INDONESIA:
Baby blues syndrome adalah bentuk gangguan emosional yang beresiko terjadinya depresi postpartum dengan berbagai dampak yang menyertainya. Bagi para ibu, kelahiran seorang anak sebetulnya tidak sesederhana seperti yang terlihat. Sebaliknya, kelahiran seorang anak biasanya membanjiri ibu dengan sejumlah peristiwa baru, terutama terkait dengan perubahan peran dan gaya hidup dalam kehidupan pasangan suami istri, serta perubahan identitas sebagai ayah dan ibu. Bagi seorang perempuan, pengalaman menjadi seorang ibu merupakan hal yang seringkali dinantikan. Namun ternyata perubahan peran tersebut tidak selalu menimbulkan perasaan- perasaan yang menyenangkan sehingga sangat dibutuhkan dukungan sosial Suami.
Penelitian ini menggunakan kuantitatif, dengan menggunakan sampel purposive sampel, dilaksanakan pada 44 ibu postpartum yang melahirkan di Rumah Sakit Umum Sigli dan BPS Nurlaila. Metode pengambilan data yang digunakan angket, dan wawancara. Analisis hasil menggunakan Koefisien Korelasi Spearman Rank dengan bantuan SPSS 19.0 for windows.
Dari 29 orang yang mendapat dukungan rendah, sebanyak 18 orang (62,1%) yang akan mengalami postpartum blues. Sedangkan pada kelompok orang yang mendapatkan dukungan tingkat sedang dari suami yaitu 15 orang, sebanyak 6 orang (40,0%) akan mengalami postpartum blues. Dengan menggunakan uji korelasi Spearman didapatkan nilai rshitung sebesar 0,436 dengan nilai Signifikansi = 0,003. rstabel dengan derajat bebas (n-2 = 42) untuk α = 0,05 didapatkan nilai 0,305 sehingga dapat disimpulkan terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat dukungan suami dengan tingkat terjadinya baby blues. Maka diperlukan dukungan suami yang lebih kepada istri melahirkan untuk mencegah gejala Postpartum Blues.
ENGLISH:
Baby Blues Syndrome is an emotional disorder with the risk of postpartum depression and some accompanying impacts. Birthing is not simple process for mothers. The delivery of baby can inundate mothers with new events because mothers will change their role and life style in their husband-wife relationship, and they also find their identity changing into caretaker of baby. The experience of being mother is highly expected. The role change, however, is not always pleasant and therefore, husband’s social support is needed.
Research is quantitative using purposive sample. The sample includes 44 postpartum mothers who deliver at Public Hospital of Sigli and BPS Nurlaila. Data collection methods are questionnaire and interview. The analysis of result uses Spearman Rank Correlation Coefficient supported by SPSS 19.0 for Windows.
Of 29 mothers with low support, 18 mothers (62.1 %) experience postpartum blues. Those with moderate support from their husband are counted to 15 mothers with 6 mothers (40.0 %) experiencing postpartum blues. Result of Spearman Correlation Test has shown that rscount is 0.436 with significance rate = 0.003, while rstable with freedom level (n-2 = 42) for α =0.05 is 0.305. It is concluded that there is significant relationship between husband’s social support and the occurrence of baby blues. Greater husband support to the delivering mothers, thereby, is important to prevent the Postpartum Blues Syndrome from occurring.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Kehamilan merupakan episode dramatis terhadap
kondisi biologis, perubahan psikologis dan adaptasi dari seorang wanita yang
pernah mengalaminya. Sebagian besar kaum wanita menganggap bahwa kehamilan
adalah peristiwa kodrati yang harus dilalui tetapi sebagian wanita mengganggap
sebagai peristiwa khusus yang sangat menentukan kehidupan selanjutnya.
(Manuaba,1998). Kehamilan bagi seorang wanita merupakan salah satu periode
krisis dalam kehidupannya. Pengalaman baru ini memberikan perasaan yang
bercampur baur, antara bahagia dan penuh harapan dengan kekhawatiran tentang
apa yang akan dialaminya semasa kehamilan, persalinan dan pasca persalinan. Hal
tersebut dapat muncul karena masa panjang saat menanti kelahiran penuh
ketidakpastian, selain itu bayangan tentang hal-hal yang menakutkan saat proses
persalinan walaupun apa yang dibayangkan belum tentu terjadi. Situasi ini
menimbulkan perubahan drastis, bukan hanya fisik tetapi juga psikologis (
Kartono,1992) Setiap usia kehamilan, ibu akan mengalami perubahan baik bersifat
fisik maupun psikologis, ibu perlu melakukan penyesuian diri dan adaptasi pada
perubahan yang terjadi. Perubahan fisik pada saat kehamilan yaitu perut semakin
membesar, dan bertambah nya usia kehamilan. Kemudian 2 beberapa perubahan lain
seperti : berat badan bertambah,pembengkakan pada kaki dan tangan, payudara
semakin membesar,mudah lelah dan masih banyak perubahan fisik selama proses
kehamilan. Awal perubahan psikologis wanita hamil yaitu syock, menyangkal
kehamilannya, bingung dan sikap menolak (Pieter & Lubis, dkk). Perubahan
–perubahan tersebut tidak jarang menjadi stressor tersendiri bagi seorang
wanita. Pernyataan tersebut didukung hasil studi pendahuluan yang dilakukan
oleh Putri (dkk) dalam penelitian yang berjudul “Hubungan antara Penyesuaian
Diri dengan Stress Kehamilan Pertama” dengan jumlah sampel 40 orang ibu hamil
dengan usia kehamilan 3-8 bulan dengan metode analisis product moment dari Karl
Person menunjukan korelasi sebesar r = -0,411 dengan p = 0,010 (p < 0,05 )
yang artinya ada hubungan negative yang signifikan antara penyesuaian diri
dengan stress kehamilan pertama. Hasil penelitian tersebut dapat di ambil
kesimpulan bahwa semakin rendah penyesuaian diri semakin besar kemungkinan
wanita dapat mengalami stress pada kehamilan pertama. Respon wanita
berbeda-beda terhadap kehamilannya. Beberapa wanita menerima ada juga yang
menolak kehamilannya. Penerimaan kehamilannya mempengaruhi kecemasan seorang
ibu. Biasanya wanita hamil yang menerima dan mengharapkan kehamilannya akan
lebih mudah menyesuaikan dirinya daripada wanita yang menolak kehamilan
dirinya. Laderman (dalam Bobak dkk,2005) yang mengemukakan bahwa langkah
pertama dalam beradaptasi peran ibu adalah menerima kehamilan dan 3
mengasimilasi status hamil dalam gaya wanita tersebut. Hal ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan Amalia Ramadhani (2007) yang berjudul “Strategi
penanggulangan (coping) pada ibu yang mengalami postpartum Blues di Rumah Sakit
Umum daerah kota Semarang”. Menurut penelitiannya, postpartum blues dapat
berkembang menjadi depresi postpartum bila tidak tertangani dengan baik
sedangkan postpartum blues biasanya di anggap hal yang wajar karena aktivitas
hormon sementara. Hasil penelitian menunjukan, sikap hati yang terbuka terhadap
kehamilan,persalinan, dan segala konsekuensi yang muncul setelah persalinan
sangat penting dalam penanggulangan postpartum blues. Postpartum blues adalah
situasi ketika wanita yang baru saja melahirkan merasakan suatu kesedihan yang
tidak bisa dikendalikan (Meser, 2009). Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
terjadinya Postpartum Blues (Bobak dkk., 1994) diantaranya termasuk perubahan
biologis, stres, respon-respon normal, dan masalah sosial atau lingkungan.
Dukungan sosial dari keluarga merupakan faktor lain yang sangat membantu
penyelesaian masalah. Faktor biopsikososial akan membedakan pemaknaan
pengalaman postpartum blues dan penggunaan strategi penanggulangan antara
subjek yang satu dengan yang lain. Semakin tuanya kehamilan, maka perhatian dan
pikiran ibu hamil mulai tertuju pada sesuatu yang dianggap klimaks, sehingga
kegelisahan dan ketakutan yang dialami ibu hamil akan semakin intensif saat 4
menjelang persalinan (Kartono, 1992). Sjongren (1997, dikutip dari Simamora,
2008), dalam penelitian yang dilakukan terhadap 100 wanita hamil di Stockholm
tentang alasan kecemasan wanita hamil tentang melahirkan, diperoleh bahwa 73%
disebabkan karena kurang percaya dengan tenaga medis yang akan menolong
melahirkan, 65% takut ketidakmampuannnya untuk melahirkan, 55% takut akan
kematiannya, kematian bayinya, atau keduanya, 44% tidak mampu mentoleransi
nyeri persalinan dan 43% kehilangan kontrol diri. Melahirkan bayi merupakan
suatu peristiwa sangat penting yang dinantikan oleh sebagian besar perempuan.
Dengan berperan sebagai seorang ibu, seorang perempuan dapat merasakan hidupnya
menjadi lebih berarti dan bermakna. Namun tidak demikian halnya dengan sebagian
kecil perempuan yang justru merasa sedih, jengkel, lelah, ingin marah saja,
putus asa dalam menjalani tugasnya sebagai seorang ibu,inilah fenomena depresi
pasca melahirkan ( Elvira,2006 ). Pasca melahirkan atau post partum akan muncul
perasaan pada diri seorang ibu merasa senang, haru sekaligus lega karena
perjuangan selama 9 bulan selama masa kehamilan dan proses melahirkan telah
terlewati dengan selamat. Kini hadir buah hati yang akan senantiasa menemani
harihari ibu. Namun beberapa hari kemudian, justru perasaan senang yang
menghinggapi kini berubah menjadi rasa penuh kesedihan dan khawatir. Kondisi
ini dinamakan sebagai Baby Blues Syndrome (Suryani,2009). 5 Sebagian wanita
berhasil menyesuaikan diri dengan baik, pasca melahirkn ibu bersemangat
mengasuh bayinya, tetapi sebagian lagi tidak berhasil menyesuaikan diri dan
mengalami gangguan psikologis seperti merasa sedih, jengkel, lelah, marah dan
putus asa dan perasaan-perasaan itulah yang membuat seorang ibu enggan mengurus
bayinya yang oleh para peneliti di sebut Postpartum blues atau baby blues
(Marshall,2009). Baby blues ini biasanya bersifat sementara dan bisa
mempengaruhi 75% sampai 80% wanita melahirkan (Bobak dkk,2005). Mendukung
pernyataan tersebut Pieter & Lubis (2010) juga menyatakan bahwa 50%- 70%
dari seluruh wanita pasca melahirkan akan mengalami syndrom ini. Dari beberapa
penelitian yang dilakukan di berbagai belahan dunia secara tegas menunjukkan
2/3 atau 50-75% wanita mengalami baby blues syndrome. Sayangnya walau sudah
dicatat dalam jurnal medis Hippocrates, sindroma ini tak terlalu dianggap
penting. Walaupun banyak yang mengalaminya, sering dianggap sebagai efek
samping dari keletihan setelah melahirkan (Irawati,2010). Angka kejadian Baby
blues di Indonesia tidak diketahui dengan pasti. Hasil penelitian yang
dilakukan di jakarta oleh dr. Irawati Sp.Kj, (2010), menunjukkan 25% dari 580
ibu yang menjadi responden yang mengalami Baby Blues. Banyak faktor yang mempengaruhi
terjadi baby blues. Faktor hormone sering kali disebut yang menyebabkan ibu
mengalami baby blues syndrome. Penurunan secara drastis kadar hormon estrogen,
prolaktin dan progesteron serta hormon lainnya yang di produksi oleh 6 kelenjar
tiroid akan menyebabkan ibu sering mengalami rasa lelah, depresi dan penurunan
mood (Mansur,2008). Menurut Bobak, dkk., (2005) kadar hormon prolaktin dan
progesterone secara signifikan berhubungan dengan depresi. Selain faktor
hormonal tersebut, dukungan keluarga khususnya suami merupakan faktor terbesar
untuk memicu terjadinya baby blues. Hal ini dikarenakan dukungan suami
merupakan strategi koping penting pada saat mengalami stress (Ingela 1999,
dalam Fatimah 2009). Menurut James (1999) dukungan suami begitu besar
pentingnya dan perhatian serta kerelaan untuk melakukan kerjasama dalam
mengurus rumah tangga dari suami selama proses mengandung dan melahirkan. Hal
ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Siti Fatimah (2009), yang
meneliti tentang “ Hubungan Dukungan Suami dengan Kejadian Postpartum Blues
Pada Ibu Primipira di Ruang Bugenville RSUD Tugurejo Semarang”. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui hubungan dukungan suami dengan kejadian Postpartum
blues pada ibu primipira (Kelahiran pertama) di ruang Bugenville RSUD Tugurejo
Semarang. Hasil penelitian menunjukan bahwa hasil uji chi square membuktikan
adanya hubungan duku ngan suami dengan kejadian Postpartum blues pada ibu
primipira di ruang Bugenville RSUD Tugurejo Semarang dengan p value = 0,033. Maka
diperlukan dukungan suami yang lebih kepada istri pasca melahirkan untuk
mencegah gejala Postpartum blues. Dari hasil penelitian didapatkan ada hubungan
antara dukungan 7 suami dengan kejadian Postpartum blues pada ibu primipira di
ruang Bugenville RSUD Tugurejo Semarang. Namun dalam penelitian ini tidak
disebutkan apakah pendidikan, usia , status kehamilan, pekerjaan dapat
mempengaruhi ibu postpastum blues. Penanganan Postpartum blues salah satunya
berupa dukungan sosial, menurut Sarason (2005) dukungan sosial diartikan
sebagai keberadaan atau kemampuan seseorang dimana individu dapat bergantung
padanya, yang menunjukkan kalau dia peduli terhadap individu, bahwa individu
ini berharga dan dia mencintai atau menyayangi individu yang bersangkutan.
Dukungan social dapat diberikan dalam beberapa bentuk, yaitu dukungan
emosional, dukungan berupa penghargaan, dukungan berupa bantuan langsung dan
dukungan informasional. Beragam masalah yang didapatkan oleh ibu yang terkena
baby blues syndrome pada masa ini sangat dibutuhkan bantuan atau dukungan
sosial dari orang-orang terdekat terutama dukungan suami untuk meringankan
beban stress yang dialaminya. Menurut Sarafino (dalam Smet,1994) dukungan
sosial dideskripsikan sebagai suatu kesenangan, perhatian, penghargaan atau
bantuan yang dirasakan oleh orang lain, atau kelompok yang dapat berfungsi
sebagai alat bantu untuk melakukan penyesuaian diri terhadap stress. Ibu yang
mangalami baby blues membutuhkan dukungan sosial terutama dari pasangannya
yaitu suami. Suami adalah orang pertama dan 8 utama dalam memberi dukungan
sosial kepada istri sebelum pihak lain memberikan perhatian, cinta kasih,
perasaan melindungi secara jasmani dan rohani. Dukungan yang dirasakan istri
dari suaminya akan mengurangi kerisauan, kekhawatiran,kepanikan,kegelisahan dan
ketakutan yang dialami istri ( Yanita dan Zamralita,2001). Penelitian yang
dilakukan oleh Zahmita (2010) mengemukakan berdasarkan hasil studi pendahuluan
pada 5 ibu primipara terdapat 2 ibu primipara ( 40 % ) yang mengaku mendapat
dukungan sosial dari suami dan 3 ibu primipara ( 60 % ) yang kurang mendapat
dukungan sosial dari suami saat mengalami Postpartum Blues. Dari penelitian
sebelumnya di Semarang telah ditemukan 11 orang wanita (44%) yang mengalami
Postpartum Blues. Dan secara keseluruhan, di Indonesia angka kejadian
Postpartum Blues antara 50-70% dari wanita primipara. Sedangkan di luar negeri
melaporkan angka kejadian yang cukup tinggi dan sangat bervariasi antara
26-85%, yang kemungkinan disebabkan karena adanya perbedaan populasi dan
kriteria diagnosis yang digunakan. Hasil Wawancara yang telah peneliti lakukan
pada 3 responden ibu pasca melahirkan ada ibu yang memperoleh dukungan sosial
suami secara utuh ada juga yang memperoleh hanya bantuan finansial dari
suaminya. Seperti yang dialami responden A dukungan suami pasca melahirkan
sangat ia rasakan, dan ini membantu beliau dalam menjalani hari-harinya sebagai
ibu. Hal ini pun senada dengan yang di alami Responden B pasca melahirkan
uluran tangan suami sangat mebantu beliau dalam mengurus 9 dan merawat anaknya.
Namun tidak semua suami memberikan dukungan kepada istrinya seperti yang
dialami responden C pasca melahirkan beliau mengurus anaknya sendiri,dan jarang
sekali di dampingi oleh suaminya. Dukungan keluarga (Suami) atau orang terdekat
memberikan cinta dan perasaan berbagi beban, dengan dukungan tersebut dapat
melemahkan dampak stress atau tekanan yang disebut efek penyangga (buffering
effects) dan secara langsung memperkokoh mental individu (Friedman,2003).
Dukungan sosial suami dapat diwujudkan antara lain : dukungan informasi,
dukungan emosi, dukungan penilaian dan dukungan finansial. Perhatian dan
dukungan suami ini akan menumbuhkan kepercayaan diri istri dan harga diri
sebagai seorang istri. Ia merasa yakin bahwa ia tidak hanya tepat sebagai
istri, tapi juga akan bahagia menjadi calon ibu bagi anaknya. Perasaan yakin
dan bahagia ini membuat jiwa calon ibu lebih matang dan stabil. Sebaliknya,
calon ibu yang tidak memiliki keyakinan dan tidak bahagia karena kurang dukungan
dari suaminya dapat menyebabkan ketidakstabilan emosi dan pemicu munculnya baby
blues. Melihat dari uraian diatas, pengenalan baby blues syndrome sebagai
bentuk gangguan emosional yang beresiko terjadinya depresi postpartum dengan
berbagai dampak yang menyertainya sangatlah penting. Bagi para ibu, kelahiran
seorang anak sebetulnya tidak sesederhana seperti yang terlihat. Sebaliknya,
kelahiran seorang anak biasanya membanjiri ibu 10 dengan sejumlah peristiwa
baru, terutama terkait dengan perubahan peran dan gaya hidup dalam kehidupan
pasangan suami istri, serta perubahan identitas sebagai ayah dan ibu. Bagi
seorang perempuan, pengalaman menjadi seorang ibu merupakan hal yang seringkali
dinantikan. Namun ternyata perubahan peran tersebut tidak selalu menimbulkan
perasaanperasaan yang menyenangkan sehingga sangat dibutuhkan dukungan sosial
Suami. Maka dari itu peneliti tertarik untuk mengambil judul Hubungan Dukungan
Sosial Suami Dengan Kecenderungan Baby Blues Syndrom Pada Ibu Pasca Melahirkan
. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana tingkat dukungan sosial suami pada ibu pasca
melahirkan ? 2. Bagaimana tingkat Baby blues syndrom pada ibu pasca melahirkan?
3. Apakah ada hubungan dukungan sosial suami dengan baby blues syndrom pasca
melahirkan? 11 C. Tujuan Untuk mengetahui hubungan dukungan sosial suami dengan
kecenderungan baby blues syndrom ibu pasca melahirkan di RSU Sigli dan BPS
Nurlaila. D. MANFAAT PENELITIAN Hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan manfaat baik dari sisi teoritis maupun praktis. Adapun manfaat yang
diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah : 1. Secara teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini di harapkan dapat memberi sumbangan
informasi yang berarti bagi perkembangan ilmu psikologi, khususnya subteori
dalam bidang psikologi klinis dan psikolgi perkembangan manusia mengenai konsep
diri ibu yang mengalami baby blues syndrome. 2. Secara praktis a. Bagi
institusi kesehatan Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan
informasi untuk dinas terkait guna meningkatkan pengetahuan tenaga kesehatan
untuk baby blues. 12 b. Bagi ibu pasca melahirkan Dengan adanya penelitian ini
di harapkan dapat memberikan sebagai bahan informasi bagi ibu-ibu pasca
melahirkan.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" : Hubungan dukungan sosial suami dengan kecenderungan baby blues syndrome pada ibu pasca melahirkan: Studi kasus di Rumah Sakit Umum Daerah dan Bidan Pelayanan Swasta Nurlaila di Sigli" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment