Abstract
INDONESIA:
Keadilan sosial juga memiliki dimensi objektif dan subjektif (Faturochman, 2002 ; 21). Hasil penelitian Faturochman (2001 ; 84) menunjukkan bahwa proses penilaian keadilan dapat dikaji berdasarkan prinsip-prinsip psikologi kognitif. Faturochman dan Djamaludin Ancok (2001 ; 41-60) menunjukkan bahwa suatu prosedur yang tepat akan berpengaruh pada penilaian seseorang tentang keadilan prosedural. Psikologi memfokuskan diri pada ranah bagaimana seseorang menjabarkan rasa keadilan, bagaimana seseorang berpendapat dengan melalui pikirannya tentang keadilan (Skitka&Crosby, 2003). Sehingga “apa yang dikatakan adil” adalah berasal dari keterkaitan antara sisi objektif dengan sisi persepsi subjektif tentang keadilan. Dengan kata lain individu menilai suatu keputusan itu adil atau tidak adil, merupakan proses psikologis ditingkat individu (Nuqul, 2008 ; 44) .
Sehingga rumusan pertanyaan dan tujuan penelitian memfokuskan pada makna dan bentuk keadilan pidana yang meliputi keadilan prosedural, retributif, dan restoratif mulai dari proses penangkapan pada kepolisian, pengadilan hingga kehidupan narapidana dalam Lembaga Permasyarakatan Wanita Klas IIA Malang. Mengingat bahwa penilaian keadilan prosedural akan mempengaruhi penilaian keadilan retributif dan restoratif.
Pendekatan dalam metode penelitian adalah kualitatif fenomenologi, subyek penelitian sebanyak 4 orang narapidana wanita dengan kriteria purposive Marshall B. Clinard dan Richard Quinney (dalam Husein, 2003 ; 4). Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara, observasi, dokumen berupa BAP (berita acara pemeriksaan). Pengecekan keabsahan data menggunakan triangulasi dan membercheck.
Hasil penelitian menunjukkan secara umum subyek penelitian memaknai keadilan adalah mengenai prinsip persamaan (equality) antara pembagian hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama (prosedural), namun terdapat subyek yang memaknai keadilan berdasar apa yang telah didapat atau manfaat yang didapat (restoratif) atas hukuman (retributif) yang telah didakwakan hakim. Sedangkan hasil penelitian tentang makna keadilan prosedural, secara umum subyek penelitian merasa tidak adil secara prosedural. Secara umum, tentang makna keadilan retributif, subyek penelitian merasa tidak adil atas hukuman yang telah diterimanya. Meskipun tidak adil namun secara keseluruhan subyek penelitian merasakan mendapatkan banyak perubahan dari kehidupannya di dalam lembaga permasyarakatan.
ENGLISH:
Social justice also has the objective and subjective dimensions (Faturochman, 2002; 21). The results Faturochman (2001; 84) shows that the assessment process of justice can be assessed based on the principles of cognitive psychology. Faturochman and Djamaludin Ancok (2001; 41-60) suggests that a proper procedure will affect a person's judgment about procedural fairness.Psychology focuses on the realm of how people describe a sense of justice, how one argues with through his mind about the fairness (Skitka & Crosby, 2003). So that "what is said just" is derived from the relationship between the objective with the subjective perception of fairness. In other words, an individual judge's decision was fair or unfair, is a process of individual psychological level (Nuqul, 2008; 44). So the formulation of questions and research objectives focus on the meaning and form of criminal justice includes procedural justice, retributive and restorative starting from the arrest to the police, the courts until the lives of inmates in the Correctional Institute for Women Class IIA Malang. Given that the assessment will affect the assessment of procedural justice retributive and restorative justice.
The approach in this research is a qualitative method of phenomenology, the study subjects by 4 female prisoners with purposive criteria Marshall B. Clinard and Richard Quinney (in Hussein, 2003 ; 4). Techniques of data collection using interviews, observations, document form BAP (investigation report). Checking the validity of data using triangulation and membercheck.
Results showed generally interpret the research subject of justice is the principle of equality (equality) between the distribution of rights and duties and equal treatment (procedural), but there are subjects who interpret justice based on what has been obtained or derived benefits (restorative) on penalties ( retributive) has indicted the judges. While the results of research on the meaning of procedural justice, the general subject of the study was procedurally unfair. In general, about the meaning of retributive justice, the subject of the study was not fair on the sentence he had received. Although it is not fair but the overall feel of research subjects to get much change out of his life in institutions has begun.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Setiap orang, berusaha mencari
keadilan, namun tidak ada definisi yang memuaskan tentang arti keadilan. Lord
Denning, seorang hakim agung Inggris pernah mengatakan bahwa “keadilan bukanlah
sesuatu yang bisa dilihat, keadilan itu abadi dan tidak temporal. Bagaimana
seseorang mengetahui apa itu keadilan, padahal keadilan itu bukan hasil
penalaran tetapi produk nurani” (Sholehudin, 2011 : 44). Pencarian keadilan
yang dilakukan seseorang dapat melalui jalur hukum. Lembaga peradilan pidana
merupakan tempat pada pencari keadilan untuk memperjuangkan haknya. Akan tetapi,
bila proses peradilan jauh dari rasa keadilan masyarakat, maka penegakan hukum
akan bergerak berlawanan ke arah degradasi hukum. Sehingga peradilan pidana
akan mengalami krisis kepercayaan untuk menentukan orientasi penegakan hukum
yang peka terhadap rasa keadilan masyarakat (Faisal, 2010 : 4). Padahal dasar
filosofis dibentuknya suatu aturan hukum adalah memberikan rasa keadilan bagi
masyarakat (Sholehudin, 2011 : 64). Menurut Sidharta, hukum memiliki 3 tujuan
yaitu mencapai keadilan, adanya kepastian hukum serta memperoleh kebermanfaatan
dari hukum itu sendiri. Hukum sering kali menjadi alat untuk menuntut keadilan.
Hukum di bentuk karena bertujuan untuk mencapai keadilan (gerechtigkeit)
disamping sebagai kepastian hukum (rechtssicherheit) dan kemanfaatan
(zweckmassigkeit) (Sidharta, 2006 : 154). Sholehudin juga sependapat
bahwasannya hukum 2 memiliki dua tugas utama yaitu hukum disusun untuk mencapai
kepastian hukum serta pencapaian keadilan (Sholehudin, 2011 : 43). Menurut
Djoko Prakoso dalam (Faisal, 2010 : 13) menyatakan bahwa peran psikologi dalam
bidang hukum amat besar, karena hukum melibatkan manusia sebagai pelaku-pelaku
hukum. Menurut Probowati hukum di Indonesia pada prakteknya terdiri dari hukum
pidana dan perdata, sering kali penerapan psikologi hukum lebih banyak
menyoroti pada hukum pidana. Penerapan psikologi dalam ranah hukum sangat
tergantung pada penerapan konteks hukum yang digunakan di Indonesia, ini
artinya bahwa penerapan psikologi dapat dimulai pada proses kepolisian,
pengadilan hingga lembaga permasyarakatan (Probowati, 2010). Ketika hukum tidak
berhasil memberikan rasa keadilan, kepastian dan kemanfaatan bagi seseorang,
maka sering kali seseorang menilai dan merasa dirinya diperlakukan tidak adil,
tidak mendapatkan hak yang sama dan tidak adanya kepercayaan seseorang terhadap
nilai substansi hukum yang dilakukan oleh aparat hukum . Hal tersebut sejalan
dengan Tyler dan Lind (1992) bahwasannya terdapat 3 aturan yang menjamin
terjadinya perlakuan yang adil adalah standing, neutrality dan trust (Muluk,
2010). Sehingga hal tersebut menimbulkan reaksi ketidakadilan. Menurut Hamdi
Muluk terdapat 3 reaksi yang diungkapkan seseorang apabila dirinya merasa
diperlakukan adil atau tidak adil yaitu; reactions emotional, reactions
cognitive, reactions behavioral (Muluk, 2010). 3 Menurut Asshiddiqie, aparatur
penegak hukum yang terlibat dalam proses tegaknya hukum itu, dimulai dari
saksi, polisi, penasehat hukum, jaksa, hakim, dan petugas petugas lemaga
pemasyarakatan (Asshiddiqie, 2006 : 3). Seorang pencari keadilan melalui jalur
hukum, tidak hanya selalu berkutat pada korban (seseorang yang mendapatkan
kerugian), dan aparat penegak hukum, namun keadilan dapat kita lihat pada sisi
pelaku. Teori pemidanaan yang berasal dari teori absolut/retributif/pembalasan
atau Lex Talions melahirkan dasar hukum pemidanaan yang menyatakan bahwa
hukuman bagi pelaku kejahatan adalah sesuatu yang harus ada sebagai konsekuensi
dari kejahatan yang telah dilakukan oleh seseorang pelaku kejahatan. Teori ini
disampaikan oleh E. Kant, Hegel dan Leo Polak (dalam Mukantardjo, 2010 : 8)
bahwa seseorang yang bersalah harus dihukum dengan hukuman yang setimpal dengan
perbuatannya (Mukantardjo, 2010 : 8). Sistem hukum di Indonesia yang masih
menggunakan paradigma positivistik, sehingga melahirkan model keadilan
retributif, sering kali hanya memperhatikan aspek hukum legal formal saja,
artinya jika seseorang bersalah maka hukum lebih banyak berbicara bagaimana
seorang pelaku tersebut dihukum dengan hukuman yang setimpal. Namun cenderung
menafikkan aspek pemerataan keadilan bagi pelaku, korban dan masyarakat. Model
keadilan retributif ini menyatakan bahwa ketika seseorang melakukan kejahatan,
maka hukuman yang diterima oleh pelaku merupakan hukumkan yang ditujukan untuk
membalas perbuatan kejahatan yang telah dilakukan pelaku (Fatic, 1995). Agung 4
menyatakan bahwa teori retributif ini mengatakan bahwa setiap orang harus
bertanggung jawab atas perilakunya, akibatnya di harus menerima hukuman yang
setimpa (Agung, 2012 : 1). Mencari keadilan dalam ruang peradilan tidak semudah
apa yang diharapkan (Faisal, 2010 : 128). Sering kali keadilan bagi pelaku
dikesampingkan dan cenderung dilupakan. Padahal pada intinya, pelaku dipidana
dalam lembaga permasyarakatan adalah untuk memperbaiki perilakunya. Namun dalam
sistem hukum di Indonesia, prinsip hukum keadilan retributif (balas dendam)
masih digunakan hingga saat ini. Sehingga seringkali pelaku dianggap sebagai
orang yang patut dan pantas dihukum seberat-beratnya tanpa mempertimbangkan
aspekaspek psikososial dari pelaku. Padahal setiap orang yang telah dihukum
untuk suatu kejahatan berhak meminta ditinjau kembali keputusan hakim atas diri
dan hukumannya (Simon&Thomas, 2011 : 61). Irianto (2005) merekomendasikan
bahwasannya perlu memperhatikan aspek keadilan dan dipikirkan kembali apakah
adil bila hukuman pidana yang diberikan kepada pelaku (sebagai korban
diskriminasi hukum). Hasil riset yang dilakukan LBH (Lembaga Bantuan Hukum)
Surabaya tentang indeks penyiksaan yang dilakukan di sepanjang tahun 2010
terhadap 100 responden tahanan dan narapidana menunjukkan bahwa terjadi praktek
kekerasan baik pada saat penangkapan, pemeriksaan/BAP, penahanan maupun pada
saat menjalani hukuman dalam lembaga permasyarakatan. Bentuk kekerasan tersebut
meliputi kekerasan secara verbal, psikologis, fisik maupun seksual. Hampir 67,
7% responden menyatakan dibentak pada saat 5 menjalani hukuman (penghukuman di
lapas) (Sholehudin, 2011 : 76-77). Kekerasan psikologi ini oleh sebagian besar
pihak dianggap sebagai bentuk kekerasan yang wajar, karena dianggap sebagai
perlakuan yang harus diterima sebagai „penjahat‟. Pada titik ini prinsip
praduga tak bersalah telah banyak dilanggar dan proses hukum pidana lebih
mengedepankan kebenaran materiil, sehingga proses hukum tidak diarahkan untuk
mendapatkan sebuah kebenaran yang substansial. Hal ini menunjukkan bahwa potret
aparat penegak hukum yang banyak mengunakan cara-cara penekanan yang membuat
kondisi psikologis seseorang pelaku menjadi tidak bebas (Sholehudin, 2011 :
76-77). Data yang ditampilkan oleh Simon & Thomas (2011 : 5) menunjukkan
adanya perbedaan perlakuan petugas dengan napi didasarkan karena adanya faktor
uang, kekuasaan, dan status keluarga. Padahal jika melihat penegakan hukum
dengan pendekatan keadilan restoratif Menurut Artidjo Alkostar, menyatakan
dalam harian kompas bahwa dalam Pasal 9 Konvensi PBB tentang keadilan
restoratif telah diupayakan diterapkan di sejumlah negara di dunia, seperti di
Inggris, Austria, Finlandia, Jerman, AS, Kanada, Australia, Afrika Selatan,
Gambia, Jamaika, dan Kolombia (Alkostar, 2011). Pelaku tidak selalu identik
dengan orang yang bertanggung jawab penuh atas kesalahan dari perbuatan yang
dilakukan. Namun pelaku juga didorong untuk memperbaiki perilakunya. Dari
sinilah muncul pergeseran paradigma dari keadilan retributif bergeser menjadi
keadilan restoratif. Keadilan restoratif disinyalir dapat memberikan alternatif
dalam mekanisme penyelesaian perkara hukum. Keadilan restoratif memberikan
jalan keluar yang lebih 6 humanistik, artinya keadilan restoratif berusaha
untuk memenuhi rasa keadilan semua pihak, mulai dari korban, pelaku hingga
masyarakat. Menurut Menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar (dalam Sholehudin,
2011 : 50) keberpihakan hukum terhadap rakyat kecil perlu penerapan model keadilan
restoratif untuk kasus tertentu. Keadilan restoratif adalah konsep pemikiran
yang merespon sistem peradilan pidana yang menitikberatkan pelibatan
masyarakat, pelaku dan korban dalam penyelesaian melalui musyawarah antara
pelaku dan korban. (Sholehudin, 2011 : 47). Keadilan restoratif merupakan suatu
cara baru dalam melihat peradilan pidana yang berpusat pada perbaikan kerusakan
dan kerugian korban dan hubungan antarmanusia, daripada menghukum pelaku tindak
pidana. (Sholehudin, 2011 : 47), karena hukum bukanlah untuk memenjarakan
tetapi untuk menyadarkan pelaku (Sholehudin, 2011 : 50). Keadilan sosial juga
memiliki dimensi objektif dan subjektif (Faturochman, 2002 : 21). Keadilan
objektif berkaitan dengan kapasitas untuk menyesuaikan dengan standar normatif
yang berlaku sehingga bias dan prasangka bisa direduksi seminimal mungkin. Pada
sisi lain, keadilan subjektif berkaitan dengan kapasitas distribusi ataupun
prosedur untuk membangkitkan perilaku keadilan oleh pihak-pihak yang terkena
norma tersebut. (Faturochman, 2002 : 21- 22). Menurut John Rawls,
prinsip-prinsip psikologi moral mempunyai satu tempat bagi konsepsi keadilan.
(Rawls, 2006 : 638). Psikologi memfokuskan diri pada ranah bagaimana seseorang
menjabarkan rasa keadilan, bagaimana seseorang berpendapat dengan melalui
pikirannya tentang keadilan (Skitka&Crosby, 2003). Sehingga “apa yang
dikatakan adil” adalah berasal dari keterkaitan antara sisi 7 objektif dengan
sisi persepsi subjektif tentang keadilan. Individu menilai suatu keputusan itu
adil atau tidak adil, merupakan proses psikologis ditingkat individu (Nuqul,
2008 : 44). Hasil penelitian Faturochman (2001 : 84) menunjukkan bahwa proses
penilaian keadilan dapat dikaji berdasarkan prinsip-prinsip psikologi kognitif.
Faturochman dan Djamaludin Ancok (2001 : 41-60) menunjukkan bahwa suatu
prosedur yang tepat akan berpengaruh pada penilaian seseorang tentang keadilan
prosedural.Uraian diatas bahwasannya dapat dipahami bahwa persoalan keadilan
dan ketidakadilan tidak selamanya dapat dilihat secara obyektif apalagi
absolut, karena sistem yang dibuat untuk menegakkan keadilan selalu diwarnai
oleh interpretasi dan penilaian subyektif (Faturochman, 2004 : 223) Terkait
dengan pemidanaan di Indonesia yang melibatkan pihak-pihak aparat hukum dari
mulai polisi, jaksa, dan hakim, juga korban serta pelaku. Pelaku mempunyai
sebutan yang berbeda-beda pada tiap proses hukum yang dilaluinya, mulai dari
tersangka ketika berproses di kepolisian, terdakwa ketika di pengadilan dan
kemudian disebut dengan narapidana jika putusan pengadilan menganggap pelaku
bersalah dan dianggap sudah layak menanggung kesalahan tersebut. Pihak aparat
mempunyai peran sebagai pembuat putusan yang adil, sedangkan korban dan pelaku
sebagai pihak yang menerima putusan tersebut. Pada penelitian ini memfokuskan
pada keadilan yang dirasakan oleh narapidana ketika berproses di kepolisian
sampai di lembaga pemasyarakatan. Banyak penelitian tentang psikologi
pemidanaan di Indonesia yang memfokuskan pada pengambilan keputusan serta
penilaian keadilan dari sudut pandang hakim, kepolisian atau bahkan masyarakat
awam, tetapi belum banyak 8 penelitian tentang penilaian keadilan pemidanaan
yang harus diterima oleh narapidana. Padahal para pelaku kejahatan mempunyai
hak yang dijamin oleh KUHAP untuk mendapatkan pendampingan pengacara bahkan
diberi kesempatan untuk melakukan banding jika putusannya dirasa tidak adil.
Secara teori keadilan pemidanaan mempunyai tiga ranah yaitu keadilan prosedural
keadilan retributif, dan keadilan restoratif. Seperti yang dijelaskan di atas
bahwa penilaian keadilan dalam kajian psikologi bersifat subyektif dan proses
kognisi individu memainkan peran yang dominan dalam penilaian keadilan
tersebut. Beberapa teori yang dianggap paling layak untuk diajukan sebagai
kerangka penjelas keadilan yang dirasakan oleh narapidana dalam penelitian kali
ini antara lain, reference cognitive theory, heuristic judgment theory dan
teori attribution bias dan self interest model. Dari penjelasan singkat diatas
menarik kiranya sehingga masih sangat relevan untuk menelisik makna dan bentuk
keadilan pidana yang meliputi keadilan prosedural, retributif, dan restoratif
mulai dari proses penangkapan pada kepolisian, pengadilan hingga kehidupan
narapidana dalam lembaga permasyarakatan. Mengingat bahwa penilaian keadilan
prosedural akan mempengaruhi penilaian keadilan retributif dan restoratif. B.
Rumusan Masalah Penelitian ini akan memfokuskan : 1. Bagaimana makna keadilan
pidana pada narapidana lembaga permasyarakatan wanita klas II A Malang? 9 2.
Bagaimana makna keadilan prosedural pada narapidana lembaga permasyarakatan
wanita klas II A Malang? 3. Bagaimana makna keadilan retributif pada narapidana
lembaga permasyarakatan wanita klas II A Malang? 4. Bagaimana makna keadilan
restoratif pada narapidana lembaga permasyarakatan wanita klas II A Malang? C.
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian
ini adalah untuk mengetahui makna keadilan prosedural, retributif, restoratif
pada narapidana wanita Lembaga Permasyarakatan Wanita Klas IIA Malang, pada
saat proses penangkapan, peradilan sidang, hingga keberadaan penghuni lapas
ketika didalam sebuah lembaga permasyarakatan. Penelitian ini juga bertujuan
memberikan pemahaman kepada institusi bahwa perlunya melihat aspek psikososial pada
narapidana, sehingga akan tercipta keadilan bagi narapidana, korban dan
masyarakat. D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat teoritis hasil dari penelitian
ini diharapkan dapat dijadikan rujukan bagi peneliti lain yang ingin
melaksanakan penelitian dengan tema yang serupa, serta menambah khasanah
keilmuan psikologi dan hukum terkait makna keadilan pada narapidana. Selain
itu, penelitian ini dapat memberikan informasi kepada pihak-pihak institusi
serta penghuni dalam Lembaga Permasyarakatan Wanita Klas IIA Malang mengenai
makna keadilan pidana pada narapidana wanita, sedangkan manfaat praktis yang
didapat dari 10 penelitian ini adalah untuk penegak hukum dan sistem peradilan
agar terus melakukan pembenahan sistem hukum yang telah berlangsung di
Indonesia sehingga dapat mewujudkan kepastian, kemanfaatan, serta keadilan bagi
seluruh pihak. E. Outline BAB I : Pada bab I akan dibahas mengenai latar
belakang masalah, kemudian rumusan masalah, selanjutnya tujuan penelitan, dan
manfaat teoritik dan manfaat praktis dari penelitian. BAB II : Bab II berisi
mengenai kajian teori yang dimulai dari definisi keadilan, jenis keadilan:
keadilan distribusi, prosedural, interaksional, retributif, restoratif.
Selanjutnya terdapat beberapa teori mengenai penilaian keadialan: teori moral
judgement, teori atribusi, teori perbandingan sosial, teori refrensi kognitif,
teori heuristic penilaian keadilan, teori self interest model, dan teori value
model group. Kajian yang berkaitan dengan Lembaga permasyarakantan meliputi
kajian filosofi pemidanaan, kajian teori narapidana, dan lembaga
permasyarakatan. Pada bagian terakhir bab II adalah kajian keislaman mengenai
keadilan. BAB III : Pada bab III berisi tentang pendekatan metode yang
digunakan, sumber data yang dipakai, pemilihan subyek penelitian, tempat atau
lokasi penelitian, instrumen penelitian, prosedur penelitian, teknik
pengumpulan data, pengolahan data, analisis data, dan terakhir adalah
objektifitas dan keabsahan data. 11 BAB IV : Bab IV berisi paparan data dan
pembahasan yang meliputi : profil lemabga permasyarakatan wanita klas II A
Malang, kemudian profil masing-masing subyek dan terakhir adalah paparan data
serta pembahasan. BAB V : Bab terakhir adalah bab V yang meliputi kesimpulan
dari hasil penelitian, kemudian saran-saran bagi institusi, subyek penelitian,
serta peneliti selanjutnya.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" : Makna keadilan pidana pada narapidana Lapas Wanita Klas II A Malang" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment