Abstract
INDONESIA:
Pemerkosaan adalah hubungan seksual yang dilakukan tanpa kehendak bersama, dipaksakan oleh salah satu pihak. Tidak dipungkiri pemerkosaan merupakan kejadian yang amat traumatis untuk wanita yang menjadi korban. Pandangan bahwa laki-laki memiliki kekuasaan atas diri wanita, dan wanita adalah objek dan pelayan kebutuhan seksual kaum laki-laki semata tidak dapat dibenarkan. Para kaum laki-laki pada umumnya menganggap bahwa pemerkosaan terjadi karena dipicu oleh perempuan, sedangkan para perempuan menganggap bahwa pemerkosaan terjadi karena laki-laki kurang bisa dalam menahan nafsunya. Penelitian ini di dasarkan oleh teori dari Feather dalam jurnalnya Reaction to Penalties for an Offense in Relation to Authoritarianism Values, Perceived Responsibility, Perceived Seriousness and Deservingness. dimana untuk menilai hukuman pelaku pemerkosaan dipengaruhi oleh beberapa factor: a) Penilain tanggung jawab, b) Penilaian hukuman yang pantas dan c) Penilaian tingkat keseriusan kejahatan.
Tujuan dalam penelitian ini adalah; (a) Untuk mengetahui bagaimanakah penilaian laki-laki terhadap hukuman pelaku pemerkosaan, (b) untuk mengetahui bagaimanakah penilaian perempuan terhadap hukuman pelaku pemerkosaan, dan (c) Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan terhadap hukuman pelaku pemerkosaan jika ditinjau dari jenis kelamin.
Penelitian ini menggunakan jenis rancangan deskriptif komparatif. Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa Fakultas Syari’ah dan mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN) Malang angkatan 2005 dan 2006 dengan melibatkan responden sebanyak 197 mahasiswa dengan jumlah mahasiswa laki-laki sebanyak 105 mahasiswa dan mahasiswa perempuan sebanyak 92 mahasiswa. Metode pengumpulan data yang digunakan berupa dokumentasi, observasi dan skala. Dalam penelitian ini digunakan skala diferensi semantic (semantic differential technique). Metode analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif dan uji- t (uji beda).
Dari hasil pengujian hipotesa (uji-t) didapat nilai uji-t (2,2271) lebih besar dari t tabel (0,674), artinya terdapat perbedaan penilaian terhadap hukuman pelaku pemerkosaan jika ditinjau dari jenis kelamin, dengan hasil nilai mean perempuan lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki, dengan perbandingan 77,01 banding 72,77 .
ENGLISH:
Rape is a sexual relationship that done without agreement between both of then, forcing by one of them. That is why, rape is traumatic event for women who get this accident. The view that men have power for women, and women are object of sexual for men are not right. Men think that rape happens because women another word women think that rape happens because men can’t control or save their sexual. This study based on Feather’s theory in this journal: “Reaction to Penalties for an Offense in Relation to Authoritarianism Values, Perceived Responsibility, Perceived Seriousness and Deservingness”, where is testing penalties for offenses of rape is influenced by several factors: a) testing the responsible, b) testing the deserve of penalties, and c) testing the seriousness of offenses.
This study formulates the problem as follows: a) how is testing penalties offenses of rape for men, b) how is testing penalties offenses of rape for women, and c) is there any differences between penalties offenses of rape based on sex.
This study uses descriptive comparative. The writer uses 197 students which 105 men and 92 women in State Islamic University of Malang (UIN). This study uses quantitative method with collecting data from documentation, observation and scale. In this study uses semantic differential scale (Semantic Differential Technique). Analysis data are descriptive analysis and t-test.
As the result of examining hypotheses (test-t), if can be concluded that the value of test-t (2,2271) is higher than t witis (0,674), wich means that there is different view on penalty on the doer of reb if it is based on sex, with mean: female is higher than male, and deviation 77,01:72,77.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Maraknya tindak pemerkosaan yang
dialami kaum perempuan yang diberitakan berbagai media massa akhir-akhir ini
sungguh sangat memprihatinkan. Perempuan seakan tidak henti-hentinya menjadi
korban dan objek seksual kaum laki-laki. Lebih memprihatinkan adalah tindakan
pemerkosaan itu tidak hanya dialami oleh perempuan dewasa dan remaja, tetapi
juga dialami oleh anak perempuan di bawah umur yang seharusnya mendapat
perlindungan dan menikmati masa kanak-kanak dengan penuh keceriaan dan kasih
sayang dari orangtua, keluarga, teman, dan lingkungan sekitar. Pemerkosaan yang
dilakukan oleh dua murid laki-laki (11 tahun) terhadap murid perempuan (13
tahun) di SD swasta di Baturaja, merupakan contoh, bahwa pemerkosaan terhadap
perempuan tidak mengenal batas usia, perempuan dewasa, remaja, anak-anak,
semuanya rentan menjadi korban dari tindak pemerkosaan. (Sriwijaya Post, 1
September 2002). Perbuatan asusila yang tidak dapat dibenarkan baik dari segi
agama, moral, hukum dan kehidupan sosial budaya ini memang perlu diberikan
perhatian khusus dan upaya yang serius bagi penanganannya agar jangan semakin
banyak perempuan yang menjadi hilang masa depannya karena menanggung akibat
dari pemerkosaan ini. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyatakan
pemerkosaan sebagai tindakan kejahatan. Pasal 285 menyatakan: "Barang
siapa dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan memaksa seorang perempuan
yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, diancam karena melakukan pemerkosaan
dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun." Sementara pasal 286
menyatakan: "Barang siapa bersetubuh dengan seorang perempuan yang bukan
istrinya, padahal diketahuinya bahwa perempuan itu dalam keadaan pingsan atau
tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun."
Siapapun orangnya, menjadi korban kejahatan adalah sesuatu hal yang tidak
pernah diinginkannya. Dalam kasus kekerasan seksual (pemerkosaan) seringkali
pelakunya adalah orang yang dekat dengan kehidupan sehari-harinya, dengan kata
lain sebelumnya telah dikenal oleh korban, bahkan mungkin sangat dekat sekali,
atau bisa jadi pelaku adalah salah satu dari anggota keluarganya juga (Rukmini,
2006: 1) Pemerkosaan (rape) adalah perbuatan cabul, melakukan persetubuhan
dengan kekerasan dan paksaan. Pemerkosaan merupakan perbuautan kriminil yang
dikecam oleh masyarakat, dan bisa dituntut dengan hukuman berat. Pemerkosaan
selalu didorong oleh nafsu-nafsu seks yang sangat kuat atau abnormal, dibarengi
emosi-emosi yang tidak dewasa dan tidak adekuat. Biasanya terdapat unsur-unsur
kekejaman dan sifat sadistis (Kartono, 1989: 237). Sistem nilai dan
praktek-praktek dalam masyarakat patriarkhal yang menyebabkan ketidaksetaraan
pola hubungan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki sudah harus dihapuskan.
Pandangan bahwa laki-laki memiliki kekuasaan atas diri perempuan, dan perempuan
adalah objek dan pelayan kebutuhan seksual kaum laki-laki semata tidak dapat
dibenarkan. Agama Islam misalnya, jelas-jelas mengajarkan bahwa kaum laki-laki
harus mampu mengendalikan hawa nafsunya, seperti yang dinyatakan dalam Surat
An-Nur : 33 tÏ% © !$#uρ 3 Ï&Î#ôÒsù ÏΒ ª !$# ãΝåκuÏΖøóム4 ® Lym %n%s3ÏΡ tβρ߉Ågs† Ÿω tÏ% © !$# É#Ï÷ètGó¡uŠø9uρ (
# Zöyz öΝÍκÏù öΝçGôϑÎ=tæ ÷βÎ) öΝèδθç7Ï?%s3sù
öΝä3ãΖ≈yϑ÷ƒr& ôMs3n=tΒ $£ϑÏΒ |=≈tGÅ3ø9$# tβθäótGö6tƒ ÷βÎ) Ï!$tóÎ7ø9$#
’n?tã öΝä3ÏG≈uŠtGsù (#θèδÌõ3è? Ÿωuρ 4 öΝä38s?#u ü“Ï% © !$#
«!$# ÉΑ$¨Β ÏiΒ Νèδθè?#uuρ ω÷èt/ . ÏΒ © !$# ¨ βÎ*sù £ ‘ γδÌõ3ムtΒuρ 4 $u‹÷Ρ ‘ ‰9$# Íο4θuŠptø:$# uÚttã (#θäótGö;tGÏj9 $Y Ψ ÷ ÁptrB tβ÷Šu‘r& ∩⊂⊂∪ ÒΟ‹Ïm§ ‘ Ö‘θàxî £ ÎγÏδ≡tø.Î) Artinya:
“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya,
sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. dan budak-budak yang kamu
miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan
mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada
mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. dan
janganlah kamu paksa budak-budak perempuanmu untuk melakukan pelacuran, sedang
mereka sendiri mengingini kesucian, Karena kamu hendak mencari keuntungan
duniawi. dan barangsiapa yang memaksa mereka, Maka Sesungguhnya Allah adalah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu
(Departemen Agama RI, 2006). Ayat-ayat tersebut jelas mengisyaratkan bahwa perempuan
dan laki-laki memiliki kedudukan yang sama, dan dalam melakukan hubungan
seksual harus didasarkan pada prinsip kesetaraan, saling mengasihi dan
menyayangi, dan tidak saling menyakiti. Apapun alasannya memaksa pihak lain
untuk melakukan hubungan seksual (pemerkosaan), apalagi dilakukan di luar
pernikahan merupakan perbuatan dosa yang tidak dapat dibenarkan secara agama.
Pemerkosaan meliputi kekerasan fisik dan penyiksaan secara mental, maka
peristiwa pemerkosaan sangat merusak kesehatan perempuan, karena menimbulkan
dampak negatife bagi korban dalam hal ini perempuan, diantaranya adalah: a.
Kehamilan yang tidak diinginkan b. Penyakit seksual yang bisa menular (HIV atau
AIDS) c. Cedera fisik, seperti luka memar, luka robek, sayatan atau patah tulang
d. Gangguan kesehatan jiwa, seperti gangguan stress pasca trauma dan depresi
(Patel, 2001: 170). Tidak dipungkiri pemerkosaan merupakan kejadian yang amat
traumatis untuk perempuan yang menjadi korban. Banyak korban pemerkosaan
memerlukan waktu yang lama untuk mengatasi pengalaman ini, dan mungkin ada juga
yang tidak pernah lagi dalam keadaan normal seperti sebelumnya. Jika
pemerkosaan tersebut menimbulkan kehamilan, maka pengalaman traumatis akan
bertambah besar. Mahasiswa fakultas psikologi adalah para calon Psikolog. Salah
satu ciri dari Psikolog yang profesional adalah bahwa psikolog harus memiliki
sifat yang profesional dalam menghadapi setiap permasalahan yang ada dengan
tidak melihat dari satu sudut pandang saja dengan kata lain mempunyai banyak
pertimbangan dan wawasan mengenai fakta, dalam hal ini mahasiswa baik lakilaki
maupun perempuan harus lebih bisa profesional dalam melihat setiap kasus yang
ada khususnya pada kasus pemerkosaan sehingga mempunyai penilaian tersendiri
terhadap hukuman pelaku pemerkosaan. Korban mempunyai tanggung jawab fungsional
dalam terjadinya kejahatan. Selain hal tersebut kita juga harus mengetahui
tentang hubungan si korban dengan si pelaku. Masing-masing bertanggung jawab
fungsional terhadap terjadinya suatu kejahatan yang dihasilkan bersama baik
secara aktif maupun pasif (Soeparman, 2007: 56). Penyebab setiap kejahatan
termasuk kekerasan seksual (pemerkosaan), merupakan hasil interaksi antara
pelaku dan korban. Tanpa bermaksud memberatkan atau menyudutkan korban, pada beberapa
kejahatan kita sering melihat bahwa korban sering juga berperan memicu
terjadinya kejahatan yang menimpanya tersebut. Perannya ini terlepas dari
disadari atau tidak disadari secara langsung maupun tidak langsung. Mahasiswa
Fakultas Syari’ah adalah mahasiswa yang mempelajari ilmu tentang hukum, baik
itu hukum berdasarkan undang-undang maupun berdasarkan hukum Islam, bagi mereka
hukum adalah makanan mereka setiap hari. Sehubungan dengan itu, dalam
menganalisa suatu kasus (khususnya pemerkosaan) mahasiswa Syari’ah baik
laki-laki maupun perempuan akan lebih profesional, sehingga lebih bisa melihat
bagaimana fenomena sebenarnya. Meskipun demikian, masih banyak mahasiswa yang
mengikuti kebenaran yang “palsu” yakni kebenaran yang berdasarkan kebenaran
yang dianut oleh orang banyak, dari hal inilah yang nantinya akan menimbulkan
bias. Hukum memiliki andil dalam konstruksi proses viktimisasi, dengan
orientasi hukum pidana yang sangat terbatas dan tradisional (sampai konsep KUHP
yang baru) persoalan korban menjadi persoalan sepele dan tidak terperhatikan
orientasi hukum selama ini selalu ditujukan kepada penanganan kejahatan untuk
mengubah para pelanggar hukum, tetapi tidak pernah disadari bahwa sebenarnya
terdapat persoalan dalam sistem hukumnya sendiri, Richard Quinney (dalam buku
Rukmini, 2006: 4) mengatakan: “They usually try to solve the crime problem by
changing the law breaker not the legal system. Just recently some
criminologists, realizing that law it self is problematic, have turned to study
the law” Pada harian kompas (18 Oktober 2000) tidak sedikit pula terdapat cara
pandang hakim dan jaksa yang konvesional terdapat korban kejahatan sexual
terutama perempuan, seperti yang diungkapkan oleh jaringan kerja penanganan
kekerasan terhadap perempuan (dalam Rukmini, 2006: 5): “Dalam menangani kasus
pemerkosaan perempuan sebagai kasus kejahatan atas kemanusiaan yang berdampak
serius terhadap masa depan korban, hakim sebaiknya mengubah sikap dan cara
pandangannya. Hakim sepatutnya menjatuhkan hukuman seadil-adilnya sesuai hukum
yang berlaku kepada pelaku, dengan memerhatikan kepentingan korban” Diskursus
mengenai seksualitas dan agresivitas yang didasarkan pada mitos-mitos yang
merugikan perempuan harus dihapuskan. Para ahli, peneliti, LSM, aparat hukum,
organisasi remaja (Karang Taruna), PKK dan media massa dapat bekerja sama
menghilangkan mitos-mitos seperti itu dengan cara mengungkapkan fakta-fakta
yang sesungguhnya kepada masyarakat mengenai penyebab terjadinya pemerkosaan
dan dampaknya terhadap korban. Pelaku pemerkosaan hendaknya dihukum
seberat-beratnya. Namun sering terdengar bahwa hukuman kepada pelaku
pemerkosaan tidak sesuai dengan penderitaan yang ditanggung oleh perempuan Hal
ini menurut pakar hukum Pertomo (2002) terutama disebabkan karena kurang tercerminnya
keadilan gender didalam sistem hukum tentang kejahatan kesusilaan dan kekerasan
terhadap perempuan, dimana pelaku kejahatan cenderung lebih terlindungi
hak-haknya. Dalam al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 58 telah dijelaskan: Artinya:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan
hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha
Melihat” (Departemen Agama RI, 2006).
Apakah kita termasuk mahasiswa yang percaya bahwa pemerkosaan
disebabkan oleh perilaku yang mengundangnya? Banyak mahasiswa, termasuk
petugas professional (pengacara atau hakim) yang menangani dan bekerja di
tengah-tengah pelaku pemerkosaan dan korban-korbannya, mempercayai persepsi
salah (mitos) tentang pemerkosaan, dan mitos-mitos ini umumnya menyalahkan
korban, bukan pelaku pemerkosaan. Misalnya mayoritas mahasiswa laki-laki
Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri (UIN) Malang menganggap bahwa
perempuan juga ikut bertanggung jawab terhadap kejadian pemerkosaan, karena
cara berpakaiannya yang profokatif atau merangsang. Banyak pula mahasiswa
yang berpendapat bahwa perempuan pada umumnya senang dirayu untuk
memberikan imbalan seks (Hutapea, 1995: 117). Dalam al-Qur’an surat AlHujurat
ayat 6 telah dijelaskan:
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" : Perbedaan penilaian terhadap hukuman pelaku pemerkosaan ditinjau dari jenis kelamin." Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah iniDOWNLOAD
No comments:
Post a Comment