Abstract
INDONESIA:
Pada saat siswa yang lulus sekolah dasar dan melanjutkan ke sekolah menengah pertama, maka siswa akan banyak bertemu dan berinteraksi dengan orang-orang yang baru mereka kenal. Namun siswa yang malu atau takut berkenalan dengan orang lain akan kesulitan untuk dapat berinteraksi dengan teman-teman barunya. Hal ini disebabkan adanya kecemasan sosial pada diri siswa. Kecemasan dapat dipengaruhi oleh kekhawatiran, evaluasi diri yang negatif, perasaan diri dan orientasi diri yang negatif. Evaluasi dan perasaan diri yang negatif juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan harga diri yang rendah. Problematika seperti ini juga peneliti temukan di SMP Terpadu Al-Anwar Trenggalek. Dalam studi pendahuluan, peneliti melihat beberapa siswa baru yang mengalami kecemasan jika berinteraksi dengan teman-temannya. Ini kemungkinan merupakan kegagalan dari faktor pembentukan harga diri siswa.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat self esteem pada siswa kelas VII SMP Terpadu Al-Anwar Trenggalek, untuk mengetahui tingkat social anxiety siswa kelas VII SMP Terpadu Al-Anwar Trenggalek, dan untuk mengetahui hubungan antara self esteem dengan social anxiety siswa kelas VII SMP Terpadu Al-Anwar Trenggalek.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif melalui rancangan penelitian korelasional. Self esteem sebagai variabel bebas dan social anxiety sebagai variabel terikat. Responden penelitian ini adalah siswa kelas VII SMP Terpadu Al-Anwar Trenggalek yang berusia 11-13 tahun yang berjumlah 102 siswa. Instrumen pengumpulan data menggunakan dua skala yaitu skala harga diri dan skala kecemasan sosial. Data yang diperoleh dianalis dengan menggunakan metode analisa data korelasi product moment dari Karl Pearson.
Dari hasil analisis data menunjukkan tingkat self esteem sebagian besar berada pada kategori rendah yakni sebanyak 65 siswa (63,72%) sedangkan tingkat social anxiety sebagian besar berada pada kategori tinggi yakni sebanyak 52 siswa (50,98%). Berdasarkan hasil korelasi analisis uji korelasi product moment didapatkan hasil rxy = -0,533 dan p =0,000. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara self esteem dengan social anxiety, artinya semakin tinggi self esteem maka semakin rendah social anxiety, sebaliknya semakin rendah self esteem maka semakin tinggi social anxiety. Adapun sumbangan efektif self esteem dengan social anxiety adalah sebesar 28,4% sehingga masih terdapat sumbangan sebesar 71,6% ditentukan oleh faktor-faktor lain yang tidak diungkap dalam penelitian ini.
ENGLISH:
The student that graduates from elementary school and continues his/her study to junior high school will meet and interact with many new students. However, the student that is shy or afraid to get acquainted with other students will be difficult to interact with his/her new friends. This case is caused of the student’s social anxiety. The anxiety can be influenced by the anxiousness, negative self evaluation, negative self opinion and self orientation. The negative evaluation and self opinion are also the factors that cause low self esteem. This kind of case is also found by the researcher at Junior High School of Terpadu Al- Anwar, Trenggalek. At the previous study, the researcher observes some new students that get anxiousness when they interact with their friends. It can be the failure of formation factor on the student’s self esteem.
The purpose of this research is to know the self esteem level, the social anxiety level, and the relationship between self esteem and social anxiety on 7th grade at Junior High School of Terpadu Al-Anwar, Trenggalek .
This research uses quantitative method through correlation research plan. Self esteem is as free variable and social anxiety is as attached variable. The respondents of this research are 7th grade students on Junior High School of Terpadu Al-Anwar, Trenggalek that attain the age of 11 to 13 years and amount to 102 students. The instruments of data collection use two kinds of scales; they are self esteem scale and social anxiety scale. The data are analyzed using the data analysis method of product moment correlation by Karl Pearson.
The result of data analysis shows that the self esteem level is mostly at low category, that is 65 students (63,72%) whereas the social anxiety level is mostly at the high category, that is 52 students (50,98%). Based on the correlation result of product moment correlation test analysis, getting the result of rxy = -0,533 and p = 0,000. This case shows that there is significant negative relationship between self esteem and social anxiety. It means that the higher the self esteem, the lower the social anxiety. On the contrary, the lower the self esteem, the higher the social anxiety. The effective contribution of self esteem and social anxiety is 28,4%, so there is still contribution amount to 71,6% decided by other factors that have not been revealed in this research.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Masa remaja merupakan segmen kehidupan yang
penting dalam siklus perkembangan siswa. Pada masa remaja berkembang “social
cognition”, yaitu kemampuan memahami orang lain. Kemampuan memahami orang lain
mendorong remaja untuk menjalin hubungan sosial dengan teman sebayanya.
(Solihat, 2011: 1). Hubungan sosial dan peran sosial yang dialami oleh remaja
tidak selamanya dapat diterima dan dilakukan oleh remaja. Banyak remaja yang
tidak dapat menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi, sehingga timbul
berbagai masalah sosial yang dihadapi oleh remaja. Masalah sosial yang seringkali
dialami oleh remaja diantaranya tidak suka dikritik, cemas dalam bersosialisasi
dengan orang lain, tidak punya kepercayaan diri, tidak memiliki etika dalam
bergaul, kurang berminat dalam mengikuti kegiatan-kegiatan sosial, malu
berteman dengan lawan jenis, dan sebagainya. Akibatnya timbul perasaan
terasing, keputusasaan, dan masalah-masalah yang berhubungan dengan
ketidakmampuan remaja dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial.
Interaksi sosial yang baik menjadi solusi dalam menyelesaikan permasalahan
sosial yang dihadapi oleh remaja. Penelitian Hightower (dalam Santrock, 2003:
220) menyatakan hubungan teman sebaya yang harmonis pada masa remaja
berhubungan dengan kesehatan mental yang positif pada usia 2 pertengahan.
Sebaliknya menurut Roff, Sells dan Golden (Prawoto, 2010: 54) hubungan teman
sebaya yang buruk pada masa anak-anak berkaitan dengan berhentinya siswa dari
sekolah dan kenakalan yang terjadi pada masa remaja akhir. Oleh karena itu,
interaksi sosial menjadi sangat penting bagi siswa karena interaksi sosial yang
baik dapat membantu siswa untuk menjalin hubungan sosial yang baik, sehingga
siswa dapat menghindari berbagai pikiran serta perasaan negatif yang dapat
memberikan efek buruk bagi pertumbuhan dan perkembangan siswa menuju dewasa.
Prawoto (2010: 12) dalam penelitiannya terhadap siswa SMA Kelas XI SMA Kristen
Surakarta tahun ajaran 2009/2010 menyatakan bahwasanya terdapat lima aspek
penting yang dimiliki siswa untuk dapat menjalin relasi pertemanan yakni
inisiatif (64,36%), menyangkal pernyataan negatif (80%), pengungkapan diri
(83,46%), dukungan emosional (65,54%) dan manajemen konflik (90%). Lima
kemampuan tersebut membantu siswa dalam berinteraksi sosial secara positif.
Akan tetapi tidak semua siswa dapat menguasai keterampilan dalam menjalin
relasi pertemanan. Siswa yang malu atau takut berkenalan dengan orang lain akan
kesulitan untuk dapat mengambil inisiatif dalam menjalin hubungan pertemanan.
Siswa yang memiliki perasaan-perasaan inferior tidak akan mampu untuk menyangkal
berbagai pernyataan negatif yang datang dari lingkungan sekitar tempat siswa
berinteraksi sosial. Siswa tidak akan mampu mengungkapkan perasaan-perasaan
atau berbagai keinginannya kepada orang lain jika siswa selalu berpikir orang
lain akan memberikan label negatif jika melihat kesalahan dan 3 kekurangan yang
dimiliki seseorang. Inilah salah satu faktor penyebab timbulnya kecemasan
sosial pada remaja yakni penderita kecemasan sosial cenderung memiliki standar
yang tinggi terhadap kehidupan sosial dan prestasi. Remaja yang mengalami
kecemasan sosial terlalu memperhatikan diri sendiri dan berpikiran negatif
terhadap penilaian orang lain pada dirinya. Model kognitif gangguan kecemasan
sosial (Butler, 2008: 83) menunjukkan orang yang mengalami kecemasan sosial tidak
dapat menemukan diri sendiri dalam situasi sosial, perhatian remaja bergeser
sehingga remaja melihat dirinya dari sudut pandang orang lain. Remaja dengan
kecemasan sosial selalu takut melakukan sesuatu dalam situasi sosial karena
selalu berpikir bahwa orang lain akan memperhatikannya dan memberi penilaian
buruk. Adanya kecemasan sosial pada remaja yang menyebabkan ketidakmampuan
untuk menjalin relasi pertemanan dapat berpengaruh terhadap kehidupan sosial
dan akademik remaja di sekolah. Menurut Bandura (dalam Anwar, 2009: 4) bahwa
individu yang mengalami kecemasan menunjukkan ketakutan dan perilaku menghindar
yang sering menganggu performansi dalam kehidupan mereka, begitu pula dalam
situasi akademis. Menurut Hyatt (1993) perasaan cemas akan menyebabkan hambatan
bagi proses belajar seseorang dalam banyak hal (Humanitas, 2004: 61). Kecemasan
sosial tersebut seringkali terjadi pada siswa baru. Siswa mengalami kesulitan
dalam beradaptasi dengan lingkungan sekolah dan seluruh personil sekolah.
Menurut Rettek (1990) bahwa siswa yang baru seringkali dihadapkan pada stress
dan kecemasan yang berlebih (Asadi dkk, 2010: 143). 4 Pada saat siswa
melanjutkan ke sekolah yang baru, maka siswa akan banyak bertemu dengan
orang-orang yang asing, bertemu dengan teman-teman dan guruguru yang baru. Ada
yang cepat bisa berinteraksi dan akrab dengan temantemannya tetapi ada juga
yang terkadang sulit untuk bisa berinteraksi dengan teman-temannya. Transisi
dalam rangkaian jenjang pendidikan memang menjadi hal yang harus dilakukan seorang
individu dalam rangka melanjutkan pada pendidikan yang lebih tinggi.
Perpindahan dari sekolah dasar ke sekolah pendidikan lanjutan tingkat pertama
terjadi pada remaja awal, dan ini merupakan langkah yang cukup berarti dalam
kehidupan anak, baik karena tambahan tuntutan belajar bagi siswa lebih berat,
maupun karena siswa akan mengalami banyak perubahan dalam dirinya. Hal ini
menuntut siswa untuk dapat menyesuaikan diri dengan perubahanperubahan yang
terjadi pada dirinya (Winkel, 2010: 141). Pada masa remaja awal terjadi banyak
perubahan pada diri seorang individu, mencakup masa pubertas dan perhatian
terhadap gambaran tubuh, termasuk perubahan dalam kognisi sosial yang
menyertainya, meningkatnya tanggung jawab dan kemandirian yang berhubungan
dengan menurunnya tingkat ketergantungan diri terhadap orang tua (Santrock,
2003: 259). Pada masa remaja awal, seorang individu mulai menunjukkan penalaran
tingkat tinggi tentang diri dan kualitasnya (Harter dalam Lipka dan Brinthaupt,
2002: 4). Seorang siswa baru di sekolah menengah pertama harus memulai lagi
interaksi sosial dengan teman-teman baru yang belum mereka kenal sebelumnya.
Mereka harus menemukan teman baru setelah keluar dari sekolah dasar. Hal ini 5
terkadang dapat menimbulkan kecemasan sosial pada diri mereka. Kecemasan dapat
dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya kekhawatiran akan kegagalan, frustasi
pada hasil tindakan yang lalu, evaluasi diri yang negatif, perasaan diri yang
negatif tentang kemampuan yang dimilikinya, dan orientasi diri yang negatif
(Ghufron dan Risnawati, 2010: 145). Ketakutan akan evaluasi negatif sesuai
dengan penelitian Verplanken (2006) tentang kebiasaan seseorang untuk
berpikiran negatif dalam menilai dirinya sendiri (negative selfthinking habit).
Negative self-thinking yang menjadi kebiasaan dan terus menerus muncul secara
otomatis, sering dan menetap dalam benak seseorang, dan tidak lagi
berkontribusi terhadap pembentukan konsep diri yang sehat, sebaliknya hal
tersebut adalah suatu disfungsi psikologis yang dapat menurunkan harga diri dan
membuat seseorang rentan untuk mengalami gangguan kecemasan dan depresi.
Negative self-thingking habit yang disfungsional memiliki tiga aspek: (1)
pemikiran tentang diri yang muatannya negatif, (2) frekuensi munculnya
pemikiran yang sering, dan (3) pemikiran yang muncul tanpa disadari, tanpa
sengaja, serta sulit untuk dikontrol (Herabadi, 2007: 19). Perasaan diri yang
negatif erat hubungannya dengan tingkat harga diri (self esteem) yang rendah.
Harga diri dalam bidang psikologi terkait dengan hampir setiap konsep
psikologis lain atau domain, termasuk kepribadian (rasa malu), perilaku (tugas
kinerja), kognitif (atribusi bias) dan klinis (kecemasan dan depresi) (Asadi
dkk, 2010: 141). Dikemukakan oleh Coopersmith (1967) bahwasanya salah satu faktor
pembentuk harga diri adalah keberartian individu. Keberartian diri individu
menyangkut seberapa besar individu percaya bahwa dirinya mampu, 6 berarti, dan
berharga menurut standar dan nilai pribadi (dalam Ghufron dan Risnawati, 2010:
42). Evaluasi dan perasaan diri yang negatif akan dapat menyebabkan kepada
harga diri yang rendah. Individu yang mempunyai harga diri rendah diliputi
kekhawatiran tentang interaksi sosial dan tidak yakin akan keberhasilannya.
Individu digambarkan mempunyai sifat-sifat depresif, terlalu lemah untuk
melawan kekurangan diri, disibukkan oleh persoalan-persoalan pribadi, cenderung
terisolir, tidak mampu mengekspresikan diri, dan peka terhadap kritik. Individu
lebih pasif, pesimis, kurang percaya diri dalam interaksi sosial, cenderung
menarik diri dari pergaulan sosial dan lingkungannya (Dewanto, 2005: 2). Jika
seseorang mempunyai hubungan sosial yang buruk maka akan dapat menyebabkan
harga diri yang rendah, sebaliknya jika seseorang mendapatkan hubungan sosial
yang baik maka akan dapat menyebabkan harga diri yang tinggi. Studi empiris
dari Harter (1998) misalnya menemukan bahwa perempuan yang secara sosial
didukung dan diterima oleh rekan-rekannya dapat menyebabkan harga diri yang
tinggi (dalam Miller, 2003: 2 - 3). Coopersmith (1967) juga mengemukakan bahwa
tidak terpenuhi kebutuhan akan harga diri menyebabkan munculnya perasaan tidak
bahagia, kurang ekspresif, dan relatif mengalami kecemasan. Kecemasan akan
muncul ketika seorang individu berfikir tentang sesuatu yang tidak menyenangkan
akan terjadi, biasanya reaksi individu terhadap ancaman ketidaksenangan dan
pengrusakan yang belum dihadapinya ialah menjadi cemas atau takut. Jika
individu menghadapi ketidaksenangan terhadap lingkungan dapat dipastikan 7
individu tersebut akan mengalami kesedihan dan selanjutnya akan muncul reaksi
kecemasan sosial (dalam Dewanto, 2005: 3). Studi empiris menemukan bahwa adanya
hubungan negatif antara kecemasan dan harga diri. Penelitian dari Bijstra dkk
(1994) menunjukkan bahwa dengan meningkatnya kecemasan dapat menyebabkan harga
diri yang menurun (Asadi dkk, 2010: 143). Ginsberg dan rekan (1998) juga
menemukan bahwa anak usia 6 – 11 tahun yang mempunyai kecemasan sosial dapat
menyebabkan penerimaan sosial yang rendah, harga diri yang rendah, dan hubungan
yang negatif dengan teman sebayanya (Miller, 2003: 6). Penelitian dari Wijoyo
Dewanto tentang hubungan antara harga diri dengan kecemasan sosial pada remaja
akhir, menyatakan bahwasanya adanya hubungan negatif antara harga diri dengan
kecemasan sosial yakni semakin tinggi harga diri maka semakin rendah kecemasan
sosial. Sebaliknya semakin rendah harga diri maka semakin tinggi kecemasan
sosial (Dewanto, 2005). Penelitian dari Asadi dkk (2010) dari Universitas Zabol
Iran, yakni tentang prevalensi kecemasan dan hubungannya dengan harga diri di
kalangan mahasiswa Universitas Zabol, Iran. Hasil penelitian menunjukkan adanya
hubungan yang negatif dan signifikan antara kecemasan dan harga diri serta
antara usia dan kecemasan. Perempuan menderita kecemasan lebih tinggi dari
laki-laki dan sebaliknya harga diri laki-laki lebih tinggi daripada perempuan
(Asadi, 2010: 141). Harga diri yang negatif, perasaan tidak aman dan selalu
diliputi rasa cemas dapat membuat seseorang selalu berpikiran negatif terhadap
orang lain. Akibatnya siswa akan minder jika bergaul dengan teman-temannya, dan
cemas jika 8 berhadapan dengan seseorang. Problematika-problematika seperti ini
juga ditemui peneliti di SMP Terpadu Al-Anwar Trenggalek. Dalam studi
pendahuluan di SMP Terpadu Al-Anwar Trenggalek, peneliti mendapatkan adanya
indikasi beberapa siswa baru yakni siswa kelas VII yang masih minder jika
bergaul dengan temantemannya. Siswa baru merasa cemas jika menjadi bahan ejekan
dari temantemannya. Ini kemungkinan merupakan kegagalan dari faktor pembentukan
harga diri seorang individu sehingga dapat menyebabkan seorang siswa mengalami
kecemasan yang ditandai dengan penarikan diri dari teman-temannya. Berdasarkan
hasil pembicaraan dengan salah satu guru di SMP Terpadu AlAnwar Trenggalek, Wiwik
Sunarsih, S.Ag (22 Oktober 2011) beliau mengatakan: “ada beberapa siswa baru
yang sulit untuk bersosialisasi dengan temantemannya dan juga dengan
guru-gurunya. Saya lihat anaknya juga jarang berkumpul dengan teman-temannya.
Mungkin mereka masih minder kalau mau ngobrol sama teman-temannya yang baru”.
SMP Terpadu Al-Anwar Trenggalek merupakan salah satu lembaga pendidikan yang
bernaung di bawah yayasan Pondok Pesantren Anwarul Haromain Trenggalek. Di SMP
Terpadu Al-Anwar mewajibkan seluruh siswasiswinya untuk bertempat tinggal di
asrama (pesantren), hal ini menyebabkan tingkat pergaulan seorang individu
dengan teman-temannya lebih intens. Menurut Kafrawi (1987), sebagaimana dikutip
oleh Moh Khoiron dan juga menurut Prof. Mukti Ali bahwa salah satu karakteristik
yang menjadi ciri khas hidup di pesantren yakni pola hidup suka menolong, hidup
dalam suasana pergaulan dan persaudaraan. Hal ini juga dikemukakan oleh Ahmad
Tafsir bahwasanya dalam kehidupan di pondok pesantren antara para santri
memiliki rasa kebersamaan yang tinggi (www.kabar-pendidikan.blogspot.com). 9
Kebersamaan yang terjadi di pondok pesantren dikarenakan adanya persamaan tata
hubungan yang khas dalam kependidikan dan kemasyarakatan yang salah satunya
adalah berkembangnya suasana persaudaraan dan tolong menolong di pondok
pesantren (www.fpsikologi.wisnuwardhana.ac.id). Hal ini menuntut santri atau
siswa untuk bisa cepat beradaptasi dengan lingkungan barunya. Akan tetapi
dampaknya rasa cemas santri atau siswa dalam hubungan sosial dengan teman-temannya
di pesantren kemungkinan bisa menurun. Berdasarkan fenomena mengenai harga diri
dan kecemasan sosial pada remaja awal, yakni pada saat bersosialisasi dengan
teman-teman barunya di sekolah. Adanya pembentukan harga diri (self esteem)
serta hubungannya dengan kecemasan sosial pada masa remaja awal. Hal inilah
yang melatarbelakangi penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang
“Hubungan antara Self Esteem dengan Social Anxiety Remaja Awal pada Siswa Kelas
VII SMP Terpadu AlAnwar Trenggalek”. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana tingkat
self esteem siswa kelas VII SMP Terpadu Al-Anwar Trenggalek? 2. Bagaimana
tingkat social anxiety siswa kelas VII SMP Terpadu AlAnwar Trenggalek? 3.
Bagaimana hubungan antara self esteem dan social anxiety siswa kelas VII SMP
Terpadu Al-Anwar Trenggalek? 10 C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui
tingkat self esteem pada siswa kelas VII SMP Terpadu Al-Anwar Trenggalek? 2.
Untuk mengetahui tingkat social anxiety siswa kelas VII SMP Terpadu Al-Anwar
Trenggalek? 3. Untuk mengetahui hubungan antara self esteem dengan social
anxiety siswa kelas VII SMP Terpadu Al-Anwar Trenggalek? D. Manfaat Penelitian
1. Kegunaan teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai
sumbangan terhadap khazanah ilmiah terutama tentang hubungan self esteem dengan
kecemasan sosial (social anxiety) pada remaja awal. 2. Kegunaan secara praktis
Hasil penelitian ini di harapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan oleh orang
tua, masyarakat, institusi pendidikan dalam pengelolaan pendidikan anak-anaknya
dan pemerintah dalam rangka menentukan arah kebijakan pendidikan di Indonesia.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" : Hubungan antara self esteem dengan social anxiety remaja awal Siswa Kelas VII SMP Terpadu Al-Anwar Trenggalek." Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment