hubungan dengan orang lain. Suharsono (2001: 120 – 121),
menerangkan kecerdasan emosi tidak hanya berfungsi untuk mengendalikan diri tetapi
lebih dari itu juga mencerminkan kemampuan dalam mengelola ide, konsep karya
atau produk sehingga hal itu menjadi minat bagi orang banyak. Goleman (1999:
45) menambahkan kecerdasan emosional merupakan suatu kemampuan seseorang yang
didalamnya terdiri dari berbagai kemampuan untuk dapat memotivasi diri sendiri
dan bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak
melebih-lebihkan kesenangan maupun kesusahan. Kecerdasan emosi merefleksikan
seseorang dalam bersikap dan membina hubungan dengan orang lain. Ketika manusia
menjalin hubungan dengan orang lain, manusia tidak bisa terlepas dari proses
memberi dan menerima. Hal tersebut sama seperti dengan simbiosis antara satu
manusia dengan manusia lain. Ada simbiosis mutualisme yang saling menguntungkan
kedua belah pihak, simbiosis komensalisme yang menguntungkan salah satu pihak
akan tetapi pihak yang lain tidak diuntungkan dan tidak dirugikan, serta ada
juga simbiosis parasitisme dimana pihak satu diuntungkan dan pihak yang lain
dirugikan. Seperti halnya simbiosis, hubungan antar manusia juga memiliki
dampak yang sama seperti analogi simbiosis yang diungkapkan penjelasan di atas.
Mengacu pada penelitian Adi Farman (2006) mengenai “Hubungan antara kecerdasan
emosi dengan kemampuan berinteraksi sosial” menunjukkan bahwa 8 ada korelasi
positif yang signifikkan antara kecerdasan emosi dengan kemampuan berinteraksi
sosial yang berarti semakin tinggi kecerdasan emosi maka semakin tinggi pula
kemampuan berinteraksi sosialnya dan begitupun sebaliknya. Selanjutnya peneliti
mengacu pada penelitian Bima Spica (2008) mengenai “Perilaku prososial
mahasiswa ditinjau dari empati dan dukungan sosial teman sebaya” menunjukkan
bahwa ada korelasi positif yang sangat signifikan antara empati dan dukungan
sosial teman sebaya dengan perilaku prososial. Hal ini berarti semakin tinggi
empati dan dukungan sosial teman sebaya maka semakin tinggi pula kecenderungan
perilaku prososial mahasiswa. Penelitian Farman (2006) memang tidak memfokuskan
pada korelasi kecerdasan emosi dengan perilaku prososial tetapi pada
ketrampilan sosial. Ketrampilan sosial menurut Goleman (2005: 512) merupakan
kemampuan untuk menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang
lain. Sebagai makhluk sosial individu akan berinteraksi dengan individu lain
guna memenuhi berbagai keperluan dalam hidupnya sehingga dibutuhkan perilaku
prososial. terkait dengan hal tersebut maka muncul pertanyaan apakah kecerdasan
emosi berkorelasi dengan perilaku prososial. Hasil penelitian Bima Spica bahwa
dalam penelitian ini hanya difokuskan pada korelasi empati dengan perilaku
prososial. Empati merupakan salah satu aspek dari kecerdasan emosi, sehingga
menarik untuk diteliti apakah kecerdasan emosi secara umum juga berkorelasi
dengan perilaku prososial. 9 Berdasarkan latar belakang tersebut maka peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “ Hubungan antara kecerdasan
emosi dengan perilaku prososial peserta didik di SMPN 1 Lawang. B. Rumusan
Masalah 1. Bagaimana tingkat kecerdasan emosi peserta didik di SMPN 1 Lawang ?
2. Bagaimana tingkat perilaku prososial peserta didik di SMPN 1 Lawang ? 3.
Adakah korelasi antara kecerdasan emosi dengan perilaku prososial peserta didik
di SMPN 1 Lawang ? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui tingkat kecerdasan
emosi peserta didik di SMPN 1 Lawang 2. Untuk mengetahui tingkat perilaku
prososial peserta didik di SMPN 1 Lawang 3. Untuk mengetahui korelasi antara
kecerdasan emosi dengan perilaku prososial peserta didik di SMPN 1 Lawang D.
Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan
manfaat: 1. Secara teoritis 10 Penelitian ini berguna untuk menambah khazanah
keilmuan psikologi pada khususnya dan untuk peneliti-peneliti yang akan
mengambil subjek yang sama. 2. Secara praktis Hasil penelitian ini, diharapkan
bermanfaat bagi pihak sekolah untuk mengetahui kecerdasan emosi para siswanya
dalam menciptakan sumber daya manusia yang tangguh dan berkualitas.
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment