Abstract
INDONESIA:
Permasalahan terbesar yang dihadapi remaja adalah masalah yang berkaitan dengan prestasi, baik akademis maupun non akademis. Berbicara tentang prestasi, tidak terlepas dari adanya suatu dorongan yang menyebabkan timbulnya suatu prestasi baik akademis maupun non akademis, yaitu motivasi berprestasi. Salah satu masalah prestasi khususnya tentang motivasi berprestasi remaja adalah disebabkan antara lain oleh hubungan dengan orangtua. Dalam mengasuh anaknya, orangtua dipengaruhi oleh budaya yang ada di lingkungannya. Disamping itu, orangtua juga diwarnai oleh sikap-sikap tertentu dalam memelihara, membimbing, dan mengarahkan putra-putrinya. Sikap tersebut tercermin dalam pola pengasuhan tertentu. Salah satu pola asuh yang dipengaruhi oleh budaya adalah keotoriteran pola asuh orangtua yang dikembangkan oleh para orangtua di Depok Jawa Barat. Orangtua selalu menuntut kepatuhan anak sehingga anak tidak dapat bebas berbuat sesuatu sesuai dengan keinginan dan kemampuan sendiri.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara persepsi keotoriteran pola asuh orangtua dengan motivasi berprestasi pada siswa.
Rancangan penelitian ini menggunakan penelitian kuantitatif untuk mengukur hubungan antara variabel persepsi keotoriteran pola asuh orangtuadan motivasi berprestasi. Variabel persepsi terhadap pola suh otoriter akan diukur dengan skala persepsi terhadap pola asuh otorite dan varibel motivasi berprestasi diukur dengan skala motivasi berprestasi. Subjek pada penelitian ini seluruh siswa SMP Arrahman, Kota Depok, Jawa Barat yang berjumlah 168 orang. Teknik Analisis data yang digunakan adalah analisis statistik parametrik, yakni analisis korelasi product moment dari Pearson.
Hasil analisis statistik menunjukkan korelasi variabel persepsi terhadap keotoriteran pola asuh orangtuadengan motivasi berprestasi pada siswa memiliki nilai signifikasi p= 0,000, dan rh it (0,716) > rtabel (0,148). Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi terhadap keotoriteran pola asuh orangtuadengan motivasi berprestasi belajar siswa. Dalam hal ini, semakin positif persepsi remaja awal terhadap pola asuh orangtua otoriter maka semakin rendah motivasi berprestasinya.
ENGLISH:
The biggest problem faced by adolescents is a problem related to achievement , both academic and non-academic. Speaking of achievements, not in spite of the existence of an impulse that causes an achievement both academic and non- academic, namely achievement motivation. One issue in particular achievement of adolescents achievement motivation is caused partly by the relationship with the parent. In raising children, parents are influenced by the culture that exists in the environment. In addition, parents also characterized by certain attitudes in nurturing, guiding, and directing their children. The attitude reflected in certain parenting. One of the parenting culture is influenced by authoritarian parenting parents developed by parents in Depok, West Java. Parents always demanded obedience child so that the child can not be free to do things according to their own wishes and abilities.
This study aims to determine the relationship between perceptions of authoritarian parenting attitudes of parents with achievement motivation in students.
The design of this study used a quantitative research to measure the perceptions of the relationship between variables authoritarian parenting attitudes of parents and achievement motivation. Variable perceptions of authoritarian enemy patterns will be measured with a scale perception of authoritarian parenting and achievement motivation variable is measured by achievement motivation scale. Subjects in this study Arrahman entire junior high school students, Depok, West Java, which amounts to 168 people. The data analysis technique used is the parametric statistical analysis, the analysis of the Pearson product moment correlation.
Statistical analysis showed a correlation variable perceptions of authoritarian parenting parents on student achievement motivation has significant value p = 0.000, and rh it (0.716) > rtabel (0.148). It can be concluded that there is a significant relationship between perceptions of authoritarian parenting parents with students' learning achievement motivation. In this case, the positive perception of the early adolescent parenting authoritarian parents, the lower the motivation of underachievement.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Permasalahan terbesar yang dihadapi siswa
adalah masalah yang berkaitan dengan prestasi, baik akademis maupun non akademis.
Hasil diskusi kelompok terarah yang ditujukan untuk menggali informasi lebih
dalam menunjukkan bahwa permasalahan prestasi tersebut disebabkan oleh hal-hal
yang berkaitan dengan masalah psikologis seperti sukar berkonsentrasi, kurang
percaya diri, dan masalah-masalah sosial seperti susah bergaul dengan teman dan
guru, serta konflik dengan orangtua (Afiatin dkk., 1994). Basri (1996)
mengemukakan bahwa permasalahan siswa antara lain mengelola dorongan seks,
pekerjaan, hubungan dengan orangtua, pergaulan sosial, interaksi kebudayaan,
emosi, perkembangan kepribadian dan sosial, problema sosial, penggunaan waktu
luang, keuangan, kesehatan, dan agama. Berbicara tentang prestasi, tidak
terlepas dari adanya suatu dorongan yang menyebabkan timbulnya suatu prestasi
baik akademis maupun non akademis, yaitu motivasi berprestasi. Menurut Mc
Clelland (1987) motivasi berprestasi adalah suatu pikiran yang berhubungan
dengan bagaimana melakukan sesuatu dengan sebaik-baiknya bila dibandingkan
dengan apa yang telah dilakukan sebelumnya dan lebih efesien dengan hasil
maksimal. Mc Clelland mengemukakan bahwa motivasi berprestasi individu dapat
dipandang sebagai indikator kekuatan motivasi 2 keberhasilan atau prestasi.
Masrun, dkk (1989) menambahkan bahwa siswa yang memilki motivasi berprestasi
tinggi biasanya mempunyai kepercayaan diri yang tinggi, tidak suka
membuang-buang waktu, mencari teman-teman kerja atas dasar kemampuan bukan
emosional, memiliki aktivitas sosial yang menonjol dan mempersepsikan sukses
karena usaha dan gagal karena usaha. Salah satu masalah prestasi khususnya
tentang motivasi berprestasi siswa adalah disebabkan antara lain oleh hubungan
dengan orangtua. Hubungan anak dan orangtua merupakan hubungan yang lama dan
berkesinambungan, sehingga diharapkan hubungan yang muncul adalah hubungan yang
positif sehinga anak akan mempersepsikan hubungan tersebut secara positif pula.
Sesuai dengan pendapat Radke (dalam Mussen, 1994) yang mengatakan bahwa salah
satu cara terbaik untuk mengetahui pola asuh orangtua adalah melalui penilaian
atau persepsi anak terhadap kebiasaan-kebiasaan dan sikap orangtua dalam
mengasuh dirinya yaitu sebagai individu yang mengasuh secara langsung. Bryan
dkk., (1997) dalam penelitiannya menemukan bahwa hubungan antara orangtua dan
siswa adalah menjembatani, mendamaikan, salah satu efek konflik interparental
pada masalah internalisasi remaja, eksternalisasi masalah dan kompetensi
kognitif. Hal tersebut juga ditunjukkan bahwa tingkat-tingkat konflik orangtua
berhubungan negatif dengan laporan siswa mengenai bantuan dari orangtua atas
otonomi dan bagian yang diberikan oleh orangtua untuk dukungan emosional, dan
secara positif dengan laporan 3 atas pengaruh negatif dalam interaksi dengan
orangtua, hal ini mengindikasikan bahwa konflik interparental dapat mendorong
anak usai siswa kearah pemutusan secara emosional dari orangtuanya, berakibat
pada perpecahan tanpa jalinan hubungan. Harapan dan tuntutan orangtua
sehubungan dengan prestasi lebih mungkin menaikkan motivasi berprestasi anak
apabila orangtua juga membuat perilaku yang matang dan perlu disesuiakan dengan
tingkat perkembangan anak. Sama halnya seperti pencapaian anak dan harapan
keberhasilan merupakan unsur penting dari motivasi berprestasi, begitu pula
nilai dan harapan orangtua berpengaruh pada anak. Bagi remaja, motivasi
berprestasi sangat diperlukan karena itu siswa mengharapkan pola asuh orangtua
yang tidak terlalu mengekang, sehingga membuat siswa takut kepada orangtuanya
dan membuat siswa terhambat dalam bersosialisasi dengan lingkungan. Untuk
meningkatkan motivasi berprestasi siswa dapat diperoleh selain dari orangtua,
siswa juga dapat memperoleh dukungan-dukungan positif dari lingkungan sosial
yang lebih luas. Siswa mengharap orangtuanya dapat bertindak yang bertujuan
membantu agar dapat menyelesaikan tugas pendidikan khususnya. Dukungan dan
kontrol yang diperlukan siswa adalah yang mengarahkan atau menjuruskan kegiatan
pencapaian suatu sasaran untuk berprestasi tertentu. Akan tetapi, orangtua
sering berpendapat bahwa siswa nya tanpa bersosialisasi juga dapat memperoleh
kontrol dan dukungan untuk meningkatkan motivasi berprestasi dari orangtuanya
dan keluarganya, 4 justru hal inilah yang sangat bertentangan dengan kebutuhan
siswa , karena bagi siswa khususnya, motivasi yang tinggi dapat diperoleh dari
lingkungan dimana siswa bersosialisasi. Masa SMP adalah masa remaja yang
ditandai dengan adanya permulaan suatu kecenderungan penurunan prestasi dan
motivasi di sekolah, sebagaimana yang dikatakan Anderman dan Maehr (dalam Ryan,
2001). Hal negatif ini terjadi pada banyak anak siswa yang sudah menjadi
perhatian pendidik dan psikolog dalam kurun waktu yang lama. Beberapa peneliti
sudah mengusulkan bahwa kemunduran seperti ini menjadi hasil dari perjuangan
keras yang merupakan perubahan pada masa siswa dalam proses pengembangan diri.
Teori terbaru yang sudah menekankan konteks dimana perubahan dalam perkembangan
ini membentang seperti kritis pemahaman perubahan selama hidup. Suatu konteks
bahwa sekolah dan kelas adalah faktor penyebab tumbuhnya motivasi berprestasi
yang muncul dari hubungan siswa untuk bersosialisasi. Masa remaja merupakan
masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Pada masa ini siswa
melakukan pencarian dan penjelajahan identitas diri. Ketidakjelasan posisi ini
menyebabkan siswa harus pandai memposisikan diri, sebab masa peralihan ini
rawan dengan pengaruh-pengaruh dari luar. Untuk itulah peran orang tua memiliki
andil yang cukup besar dalam proses pencarian dan penjelajahan identitas diri
siswa tersebut. Sementara itu banyak orangtua yang memiliki anak berusia siswa
merasakan bahwa usia siswa adalah waktu yang sulit. Banyak 5 konflik yang
dihadapi oleh orangtua dan siswa itu sendiri. Banyak orangtua yang tetap
menganggap anak siswa masih perlu dilindungi dengan ketat. Sebaliknya, bagi
remaja, tuntutan internal membawa siswa pada keinginan untuk mencari jati diri
yang mandiri dari pengaruh orang tua. Keduanya memiliki kesamaan yang jelas,
siswa adalah waktu yang kritis sebelum menghadapi hidup sebagai orang dewasa. Masa
remaja adalah suatu stadium dalam siklus perkembangan anak. Rentang usia siswa
dalam usia 12 sampai 15 (Syaiful, 2002), sedangkan masa sebelum siswa disebut
masa “ambang pintu masa remaja”, atau sering disebut sebagai periode pubertas.
Pubertas jelas berbeda dengan masa remaja, meskipun bertumpang tindih dengan
masa remaja. Di Indonesia masa siswa biasanya mereka yang tengah menempuh
pendidikan di Sekolah Menengah Pertama (SMP). Masa siswa dapat dipandang dari
sudut pembebasan kehendak dan kontra kehendak dan menuju terbentuknya
kepribadian yang mandiri yang mampu menentukan self -nya sendiri. Supaya anak
dapat menjalankan perkembangan sosialnya dengan baik, orangtua harus dapat
menyikapi adanya kondisi yang mengundang dan mendorong siswa untuk memiliki dan
mengembangkan nilai dasar. Kesiapan untuk memahami dan mengerti motivasi
berprestasi terjadi karena kemampuan orangtua dalam menciptakan suasana
keluarga yang sarat dengan rasa kebersamaan, keakraban, kedekatan, komunikasi,
sambung rasa dengan anak, keteladanan, sikap terbuka, serta kesatuan dalam
melaksanakan nilai moral dalam kehidupan keseharian keluarga. 6 Orangtua
mempunyai berbagai macam fungsi yang salah satu diantaranya ialah mengasuh
putra-putrinya. Dalam mengasuh anaknya, orangtua dipengaruhi oleh budaya yang
ada di lingkungannya. Disamping itu, orangtua juga diwarnai oleh sikap-sikap
tertentu dalam memelihara, membimbing, dan mengarahkan putra-putrinya. Sikap
tersebut tercermin dalam pola pengasuhan tertentu. Salah satu pola asuh yang
dipengaruhi oleh budaya adalah keotoriteran pola asuh orangtua yang
dikembangkan oleh para orangtua di Depok Jawa Barat. Berdasarkan wawancara dan
observasi yang dilakukan terhadap beberapa anak di SMP Arrahman Depok Jawa
Barat, ditemukan bahwa orangtua terlalu mengkhawatirkan anak apabila anak sudah
mulai keluar rumah. Akibatnya anak tidak bebas melakukan aktivitasnya. Hal ini
diunjukkan melalui beberapa perilaku diantaranya melarang anak keluar rumah
meskipun untuk belajar kelompok. Di Depok Jawa Barat, berdasarkan hasil
observasi dan wawancara penulis juga ditemukan, karena kekhawatiran orangtua
yang terlalu berlebihan terhadap aktivitas anak di luar rumah, anak belajar
kelompokpun diantar dan ditunggu sampai anak selesai belajar. Orantua jarang
mengizinkan anak keluar rumah meskipun untuk belajar bersama teman-temannya.
Orang tua juga selalu mengontrol setiap pekerjaan yang dilakukan anak. Di rumah
anak diberi banyak pekerjaan rumah tangga, sehingga anak tidak bisa bebas
melakukan aktivitas di luar rumah yang mendukung kemajuan belajarnya karena
terikat dengan pekerjaan rumah. 7 Apabila anak pulang terlambat, orang tua
tanpa menanyakan alasannya terlebih dahulu, langsung memarahi anak. Anak-anak
berpendapat, dengan pola asuh yang dikembangkan orangtua, siswa beranggapan
orangtua tidak mau mengerti masalah-masalah yang dihadapi dan tidak memahami
kebutuhan-kebutuhan siswa untuk berteman dan bersosialisasi dengan teman
sebaya. Orang tua yang cenderung otoriter, sebagaimana yang diungkapkan Hurlock
(1978) mempunyai ciri-ciri sikap yang kaku dan menetapkan disiplin yang ketat.
Orangtua selalu menuntut kepatuhan anak sehingga anak tidak dapat bebas berbuat
sesuatu sesuai dengan keinginan dan kemampuan sendiri. Apabila anak melanggar
kemauan dan peraturan orangtua, anak akan mendapat hukuman fisik atau celaan,
sehingga siswa merasa dikekang untuk melakukan suatu keinginan dalam
perkembangan dirinya dan motivasi sosial. Pada orangtua yang menetapkan
keotoriteran pola asuh orangtua mempunyai ciri kaku, tegas, suka menghukum, kurang
kasih sayang serta kurang simpatik (Stewart dan Koch, 1983). Hal ini berdampak
pada anak remaja, seperti hasil penelitian yang ditemukan oleh Lewin dkk.,
(dalam Gerungan, 1987) dan diteruskan oleh Meuler (Gerungan, 1987), ditemukan
hasil bahwa anak-anak yang diasuh oleh orangtua otoriter banyak menunjukkan
ciri-ciri adanya sikap menunggu dan menyerah segalagalanya pada pengasuhnya.
Watson (1967), mengatakan bahwa disamping sikap menunggu itu terdapat juga
ciri-ciri keagresifan, kecemasan, dan mudah putus asa, dan terhambat dalam
motivasi berprestasinya. Baldin 8 (dalam Gerungan, 1987) menemukan dalam
penelitiannya dengan membandingkan keluarga yang berpola demokratis dengan yang
otoriter dalam mengasuh anaknya, bahwa asuhan dari orangtua demokratis menimbulkan
ciri-ciri berinisiatif, berani, giat, dan lebih bertujuan. Sebaliknya, semakin
otoriter orangtuanya makin berkurang ketidaktaatan, anak bersikap menunggu,
tidak dapat merencanakan sesuatu, daya tahan kurang, dan menunjukkan ciri-ciri
takut. Jadi setiap pola asuh orangtua akan berpengaruh terhadap anak asuhnya
dalam perilaku tertentu, misalnya menurunnya motivasi berprestasi. Siswa yang
diasuh oleh orangtua otoriter kurang memiliki kesempatan dalam meningkatkan
motivasi berprestasi, karena orang tua sering melarang anak siswa untuk keluar
rumah pada waktu tertentu walaupun dengan alasan belajar kelompok ke rumah
temannya. Padahal si siswa merasa kurang dalam menyerap mata pelajaran yang
telah diajarkan oleh guru-guru di sekolah dan tidak bisa mengerjakan pekerjaan
rumahnya sendiri, sehingga praktis anak mengerjakan PR-nya di sekolah dengan
cara datang lebih awal ke sekolah. Namun hal ini tidak menyelesaikan masalah,
bahkan sering siswa itu dikucilkan karena tidak termasuk dalam kelompok belajar
sehingga otomatis prestasi mereka menurun. Hurlock (1998) mengatakan bahwa
seringkali orangtua tidak memperbaiki konsep tentang perkembangan psikososial
yang dibutuhkan remaja, sehingga orangtua masih memperlakukan siswa seperti
ketika 9 anak-anak yang selalu harus mematuhi peraturan yang dibuat dengan
persetujuan orangtua dan si anak harus mengikutinya. Meskipun ada banyak sumber
pertentangan antara siswa dan anggota-anggota keluarga, tetapi ada sifat-sifat
tertentu dalam hubungan keluarga yang baik bagi remaja. Anak yang sudah siswa
lebih mementingkan hubungan dengan teman sebaya dari pada keluarganya. Hal
tersebut juga sejalan dengan perubahan budaya dan sebagian disebabkan karena
kenyataan bahwa siswa sekarang memiliki banyak kesempatan untuk berpendidikan.
Hasil penelitian Suparman (2000) yang berjudul Konsep Diri, Motivasi
Berprestasi dan Prestasi Belajar Siswa yang diasuh di Panti Sosial Anak Sistem
Asrama dan Sistem Keluarga, menunjukkan bahwa konsep diri dan motivasi
berprestasi terhadap prestasi belajar siswa yang diasuh di panti asuhan sistem
keluarga lebih tinggi daripada motivasi berprestasi terhadap prestasi belajar
siswa yang diasuh di panti sosial asuhan sistem asrama, sehingga dapat
membuktikan ada perbedaan diantara kedua sistem tersebut. Menurut penelitian
Blok dkk., di Belanda pada tahun 1979 (dalam Mussen, 1994), pengamatan langsung
terhadap orangtua dengan anak membantu dalam menguraikan pemahaman dalam
mengerjakan bermacam-macam tugas di rumah. Anak-anak tersebut dipilih untuk
menggambarkan motivasi berprestasi yang sangat tinggi dan sangat rendah. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa orangtua dan anak yang mempunyai motivasi
berprestasi tinggi menggunakan lebih banyak 10 bantuan yang tidak spesifik dan
lebih sedikit bantuan yang spesifik ketimbang orangtua dari anak yang mempunyai
motivasi rendah. Dalam keluarga-keluarga Belanda dan dalam satu sampel lagi
dari keluarga Amerika, orangtua khususnya mungkin memberikan bantuan spesifik
kepada anak wanita, dan mendorong anak laki-laki untuk memecahkan masalahnya
secara mandiri.Ketiga hasil penelitian di atas menunjukkan adanya pengaruh
keotoriteran pola asuh orangtua terhadap perkembangan siswa dan motivasi
berprestasi pada remaja. Penelitian pertama menekankan pada konsep diri
terhadap motivasi berprestasi, agresivitas remaja. Penelitian ketiga
menunjukkan pengaruh bantuan orangtua terhadap tingkat motivasi berprestasi
pada anak. B . Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang sudah
dikemukakan di atas, penulis mencoba mengajukan permasalahan,yaitu 1. Bagaimana
tingkat persepsi terhadap keotoriteran pola asuh orangtua? 2. Bagaimana tingkat
motivasi berprestasi? 3. Apakah ada hubungan antara persepsi terhadap
keotoriteran pola asuh orangtua dengan motivasi berprestasi? 11 C. Tujuan
Penelitian Sesuai dengan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini
bertujuan untuk : 1. Mengetahui tingkat persepsi terhadap keotoriteran pola
asuh orangtua 2. Mengetahui tingkat motivasi berprestasi 3. Mengetahui hubungan
antara persepsi terhadap keotoriteran pola asuh orangtua dengan motivasi
berprestasi. D. Manfaat Penelitian Manfaat praktis penelitian ini adalah,
diharapkan hasil penelitian ini mampu memberikan masukan bagi orangtua dalam
menerapkan pola asuh ideal dan orangtua lebih mengerti akan kebutuhan untuk
meningkatkan motivasi berprestasi siswa . Secara teoretis hasil penelitian ini
diharapkan mampu memberikan sumbangan ilmu pengetahuan, khususnya dibidang
psikologi perkembangan dan psikologi sosial. 12
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment