m lingkungan yang kondusif, termasuk bagi individu yang mengalami skizofrenia. Akan tetapi realitanya penderita skizofrenia cenderung disisihkan dan dianggap aib dari lingkungannya. Penolakan terhadap mereka tidak hanya dilakukan oleh masyarakat, bahkan mereka tidak diterima dalam keluarganya sendiri. Sehingga seringkali penerimaan dan perlakuan menyimpang dalam keluarga berkontribusi atas munculnya gejala kelainan penderita.
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana kondisi psikologis keluarga, proses penerimaan keluarga, serta bagaimana dampak dari penerimaan keluarga tersebut. Sedangkan tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui kondisi psikologis keluarga, proses penerimaan keluarga, dan untuk mengetahui dampak dari adanya penerimaan tersebut bagi kesehatan penderita.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, desain studi kasus dengan jenis eksploratif. Pemilihan dan penentuan subjek penelitian dilakukan di Desa Suruh Kecamatan Sukodono Kabupaten Sidoarjo untuk mendapatkan keluarga dengan anggota keluarga skizofrenia, yang terdiri dari tiga subjek penelitian yaitu ayah, ibu, dan saudara penderita. Analisa yang digunakan yaitu dengan analisis eksploratif, sedangkan metode triangulasi digunakan untuk memverifikasi keabsahan data.
Hasil penelitian ditemukan, bahwa saat mengetahui anggota keluarganya mengalami skizofrenia keluarga belum dapat menerima kenyataan dengan respon, kaget, tidak percaya, sedih, prihatin, perasaan bersalah, malu, berduka, marah, tidak berdaya, dan pasrah. Keluarga hanya bisa memberikan dukungan berupa, dukungan emosional, penghargaan, informasi dan kognisi, serta dukungan instrumental bagi penderita. Selain itu, tidak ada program spesifik dalam keluarga untuk merawat penderita, hanya mengikuti anjuran dokter dan perawat. Padahal penanganan perspektif psikologi juga diperlukan dalam keluarga guna mengurangi dampak munculnya kekambuhan. Untuk mencapai penerimaan keluarga yang ideal, maka keluarga harus berupaya melakukan penanganan secara tepat sebagai bentuk perhatian dan kasih sayang, sehingga penderita dapat berkembang lebih baik dan nyaman dalam lingkungannya.
ENGLISH:
All people have right to grow and develop in condusive environment inclusing Schizophrenia suffer. Howerver, it is not always true in the real life. In some places, people with Schizophrenia tend to be discriminalized because they are assumed as a disgrace thing. It even worse when their family also deny their presence. Hence, the deviation act inside the family contribute to another decease.
Here the reseracher try to draw such dynamics situation by combining some scholars opinion and theories that are relevant to this case. Further, this qualitative research utilizes case study of explorative design. This case is held in Suruh village, Sukodono, Sidoarjo. It contains of three subject of the study.
Based on the finding, the researcher found some facts. The family of Schizophrenia suffer feel deeply sad. However, today they can accept such condition. It makes them accostumed to this decease that recently remain happens. In sum, the family are shocking, unbelieve, sad, concerned, feeeling guilty, ashamed, anger, and resignation when they see that their children get Schizophrenia. The family eventually merely able to support them, proud of, and appreciate. Nevertheless, there is no specific treatment in caring those Schizophrenia suffers. Whereas, psychology treatment is very necessitated to encourage their growth and development.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Sampai saat ini dalam pandangan masyarakat,
terdapat stigma “aib” apabila mempunyai keluarga yang menderita skizofrenia.
Skizofrenia merupakan gangguan psikotik yang bersifat kronis atau kambuh yang
ditandai dengan adanya perpecahan (schism) antara pikiran, emosi, dan perilaku
penderita (Kaplan dan Sadock, 2004 : 700). Kebanyakan orang beranggapan bahwa
penyakit mental merupakan satu noda atau merupakan akibat dari dosa-dosa yang
diperbuat manusia, karena itu masyarakat seringkali menanggapi dengan pandangan
dan sikap yang keliru terhadap para penderita mental seperti, rasa takut atau
rasa jijik. Permasalahan yang terjadi pada penderita skizofrenia sangatlah
beragam. Hal tersebut diketahui oleh banyaknya faktor yang diduga dapat
menyebabkan munculnya skizofrenia. Pada penelitian ini, peneliti lebih
menitikberatkan kajian pada dinamika penerimaan keluarga subjek. Pernyataan ini
sesuai dengan pendapat Kaplan dan Sadock (1997 : 705) yang menyatakan bahwa
salah satu faktor penyebab munculnya skizofrenia berasal dari lingkungan
keluarga. Pada dasarnya keluarga mempunyai peran yang sangat penting bagi
perkembangan kepribadian seseorang sejak kecil sampai dewasa. Pernyataan ini
selaras dengan pendapat Lidz, Fleck, dan Cornelison (1965 : 78) yang menyatakan
bahwa keluarga memberikan dasar yang sangat penting dalam 2 proses pembentukan
kepribadian anak, melalui pemberian contoh dan pembelajaran yang terus menerus,
ataupun melalui pola interaksi dengan anggota keluarga lainnya. Oleh karena
itu, segala bentuk komunikasi, karakteristik orang tua, dan situasi di dalam
keluarga akan sangat mempengaruhi perkembangan kepribadian seluruh anggota
keluarga. Selanjutnya, dari lingkungan keluarga inilah anak dipersiapkan untuk
melakukan hubungan sosial dengan orang lain dan berbagai kelompok sosial di
lingkungan masyarakatnya, sehingga keluarga juga berfungsi sebagai lembaga
penyeleksi segenap budaya dari luar dan sebagai mediasi hubungan anak dengan
lingkungannya. Pola hubungan dan pendekatan orang tua dalam pengasuhan anak
tersebut, sangat dipengaruhi oleh kebudayaan setempat (Strong dan De Vault,
1989 : 230). Dalam hal ini, keluarga merupakan unit sosial terkecil yang
menjadi pondasi bagi perkembangan individu. Selain itu, keluarga juga merupakan
modal awal untuk menjadi bekal menjalani kehidupan sosial maupun emosional.
Setiap anggota keluarga memiliki kewajiban untuk memberikan yang terbaik bagi
pemenuhan kebutuhan dan kebahagiaan keluarga, namun adakalanya ditemui anggota
keluarga yang tidak mampu berperan secara optimal sebagaimana dijumpai pada
anggota keluarga yang menderita skizofrenia. Sebagian besar keluarga banyak
memasukkan anggota keluarganya yang mengalami skizofrenia ke Rumah Sakit Jiwa
untuk menjalani perawatan. Selama dirawat, kenyataannya penderita jarang
dikunjungi oleh 3 keluarganya. Hal ini disebabkan keluarga merasa malu
mempunyai anggota keluarga yang menderita skizofrenia. Padahal kunjungan dan
perhatian keluarga sangat diperlukan oleh penderita guna mempercepat
kesembuhannya. Dalam membantu proses penyembuhan penderita, maka dibutuhkan
suatu penanganan dan perawatan yang baik dalam keluarga. Bentuk penanganan
tersebut dapat berupa dukungan, perhatian, dan kasih sayang, sehingga nantinya
dapat membentuk lingkungan keluarga yang nyaman dan positif bagi penderita.
Sebagaimana data yang diperoleh dari lokasi penelitian, lingkungan tempat
tinggal keluarga subjek terletak di salah satu pedesaan di Sidoarjo. Lingkungan
tempat tinggal mereka cukup dekat dengan keramaian, sebab di depan rumahnya
langsung menghadap seberang jalan raya, tempat dimana kendaraan banyak
melintas. Sepintas, rumah subjek terlihat cukup luas dengan bangunan rumah
tempo dulu dan beberapa pohon yang ada di depan rumah, sedangkan di belakang
rumahnya terdapat kandang binatang ternak milik subjek. Kondisi rumah subjek
sangat sepi dan sunyi walaupun di dalam rumah tersebut terdapat beberapa
anggota keluarga yang tinggal. Selain itu, rumah subjek tampak selalu tertutup.
Keluarga subjek penelitian ini termasuk keluarga yang berpendidikan. Ayah
penderita merupakan lulusan perguruan tinggi di Surabaya dan berprofesi sebagai
guru pada salah satu sekolah di Sidoarjo, namun saat ini sudah pensiun. Selama
masa-masa pensiun aktifitasnya hanya bertani, 4 merawat sawah miliknya. Ayah
penderita memiliki aset sawah yang banyak di daerah dekat rumahnya, sehingga
masyarakat sekitar biasanya menyebutnya sebagai “Tuan tanah besar”. Data
tersebut didapatkan dari hasil wawancara dengan ayah penderita pada tanggal 12
Desember 2012, sebagaimana pernyataan berikut ini : “Saya disini terkenal “tuan
tanah besar”, jadi yang mengatakan itu khusus pegawai pajak soalnya di atas
500, jadi pajak saya itu kalo dihitung total mungkin ada 3 jutaan”. (W3.S1.56’)
Sementara ibu penderita hanya lulusan sekolah menengah pertama dan sebagai ibu
rumah tangga. Penderita memiliki dua orang saudara, saudara pertama adalah
perempuan, lulusan sarjana perikanan. Dia telah menikah dan dikaruniai dua
orang anak, sedangkan saudara yang ketiga lulusan sarjana hukum dan berprofesi
sebagai polisi, dia juga telah menikah dan dikaruniai tiga orang anak. Rumah
saudara yang pertama berada persis di samping rumah orang tua, sehingga
terjalin komunikasi yang intensif dan hangat antar keluarga tersebut. Sementara
itu, rumah saudara ketiga berjarak kurang lebih 100 meter dari rumah orang tua.
Hal itu dikarenakan keluarga masih memegang pedoman cukup kental terhadap
hal-hal yang berhubungan dengan tradisi jawa, bahwa anak pertama tidak boleh
berada di tengah-tengah rumah saudara lainnya karena dapat menyebabkan
rezekinya tidak lancar. Berdasarkan stigma tersebut, rumah saudara ketiga
berpisah dari lingkungan rumah saudara yang pertama. Walaupun demikian,
hubungan antar keluarga masih 5 terjalin cukup baik. Sebagaimana hasil
wawancara yang didapatkan pada tanggal 27 Desember 2012 dengan saudara
penderita berikut ini : “Ya deket mbak, itu lo rumah e deket kok. Tiap hari
kesini istrinya sama anaknya, ponaan ya tetep kesini tiap hari ndak ada satu
meter kesana. Dulu itu kan mau dijejer mbak rumahnya sama disana, berhubung
saya tua “katanya yang tua itu gak boleh kejepit ditengah” ya pisah ae kalo
gitu. Biasanya orang jawa begitu nanti rejekinya kejepit gitu mbak, soro. Harus
urut ya, yang tua sampek yang muda gak boleh yang tua di tengah. Soalnya adi
kan tetep ikut orang tua jadi disebelah situ, kalo adik saya itu ditaruk
disebelah sananya lagi itu kan sempit, kurang lebar lah mbak”. (W5.S3.6/12)
Sebagai orang tua yang mempunyai anak skizofrenia, memang mempunyai tanggung
jawab serta peranan penting dalam memberikan pelayanan dan pendidikan bagi
anaknya. Peran tersebut tidak hanya dilakukan oleh seorang ibu saja, ayah-pun
juga ikut berperan dalam mendidik anaknya. Apalagi bagi seorang ayah yang
berprofesi guru, sudah seharusnya menempatkan perannya dalam keluarga, karena
selain membutuhkan pendidikan yang tepat, anak skizofrenia juga membutuhkan
biaya yang besar pada setiap penanganannya. Oleh karena itu, bentuk perhatian
dan penerimaan keluarga sangat dibutuhkan dalam proses penyembuhan penderita
skizofrenia. Sementara itu, program mengenai kesehatan mental bagi masyarakat
belum mendapatkan tanggapan yang baik. Bahkan adakalanya mendapat tanggapan
negatif yang berwujud prasangka, ketakutan, ketakhayulan, dan anggapan-anggapan
misterius mengenai penyakit mental, yaitu sebagai akibat perbuatan roh-roh atau
dukun-dukun jahat. Para penderita sendiri banyak yang takut dan tidak suka
menjalani pemeriksaan yang dilakukan oleh dokter 6 atau seorang psikolog.
Mereka menjadi marah dam sangat tersinggung jika diperiksa, serta menganggap
bahwa dirinya tidak sakit dan sehat jiwanya (Kartono, 1989 : 25). Sebagaimana
yang dikatakan Maramis, bahwa skizofrenia merupakan salah satu bentuk gangguan
jiwa berat. Dahulu, seseorang yang mengalami skizofrenia sering dianggap karena
kerasukan makhluk halus atau jin. Akibatnya, penderita sering dikucilkan bahkan
dipasung dan diperlakukan tidak manusiawi (Maramis, 1994). Berdasarkan data
yang dikeluarkan World Health Organization (WHO), penderita gangguan psikis
dengan diagnosis skizofrenia telah menjangkiti kurang lebih 24 juta jiwa di
seluruh dunia (WHO, 2010). Mereka juga menyebutkan bahwa dalam kurun waktu
hanya tiga tahun, sejak 2005 hingga 2007, diketahui sedikitnya ada 50.000 orang
Indonesia bunuh diri. Studi tersebut menyebutkan, kemiskinan dan himpitan
ekonomi merupakan penyebab tingginya jumlah orang yang mengakhiri hidupnya
sendiri (Anonim, 2007 dalam www. Kompas.com diakses 24 November 2012). Angka
penderita skizofrenia di negara Amerika Serikat cukup tinggi (life time
prevalance rates) mencapai 1/100 penduduk, hasil temuannya adalah : (1) Setiap
tahun terdapat 300.000 penderita skizofrenia mengalami episode akut, (2)
Prevalensi skizofrenia lebih tinggi dari penyakit alzheimer, multipel skelosis,
penderita diabetes yang memakai insulin, dan penyakit otot (muscular
dystrophy), (3) 20%-50% penderita skizofrenia melakukan percobaan bunuh diri,
dan 10% diantaranya berhasil (mati bunuh diri), (4) 7 angka kematian penderita
skizofrenia 8 kali lebih tinggi dari angka kematian penduduk pada umumnya
(wordpress.com). Skizofrenia bisa menimpa siapa saja, dari berbagai bangsa,
negara, suku, kelompok sosial, ekonomi, maupun budaya. Adapun perjalanan
berkembangnya penyakit tersebut, yaitu melalui fase prodromal, fase aktif dan
fase residual. Jika penderita yang mengalami skizofrenia diketahui sejak dini
dan ditangani dengan baik, maka gangguan ini bisa diatasi. Definisi lain
menyebutkan bahwa skizofrenia merupakan salah satu jenis gangguan psikis yang
paling serius karena dapat menyebabkan menurunnya fungsi manusia dalam
melaksanakan aktivitas kehidupan seharihari seperti, kesulitan dalam merawat
diri sendiri, bekerja atau bersekolah, memenuhi kewajiban peran, dan membangun
hubungan yang dekat dengan seseorang (American Psychiatric Association dalam
Jeste dan Mueser, 2008). Selaras dengan fenomena, penderita skizofrenia di
Indonesia digambarkan pada Konferensi Nasional skizofrenia yang diadakan pada
tanggal 14 hingga 16 Oktober 2010, dalam konferensi tersebut terdapat penyajian
data mengenai penderita skizofrenia, yang mana telah mencapai sekitar 2,5
persen dari total penduduk Indonesia. Menurut Departemen Kesehatan tahun 2007,
jumlah penderita skizofrenia mencapai lebih dari 28 juta orang dengan kategori
gangguan jiwa ringan (nekrotik) mencapai 11,6 persen dari populasi dan 0,46
persen menderita gangguan jiwa berat atau skizofrenia (Jakarta, KOMPAS.com,
diakses Mei 2012). 8 Berdasarkan survei tentang gangguan jiwa di Indonesia
tahun 1995 tercatat sebanyak 44,6 per 1000 penduduk yang menderita gangguan
jiwa berat seperti skizofrenia. Data ini memperlihatkan peningkatan yang cukup
bermakna jika dibandingkan data tahun 1980-an dimana penderita skizofrenia
hanya mencapai 1-2 tiap 1000 penduduk (www.wikipedia.com). Menurut dr. Tun
Kurniasih Bastian, dr.Sp.KJ (K), faktor gaya hidup serta problematikanya yang
berupa tuntutan hidup dan tingginya persaingan, menjadi pemicu banyaknya
penderita gangguan jiwa ringan. Orang yang menderita gangguan jiwa ringan memiliki
ciri sering dilanda kecemasan, gangguan panik, sulit berkonsentrasi, serta
gangguan tidur. Gangguan jiwa ringan bisa membuat seseorang menjadi tidak
produktif dan mengganggu hubungan sosial dengan orang lain. Dia juga
menambahkan, bahwa gangguan jiwa ringan dan berat memiliki definisi klinis yang
berbeda. Jika gangguan jiwa ringan bisa menetap, maka gangguan jiwa kategori
ini tidak akan bergeser menjadi gangguan jiwa berat (Jakarta, KOMPAS.com, Mei
2012). Penyebab skizofrenia menurut penelitian mutakhir yaitu adanya faktor
genetik, virus, auto antibody, serta malnutrisi. Berdasarkan faktor-faktor
tersebut, maka diketahui: (1) Studi terhadap keluarga menyebutkan pada orang
tua 5,6%, saudara kandung 10,1%, anak-anak 12,8%, dan penduduk secara keseluruhan
0,9%. (2) Studi terhadap orang kembar (twin), menyebutkan pada kembar identik
59,20% sedangkan kembar fraternal 15,2%. 9 Penelitian lain menyebutkan bahwa
gangguan pada perkembangan otak janin juga mempunyai peran bagi timbulnya
skizofrenia dikemudian hari. Gangguan ini dapat muncul, misalnya karena
kekurangan gizi, infeksi, trauma, toksin dan kelainan hormonal. Penelitian
mutakhir menyebutkan bahwa meskipun ada gen yang abnormal, skizofrenia tidak
akan muncul kecuali disertai faktor-faktor lainnya yang disebut epigenetik
faktor. Skizofrenia muncul bila terjadi interaksi antara abnormal gen dengan :
(1) virus atau infeksi lain selama kehamilan yang dapat mengganggu perkembangan
otak janin, (2) menurunnya autoimun yang mungkin disebabkan infeksi selama kehamilan,
(3) komplikasi kandungan, dan (4) kekurangan gizi yang cukup berat, terutama
pada trimester kehamilan. Selanjutnya dikemukakan bahwa orang yang sudah
mempunyai faktor epigenetik tersebut, bila mengalami stressor psikososial dalam
kehidupannya, maka risikonya lebih besar untuk menderita skizofrenia dari pada
orang yang tidak ada faktor epigenetik sebelumnya. Meskipun skizofrenia hanya
menjangkiti sedikit bagian dari populasi, namun menurut WHO skizofrenia
merupakan kelainan psikis yang menempati peringkat kedua dalam penyakit yang
menyebabkan beban paling besar setelah penyakit jantung (Murray dan Lopez dalam
Jeste dan Mueser, 2008 : 3). Beban yang ditimbulkan skizofrenia, juga dirasakan
oleh pihak keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan penyakit tersebut.
Hal ini berhubungan dengan survey mengenai orang yang mengalami skizofrenia,
sebagaimana yang dilakukan oleh Torrey. Survey tersebut, 10 mencatat sebanyak
25% dari orang dengan skizofrenia tinggal bersama keluarga, sisanya sebanyak
34% orang dengan skizofrenia hidup sendiri, 18% hidup bersama dalam
penampungan, 8% hidup dalam rumah perawatan, 6% berada di penjara, 5% hidup di
jalanan, dan 5% hidup di rumah sakit (Torrey dalam Nolen-Hoeksema, 2007 : 64).
Meskipun demikian, bukan berarti penderita skizofrenia yang tinggal dengan
keluarga tidak selalu mengindikasikan kondisi terbaik bagi perkembangan gejala
tersebut. Hasil observasi beberapa dekade sebelum menunjukkan bahwa orang
dengan skizofrenia yang keluar dari rumah sakit dan tinggal bersama keluarganya
menunjukkan tingkat kekambuhan gejala skizofrenia yang lebih tinggi
dibandingkan dengan orang skizofrenia yang tinggal sendiri (Jeste dan Mueser,
2008 : 268). Gejala meningkatnya tingkat kekambuhan pada penderita skizofrenia
yang tinggal dengan keluarga, sangat tergantung pada kondisi keluarga yang
merawat anggota keluarga dengan skizofrenia itu sendiri. Beberapa ahli
menyatakan bahwa penerimaan dan perlakuan menyimpang dalam keluarga
berkontribusi atas munculnya gejala kelainan pada penderita. Mueser dan
Gingerich (2006) menyatakan bahwa tanpa adanya pengetahuan yang dimiliki
keluarga (De Vault, 1989 : 230), untuk memperlakukan anggota keluarga dengan
skizofrenia saja akan menjadi tantangan yang membingungkan. Setiap keluarga
memang memiliki masalah, namun hal ini menjadi sesuatu yang umum ditemukan pada
keluarga ketika ada anggota keluarga yang mengidap skizofrenia. Pada keluarga
penderita, 11 menunjukkan tingkat penyimpangan komunikasi dalam perlakuan yang
lebih tinggi daripada keluarga yang tidak memiliki anggota keluarga dengan
skizofrenia (Miklowitz dalam Nevid dkk, 2005 : Singer dan Wynne dalam
Wiramihardja, 2007 : 56). Penyimpangan komunikasi dan perlakuan tersebut,
meliputi gaya komunikasi yang samar-samar, salah persepsi, salah interpretasi,
penggunaan kata-kata yang ganjil, tidak tepat, tidak utuh, kacau dan
terpecah-pecah (Singer dan Wynne dalam Wiramihardja, 2007 : 58). Pada keluarga
yang kurang memiliki kedekatan antar anggotanya, ditandai dengan orang tua yang
tidak responsif terhadap komunikasi yang melibatkan emosi serta pengungkapan
emosinya tumpul, tidak konsisten, dan menentang pengungkapan emosi dalam
membangun tumbuhnya individu yang selalu merasa tidak aman dalam mengungkapkan
emosinya. Selain itu, sikap orang tua tersebut membuat perkembangan kapasitas
pengungkapan emosi dan regulasi terhadap pengalaman emosi individu gagal
(Garbarino dan Abramowitz, 1992 : 130). Selain pada cara orang tua dalam
memperlakukan anak, faktor kemampuan orang tua dalam mengolah emosinya juga
berpengaruh pada kehidupan emosi anak. Orang tua yang tidak mampu membedakan
bagaimana merespon sebuah situasi yang haru, gembira atau takut, akan memiliki
anak yang tidak mampu memahami emosinya. Pola asuh orang tua yang demokratis,
ditunjukkan dengan kepedulian orang tua pada masalah yang dihadapi
anak-anaknya. Serta bentuk dari 12 penyelesaian masalah keluarga dengan kepala
dingin dan penghargaan terhadap peran anak pada keluarga mendukung terbentuknya
individu yang mampu mengeksplorasi emosinya. Sebaliknya pola asuh orang tua
yang represif dan otoriter akan membangun pengalaman traumatik pada individu.
Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa trauma pada individu merupakan
pencetus individu sehingga menjadi individu yang tidak memahami emosi mereka
sendiri. Hodgins (2000) melalui studi longitudinal, menemukan bahwa terdapat
keterkaitan antara trauma yang dialami individu dengan keterbatasan kosa kata
emosi dan rendahnya pemahaman terhadap emosi. Masalah trauma anak pada keluarga
yang berkaitan dengan rendahnya pemahaman emosi juga dibuktikan oleh penelitian
Mallinkrodt dan Coble (1998 : 908). Hasil penelitian ini juga sejajar dengan
hasil penelitian Rime dan Zech (2001), bahwa kepedulian dan penerimaan orang
tua berpengaruh terhadap pengungkapan emosi anak, karena orang tua merupakan
sasaran awal pengungkapan emosi pada waktu anak-anak. mereka mengatakan bahwa
pada masa anak-anak orang tua menjadi target yang biasa (natural target) bagi
anak untuk mengungkapkan emosinya. Reaksi orang tua yang berupa penolakan atau
penerimaan atas pengungkapan emosi tersebut merupakan landasan yang digunakan
anak untuk menilai apakah pengungkapan emosi yang mereka lakukan adalah baik
atau buruk. Peneliti pada Medical Research Council’s Social Psychiatry Unit di
London mengadakan penelitian yang hasilnya menyimpulkan bahwa 13 penderita yang
tinggal bersama keluarga yang penuh kritik atau menggunakan kalimat yang
berbelit-belit ketika berkomunikasi lebih sering kambuh (Kuipers dkk, 2002
dalam Teddi : 47). Keluarga yang menggunakan komunikasi yang menyimpang
terhadap anggota keluarga skizofrenia dapat mengganggu kemajuan proses
penyembuhan penderita dan berhubungan dengan munculnya kekambuhan pada
penderita skizofrenia (Fawcett, 1993 dalam Kikuchi, 1999 : 625). Hal ini
menjawab pertanyaan mengapa frekuensi gejala kelainan orang dengan skizofrenia
yang tinggal dengan keluarga meningkat seperti yang telah disebutkan
sebelumnya, karena keluarga menggunakan gaya komunikasi menyimpang untuk
berkomunikasi dengan anggota keluarga yang menderita skizofrenia dapat
meningkatkan stress, sehingga dapat meningkatkan frekuensi timbulnya gejala
kelainan skizofrenia (Nevid dkk, 2005 : Mueser dan Gingerich, 2006 : Veague,
2007 : Fawcett, 1993 : 78). Terdapat beberapa penelitian dalam negeri tentang
skizofrenia dan keluarga, seperti penelitian yang dilakukan oleh Nur laily
Mauludatin tentang bentuk penerimaan keluarga terhadap skizofrenia di Desa
Penggulu Kecamatan Sidayu Gresik. Dalam penelitiannya ditemukan kesimpulan
bahwa keluarga menerima anggota keluarga yang menderita skizofrenia dengan
baik. Disamping itu, terdapat juga penelitian yang dilakukan oleh Hendy Purwo
Prabowo, mengenai interaksi keluarga terhadap remaja penderita skizofrenia
dengan tinjauan budaya jawa, dihasilkan kesimpulan bahwa 14 adanya interaksi
yang kurang baik antara penderita skizofrenia dengan lingkungan dan
keluarganya. Perbedaan besar penelitian ini dengan penelitian terdahulu, yaitu
penelitian ini menitik beratkan pada proses penerimaan keluarga terhadap
anggota keluarga skizofrenia, dimulai dari bentuk penerimaan awal keluarga
sampai bagaimana penerimaan keadaan penderita dan keadaan keluarga saat ini,
karena penyakit ini masih dianggap “Aib” yang besar bagi keluarga, sehingga
dalam penelitian ini akan digambarkan dinamika kondisi psikologis penerimaan
keluarga terhadap penderita, serta kelangsungan penerimaan itu sampai sekarang.
Berdasarkan data yang diperoleh peneliti menjadi semakin tertarik untuk
meneliti kasus skizofrenia. Oleh karena itu, penting dilakukan sebuah penelitian
kualitatif pada contoh kasus yang diititik beratkan pada dinamika penerimaan
keluarga terhadap penderita skizofrenia. Penelitian ini akan lebih banyak
dilakukan di lingkungan rumah subjek, untuk mengetahui lebih mendalam tentang
keadaan dan kebiasaan yang ada di keluarga tersebut. Penelitian ini penting
karena belum ada penelitian sebelumnya yang membahas secara jelas dan tegas
tentang kasus skizofrenia, khususnya menyentuh pada kajian klinis dan
psikososial. Beberapa penelitian tentang skizofrenia yang menjadi bahan rujukan
peneliti (Arif, Marlise, 2004 : 102 dan Rakhmawati, 2005), hanya membahas
secara terbatas tentang latar belakang keluarga dan dinamika psikologis
subjeknya saja tanpa membahas lingkup penerimaan keluarga yang melatarinya. 15
Penelitian ini dilakukan tidaklah sekedar didasari oleh pemikiran sempit, yang
bersifat “Menyalahkan” dan memberi stigma terhadap suatu keluarga. Melalui
penelitian ini, peneliti ingin mengemukakan wacana tentang berbagai fakta yang
telah terjadi dalam sebuah keluarga, agar masyarakat menyadari tentang apa yang
sedang dihadapi dan kemudian melakukan serangkaian penataan ulang guna mencapai
perbaikan dibidang kesehatan mental di lingkunganya. Dalam penelitian ini,
peneliti menggunakan pendekatan yang bersifat kualitatif eksploratif untuk
mendapatkan suatu data secara mendetail berupa kata-kata dan beberapa perilaku
yang diamati dan didapatkan secara utuh. Selain itu, dalam penelitian
kualitatif tidak terlepas dari hal-hal yang berhubungan dengan individu yang
diteliti dan segala sesuatu yang berhubungan dengan individu. Hal yang
berhubungan dengan individu dapat berupa adat istiadat, bahasa, serta berbagai
istilah–istilah yang mungkin ada pada individu serta menjadi ciri khas bagi
individu tersebut. Berdasarkan fenomena diatas, maka peneliti tertarik untuk
meneliti “Dinamika Penerimaan Keluarga terhadap Penderita skizofrenia, Studi
Kasus di Desa Suruh Kecamatan Sukodono Kabupaten Sidoarjo”, dengan menggali
bagaimana proses penerimaan keluarga penderita skizofrenia yang pada awalnya
belum dapat menerima sampai akhirnya menerima keadaan penderita tersebut,
kemudian informasi yang sudah lengkap dari lapangan penelitian, akan memudahkan
peneliti dalam 16 menganalisis kasus. Pada akhirnya, semua permasalahan
penelitian dapat terjawab secara rinci dan sistematis. B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah disebutkan, maka peneliti
membuat kajian penelitian ini dengan beberapa rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana kondisi psikologis keluarga yang memiliki anggota keluarga
skizofrenia ? 2. Bagaimana proses penerimaan keluarga pada anggota keluarga
yang mengalami skizofrenia ? 3. Bagaimana dampak penerimaan keluarga bagi
penderita skizofrenia ? C. Fokus Penelitian Berdasarkan rumusan masalah tersebut,
maka dibuat fokus penelitian untuk mengspesifikasikan rumusan masalah yang
telah disebutkan. Penelitian ini berfokus pada kajian proses penerimaan
keluarga terhadap anggota keluarga yang menderita skizofrenia, dimulai dengan
perubahan kondisi penderita, adanya respon, dukungan serta program penerimaan
itu sendiri. Proses-proses tersebut, akan menunjukkan dampak yang spesifik bagi
kesehatan penderita dengan model penerimaan dalam keluarga tersebut, sehingga
nantinya penelitian ini akan menggambarkan suatu dinamika penerimaan keluarga
terhadap penderita skizofrenia. 17 D. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan
masalah diatas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1.
Untuk mengetahui kondisi psikologis keluarga yang memiliki anggota keluarga
skizofrenia. 2. Untuk mengetahui proses tahapan penerimaan keluarga pada
anggota keluarga yang mengalami skizofrenia. 3. Untuk mengetahui dampak
penerimaan keluarga bagi penderita skizofrenia. E. Manfaat Penelitian
Berdasarkan latar belakang hingga tujuan penelitian, maka diharapkan penelitian
ini dapat memberikan manfaat secara kolektif, baik manfaat teoritis maupun
praktis. Manfaat tersebut adalah : 1. Manfaat Teoritis Manfaat yang diharapkan
dari hasil penelitian ini secara teoritis adalah untuk memperkaya khazanah
keilmuan khususnya pada bidang psikologi. Serta hasil penelitian ini dapat
menjadi acuan oleh kalangan akademik dalam pengembangan keilmuan lain pada
umumnya. 2. Manfaat Praktis Adapun manfaat praktis dari penelitian ini bagi
peneliti, institusi, dan masyarakat luas, antara lain : 18 a. Peneliti
Penelitian ini tentunya sangat berguna bagi peneliti sebagai media pengembangan
diri serta dapat memperluas ilmu pengetahuan baik secara teori maupun praktik
pendidikan ilmu psikologi sesuai dengan disiplin yang peneliti tekuni. b.
Keluarga Subjek Penelitian Memberikan sumbangan saran kepada keluarga subjek
penelitian, untuk melakukan serangkaian penyesuaian ulang dalam memahami antar
anggota keluarganya. Terutama dalam hal penerimaan keluarga bagi penderita
skizofrenia untuk mengembalikan keberfungsian diri subjek yang mengalami
skizofrenia dan mencegah terjadinya kekambuhan. c. Institusi Hasil penelitian
ini dapat dijadikan sebagai bahan informasi bagi pemerhati kajian psikologi
serta praktisi dan civitas akademik pendidikan yang ada pada lingkungan UIN
Maulana Malik Ibrahim Malang dan sebagai acuan atau bahan dasar bagi peneliti
lain yang akan mengadakan penelitian lebih lanjut. d. Masyarakat Luas
Berdasarkan hasil temuan, penelitian ini dapat dijadikan sebagai wacana dalam
meningkatkan pemahaman tentang skizofrenia yang lebih baik serta sebagai bahan
referensi bagi masyarakat luas khususnya keluarga penderita skizofrenia.
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment