Abstract
INDONESIA:
Proses kehidupan berlangsung sepanjang hayat. Kepribadian dipengaruhi oleh dua faktor yaitu, nature dan nurture. Perkembangan identitas gender melibatkan kedua faktor tersebut. Terkadang identitas gender terbentuk tidak sesuai dengan identitas seksual (jenis kelamin). Masalah seperti itu dikategorikan sebagai gangguan identitas gender yang mana penderitanya mengalami ketidaksesuaian antara fisik (identitas seksual) dengan jiwanya (identitas gender), secara fisik ia adalah perempuan dengan ciri-ciri seksual primer dan sekunder yang normal, namun mengidentifikasi dirinya sebagai laki-laki dan ingin hidup sebagai seorang laki-laki.Seseorang dengan gangguan identitas gender kebanyakan memiliki orientasi seksual sejenis, meskipun ada juga yang heteroseksual. Penelitian ini dilakukan di Lapas Wanita Klas IIA Malang. Lembaga yang penghuninya homogen (terdiri dari satu jenis kelamin saja), seperti Asrama, pondok pesantren, dan penjara memang rentan terjadi homoseksual.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengalaman hidup narapidana dengan kecenderungan gangguan identitas gender dan orientasi seksualnya. Pendekatan yang dipakai adalah kualitatif dengan studi kasus mendalam. Subjek penelitian berjumlah 3 orang narapidana dengan kecenderungan gangguan identitas gender. Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah wawancara, observasi, dan dokumen pribadi berupa catatan harian subjek. Jika semua data sudah erkumpul maka dilakukan pengkodingan. Pengecekan keabsahan data menggunakan triangulasi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semua subjek yang mengalami gangguan identitas gender merasa dirinya laki-laki, ingin hidup sebagai seorang laki-laki dan tertarik secara seksual maupun emosional dengan sesama jenis. Subjek I mengatakan identitas gendernya tidak dapat dirubah menjadi wanita. Sedangkan subjek II dan III merasa bimbang untuk melakukan perubahan, sebenarnya mereka lebih nyaman hidup sebagai transgender. Meskipun para subjek mengatakan bahwa mereka ingin menjadi seperti lawan jenis dan diakui sebagai lawan jenis, namun tidak ada dipikirannya untuk melakukan operasi kelamin atau sekedar mengkonsumsi hormon pria. Jadi pada akhirnya mereka memilih unuk menerima kondisi fisik apa adanya.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Masalah Hidup merupakan sebuah
anugerah dari Tuhan yang patut disyukuri. Tuhan menciptakan beragam makhluk
hidup maupun benda mati dengan wujud yang bervariasi. Tuhan menciptakan
berpasang-pasangan, ada siang dan malam, langit dan bumi, ada panas dan dingin,
laki-laki dan perempuan, dan lain sebagainya. Semua itu merupakan kehendak
dari-Nya yang memiliki tujuan dan manfaat. Secara biologis manusia dibedakan
antara laki-laki dan perempuan. Bagaimana jika ada seseorang yang secara
bioogis adalah perempuan dengan organ seksual primer dan sekunder yang normal
namun merasa terperangkap dalam tubuh yang salah, dan pada kenyataannya
mengharapkan untuk diakui sebagai anggota dari lawan jenisnya. Apakah orang
seperti ini dapat disebut wanita sedangkan ia mempersepsepsikan dirinya sebagai
seorang laki-laki ? Dalam ilmu psikologi, masalah seperti ini disebut sebagai
gangguan identitas gender atau mungkin lebih dikenal sebagai transeksual. Dulu
dalam DSM-III-TR (Diagnostic And Statistical Manual Of Mental Disorder) orang
seperti itu diklasifikasikan sebagai transeksual, tetapi dalam DSM-IV-TR
istilah tersebut tidak digunakan dan mereka hanya dikategorikan sebagai
gangguan identitas gender. Tetapi banyak klinisi merasa bahwa istilah 2 “transeksual”
berguna dan mungkin akan terus digunakan (Kaplan & Sadock, 2010 ; 187).
Transeksualisme juga merujuk pada fenomena ketika seseorang memiliki perasaan
bahwa ia sebenarnya memiliki jenis kelamin yang berlawanan dengan apa yang saat
ini dimilikinya. Beberapa orang yang mengalami gangguan identitas gender
berharap dapat hidup sebagai seseorang dari jenis kelamin yang berlawanan dan
mereka pun bertingkah laku serta memakai pakaian sesuai dengan jenis kelamin
yang menjadi harapannya tersebut (Hulgin & Whitbourne, 2010 ; 308).
Seseorang yang termasuk dalam kategori gangguan identitas gender sering kali
dianggap sebagai gender ketiga (Gilbert Hert dalam Alimi, 2004 ; xv). Masalah
gangguan identitas gender sangat berkaitan dengan orientasi seksual. Dimana
sebagian besar seorang dengan gangguan identitas gender memiliki orientasi
seksual sejenis, namun ada pula yang heteroseksual. Maka dari itu, penelitian
ini ingin mengetahui pengalaman hidup seseorang dengan kecenderungan gangguan
identitas gender tentang perkembangan identitas gender dan orientasi
seksualnya. Seseorang dapat dikatakan laki-laki atau perempuan sesuai dengan
jenis kelamin, ini disebut identitas seksual. Sedangkan identitas gender
sendiri adalah perasaan dasar seseorang tentang apakah ia laki-laki atau
perempuan. Hal ini tidak berhubungan apakah orang tersebut mengikuti peraturan
sosial dan budaya tentang menjadi laki-laki atau perempuan (Wade & Tavris,
2007 ; 3 258). Jadi identitas gender adalah persepsi seseorang tentang apakah
dirinya laki-laki atau perempuan. Orientasi seksual adalah rasa ketertarikan
seseorang terhadap jenis kelamin tertentu. Orientasi seksual sendiri dibagi
menjadi tiga yaitu, heteroseksual, biseksual, dan homoseksual. Pada bab II akan
dibahas lebih lanjut mengenai ruang lingkup identitas gender dan orientasi
seksual. Seseorang dengan gangguan identitas gender cenderung memiliki
orientasi seksual terhadap sesama jenis (homoseksual). Ini dikarenakan ia
merasa bahwa dirinya adalah anggota dari lawan jenis, jadi menurutnya sah-sah
saja jika tertarik dengan sesama jenis kelaminnya. Selanjutnya nanti peneliti
akan membahas tentang karakteristik diagnostik gangguan identitas gender.
Secara umum ada dua stereotip yang dapat membedakan antara laki-laki dan
perempuan, yaitu stereotip maskulin dan feminin. Maskulin menurut budaya
masyarakat pada umumnya dikenal dengan sikap yang dominan, agresif, independen,
asertif, suka berkompetisi, ambisius, logis, dan berbakat dalam berbisnis.
Sedangkan untuk feminin lebih dikenal dengan sikapnya yang sensitif, ekspresif,
perhatian, butuh dilindungi, sangat peka perasaannya, serta lembut (Burns dalam
Pratiwi, 2009 ; 37). Jung mengatakan bahwa setiap manusia memiliki sisi anima
(arketip feminin pada pria) dan animus (arketip maskulin pada wanita). Hal itu
merupakan sifat yang saling melengkapi. Terkadang seorang laki-laki dapat
menunjukkan sifat kewanitaan, seperti memelihara, mengasuh, lemah lembut.
Begitu juga dengan seorang wanita dalam kondisi tertentu dapat menunjukkan 4
sikap agresifitas, independen, dan ambisius. Perilaku tersebut dapat muncul
seketika ketika dibutuhkan. Kapankah seseorang masih dianggap wajar ketika ia
mulai menunjukkan sifat maskulin atau feminin. Pada masalah gangguan identitas
gender, seseorang akan menampilkan diri seperti lawan jenisnya. Mulai dari cara
berpakaian, pemilihan teman bermain, kegiatan atau permainan, sampai pada
orientasi seksual. Hal ini merupakan sebuah fenomena yang luar biasa, dimana
peneliti dapat mengetahui bahwa ada fenomena lain tentang identitas manusia.
Pada umumnya manusia terbagi menjadi laki-laki dan perempuan. Maka seseorang
dengan gangguan identitas gender sering disebut sebagai “the third sex” (jenis
kelamin yang ketiga). Apakah agama mengakui adanya the third sex? masalah ini
akan peneliti bahas pada bab II mengenai pandangan agama Islam terhadap
gangguan identitas gender. Ada sebuah kasus yang cukup populer mengenai
gangguan identitas gender. Kasus ini sering dibicarakan dalam buku-buku
psikologi abnormal dalam kajian Gangguan Seksual. Dalam kasus tersebut
dikisahkan seseorang yang bernama Joe. Simak kasus Joe berikut ini (Durand
& Barlow, 2006 ; 69). “Joe adalah anak laki-laki 17 tahun dan anak bungsu
dari lima bersaudara. Meskipun sebenarnya ibunya menginginkan anak perempuan,
ia tetap menjadi anak kesayangannya. Ayahnya bekerja sepanjang hari dan hanya
memiliki sedikit kontak dengan anak laki-lakinya. Sejauh yang dapat diingat
Joe, ia sejak awal telah berfikir bahwa dirinya adalah seorang gadis. Ia mulai
berpakaian seperti perempuan sebelum berumur 5 tahun dan terus begitu sampai
SMP. Ia mengembangkan minat dibidang masak-memasak, merajut, merenda, dan
menyulam dan tidak suka dengan aktivitas ‘maskulin’ seperti berburu. Joe
kebanyakan bergaul dengan anak perempuan selama periode ini. Perilakunya yang
ekstrem feminin ini menjadikan dirinya objek cemo’ohan ketika umur 15 tahun dan
mulai masuk SMA. Dalam 5 wawancara pertamanya dengan terapis ia mengatakan,
“Saya adalah perempuan yang terperangkap dalam tubuh laki-laki dan saya ingin
menjalani operasi agar bisa menjadi perempuan.” Sebuah penelitian besar-besaran
telah dilakukan untuk meneliti proses pembentukan identitas gender. Kenneth
Zucker mengadakan kajian ulang besar-besaran terhadap ratusan kasus anak yang
dibesarkan sebagai jenis kelamin yang berbeda dari jenis kelaminnya, baik
secara anatomi dan genetik. Ia menemukan bahwa gambarannya sangat kompleks,
tergantung dari interaksi gen-gen, hormon saat didalam kandungan, struktur
anatomi, dan pengalaman hidup (Wade & Tavris, 2007 ; 260). Kita dapat
melihat kompleksitas ini dalam hasil penelitian longitudinal lanjutan dari 16
orang laki-laki yang mengalami kondisi langka, yaitu dilahirkan tanpa penis.
Bayi-bayi tersebut adalah laki-laki normal dengan testikel dan level androgen
yang cukup. Empatbelas dari bayi-bayi tersebut secara sosial dan fisik (dengan
operasi) dibesarkan sebagai anak perempuan sesuai dengan tradisi budaya dimana
mereka dilahirkan. Namun ayah dari dua anak laki-laki tidak setuju dengan
prosedur tersebut dan membesarkan anakanak mereka sebagai seorang laki-laki.
Kedua anak tersebut membentuk identitas gender laki-laki. Keenambelas orang ini
memiliki minat dan sikap yang dipandang oleh orang awam sebagai bagian tubuh
laki-laki. Namun dari keempatbelas orang yang dioperasi sebagai perempuan,
delapan orang menyatakan bahwa mereka laki-laki, lima hidup sebagai perempuan,
dan satu memiliki identitas gender yang tidak jelas (Reiner & Gearheart
dalam Wade & Tavris, 2007 ; 260-261). 6 Lalu bagaimana rasanya menjadi
seorang yang merasa terperangkap dalam tubuh yang salah, dan apa yang
menyebabkan seseorang merasa tidak sesuai antara identitas gender dan anatomi
fisiknya ? ini merupakan sebuah pertanyaan yang sulit dijawab. Bahkan sampai
saat ini belum ada jawaban yang pasti untuk menjelaskan apa yang menjadi
penyebab seseorang mengalami gangguan tersebut, apakah karena pengaruh
biologis, kognitif, atau pengaruh belajar. Apakah seorang dengan gangguan
identitas gender dapat melakukan terapi, dan apakah ia dapat menjadi orang
normal tanpa harus mengoperasi tubuhnya. Sampai saat ini para ahli masih belum
mengetahui secara pasti, namun para ahli menyakini bahwa nature (biologis) dan
nurture (lingkungan sosial) saling berinteraksi untuk membentuk identitas
gender seseorang sebagai lakilaki, perempuan, atau transgender/transeksual.
Untuk itu peneliti sangat tertarik mengambil tema penelitian gangguan identitas
gender dan orientasi seksual. Dalam penelitian ini peneliti telah menelusuri
kehidupan seseorang mulai dari pola asuh, perkembangan identitas gender,
orientasi seksual, dan sebagainya. Apakah seorang transeksual selalu memiliki
orientasi seksual sejenis atau tidak. Kebetulan peneliti mendapati orang-orang
dengan kecenderungan gangguan identitas gender di Lapas Wanita Klas IIA Malang.
Peneliti meminta ketersediaan para subjek untuk memberikan keterangan tentang
beberapa hal yang peneliti butuhkan dalam penelitian ini. Penelitian ini
bermula dari pengalaman peneliti selama melakukan PKLI (praktek kerja lapangan
integratif) di Lembaga Pemasyarakatan Wanita 7 Klas IIA Malang. Maka dari itu
peneliti sangat berterimakasih karena diberikan kesempatan untuk belajar
disana, itu merupakan pengalaman yang sangat berharga. Banyak hal yang peneliti
dapatkan selama PKLI di lembaga tersebut, dari situ peneliti dapat belajar dari
narapidana bagaimana mensyukuri hidup. Di Lapas biasa menyebut narapidana
dengan sebutan WBP (warga binaan pemasyarakatan), sebutan ini terkesan lebih
sopan daripada “narapidana”. Tidak sedikit juga dari WBP yang menemukan dirinya
saat berada di penjara. Jadi, ketika mereka dapat menyadari kesalahannya dan
mulai bergerak hati untuk merubah dirinya menjadi lebih baik, maka mereka akan
sangat bersungguh-sungguh dalam beribadah untuk mendapatkan ketenangan batin.
Selama PKLI di lembaga tersebut, peneliti sambil melakukan pengamatan terhadap
perilaku WBP. Ternyata ada beberapa WBP yang mengalami penyimpangan seksual.
Orientasi seksual sejenis menjadi sebuah realita yang sudah tidak asing lagi di
Lapas. Ada yang secara terang-terangan menyatakan dirinya sebagai lesbian. Dan
yang lebih mengejutkan lagi ada yang menyatakan bahwa dirinya memiliki jiwa
laki-laki atau merasa bahwa dirinya adalah tipikal lawan jenisnya (laki-laki).
Sehingga ia berperilaku maskulin, menyukai perempuan (orientasi seksual
sejenis), dan ia ingin diakui sebagai laki-laki. Dari fenomena tersebut maka
muncullah sebuah pertanyaan besar mengapa hal itu dapat terjadi kepada mereka.
Peneliti mencoba untuk mendekati dan mengamati perilakunya. Saat itu (ketika
PKLI di Lapas) peneliti baru mengenal satu subjek dengan inisial SN (subjek
II). Peneliti cukup mengenal SN dengan baik. Suatu ketika peneliti 8 (peneliti,
SN, dan teman-teman WBP yang lain) sedang duduk berkumpul melihat pertandingan
sepak bola dalam rangka memeriahkan hari kemerdekaan 17 Agustus 2011. Peneliti
melakukan percakapan-percakapan ringan, percakapan tersebut berisi seputar
tanya jawab mengenai pasangannya (kekasih) di Lapas, bagaimana hubungan mereka,
perkembangan identitas gender, orientasi seksual, keluarga, dan temannnya. Dari
situ kemudian peneliti tertarik untuk mengkaji lebih dalam lagi mengenai
gangguan identitas gender dan orientasi seksual. Data yang telah peneliti dapat
selama PKLI (melalui wawancara dan observasi) menunujukkan ada beberapa
narapidana yang mengalami orientasi seksual sejenis. Ada yang sudah
mengalaminya sebelum ia di penjara maupun setelah ia masuk penjara. Hidup
didalam tembok penjara memang sangat memungkinkan terjadi penyimpangan seksual,
ini dikarenakan homogenitas jenis kelamin penghuninya. Dari sekian banyak
narapidana, banyak pula dari mereka yang baru berpindah orientasi seksual
menjadi seorang lesbian lantaran tidak tahan menahan hawa nafsu, ada yang
bilang untuk hiburan, ada pula yang mengatakan untuk mencari “pembelaan” (berdasarkan
keterangan dari informan yang juga termasuk narapidana di Lapas tersebut).
Pembelaan diartikan sebagai pembelaan berupa materi, jadi alasan mereka menjadi
seorang lesbian adalah materi. Bagi model narapidana yang seperti itu karena ia
memang merasa kurang secara materi untuk mencukupi kebutuhannya selama di
Lapas. Memang, ada beberapa napi yang jarang dijenguk keluarga, 9 bahkan tidak
pernah mendapatkan uang transferan, sehingga mereka terpaksa menjadi seorang
lesbian demi mendapatkan materi (bukan berupa uang cash tapi berupa makanan
atau barang-barang kebutuhan sehari-hari). Di Lapas Wanita, sudah barang tentu
tidak ada laki-laki karena Lapas hanya dikhususkan untuk menampung kaum wanita
saja. Oleh karena itu, tidak sedikit dari mereka yang merasa kesepian, ingin
melampiaskan nafsunya, ingin mendapatkan perhatian, ingin mendapatkan teman
berbagi, atau ingin mencari hiburan. Demi memuaskan harsatnya tersebut mereka
rela berbagi atau memberikan sedikit uangnya bagi napi lain yang mau menjadi
pelampiasan hasrat seksual tersebut (menjadi pasangannya). Orientasi seksual
sejenis (lesbian) lebih banyak ditemukan daripada seorang transeksual di Lapas
tersebut. Kalau seseorang dengan gangguan identitas gender sudah mengalami
gangguan itu sejak masih kecil sebelum ia masuk Lapas. Seperti keterangan yang
berhasil peneliti dapatkan dari ketiga subjek penelitian ini, bahwasannya
mereka adalah seorang lesbian, mengaku kalau tubuh dan jiwanya tidak sesuai, ia
merasa sebagai seorang laki-laki dengan tubuh seorang wanita, berusaha untuk
hidup sebagai laki-laki dengan memakai pakaian laki-laki, dan ingin diakui
sebagai seorang laki-laki. Semua subjek (AR, SN, dan CP) mengatakan kepada
peneliti bahwa mereka sama sekali tidak bisa menggunakan pakaian wanita, sejak
kecil mereka tidak pernah mau menggunakan pakaian wanita, lebih suka
menggunakan pakaian laki-laki. Menyakini bahwa jiwanya (identitas gender)
seorang laki-laki namun secara fisik ia perempuan. Mereka juga tertarik secara
10 seksual maupun emosional terhadap wanita. Bahkan salah satu dari subjek
(subjek I AR) mengatakan bahwa ia sudah memiliki seorang istri yang umurnya
lebih tua darinya. Hubungan tersebut sudah berjalan selama 9 tahun sejak tahun
2003. Selama di Lapas AR juga memiliki pasangan lagi, katanya pasangannya yang
di Lapas ini hanya sebagai hiburan, hanya sebagai teman berbagi materi maupun
untuk teman curhat. SN juga mengaku bahwa sebelumia di penjara, ia sudah
memiliki pacar seorang perempuan. Orientasi seksualnya ini tidak disebabkan
karena pengalaman traumatis tentang pelecehan seksual atau imitasi peran, ia
menyatakan bahwa sejak masih play grup, yakni usia 4 tahun tidak suka dengan
pakaian wanita. Saat kelas 5 SD SN memang sudah mulai tertarik dengan sesama
jenis, dan perasaan ini muncul begitu saja. Hal ini juga dirasakan oleh CP, ia
juga menyukai sesama jenis sejak ia masih kecil, bahkan sejak ia masih TK. CP
sudah memiliki pasangan diluar Lapas, keluarganya juga sudah bisa menerima
pacarnya itu, malahan dia dan pacarnya tinggal satu rumah dengan neneknya di
Surabaya. Berdasarkan fenomena tersebut, peneliti sangat tertarik untuk
memahami pengalaman hidup para subjek secara lebih mendalam tentang proses
pembentukan identitas gender yang nantinya akan melibatkan teori perkembangan
gender dan orientasi seksual. Peneliti merumuskan masalah penelitian ini dengan
judul “Gangguan Identitas Gender dan Orientasi Seksual Narapidana di Lapas
Wanita Klas IIA Malang”. 11 B. Fokus Penelitian Gangguan identitas gender
merupakan bahasan yang cukup menarik untuk dibicarakan. Penelitian ini
difokuskan pada pengalaman hidup seseorang dengan kecenderungan gangguan
identitas gender dan orientasi seksualnya. Suatu kepribadian dapat terbentuk
adanya pengalaman-pengalaman. Gangguan identitas gender biasanya menyangkut
tentang orientasi seksual juga. Kebanyakan orang-orang dengan gangguan
identitas gender memiliki orientasi seksual sejenis (homoseksual), akan tetapi
ada pula yang tertarik secara seksual dengan lawan jenis (heteroseksual). Untuk
mengetahui pengalaman hidup seorang dengan gangguan identitas gender maka
peneliti perlu mengetahui proses pembentukan identitas gender. Penelitian ini
meliputi teori perkembangan gender, kriteria gangguan identitas gender,
perkembangan orientasi seksual, dan ruang lingkup tentang homoseksual. Untuk
mengetahui bagaimana seseorang memiliki kecenderungan gangguan idenitas gender
maka peneliti akan mewawancarai subjek mengamati perilakunya. Kemudian peneliti
akan membandingkan temuan data yang didapat dari subjek dengan kriteria
gangguan identitas gender yang termuat dalam DSM-IV-TR. Seorang dengan gangguan
identitas gender biasanya identik dengan homoseksual (meskipun tidak selalu
demikian). Maka peneliti juga perlu mengetahui bagaimana perkembangan orientasi
mereka, apakah mereka memiliki orientasi seksual sejenis atau tidak. 12 C.
Pertanyaan Penelitian Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah, maka
penelitian ini ingin mengungkap fenomena tentang : 1. Bagaimana pengalaman
hidup narapidana dengan kecenderungan gangguan identitas gender ? 2. Bagaimana
orientasi seksual narapidana dengan kecenderungan gangguan identitas gender di
Lapas ? D. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka
penelitian ini bertujuan untuk : 1. Untuk mengetahui pengalaman hidup
narapidana dengan kecenderungan gangguan identitas gender. 2. Untuk mengetahui
orientasi seksual narapidana dengan kecenderungan gangguan identitas gender di
Lapas. E. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagi
berikut : 1. Terhadap Kepentingan Dunia Akademik Hasil penelitian ini
diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam pengembangan dunia pengetahuan,
khususnya di bidang psikologi perkembangan dan psikologi klinis dalam memahami
proses pembentukan identitas gender berdan orientasi seksual. 13 2. Terhadap Kepentingan
Dunia Praktis Bagi subjek penelitian : Peneliti tidak bisa menghakimi atau
menyatakan para subjek benar atau salah. Para subjek penelitian sudah cukup
dewasa untuk membuat keputusan dalam hidupnya. Dan mereka berhak memilih apa
yang terbaik bagi mereka. Namun ada beberapa hal yang harus mereka perhatikan,
seperti orangtua, keluarga, teman-teman, lingkungan, dan masa depan mereka.
Semoga dengan adanya penelitian ini mereka dapat menentukan pilihan hidup yang
jauh lebih baik dari sebelumnya. Peneliti berharap agar para subjek dapat
menjadi pribadi yang jauh lebih baik dan mulia. Bagi Lapas Wanita Klas IIA
Malang : Penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu bahan rujukan bagi
pihak Lapas untuk bisa memahami para narapidana yang memiliki kecenderungan
gangguan identitas gender. Dengan begitu pihak Lapas dapat melakukan intervensi
secara khusus dan serius pada beberapa narapidana yang mengalami kasus serupa
seperti yang dialami oleh para subjek penelitian. F. Keaslian Penelitian
Penelitian ini memiliki kesamaan tema dengan penelitian lainnya, akan tetapi
berbeda dalam tujuan penelitian. Ada beberapa penelitian yang pernah mengungkap
masalah transeksual namun dalam ruang lingkup dan tujuan yang berbeda. Seorang
sarjana psikologi, Erlyn Fertyana melakukan 14 penelitian skripsinya untuk
mengetahui perkembangan identitas peran gender remaja dengan kecenderungan
transeksual. Penelitian lainnya dilakukan oleh Cicilia Pratiwi dalam peneltian
skripsinya menghasilkan sebuah temuan bahwa anak-anak sekolah dasar lebih mudah
mengidentifikasi diri sebagai laki-laki atau perempuan melalui identitas gender
(khususnya melalui permainan) daripada melalui identitas seksual (jenis
kelamin). Penelitian Cicilia ini bertujuan untuk mengetahui pemahaman anak
mengenai pemahaman seksualitas terutama yang berkaitan dengan identitas gender
dan identitas seksual. Setelah mengetahui pemahaman tersebut, maka penelitian
tersebut dapat menjawab keprihatinan dan mengidentifikasi mengapa ada
kecenderungan ganggaun identitas gender. Selanjutnya ada seorang mahasiswi
psikologi bernama Rohmi Hidayati dari Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim Malang yang melakukan penelitian untuk tugas akhir (skripsi) dengan
judul “Struktur Kepribadian Dalam Perspektif Psikoanalisa (Studi Kasus Pada
Lesbian)”. penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui struktur kepribadian
lesbian dalam perspektif psikoanalisa. Hasil penelitiannya tersebut mengisahkan
perjalanan hidup seorang lesbian, tentang bagaimana proses ia menjadi seorang
lesbian. Penelitian ini memiliki persamaan, yakni sama-sama meneliti orientasi
seksual seorang wanita yang homoseksual. Perbedaan antara penelitian yang
dilakukan peneliti dan Rohmi Hidayati terletak variabel penelitian. Jika Rohmi
mencoba untuk meneliti seorang lesbian maka penelitian ini meneliti tentang 15
kehidupan seorang narapidana wanita yang memiliki kecenderungan gangguan
identitas gender yang ternyata memiliki orientasi seksual sejenis. Peneliti
telah menguraikan penelitian-penelitian lain yang sama-sama membahas identitas
gender dan orientasi seksual. Tujuan dari penelitian ini sendiri adalah untuk
mengetahui proses terbentuknya ganggaun identitas gender serta orientasi
seksual dengan cara mewawancarai masing-masing subjek secara langsung. Bebarapa
perlengkapan yang peneliti butuhkan adalah buku catatan, bulpoin, dan buku
harian subjek. 16 Tabel.1.1. Keaslian Penelitian Peneliti No. Peneliti
Terdahulu Judul Penelitian Hasil Penelitian Original Penelitian Peneliti 1.
Erlyn Fertyana, Sarjana Psikologi Universitas Airlangga Surabaya Perkembangan
Identitas Peran Gender Remaja Dengan Kecenderungan Transeksual Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa perkembangan identitas peran gender remaja dengan
kecenderungan transeksual merupakan hasil dari proses belajar sosial, yaitu
melihat, penguatan (pola asuh orangtua), dan pengamatan. Penyebab dari
transeksual atau gangguan identitas gender bukan dari pola suh orang tua, namun
gangguan tersebut telah muncul sejak kanak-kanak. Akan tetapi saat anak mulai
menunjukkan kelainan tersebut orangtua tidak melakukan pencengahan yang
signifikan. 2. Cicilia Pratiwi, Sarjana Psikologi Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta Studi Representasi Sosial Tentang Identitas Gender Dan Identitas
Seksual Anak Usia Sekolah Dasar Di Yogyakarta Pemahaman anak sekolah dasar
mengenai seksualitas yang berkaitan dengan identitas gender dan identitas
seksual masih kurang. Dapat diketahui bahwa subjek penelitian lebih terbuka dan
memahami identitas gender daripada identitas seksual. Subjek penelitian saya
adalah seorang narapidana yang telah dewasa. Penelitian ini mengulas tentang
proses terbentuknya gangguan identitas gender dan orientasi seksual didalam
maupun diluar Lapas. 3. Rohmi Hidayati, Sarjana Psikologi Struktur Kepribadian
Dalam Perspektif Penelitian ini menghasilkan studi tentang pengalaman hidup
seorang Jika penelitian Rohmi mengulas tentang pengalaman hidup seorang
lesbian, 17 Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang Psikoanalisa
(Studi Kasus Pada Lesbian) lesbian, tentang bagaimana orientasi seksual sejenis
dapat terbentuk. Tahap menjadi seorang lesbian diawali dengan tahap
sentisisasi, kebingungan identitas, asumsi identitas, dan komitmen dengan teman
sesama jenis. Maka peneliti mengkaji orientasi seksual sejenis (lesbian)
berdasarkan struktur kepribadian dalam perspektif psikoanalisa. Berdasarkan
hasil penelitian tersebut, bahwa seorang lesbian labih banyak didominasi oleh
id-nya (komponen biologis) yang berprinsip pada kesenangan. kemudian ia
menganalisis struktur kepribadiannya berdasarkan teori psikoanalisa. Maka
penelitian saya mencoba menelusuri pengalaman hidup seorang dengan
kecenderungan gangguan identitas gender. Ternyata semua subjek memiliki
orientasi seksual sejenis (lesbian). Dan gangguan tersebut sudah muncul sejak
masa kanak-kanak tanpa adanya pengalaman traumatis atau pelecehan seksual.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" : :Gangguan identitas gender dan orientasi seksual narapidana di lapas wanita klas IIA Malang.." Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah iniDOWNLOAD
No comments:
Post a Comment