Abstract
INDONESIA:
Untuk mencapai kesuksesan dalam hidup ditentukan oleh adversity quotient. Stoltz (2007 : 12) mengatakan adversity quotient merupakan factor yang terpenting dalam meraih kesuksesan dengan tetap berpegang teguh pada prinsip dan cita-citanya. Sehingga seseorang yang mempunyai adversity quotient tinggi ialah individu yang merasa optimis, teguh, memiliki motivasi yang tinggi dan memiliki mental bertahan yang baik saat menghadapi kesulitan. Hal ini penting bila dikaitkan sebagai unsur pendorong belajar siswa dalam mempelajari matematika karena mayoritas siswa mengaku enggan belajar matematika karena menganggap pelajaran matematika memiliki tingkat kesulitan yang relatif tinggi dibandingkan pelajaran yang lain. Penelitian ini dilaksanakan di SMA Takhassus Al-Qur’an, Kabupaten Wonosobo untuk mengetahui Hubungan Adversity Quotient dengan Motivasi Belajar siswa kelas XI IPS dan bahasa dalam mata pelajaran matematika. Tujuan penelitian ini untuk membuktikan apakah ada hubungan antara Adversity Quotient dengan Motivasi Belajar siswa dalam mempelajari matematika.
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif. Variabel bebas (X) adversity quotient dan variabel terikatnya (Y) motivasi belajar. Subjek penelitian berjumlah 82 responden. Sampel dalam penelitian ini diambil mengunakan teknik purposive random sampling. Pengambilan data menggunakan dua skala berbentuk likert, dilengkapi dengan metode observasi, wawancara dan dokumentasi. Uji validitas menggunakan rumus product moment dan uji reliabilitas menggunakan rumus alpha cronbach. Sedangkan metode analisis data menggunakan rumus correlation. Dengan bantuan SPSS versi 16.0 for Windows.
Hasil penelitian menunjukkan 66% (54 siswa) mempunyai tingkat adversity quotient tinggi dan 34% (28 siswa) sedang. Kemudian terdapat 59% (48 siswa) mempunyai tingkat motivasi belajar tinggi dan 41% (34 siswa) sedang. Adapun korelasinya, menunjukkan terdapat hubungan positif yang sangat signifikan dengan nilai (r 0,548 ; sig < 0,01) atau taraf signifikansi 1% antara adversity quotient dengan motivasi belajar.
ENGLISH:
For achieving successful in life is determined by adversity quotient. Stoltz (2007 : 12) said : adversity quotientis the most important factorin order to achieving successful by stay hold on its principles and ambition. Someone who has high adversity quotientis optimistic person, firm, high motivation and have good defence mental while faced difficulty. Itis important if connectedas student’s learning supportin learn mathematics because most of students revealed that they lazy to learn mathematics because they think that mathematics has high level difficulty than another subject. This research have done in Takhassus Al-Qur’an senior high school, Wonosobo district in order to know the Correlation between Adversity Quotient with Eleven grade student’s learning motivation at Social and Language class in Mathematics Subject. This research purpose is to proove is there any correlation between Adversity Quotient with Student’s Learning Motivation in learn mathematics.
This research use kuantitatif method. The independent variable (X) is adversity quotient and the dependent variable (Y) is learning motivation. research subjects was 82 respondents. The example session in this research has taken by purposive random sampling method. The method of collecting data is using two scales formed likert, completed by observation method, interview, and documentation. The validity test use product moment formula and reliability test use alpha cronbach formula. The data analytic method use correlation formula help by SPSS 16.0 for windows
The research result showed that 66% (54 students) have high level of adversity quotient and 34% (28 students) have medium level of adversity quotient. Then there is any 59% (48 students) have high level of learning motivation and 41% (34 students) have medium level of learning motivation. And about the correlation showed that there is very significant positive correlation with its point (r 0,548 ; sig < 0,01) or significant level 1% between adversity quotient with learning motivation.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Globalisasi
telah menciptakan lingkungan yang penuh dengan persaingan yang terjadi dalam
dunia industri, teknologi transportasi dan telekomunikasi bahkan dalam dunia
pendidikan. Khususnya Indonesia yang masih merupakan negara berkembang sehingga
untuk memajukannya perlu pembangunan sumber daya manusia yang lebih
berkualitas. Oleh karena itu pemerintah masih sangat perlu memberi perhatian
khusus, terlebih dalam bidang pendidikan agar diharapkan nantinya dapat
menciptakan pribadi-pribadi yang berkarakter tangguh. Hal ini sesuai dengan UUD
1945 (2004 : 28) tentang pendidikan dan kebudayaan, yakni: "Pemerintah mengusahakan
dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan
dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa
yang diatur dengan undang- undang". Untuk itu pemerintah melakukan
evaluasi pembelajaran setiap tahunnya di seluruh indonesia dengan
dilaksanakannya Ujian Nasional (UN) sebagai syarat kelulusan siswa. Dengan
standar nilai kelulusan peserta Ujian Nasional (UN) yang semakin tahun semakin
naik untuk standar nilainya dan tahun ajaran 2011/2012 sama dengan tahun lalu
yakni 5,5 untuk semua mata pelajaran yang diujikan (dikutip dalam,
http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/beritapendidikan/12/03/11/m
0oyym-55-nilai-standar-kelulusan-ujian-nasional, dikses tanggal 2 Mei 2012). 2
Dibandingkan dengan beberapa mata pelajaran yang lain, pelajaran matematika
sering dianggap hal yang menyeramkan yang menghinggapi perasaan siswa di
sekolah mulai dari tingkat SD sampai dengan SMA. Dan untuk mayoritas siswa di
sekolah mengeluhkan soal pelajaran matematika. Mereka menganggap matematika
sebagai pelajaran sulit dan membinggungkan. Padahal, munculnya anggapan
tersebut pada dasarnya karena kurangnya motivasi dalam diri siswa untuk
mempelajari matematika. Mahi (2007 :14) menyebutkan bahwa munculnya fobia matematika
disebabkan oleh sugesti yang tertanam dalam benak seorang anak bahwa matematika
itu sulit dan ugesti tersebut muncul dari orang-orang sekitar yang mengatakan
matematika itu sulit yang membuat tak jarang memunculkan tekanan (stressor)
ataupun masalah tersendiri bagi siswa saat mereka mempelajari matematika.
Sehingga kemampuan siswa dalam memaksimalkan potensi yang dimilikinya sangat
dibutuhkan untuk memperoleh prestasi yang bagus. Karena tidak banyak orang
mengerti bahwa kesulitan yang datang sebenarnya dapat menjadi peluang untuk
dirinya, asalkan seseorang tersebut bersedia bangkit dan belajar dari setiap
kegagalannya untuk terus maju menuju keberhasilan yang diinginkannya. Setiap
siswa mampu memaksimalkan potensi yang dimilikinya dengan semangat belajar yang
tinggi, maka pelajaran matematika yang mereka anggap susah akan menjadi lebih
mudah. Carol Dweek, (dalam Stoltz, 2007 : 95) membuktikan bahwa anak-anak yang
merespon secara optimis akan banyak belajar dan lebih berprestasi dibandingkan
dengan 3 anak-anak yang memiliki pola pesimistik. Dan Stoltz (2007: 18)
berpendapat bahwa pada dasarnya setiap orang memendam hasrat untuk mencapai
kesuksesan, tidak terkecuali bagi siswa yang juga ingin mendapatkan prestasi
belajar tinggi. Paul Stoltz (2007 : 08) menjelaskan bahwa untuk mencapai
suksesnya pekerjaan dan hidup terutama ditentukan oleh adversity quotient.
Sebab adversity quotient dapat digunakan untuk membantu individu-individu dalam
memperkuat kemampuan dan ketekunan dalam menghadapi berbagai tantangan hidup
sehari-hari yang harus dihadapi dengan tetap berpegang teguh pada
prinsip-prinsip dan cita-citanya (Stoltz, 2007 : 12), dan ia juga
mengunggkapkan bahwa konsep adversity quotient, merupakan factor yang
terpenting dalam meraih kesuksesan karena seseorang dengan adversity quotient
tinggi yaitu individu yang merasa teguh, optimis, memiliki motivasi yang baik
dan memiliki kemampuan bertahan saat menghadapi kesulitan yang dialaminya.
Permasalahan yang dimiliki setiap orang sangatlah bervariatif dan unik, dimana
setiap situasi akan memunculkan tegangan, tantangan dan cara penyelesaian yang
berbeda-beda. Pada dasarnya manusia adalah makhluk yang sempurna karena ia
memiliki potensi-potensi hebat yang tidak dimiliki oleh seluruh makhluk hidup
lainnya. Salah satunya ialah dengan adversity quotient yang merupakan suatu
potensi luar biasa yang dimilikinya, dimana dengan potensi tersebut seseorang
dapat mengubah hambatan menjadi peluang. 4 Tidak banyak orang yang menyadari
bahwa masalah yang dihadapi sebenarnya dapat menjadi peluang kesuksesan untuk
dirinya, asalkan seseorang tersebut bersedia bangkit dan belajar dari setiap
kegagalannya untuk terus maju menuju keberhasilan yang diinginkannya. Karena
dengan belajar, manusia melakukan perubahan-perubahan kualitatif individu
sehingga tingkah lakunya terus berkembang. Dan semua aktivitas dan prestasi
hidup manusia tak lain adalah hasil dari belajar. (Soemanto, 2006 : 104)
Motivasi memiliki peranan yang sangat penting dalam setiap aktifitas belajar
khususnya bagi tiap individu dalam dunia pendidikan. Sukses tidaknya suatu
lembaga pendidikan dalam mencetak siswa yang berprestasi tergantung seberapa
besar motivasi siswa dalam menjalani proses belajar. Para siwa sekolah yang
senantiasa ingin berhasil memperoleh prestasi belajar yang tinggi dalam nilai
pelajaran di setiap mata pelajaran tidaklah mudah. Sangat perlu adanya motivasi
yang kuat dalam proses belajar, sebab seseorang yang tidak memiliki motivasi
dalam belajar tidak akan mungkin melakukan aktivitas belajar dengan baik. Karena
motivasi belajar merupakan factor psikis yang bersifat non intelektual guna
menimbulkan gairah, merasa senang dan semangat untuk belajar, sehingga siswa
yang memiliki motivasi kuat, akan mempunyai banyak energi unuk melakukan
kegiatan belajar (Sardiman, 1994 : 75 ). 5 Siswa sebagai individu yang dinamis
menempati posisi penting dalam proses belajarnya, karena keberhasilan siswa
dalam prestasinya akan memberikan perasaan bahagia dan kepuasan. Rasa bahagia
dan puas akan membuat dirinya mampu untuk meningkatkan potensi yang ada. Tanpa
adanya motivasi belajar yang tinggi maka proses belajar mengajar akan kurang
sehingga mempengaruhi nilai dari hasil prestasi tersebut. Dan motivasi
merupakan pendorong siswa dalam belajar. Karena keberadaanya sangat berarti
bagi perbuatan belajar. Selain itu motivasi merupakan pengarah untuk perbuatan
belajar kepada tujuan yang jelas yang diharapkan dapat dicapai (Uno, 2011 :
23). Oleh sebab itu, motivasi tidak dapat dipisahkan dari aktivitas belajar
siswa. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Siddiqiyah (2007),
menunjukkan bahwa adanya hubungan positif antara adversity quotient dengan
motivasi berprestasi, sehingga dapat dikatakan siswa yang mempunyai adversity
quotient tinggi akan berusaha untuk menyelesaikan tugas dengan baik, sehingga
diperoleh prestasi belajar yang baik pula. Dan seperti halnya penelitian yang
dilakukan oleh Nanang Saifurrijal (2010) tentang “Hubungan Antara Motivasi
Belajar dengan Prestasi Belajar” membuktikan bahwa motivasi belajar yang tinggi
memberi hubungan yang positif tinggi dalam menentukan hasil prestasi belajar
siswa. Schab (dalam Endang, et al, 2010 : 3), mengatakan bahwa siswa lebih
sering menyontek pada pelajaran matematika dan ilmu alam/ ilmu pasti
dibandingkan pada pelajaran lain. Hal ini diperkuat berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan Endang Sri Indarwati, et al, (2010) tentang 6
“Hubungan Antara Adversity Intelligence dengan Intensitas Menyontek Dalam
Pelajaran Matematika” diketahui bahwa semakin tinggi adversity intelligence
maka intensi menyontek dalam pelajaran matematika semakin rendah, dan
sebaliknya semakin rendah adversity intelligence maka intensi menyontek dalam
pelajaran matematika semakin tinggi. Menurut ja’far (2009) Saat ini fakta yang
menunjukkan, tidak sedikit siswa sekolah yang kurang minat dalam belajar
matematika sehingga motivasi belajarnya menjadi rendah karena mereka masih
mengganggap matematika adalah pelajaran yang membuat “stres”, membuat pikiran
binggung, ilmu yang membosankan, dan cenderung hanya mengotak-atik rumus yang
tidak berguna dalam kehidupan. Akibatnya matematika dipandang sebagai ilmu yang
tidak perlu dipelajari dan dapat diabaikan. Selain itu hal ini didukung dengan
pembelajaran di sekolah yang masih hanya berorientasi pada pengerjaan soal-soal
latihan saja, hampir belum pernah proses pembelajaran matematika dikaitkan
langsung dengan kehidupan nyata. Nawangsari (dalam Endang,et al, 2010 : 4),
mengemukakan bahwa matematika merupakan ilmu pengetahuan dasar yang melandasi
semua disiplin ilmu, baik ilmu eksakta maupun ilmu sosial. Menurut Kementrian
dan Kebudayaan (5 Oktober 2011) bahwa secara umum tujuan diberikannya
matematika di sekolah karena siswa memerlukan matematika untuk memenuhi
kebutuhan praktis dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya,
dapat berhitung, dapat menghitung isi dan berat, dapat mengumpulkan, mengolah,
menyajikan dan menafsirkan 7 data, dapat menggunakan kalkulator dan komputer.
Selain itu, agar mampu mengikuti pelajaran matematika lebih lanjut, membantu
memahami bidang studi lain seperti fisika, kimia, arsitektur, farmasi,
geografi, ekonomi, dan sebagainya, dan agar para siswa dapat berpikir logis,
kritis, dan praktis, serta bersikap positif dan berjiwa kreatif. (dikutip dalam
http://p4tkmatematika.org/2011/10/peran-fungsi-tujuan-dan-karakteristikmatematika-sekolah/,
diakses tanggal 30 Juni 2012). Berdasarkan wawancara informal (05 Maret 2012)
yang dilakukan peneliti pada guru Bimbingan Konseling (BK) bahwasannya para
murid banyak yang mempunyai pemasalahan dalah hal motivasi belajar, khususnya
di kelas IPA dalam permasalahan mata pelajaran matematika. Beberapa siswa
mengeluh pada guru BK karena nilai pelajaran matematikanya masih remidi,
padahal siswa tersebut telah rajin belajar tetapi dalam memahami pelajaran
matematika masih dirasakan susah. Harusnya murid kelas IPA lebih mampu
menguasai pelajran-pelajaran di bidang eksak (ilmu alam) khususnya dengan mata
pelajaran matematika dibandingkan kelas IPS dan bahasa. Namun justru kelas IPS
dan bahasa yang kurang minat dengan matematika memperoleh nilai yang bagus
bahkan setiap tahunnya kelas IPS dan bahasa lulus 100% dari pada kelas IPA yang
sering tidak lulus di pelajaran matematika. Terlebih tahun kemarin bayak siswa
kelas IPA yang tidak lulus Ujian Nasional (UN) di mata pelajaran matematika. 8
Kemudian peneliti melakukan wawancara informal terhadap guru Matematika untuk
jurusan IPA (05 April 2012) bahwasannya para siswa mempunyai motivasi yang
cukup tinggi dalam belajar pada pelajaran matematika karena meskipun guru
berhalangan masuk kelas tetapi mereka tetap didalam kelas untuk belajar
sendiri, terlihat didalam kelas untuk siswa IPA sedang berlatih mengerjakan
soal LKS (Lembar Keja Siswa) serta ada juga yang membaca buku dan belajar
berkelompok. Selanjutnya peneliti melakukan wawancara pada guru matematika
untuk jurusan IPS dan bahasa (09 April 2012) bahwasannya untuk siswa IPS dan
bahasa dalam mengajar menggunakan metode yang lebih sabar terlebih untuk
jurusan bahasa lebih telaten karena guru menyadari bahwa mereka tidak terlalu
minat dengan pelajaran matematika sehingga jika ada murid yang kurang faham
dalam materi matematika maka guru akan memberi waktu untuk murid belajar
matematika dengan guru pengampu matematika diluar jam pelajaran. Untuk anak
sosoial diberikan materi matematika dasar di banding matematika anak eksak.
Meskipun materinya tidak sesulit anak IPA tetap saja cara mengajar anak IPS dan
bahasa lebih sabar dan untungnya mereka dapat memperoleh nilai matematika yang
stabil bagus, jikapun ada yang kurang dari nilai standar maka guru akan
melakukan ujian ulang (remidi). Diperkuat dengan hasil polling sementara yang
peneliti lakukan dengan cara mengambil satu kelas perjurusan (06 April 2012)
diperoleh hasil pada kelas XI untuk jurusan IPA 46%, IPS 59% dan Bahasa 72%
tidak menyukai pelajaran matematika. Kemudian peneliti melakukan 9 wawancara
informal pada beberapa siswa (10 April 2012) dari jurusan IPA yang menjawab
suka dengan hitungan, meskipun untuk pelajaran matematika semakin lama semakin
sulit tetapi tetap harus rajin belajar dan berlatih mengerjakan soal, misal
kurang faham dengan keterangan guru maka akan tanya pada guru atau akan belajar
dengan teman atau belajar mengulang soal matematika sendiri karena siswa sadar
bahwa setiap pelajaran dikelas IPA berdasarkan hitungan jadi ia harus bisa
dalam mata pelajaran matematika sebagai modal awal untuk belajar pelajaran
kimia dan fisika. Dilanjut wawancara peneliti dengan siswa IPS dan bahasa yang
jawaban mereka tidak berbeda jauh, bahwasannya para siswa sosial masuk kelas
IPS dan bahasa karena kurang menyukai pelajaran matematika dengan alasan
terlalu banyak rumus, susah dipahami dan sangat membosankan. Misal kurang faham
saat pelajaran matematika, mereka malas bertanya sama guru. Kecuali jika ada PR
(Pekerjaan Rumah) barulah mereka kerjakan bersama teman. Mereka juga menjawab
untuk nilai pelajaran matematika standarnya saja tidak mentarget harus bagus
yang penting tidak sampai ujian ulang (remidi) itu sudah cukup. Melalui
observasi yang peneliti lakukan ada yang keluar kelas saat pergantian jam
pelajaran, ataupun jam pelajaran kosong karena guru berhalangan masuk kelas,
ada juga yang kekantin dan duduk-duduk diluar kelas sambil bercanda satu sama
lain. Kemudian peneliti melanjutkan observasi ke pondok yang tidak jauh dari
lokasi sekolah karena kebanyak dari siswa-siwi SMA Takhassus Al-qur’an adalah
seorang santri. Setiap 10 hari mereka mempunyai jadwal khusus yang ada dipondok
untuk digunakan sebagai jam belajar. Antara jam 21.00 sampai 22.00 WIB mereka manfaatkan
untuk mengerjakan tugas sekolah, belajar sendiri ataupun belajar berkelompok
namun kebanyakan dari mereka yang tidur dan tidak belajar dengan alasan lelah
karena aktifitas yang telah dilakukkannya seharian. Berdasarkan fenomena
diatas, ternyata ada fakta yang kurang mendukung teori dari Stolzt (2007 : 8)
yang menyebutkan bahwa adversity quotient merupakan kecerdasan seseorang dalam
menghadapi kesulitan dengan memaksimalkan seluruh potensi yang dimikinya untuk
mewujudkan cita-citanya, namun justru terdapat siswa kelas sosial (IPS dan
bahasa) yang kurang minat dengan pelajaran matematika tetapi dapat memperoleh
hasil nilai yang cukup bagus hanya karena tidak ingin mengikuti ujian ulang
(remidi). Sehingga peneliti tertarik untuk mengetahui seberapa besar hubungan
“Hubungan Adversity Quotient dengan Motivasi Belajar siswa kelas XI IPS dan
Bahasa pada mata pelajaran Matematika di SMA Takhassus Al-Qur’an Wonosobo”.
Guna membuktikan apakah ada hubungan positif dalam kaitannya motivasi belajar
siswa untuk belajar mata pelajaran matematika, yaitu karena adanya faktor dari
adversity quotient sebagai pendukung yang memaksimalkan potensi belajar
matematika yang dimiliki siswa sehingga meskipun mengaku kurang suka dengan
pelajaran matematika tetapi berusaha berjuang dan rajin dalam belajarnya guna
memperoleh nilai yang bagus sesuai nilai standar yang telah ditentukan dari
sekolah. 11 B. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah yang dikemukakan dalam
penelitian ini adalah: 1. Bagaimana tingkat adversity quotient siswa kelas XI
IPS dan bahasa di SMA Takhassus Al-Qur’an Wonosobo? 2. Bagaimana tingkat
motivasi belajar siswa kelas XI IPS dan bahasa di SMA Takhassus Al-Qur’an
Wonosobo ? 3. Adakah hubungan antara tingkat adversity quotient dengan motivasi
belajar siswa kelas XI IPS dan bahasa pada mata pelajaran matematika di SMA
Takhassus Al-Qur’an Wonosobo? C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan
masalahan yang telah dikemukakan diatas, maka tujuan yang ingin dicapai adalah:
1. Untuk mengetahui tingkat adversity quotient siswa kelas XI IPS dan bahasa di
SMA Takhassus Al-Qur’an Wonosobo. 2. Untuk mengetahui tingkat motivasi belajar
siswa kelas XI IPS dan bahasa di SMA Takhassus Al-Qur’an Wonosobo. 3. Untuk
mengetahui hubungan tingkat adversity quotient dengan motivasi belajar siswa
kelas XI IPS dan bahasa pada mata pelajaran matematika di SMA Takhassus
Al-Qur’an Wonosobo. 12 D. Manfaat Penelitian Melalui penelitian ini diharapkan
dapat memberikan manfaat yakni: 1. Secara Teoritis Dapat memberikan tambahan
pemikiran terhadap perkembangan teori keilmuan psikologi sekaligus sebagai
acuan penelitian selanjutnya dan menambah khazanah keilmuan baik dalam
psikologi ataupun pendidikan. 2. Manfaat Praktis a. Bagi Lembaga (Sekolah)
Dapat digunakan sebagai wawasan atau sumbagan informasi bagi dunia pendidikan
khususnya dilingkungan SMA Takhassus AlQur’an Wonosobo mengenai masalah-masalah
yang dihadapi oleh peserta didiknya dan mengetahui motivasi belajar para siswa
di sekolah. b. Bagi Peneliti Sebagai pengalaman dan menambahan pengetahuan
dalam aplikasi ilmu yang telah diperoleh serta mengetahui gambaran umum
mengenai hubungan antara adversity quotient dengan motivasi belajar siswa pada
mata pelajaran matematika. c. Bagi Subjek Agar subjek mengetahui ukuran tingkat
adversity quotient dan dapat memahami motivasi belajarnya.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" : Hubungan adversity quotient dengan motivasi belajar siswa kelas XI IPS dan bahasa pada mata pelajaran matematika di SMA Takhassus al-Quran Wonosobo" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment