INDONESIA:
Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) merupakan penyakit yang dapat mengancam seluruh lapisan masyarakat dari berbagai rentang usia, jenis kelamin ataupun kelas ekonomi. Virus ini tidak hanya menyerang kekebalan tubuh manusia, akan tetapi dapat mengakibatkan tekanan-tekanan psikologis seperti stres, kecemasan, kemarahan, merasa malu, penerimaan bahkan dapat mengakibatkan depresi. Sedangkan mengidap HIV sendiri dikalangan masyarakat umum masih dianggap aib dan dengan minimnya pengetahuan masyarakat yang minim tentang HIV, maka masyarakat mempunyai sikap, pandangan yang buruk terhadap ODHA (orang dengan HIV/AIDS) bahkan diskriminasi terhadap ODHA. Hal-hal tersebut dapat membuat ODHA menjadi tertekan. Untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik, maka ODHA harus mampu mengatasi tekanan psikologis maupun tekanan fisik akibat penyakitnya tersebut. Untuk itu maka ODHA membutuhkan sikap yang resilien. Resiliensi merupakan kondisi dimana individu mampu bangkit kembali dari situasi yang menekan dalam hidupnya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aspek-aspek resiliensi pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA), faktor-faktor pembentuk resiliensi pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA), faktor protektif yang mempengaruhi orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dan tahapan resiliensi orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif studi kasus. Subyek dalam penelitian ini menggunakan dua orang dengan kriteria yang telah ditentukan. Lokasi penelitian ini dilakukan disebuah LSM, disebuah Puskesmas dan dikediaman kedua subyek. Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara dan observasi.
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa kedua subyek telah mencapai resiliensi. Terdapat beberapa aspek-aspek yang mempengaruhi terbentuknya resiliensi yaitu I am, I have dan I can. Selain hal tersebut, terdapat faktor - faktor yang mempengaruhi resiliensi yaitu regulasi emosi, kontrol impulsif, optimis, empati, self efikasi, causal analisis dan reaching out. Sedangkan faktor protektif yang mempengaruhi terbentuknya resiliensi yaitu dukungan dari keluarga dan teman sesama ODHA, anak sebagai penyemangat diri, tingkat religiusitas, dan menerapkan pola hidup sehat. Kedua subyek juga melewati semua level resiliensi yaitu succumbing, survival, recovery dan thryving.
ENGLISH:
The Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) is a disease that can threaten the whole society from different age range, gender or economic class. This virus attacks the immune system not only humans, but can lead to psychological pressures such as stress, anxiety, anger, shame, acceptance can even lead to depression. While HIV itself among the general population is still considered a disgrace and the lack of public knowledge about HIV is minimal, then the public has an attitude, a poor outlook towards PLWHA (people living with HIV/AIDS) and even discrimination against PLWHA. These things can make people living with HIV become depressed. To realize a better life, then people living with HIV must be able to cope with the psychological stress and physical strain caused by his illness. For those reasons, people living with HIV requires a resilient attitude. Resilience is a condition in which an individual is able to bounce back from stressful situations in his life.
This aims study to determine the aspects of resilience in people with HIV / AIDS (PLWHA), forming resilience factors in people with HIV / AIDS (PLWHA), protective factors that affect people with HIV / AIDS (PLWHA) and the resilience stages with HIV / AIDS (PLWHA). This study uses qualitative research case study. The subjects in this study using two people with predetermined criteria. Location of the study was conducted in an NGO, at a health center and the residence two subjects. The collection of the data used in this study were interviews and observation.
The study results showed that both subjects had reached resilience. There are several aspects that affect the formation of resilience that I am, I have and I can. Besides this, there are factors that affect the resilience of emotion regulation, impulse control, optimism, empathy, self-efficacy, causal analysis and reaching out. While the protective factors that influence the formation of the resilience of the support from family and friends among people living with HIV, children as self - encouragement, level of religiosity, and a healthy lifestyle. Both subjects also passed all levels of resilience that is succumbing, survival, recovery and thryving.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Seks
bebas dan narkoba sudah menjalar di Indonesia terutama di lingkungan para
remaja. Perilaku beresiko seperti hubungan seks tanpa pengaman (kondom),
penggunaan narkoba suntik yang menggunakan jarum suntik secara bergantian dan
tidak steril, penggunaan jarum tindik atau jarum tato yang tidak steril dapat
mengakibatkan seseorang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV). HIV/AIDS
(Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan
penyakit yang dapat mengancam seluruh lapisan masyarakat dari berbagai usia,
jenis kelamin maupun kelas ekonomi. HIV yaitu virus yang menurunkan kekebalan
tubuh manusia. HIV menyerang sel-sel darah putih sehingga daya tahan tubuh
menjadi menurun (Hawari, 2006, hal. 89). Sedangkan AIDS adalah Acquired
Immunodeficiency Syndrome yaitu kumpulan gejala-gejala penyakit akibat
menurunya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh HIV. Sebagian besar
orang-orang yang menderita penyakit HIV/AIDS merupakan orang-orang yang melakukan
perilaku meyimpang, seperti pekerja seks komersial, pengguna narkoba suntik dan
pelaku homoseksual, selain itu juga bayi yang lahir dari ibu yang positif
terinfeksi HIV dan pasangan suami istri yang terinfeksi HIV/AIDS. Seseorang
yang terkena HIV/AIDS atau yang biasa disebut ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) akan
mengalami tekanan fisik maupun tekanan 2 psikologis. Sebagaimana yang kita
ketahui, sampai saat ini penyakit ini belum ditemukan obatnya. Untuk
memperlambat penyebaran penyakit dalam tubuh, ODHA harus meminum obat
antirethoviral atau yang biasa disebut dengan ARV. ARV ini harus diminum
penderita dalam 12 jam sekali dan terapi ARV ini harus dilakukan seumur hidup.
Seseorang yang terinfeksi HIV akan mengalami penyakit-penyakit opportunities
seperti TBC, diare, kanker, penyakit kulit dan penyakit lain yang membahayakan
kehidupanya (Hawari, 2006, hal. 89). Apabila individu tidak mampu mengatasi
keadaan menekan tersebut secara konstruktif, maka individu dapat mengalami
gangguan mental seperti depresi. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Maramis
(dalam Saputra, 2009) bahwa tidak semua individu mampu melakukan adaptasi dan
mengatasi stressor, sehingga timbullah keluhan-keluhan antara lain berupa
stres, cemas dan depresi (Saputra, 2009, hal. 5 ). Selain itu Richard (dalam
Saputa, 2009) menjelaskan bahwa respon stres psikologi biasanya muncul saat
diagnosa diberikan kepada pasien, pasien bisa merasa tidak yakin, terkejut dan
melakukan penyangkalan serta diikuti dengan kemarahan dan kekacauan akut dengan
gejala-gejala kecemasan yang tinggi dan depresi (Saputra, 2009, hal. 5).
Menurut Joerban (dalam Astuti, 2008), hampir 99% penderita HIV/AIDS mengalami
stres berat, Djoerban juga menemukan sejumlah pasien HIV/AIDS yang mengalami
depresi berat, dimana pada saat mengetahui dirinya mengidap penyakit AIDS,
banyak ODHA yang tidak bisa 3 menerima kenyataan bahwa dirinya tertular
HIV/AIDS, sehingga menimbulkan depresi dan kecenderungan bunuh diri pada diri
ODHA itu sendiri (Astuti, 2008, hal. 2). Sebuah penelitian tentang “Dinamika
Psikologis Pada Orang Dengan HIV Dan AIDS (ODHA)” yang dilakukan oleh
Paputungan menunjukkan bahwa seseorang yang mendapat diagnosa HIV akan
menunjukkan kondisi psikologis yang berbeda. Pada penelitian ini, subjek
pertama mengalami reaksi denial (penolakan), depression (depresi), anger
(marah), Bargaining, anxiety (kecemasan) dan acceptance (penerimaan). Sedangkan
subjek kedua mengalami reaksi acceptance (penerimaan), denial (penolakan),
bargaining, depression (depresi), dan frustasion (frustasi) (Paputungan, tanpa
tahun, hal. 1). Hal tersebut sejalan dengan pernyataan John G. Bruhn (dalam
Saputra, 2009) yang menyatakan bahwa ada beberapa jenis masalah psikologis
utama pada ODHA diantaranya: kecemasan akibat perasaan tidak pasti terhadap masa
depanya, merasa terisolasi dan berkurangnya dukungan sosial akibat dugaan
merasa ditolak oleh keluarga dan orang lain, merasa marah kepada diri sendiri
dan orang lain sehingga terkadang menunjukan sikap bermusuhan petugas kesehatan
atau perawat, merasa malu dengan stigma penderita AIDS, melakukan penyangkalan
terhadap kebiasaan seksual, dan disertai gejala seperti mudah putus asa, merasa
tak berdaya, keinginan bunuh diri, sulit tidur atau bahkan mudah lelah
(Saputra, 2009, hal. 6). 4 Mengidap HIV/AIDS di Indonesia masih dianggap aib
oleh sebagian masyarakat dan dengan minimnya pengetahuan tentang HIV oleh
masyarakat, masyarakat mempunyai sikap dan pandangan yang buruk terhadap ODHA,
bahkan diskriminasi terhadap ODHA. Hal inilah yang membuat banyak ODHA tidak
mengungkap identitasnya sebagai ODHA pada masyarakat umum maupun pada
keluarganya sendiri. Menurut sebuah penelitian yang dilakukan oleh Eka,
terdapat beberapa bentuk stigma dan diskriminasi yang ditunjukan kepada ODHA
yaitu stigma dan diskriminasi dilingkungan individu, stigma dan diskriminasi
dilingkungan keluarga, stigma dan diskriminasi di lingkungan komunitas, stigma
dan diskriminasi di lingkungan intuisi dan stigma dan diskriminasi di
lingkungan kebijakan (Nurhayati, tanpa tahun, hal. 5). Stigma dan diskriminasi
di lingkungan individual ODHA misalnya pertama kali terdiagnosis HIV, banyak
ODHA merasa cemas tidak akan lagi diterima dikeluarga, lingkungan dan
masyarakat serta ketakutan untuk menyongsong masa depan sehingga ODHA tidak
lagi mau bergaul, tidak mau melanjutkan pendidikan atau cenderung melakukan
bunuh diri. Pada ODHA yang sudah lebih tua, cenderung tidak mengalami stigma
sebab telah mencapai tingkat kemampuan dan kepercayaan diri (Nurhayati, tanpa
tahun, hal 5.). Tindakan stigma dan diskriminasi yang terjadi di lingkungan
keluarga di Kota Bandung diantaranya adalah pengucilan atau pembuangan ODHA ke
tempat terpencil di luar kota, pengucilan ODHA dari daftar waris 5 keluarga,
pemisahan alat mandi dan alat makan di rumah serta tuntutan perceraian dari
pasangan (Nurhayati, tanpa tahun, hal. 6). Diskriminasi oleh keluarga juga
dialami oleh salah satu ODHA di Kota Malang. Salah satu bentuk diskriminasi
oleh keluarga yang diungkap berdasarkan pengalaman L berdasarkan wawancara yang
dilakukan pada tanggal 3 Maret 2014 adalah: “Dulu waktu pertama kali tau sama
saya sempat ndak anu ndak menyapa gitu lo, liat saya itu kayak kayak apa jijik
gitu lo, salaman sama saya aja gak pernah, dulu kan sebelum saya kena gitu
berjabat tangan kalau bertemu saya dicum pipi dulu terus setelah tau gak ada
sama sekali, meyapa saya aja gak pernah. Lama, ya kira-kira satu tahun”. Dari
keterangan ODHA diatas dapat diketahui bahwa terdapat bentuk diskriminasi oleh
pihak keluarga yang diarasakan oleh ODHA di Kota Malang. Dimana Saudara ODHA
tersebut tidak mau berjabat tangan denganya bahkan hanya dengan melihatnya
saudaranya tersebut sudah merasa jijik. Stigma dan diskriminasi di lingkungan
kebijakan misalnya kebijakan yang menyatakan bahwa perusahaan tidak boleh
memecat karyawan ODHA. Pada kenyataanya, sampai saat ini masih banyak ditemui
kasus karyawan dipecat karena didiagnosis HIV. Kebijakan lainya ialah
pelanggaran pemeriksaan HIV pada pelamar kerja. Kenyataanya, masih banyak
perusahaan yang meminta pelamar untuk melakukan tes HIV terlebih dahulu sebelum
diterima kerja (Nurhayati, tanpa tahun, hal. 7). Sedangkan stigma dan
diskriminasi di lingkungan institusi misalnya di institusi pendidikan banyak
ODHA anak dan anak dari ODHA yang tidak mau lagi melanjutkan pendidikan karena
mendapat perlakuan yang 6 berbeda dari guru maupun rekan sesama siswa. Lebih
buruk lagi, masih banyak institusi sekolah yang tidak mau menerima ODHA anak
atau anak ODHA untuk bersekolah di institusinya. Di institusi pekerjaan, saat
ini banyak perusahaan swasta maupun BUMN di Kota Bandung yang mengharuskan
pelamarnya melakukan tes diagnostik HIV. Bila hasilnya positif, maka pelamar
tentu saja tidak diterima bekerja. Tindakan lainya adalah mengucilkan pegawai
ODHA dalam waktu yang tidak terbatas, pemecatan secara sepihak, tidak
mendapatkan jaminan kesehatan tenaga kerja dan sebagainya (Nurhayati, tanpa
tahun, hal. 7). Pada institusi kesehatan pun masih banyak terjadi tindakan
diskriminatif walaupun kebanyakan tenaga kesehatan telah memiliki pengetahuan
yang cukup memadai mengenai HIV dan AIDS. Tindakan diskriminatif ini antara
lain adalah tes diagnostik HIV tanpa informed consent kepada pasien yang akan
dilakukan tindakan operatif, tenaga kesehatan tidak mau melakukan kontak fisik
seperti jabat tangan dan pemeriksaan fisik dasar dengan ODHA, tenaga kesehatan
tidak mau mengambil sampel darah ODHA dan sebagainya (Nurhayati, tanpa tahun,
hal. 7). Salah satu ODHA juga pernah mengalami diskriminasi ketika dia
melahirkan disebuah rumah sakit di Kota Malang. Ketika dia melahirkan, dia
tidak ditempatkan ruang bersalin seperti orang-orang yang habis melahirkan pada
umumnya, akan tetapi dia ditempatkan di sebuah ruang 29 dimana ruang tersebut
merupakan ruang untuk orang-orang yang menderita sakit yang parah. Dalam kondisi
yang masih sakit karena habis melahirkan, dia hanya 7 bisa menangis mengalami
hal tersebut. Suaminya melakukan protes kepada pihak rumah sakit dan akhirnya
dia dipindahkan kembali di ruang bersalin. Selain hal tersebut, dia juga
diharuskan menyiram dengan cairan pemutih ketika dia selesai menggunakan kamar
mandi. Pernyataan ini diperoleh dari pengakuan L berdasarkan wawancara yang
dilakukan pada tanggal 3 Maret 2014. “Ya kalau dirumah sakit itu ya tertentu
ada sich satu dua yang perlakuanya itu kayak anu itu lo kayak mendiskriminasi
gitu lo, saya disendirikan diruang apa diruang lain. Waktu melahirkan anak saya
ini saya tidak disamakan dengan orangorang lain, saya disendirikan, kalau habis
kekamar kecil itu disuruh menyiram pakai apa pakai bayklin gitu”. Kasus-kasus
diatas jelas sekali memperlihatkan diskriminasi dan stigma yang dilakukan oleh
masyarakat terhadap ODHA. Hal ini terjadi karena kurangnya pengetahuan
masyarakat tentang penularan HIV/AIDS. Stigma dan diskriminasi masyarakat ini
dapat menjadi beban psikis penderita yang ahirnya dapat berpengaruh pada
kondisi fisik penderita yaitu dengan menurunya sistem kekebalan tubuh
penderita, padahal bagi penderita, sistem kekebalan tubuh itu sangat diperlukan
penderita untuk kelangsungan hidupnya. Sikap, stigma maupun diskriminasi
masyarakat tersebut dapat menjadikan hidup ODHA menjadi tertekan. Tekanan hidup
merupakan hal yang tidak terkecuali dialami semua individu, namun yang
membedakan antara individu yang satu dengan yang lainya adalah pada
keberhasilan dalam beradaptasi dengan tekanan-tekanan dalam hidupnya (Suyasa,
2006, hal. 103). 8 Menjadi ODHA bukanlah akhir dari segalanya, ODHA harus
bangkit dan melanjutkan sisa hidupnya. ODHA harus menunjukan pada masyarakat
luas bahwa ODHA bukanlah orang yang sudah tidak mempunyai masa depan lagi, ODHA
dapat bangkit dari keterpurukanya dan menjadi lebih baik. Hal tersebut sesuai
dengan hasil penelitain yang dilakukan oleh Tsevat, dkk. Dalam penelitian
tersebut didapatkan hasil bahwa ODHA juga memiliki keinginan yang besar untuk
terus hidup, dan memiliki harapan bahwa kehidupan mereka lebih baik daripada
kehidupan mereka sebelumnya (Arriza, 2001, hal. 154). Untuk mewujudkan
kehidupan yang lebih baik, maka ODHA harus mampu mengatasi tekanan psikologis
maupun tekanan fisik akibat dari penyakitnya tersebut. Untuk itu maka ODHA
membutuhkan sikap yang resilien. Grotberg menyatakan bahwa resiliensi adalah
kemampuan manusia untuk menghadapi, mengatasi dan bahkan diperkuat oleh
kemalangan dalam hidup (Desmita, 2005, hal. 227). Sedangkan Janas (2002)
menyebutkan bahwa resiliensi merupakan suatu kemampuan untuk mengatasi
kesulitan, rasa frustasi, ataupun permasalahan yang dialami oleh individu.
Perkembangan resiliensi dalam kehidupan akan membuat individu mampu mengatasi
stres, trauma dan masalah lainya dalam proses kehidupan (Dewi, 2004, hal. 104).
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2004) tentang hubungan antara
resiliensi dengan depresi pada perempuan pasca 9 pengangkatan payudara
(MASTEKTOMI), dapat diketahui bahwa ada hubungan negatif yang signifikan antara
resiliensi dan depresi, yaitu semakin tinggi resiliensi maka semakin rendah
tingkat depresi wanita pasca mastektomi (Dewi, 2004, hal. 1). Penelitian lain
tentang resiliensi dilakukan oleh Hyu (2008), dia meneliti tentang resiliensi
perempuan dewasa muda yang pernah mengalami kekerasan seksual dimasa
kanak-kanak. Penelitian ini menunjukan hasil adanya kemampuan resiliensi yang
diperoleh dari lingkungan serta dari segi spiritual, yaitu melakukan pendekatan
diri kepada tuhan. Sementara subjek yang tidak mengalami resilien dikarenakan
faktor internal dirinya sendiri yang cenderung menyalahkan keadaan dan orang
lain disekitarnya sehingga sulit untuk dapat menerima masa lalunya (Hyu, 2008,
hal. 61). Diah (2012) telah meneliti tentang resiliensi guru di sekolah
terpencil, dimana dari penelitian tersebut dapat diketahui bahwa fase
resiliensi yang dilewati oleh guru berbeda antara satu dengan yang lainnya. Hal
ini dipengaruhi oleh faktor interpretasi masing-masing guru yang berbeda dalam
memandang hidup. Perbedaan fase yang dilalui oleh masing-masing subjek juga
akan membedakan strategi resiliensi yang digunakan oleh masing-masing subjek
untuk bertahan dalam menghadapi kesulitan selama mengajar di sekolah terpencil
(Diah, 2012, hal. 3). Dari beberapa penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa
resiliensi mempunyai peran yang sangat penting dalam menentukan kemampuan
individu untuk mampu bertahan dalam mengatasi masalah dan 10 mempertahankan
diri dalam situasi yang menekan, mampu beradaptasi dan belajar dalam situasi
tersebut serta mencapai suatu kehidupan yang lebih baik. Begitu pula dengan
ODHA, walaupun mereka mempunyai banyak tekanan fisik, psikologis maupun sosial
dalam hidupnya, akan tetapi mereka tetap mempunyai hak untuk mencapai kehidupan
yang lebih baik. Berdasarkan pengalaman-pengalaman menekan yang dialami oleh
ODHA peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana proses resiliensi yang
dimiliki oleh ODHA. Sehingga peneliti mengambil judul “Resiliensi Orang dengan
HIV/AIDS(ODHA)” sebagai tugas akhir kuliah. B. Rumusan Masalah 1. Apa saja
aspek-aspek resiliensi pada ODHA? 2. Apa saja faktor pembentuk resiliensi pada
OHA? 3. Bagaimana faktor protektif mempengaruhi resiliensi pada OHDA? 4.
Bagaimana tahapan resiliensi yang dilalui oleh ODHA? C. Tujuan Penelitian 1.
Mengetahui aspek-aspek pembentuk resiliensi pada Orang dengan HIV/AIDS (ODHA).
2. Mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi resiliensi pada Orang
dengan HIV/AIDS (ODHA). 3. Mengetahui bagaimana faktor protektif dapat
mempengaruhi resiliensi pada Orang dengan HIV/AIDS (ODHA). 11 4. Mengetahui
tahap-tahap resiliensi yang telah dilalui oleh Orang dengan HIV/AIDS (ODHA). D.
Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis Secara teoritis, penelitian ini
diharapkan mampu memberikan konstribusi terhadap pengembangan ilmu psikologi
terutama yang berkenaan dengan resiliensi. Penelitian ini juga diharapkan bisa
dijadikan sebagai rujukan dan penambah pustaka bagi peneliti sejenis. b.
Manfaat Praktis Bagi lembaga pemerhati ODHA dan ODHA, hasil penelitian ini bisa
dijadikan acuan atau bahan rujukan dalam membantu ODHA agar menjadi individu
yang lebih baik secara fisik maupun psikisnya. Bagi subjek, penelitian ini
dapat membantu subjek mengetahui resiliennya dan menjadi lebih baik lagi. Bagi
pembaca, penelitian ini dapat membantu pembaca untuk mengetahui bagaimana
resiliensi ODHA dan pengetahuan tentang HIV/AIDS. E. Orisinalitas Penelitian a.
Manara, Muhamammad Untung (2008) yang berjudul “Pengaruh SelfEfficacy Terhadap
Resiliensi Pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri (Uin)
Malang” dengan hasilnya yaitu self eficacy 12 berpengaruh cukup besar terhadap
resiliensi seseorang yaitu 39,4% dan self eficacy berkontribusi pada resiliensi
individu. b. Hasyim, Rizkia Noor Faizza (2009) yang berjudul “Pengaruh Dukungan
Sosial Terhadap Resiliensi Napi Remaja di Lembaga Permasyarakatan Anak (Lapas
Kelas Iia anak) Blitar” dengan hasilnya yaitu sosial support dapat
berkontribusi pada resiliensi seseorang sebesar 33% dan 67% nya merupakan
faktor lain yang melatarbelakangi timbulnya resiliensi. c. Hawabi, Agus Iqbal
(2011) yang berjudul “Pengaruh Resiliensi Terhadap Juvenile Deliquency
Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Islam Maulana Malik Ibrahim Malang”
dengan hasilnya yaitu resiliensi mempunyai pengaruh yang cukup signifikan
terhadap delequency. d. Rahmawati, Alfia Puji (2012) yang berjudul “Perbedaan
Tingkat Resiliensi Pada Remaja Di SMA DR. Musta’in Romly Payaman Lamongan”.
(Studi komparasi antara remaja dari keluarga yang orang tuanya menjadi TKI
dengan keluarga yang orang tuanya menjadi TKI dengan keluarga yang orang tuanya
bukan TKI)” dengan hasilnya yaitu tidak ada perbedaan tingkat resiliensi antara
remaja dari keluarga yang orang tuanya menjadi TKI dengan remaja dari keluarga
yang orang tuanya bukan TKI. Proses pembentukan resiliensi remaja dari keluarga
yang orang tuanya menjadi TKI ini dibentuk oleh beberapa faktor yang
mempengaruhi resiliensi, antara lain dukungan sosial, optimisme, coping yang
tepat, konsep diri yang positif, penyesuaian diri yang tepat terhadap
perubahan, dan efikasi diri. 13 e. Qudsiyah, Yuyun Nazilatul (2013) yang
berjudul “Dinamika Resiliensi Istri Pertama” dengan hasilnya yaitu terdapat
perbedaan antara kedua subjek untuk mecapai suatu resiliensi. Hal ini
dipengaruhi oleh berbagai macam seperti aspek-aspek resilien yang dimiliki
individu, dukungan sosial, pola pikir dan lain sebagainya. Pernikahan poligami
yang dialami oleh kedua subjek tidak lepas dari suatu ketidak adilan, baik
dalam hal waktu, materi, kasih sayang dan cinta.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" : Resiliensi Orang dengan HIV/AIDS (ODHA)" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment