Abstract
Dalam kehidupan berkeluarga, Islam mengajak kita untuk membina kehidupan rumah tangga atas dasar saling ridho dan musyawarah. Agar dalam mengarungi mahligai rumah tangga, cinta kasih antar suami istri senantiasa bersemi, baik suka maupun duka, karena semua orang mendambakan pernikahan yang abadi. Pada hakikatnya pernikahan bukan hanya pertemuan lahir antara laki-laki dan wanita, tetapi juga untuk mendapatkan ketenangan, ketentraman, dan kedamaian jiwa.
Dalam masyarakat Indonesia, khususnya Jawa, banyak dijumpai larangan-larangan pernikahan, hal ini selain karena dipengaruhi oleh kepercayaan adat istiadat yang berlaku pada masyarakat setempat, juga merupakan cerminan sikap kehati-hatian masyarakat Jawa dalam membina mahligai rumah tangga. Salah satu contoh larangan pernikahan tersebut seperti yang terjadi di desa Bungkuk kecamatan Parang kabupaten Magetan yang terkenal dengan nikah pancer wali.
Berpijak pada problema diatas, maka penulis ingin mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi adanya mitos pancerwali, sekaligus ingin mengetahui pandangan masyarakat desa Bungkuk kecamatan parang kabupaten Magetan tentang mitos nikah pancer wali tersebut.Yang dalam hal ini penulis kemas dalam sebuah penelitian dengan judul, Mitos Nikah Pancer Wali (Studi Kasus di Masyarakat Desa Bungkuk Kecamatan Parang Kabupaten Magetan).
Penelitian ini menggunakan jenis kualitatif deskriptif, dengan pendekatan sosiologis empiris. Dalam pengumpulan data primer yang diperoleh langsung dari lapangan, penelitian ini menggunakan wawancara dengan tokoh masyarakat setempat.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwasannya faktor-faktor yang mendasari adanya kepercayaan tentang mitosnya pancer wali merupakan kepercayaan yang di warisi masyarakat setempat dari para leluhur mereka secara turun-temurun, sehingga mereka tidak berani melanggarnya, di takutkan tertimpa musibah. Dan mengenai pandangan masyarakat setempat tentang mitos nikah pancerwali dapat dikelompokkan sebagai berikut; pertama, golongan yang tidak mempercayai mitos-mitos pancer wali. Kedua, golongan yang tidak mempercayai mitos pancer wali tetapi tidak melanggarnya. Ketiga, golongan yang percaya mitos nikah pancer wali dan tidak melanggarnya
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Masalah Ada dua pilar dalam membangun masyarakat. Pertama, melalui
sistem keyakinan. Sistem keyakinan ini adalah agama beserta sistem
pendukungnya. Dalam konteks Islam, aqidah beserta syari’atnya. Secara umum,
ideologi beserta perangkat-perangkat struktural dan infrastruktur. Kedua,
melalui sistem keluarga. Sistem keluarga dimulai dari sistem perkawinan. Ini
meliputi pandangan tentang hubungan dua orang lawan jenis di luar nikah; tata
cara terjadinya ikatan, yaitu proses peminangan sampai terjadinya akad nikah;
penyelenggaraan kehidupan keluarga setelah memasuki jenjang pernikahan;
hubungan suami istri dalam keluarga; serta bagaimana pandangannya terhadap anak
yang lahir dari pernikahan tersebut.
Imam Bukhari meriwayatkan melalui isteri Nabi, Aisyah, bahwa pada
masa jahiliyah, dikenal empat macam pernikahan. Pertama, pernikahan sebagaimana
yang berlaku kini, dimulai dengan pinangan kepada orang tua atau wali, membayar
mahar dan menikah. Kedua, adalah seorang suami yang memerintahkan kepada
isterinya apabila telah suci dari haid untuk menikah (berhubungan seks) dengan
seseorang, dan bila ia telah hamil, maka ia kembali untuk digauli suaminya, ini
dilakukan guna mendapatkan keturunan yang baik. Ketiga, sekelompok lelaki kurang
dari sepuluh orang, kesemuanya menggauli seorang wanita, dan bila ia hamil
kemudian ia melahirkan, ia memanggil seluruh anggota tersebut –tidak seorang
pun yang dapat absen- kemudian ia menunjuk salah seorang yang dikehendakinya
untuk dinisbahkan kepadanya nama anak itu, dan yang bersangkutan tidak boleh
mengelak. Keempat, Hubungan seks yang dilakukan oleh wanita tuna susila, yang
memasang bendera atau tanda-tanda di pintu-pintu kediaman mereka dan
“bercampur“ dengan siapa pun yang suka kepadanya. Kemudian Islam datang
melarang cara perkawinan tersebut kecuali cara yang pertama. Pernikahan
merupakan kebutuhan fitrah manusia, secara alami seseorang tertarik kepada
lawan jenisnya, mula-mula melalui pertimbangan jasmani atau segi lahiriyahnya,
dilanjutkan ketertarikan kepada segi kepribadian atau nilai-nilai batiniyah
yang lainnya. Hal ini telah difirmankan oleh Allah dalam al-Qur’an: “Dan
diantara tanda-tanda kebesaran-Nya ialah bahwa Ia telah menciptakan untuk kamu
jodoh-jodahmu dari kalanganmu sendiri, agar kamu merasakan sakinah
(ketentraman) dalam jodoh-jodoh itu, serta dibuat oleh-Nya mawaddah (katresnan)
dan rahmah (cinta kasih) antara sesamamu. Sesungguhnya dalam hal itu ada
tanda-tanda (kebesaran Tuhan) bagi kaum yang berpikir.”
Sehingga pernikahan adalah cara yang alami dan wajar untuk
mewujudkan kecenderungan alami seorang laki-laki kepada perempuan secara timbal
balik, dan untuk membangun keluarga. Karena di dalamnya terdapat mawaddah
(katresnan) dan rahmah (cinta kasih) yang amat khusus antara keduanya. Karena
itu, kebahagian dan ketentraman (sakinah) dalam hidup ini, serta perasaan aman
dan sentosa, ditemukan dalam hubungan yang sejati dan wajar antara suami dan
isteri (pernikahan). Begitulah yang dapat kita pahami dari firman Allah di
atas. Pernikahan pada intinya bukan hanya sekedar pertemuan lahir antara laki-laki
dan perempuan, tetapi juga untuk mendapatkan ketenangan, ketentraman, dan
kedamaian jiwa. Jika semua itu sudah terwujud dalam sebuah rumah tangga, maka
itulah yang disebut rumah tangga sakinah, mawaddah, dan rahmah. Jika kita
memperhatikan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, akan ditemukan bahwa hubungan
suami-istri di bangun di atas dua landasan. Pertama, landasan rabbani
(ketuhanan), dan kedua, landasan insani (kemanusiaan). Landasan rabbani adalah
ketika kita selalu mengaitkan tiap perkara dengan Hukum Allah, baik berupa
perintah-Nya maupun larangan-Nya. Inilah yang disebut Al-Qur’an dengan
“rambu-rambu Allah (hudud Allah)”. Ketika berbicara tentang rumah tangga
Muslim, dalam surat Al-Baqarah Allah menyebut kata ini (hudud Allah) lebih dari
7 kali. Allah berfirman kepada orang yang ingin kembali kepada istrinya setelah
ditalak dua, : bÎ) !$¨Zsß br& $yJ É+)ã yrßãn «!$# 3 y7ù=Ï?ur ßrßãn «!$# $pkß]Íh u;ã 5 Qöqs)Ï9 tbqßJn=ôèt ÇËÌÉÈ
“....jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah
hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.”
Sementara landasan insani adalah apa yang sering disebut Al-Qur’an dengan
kalimat “Al-Ma’ruf”. Ma’ruf (kebaikan) adalah sesuatu yang diketahui fitrah dan
akal sehat, di mana para pecinta kebaikan saling tolong-menolong di dalamnya.
Orang lain pun bisa
mengetahuinya dan tidak ada yang mencelanya. Ketika seorang memutuskan untuk
hidup serumah dengan pasangannya, maka tidak ada ikatan yang lebih terhormat
dibanding pernikahan yang sah. Sebagaimana dikemukakan, Taufiq al-Hakim bahwa
pernikahan hakiki adalah ikatan suci antara dua insan yang berlainan jenis,
keduanya saling membutuhkan keberadaan yang lain. Artinya, bahwa pernikahan
adalah kebersamaan dua insan yang mendambakan kesempurnaan dengan cara saling
mengisi kekurangan. Jika kedua insan yang berlainan jenis itu telah sepakat
untuk saling memahami dan mengisi kekurangan, sepakat untuk menjalani suka dan
duka rumah tangga, maka pernikahan hakiki akan terwujud. Pernikahan hakiki adalah
pernikahan yang diawali dengan ikatan suci untuk menyatukan jiwa, rasa dan raga
antara seorang laki-laki dengan perempuan. Masing-masing saling memahami dan
memperhatikan, saling mengisi kekurangan dan kelebihan, dan saling berusaha
untuk mempertahankan keutuhan rumah tangga, suami dan isteri tidak hanya ingin
mengecap manisnya saja, tetapi susah dan senang dirasakan bersama. Terkait
dengan pernikahan ini, maka budaya dan aturan yang berlaku pada suatu
masyarakat, daerah atau suatu bangsa tidak akan lepas dari pengaruh budaya dan
lingkungan dimana masyarakat itu berada. Begitu pula pergaulan masyarakat pun
dapat dipengaruhi oleh pengalaman, kepercayaan, dan pemahaman keagamaan yang
dianut masyarakat yang bersangkutan. Selama hal itu tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip kebaikan (al-Khoir), maka kita diharuskan menghargai dan
menghormatinya.
Imam Bukhari meriwayatkan, bahwa suatu ketika Aisyah menikahkan
seorang gadis yatim kerabatnya kepada seorang pemuda dari kelompok Anshar
(penduduk kota Madinah). Nabi yang tidak mendengar nyanyian pada acara itu,
berkata kepada Aisyah, “Apakah tidak ada permainan/nyanyian? Karena orang-orang
Anshar senang mendengarkan nyanyian...” demikian Nabi SAW. Menghargai
adat-kebiasaan masyarakat Anshar. Pakar-pakar hukum menetapkan bahwa
adat-kebiasaan dalam suatu masyarakat selama tidak bertentangan dengan prinsip
ajaran Islam, dapat dijadikan sebagai salah satu pertimbangan hukum (al-‘Adatu
Muhakkamah). Demikian ketentuan yang mereka tetapkan setelah menghimpun sekian banyak
rincian argumentasi keagamaan. Ada fenomena menarik yang terjadi di Desa
Bungkuk Kecamatan Parang Kabupaten Magetan ini, dimana masyarakat/penduduk asli
desa ini melarang pelaksanaan sebuah pernikahan, yang biasa mereka sebut dengan
istilah, “Nikah Pancer Wali”, yaitu pernikahan antar kerabat (sepupu) dari
keturunan laki-laki. Maksudnya, antara mempelai laki-laki dan mempelai
perempuan masih memiliki ikatan kekerabatan dari pihak laki-laki (ayah mempelai
laki-laki dan ayah mempelai perempuan, kakak-beradik). Kalau benar maksud nikah
pancer wali seperti yang dijelaskan di atas, maka hal tersebut tidak
berkesesuaian dengan hukum Islam. Karena dalam syari’at Islam tidak ada
larangan bagi laki-laki dan perempuan yang terikat dalam tali hubungan
persaudaraan sepupu (misanan) untuk melangsungkan pernikahan. Memang dalam
agama Islam ada larangan menikah dengan seorang perempuan, yang dalam hal ini
dibagi dua macam; Pertama, larangan Muabbad, yaitu larangan untuk dikawini
selamanya, larangan tersebut dikarenakan adanya hubungan nasab (pertalian
darah), adanya hubungan Mushaharah (perkawinan), dan adanya hubungan susuan.
Kedua, larangan Muaqqat yaitu larangan nikah dengan seorang perempuan selama
perempuan tersebut masih dalam keadaan tertentu. Apabila keadaan itu berubah,
maka larangan itu tercabut dan perempuan tersebut menjadi halal untuk dinikahi.
Dalam bukunya “Fikih Sunnah”, Sayyid Sabiq, mengatakan, “Perempuan ibarat
ladang, tempat menyemai benih anak. Dan golongan-golongan manusia ini ibaratnya
seperti tanaman dengan berbagai ragamnya. Karena itu seharusnya tiap-tiap orang
dari anggota keluarga kawin dengan orang selain kerabatnya, agar anaknya
menjadi baik dan pintar. Karena anak itu akan mewarisi campuran antara ayah dan
ibunya, baik secara jasmaniah, akhlaq dan keadaan rohaniyahnya.”
Selain itu menikah dengan
kerabat jauh dapat menambah kemesraan suami isteri, sehingga lebih menjamin
kelanggengan, kebahagiaan keluarga, kekuatan keturunan dan kecerdasan
anak-anaknya. Pada dasarnya prosesi pernikahan yang terjadi di Desa Bungkuk
Kecamatan Parang Kabupaten Magetan ini, tidak jauh berbeda dengan prosesi
pernikahan masyarakat pada umumnya, yaitu adanya kesepakatan antara seorang
pria dan wanita untuk melakukan perkawinan, kemudian setelah terjadinya
kesepakatan dari kedua belah pihak, maka orang tua masing-masing mempelai
mempersiapkan segala keperluan yang berkaitan dengan acara akad nikah sekaligus
walimatul ‘ursy dan termasuk di dalamnya tentang penentuan hari dan tanggal
dimana akan diadakannya akad nikah tersebut. Pelarangan menikah dengan kerabat
sepupu dari keturunan laki-laki (pancer wali) ini telah dikenal oleh masyarakat
Desa Bungkuk Kecamatan Parang Kabupaten Magetan sejak lama, yang diwarisi
secara turun temurun dari nenek moyang mereka. Berkenaan dengan nikah pancer
wali ini, ada kepercayaan (mitos) bahwa apabila larangan nikah pancer wali
tersebut dilanggar akan menimbulkan kesialan-kesialan dan musibah bagi
pelakunya, seperti: kecelakaan, kesengsaraan, perceraian, rezeki tidak lancar,
sampai pada musibah kematian. Inilah yang menjadikan peneliti tertarik untuk
menyelami, melihat dari dekat dan meneliti fenomena larangan nikah pancer wali
yang berlaku di masyarakat Desa Bungkuk Kecamatan Parang Kabupaten Magetan
tersebut. Oleh karena itu peneliti mengangkat permasalahan tersebut dalam
sebuah penelitian dengan tema, “MITOS NIKAH PANCER WALI” (Studi Kasus di
Masyarakat Desa Bungkuk Kecamatan Parang Kabupaten Magetan).
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka
dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pandangan masyarakat
Desa Bungkuk Kacamatan Parang Kabupaten Magetan terhadap mitos nikah pancer?
2. Bagaimana pandangan Hukum Islam terhadap
mitos nikah pancer wali?
C. Pembatasan Masalah
Adanya batasan masalah dalam suatu penelitian
sangatlah diperlukan, agar penelitian yang dilakukan itu lebih baik, terfokus
pada substansi persoalan yang akan diteliti, sehingga tujuan dari penelitian
dapat terarah dengan baik. Adapun dalam penelitian ini, peneliti membatasinya
pada mitos nikah pancer wali yang terjadi di desa Bungkuk kecamatan Parang
kabupaten Magetan. Mitos yang dimaksud di sini ialah sesuatu yang berhubungan
dengan kepercayaan primitif kehidupan alam gaib, yang timbul dari usaha manusia
yang tidak ilmiah dan tidak berdasarkan pada pengalaman yang nyata untuk
menjelaskan dunia dan alam sekitarnya. Sedangkan nikah pancer wali yaitu,
pernikahan antar kerabat (sepupu) dari keturunan laki-laki. Maksudnya, antara
mempelai laki-laki dan mempelai perempuan masih memiliki ikatan kekerabatan
dari pihak laki-laki (ayah mempelai laki-laki dan ayah mempelai perempuan,
kakak-beradik).
. Tujuan Penelitian Berkaitan dengan
permasalahan di atas, penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan:
1. Pandangan masyarakat Desa Bungkuk
Kecamatan Parang Kabupaten Magetan tetang mitos nikah pancer wali.
2. Pandangan Hukum Islam terhadap
mitos nikah pancer wali.
E. Manfaat Penelitian
Dari penelitian ini diharapkan dapat
memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Memberikan pengetahuan baru
tentang mitos nikah pancer wali menurut pandangan masyarakat Jawa, khususnya
masyarakat Desa Bungkuk Kecamatam Parang Kabupaten Magetan.
2. Melengkapi bahan-bahan penelitian
dan studi sosiologis, terutama tentang pernikahan adat Jawa.
3. Sebagai bahan atau referensi
penelitian lebih lanjut
F. Sistematika Pembahasan
Pada penulisan skripsi ini, penulis membagi
beberapa bab untuk mempermudah dalam memahami isi dari skripsi tersebut, untuk
itu perlu adanya sistematika yang global dalam memenuhi target yang diinginkan
oleh penulis, adapun sistematika pembahasannya meliputi empat bab dan untuk
setiap babnya terdiri dari beberapa sub bahasan sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan, yang berisi
secara global keseluruhan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini,
yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika pembahasan.
BAB II : Merupakan kajian teori yang
di dalamnya memuat akar pengertian dan bangunan teori. Pembahasan pertama
tentang pengertian nikah secara umum yang diawali dengan paparan penelitian
terdahulu. Kemudian pada pembahasan kedua tentang konsep nikah yang dilarang
dan konsep perwalian dalam hukum Islam. Dan terakhir, penjelasan tentang konsep
pernikahan adat Jawa, sekaligus pembahasan tentang mitos pancer wali yang
menjadi tema dalam sripsi ini.
BAB III : Berisi tentang metode
penelitian yang akan digunakan dalam penulisan skripsi ini, meliputi: jenis dan
pendekatan penelitian, lokasi penelitian, sumber data, metode pengumpulan data,
dan metode pengolahan data.
BAB IV : Adalah hasil penelitian dan
pembahasan, yang merupakan paparan dan analisa data, yang diambil dari
realita-realita objek, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dan
merupakan ulasan kajian teori.
BAB V : Kesimpulan dan saran-saran,
yang merupakan bab terakhir dari penyusunan skripsi ini. Maka bahasan di
dalamnya menyimpulkan secara keseluruhan dan dilanjutkan dengan saran-saran
serta penutu
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Hukum Bisnis Syariah" : Mitos nikah pancer wali: Studi kasus di masyarakat Desa Bungkuk Kecamatan Parang Kabupaten Magetan" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
No comments:
Post a Comment