Abstract
INDONESIA:
Masa remaja merupakan masa “storm and stress”. Banyaknya persoalan yang remaja hadapi, terkadang berujung pada stres. sering kali terjadi pada banyak remaja dalam lingkungan yang berbeda. Salah satu lingkungan yang berpotensi timbulnya banyak stres yaitu remaja yang tinggal dipanti asuhan. Hal tersebut dikarenakan banyaknya perubahan yang terjadi bagi remaja tersebut mulai dari perubahan lingkungan, hilangnya figur lekat, perubahan kebiasaan dan lain-lain. Ketika stress, seseorang akan melakukan upaya menghadapi stres (coping), salah satu diantaranya adalah emotional focused coping, dimana inividu lebih memilih mengurangi stresnya dengan cara mengatur emosi mereka. Satu diantara banyak faktor yang mempengaruhi pemilihan coping itu adalah tipe kepribadian.
Penelitian ini dilakukan di Arjasa Situbondo, dengan tujuan (1) untuk mengetahui strategi tingkat strategi emotional focused coping pada Remaja Panti Asuhan (2) untuk mengetahui tipe kepribadian remaja panti asuhan dan (3) untuk mengetahui apakah ada perbedaan tingkat strategi emotional focused coping remaja panti asuhan ditinjau dari tipe kepribadian ekstrovert dan introvert.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Subjek penelitian ini berjumlah 62 responden yang dipilih dengan dengan menggunakan metode random sampling. Dalam pengumpulan data, menggunakan skala emotional focused coping dan tipe kepribadian. Analisa data dalam penelitian ini menggunakan teknik T-test dengan menggunakan bantuan SPSS 16.0 dari windows.
Hasil dari penelitian yang dilakukan, diketahui bahwa (1) tingkat emotional focused coping pada remaja panti asuhan masuk kategori rendah berjumlah jumlah 27 orang (43,6%), tinggi 24 orang (38, 7%) dan 11 orang (17,7%) (2) remaja panti yang berkepribadian ekstrovert sebanyak 32 orang (51,6%) dan 30 orang (48, 4%) berkepribadian introvert (3) terdapat perbedaan emotional focused coping yang signifikan pada remaja yang berkepribadian eksrovert dan introvert dimana remaja yang berkepribadian eksrovert lebih tinggi dengan rata-rata 67.6875 dari pada remaja yang berkepribadian introvert dengan rata- rata 43.8667
ENGLISH:
Adolescence is a time of "storm and stress". Many problems that teenagers face, sometimes lead to stress. often occurs in adolescents in many different environments. One of the potential emergence of a lot of environmental stress that teens are at the orphanage. That is because many changes are happening for the youth ranging from environmental change, the loss figure closely, change habits and others. When stress, someone will make an effort to deal with stress (coping), one of them is emotional focused coping, which prefers individu reduce stress by regulating their emotions. One of the many factors that influence the selection of coping with it is personality type.
The research was conducted in Arjasa Situbondo, with the aim of (1) to determine the level of strategy emotional focused coping strategies in Adolescents Orphanage (2) to determine the personality type orphanages and youth (3) to determine whether there are differences in levels of emotional focused coping strategies teens home care in terms of extrovert and introvert personality type.
This study uses a quantitative approach. Subject of this study is 62 respondents were selected using a random sampling method. In data collection, using a scale of emotional focused coping and personality type. Analysis of the data in this study using T-test using SPSS 16.0 from windows.
The results of the research conducted, it is known that (1) the level of emotional focused coping in adolescents orphanage lower numbered category number 27 people (43.6%), high 24 (38, 7%) and 11 men (17.7% ) (2) juvenile homes is extroverted as many as 32 people (51.6%) and 30 men (48, 4%) introverted (3) there is a difference significant emotional focused coping in adolescents with personality eksrovert and introverted personality whereby adolescents eksrovert higher with an average of 67.6875 of the introverted adolescents with an average of 43.8667
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Masalah Masa remaja adalah masa transisi dari
masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Masa remaja berlangsung antara usia 12
sampai 21 tahun dan terbagi menjadi masa remaja awal usia 12 sampai 15 tahun,
masa remaja pertengahan usia 15 sampai 18 tahun, dan masa remaja akhir usia 18
sampai 21 tahun (Monks, 2002). Masa remaja dianggap sebagai masa labil, dimana
individu berusaha mencari jati dirinya dan mudah sekali menerima informasi dari
luar dirinya tanpa ada pemikiran lebih lanjut. (Hurlock, 2004). Masa peralihan
yang dialami oleh remaja mendorong mereka untuk menghadapi berbagai tuntutan
dan tugas perkembangan yang baru. Tugas perkembangan yang harus dijalankan oleh
remaja menurut Havighurst (Hurlock, 1994) yaitu mencapai hubungan baru dan yang
lebih matang dengan teman-teman sebaya baik pria maupun wanita, mencapai peran
sosial pria atau wanita, menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya
secara efektif, mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang
bertanggungjawab, mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang
dewasa lainnya, mempersiapkan karir ekonomi, mempersiapkan perkawinan dan
keluarga, memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk
berperilaku mengembangkan ideologi. 2 Banyaknya tugas perkembangan remaja
tersebut menuntut dirinya untuk dapat melaksanakannya, dan jika remaja tak
mampu memenuhi kebutuhankebutuhannya tersebut maka akan timbul perasaan kecewa
atau frustasi pada diri remaja. Perasaan konflik dan kecewa dapat dipastikan
terjadi pada siswa remaja yang berupaya untuk mencapai dua tujuan yang
bertentangan. (Hardy 1974, Kugelmann, 1973 dalam Elida Prayitno, 2000). Pada
masa ini pula, sebagian besar remaja mengalami banyak hambatanhambatan dalam
menjalani kehidupannya. Hall (dalam Papalia, 1998) menyebutkan bahwa periode
ini merupakan periode badai dan tekanan “storm and stress”. Karena dalam fase
ini ditandai oleh perubahan besar yaitu diantaranya kebutuhan untuk beradaptasi
dengan perubahan fisik dan psikologis, pencarian identitas dan membentuk
hubungan baru termasuk mengekspresikan perasaan seksual. (Santrock, 1998).
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Walker (2002) pada 60 orang remaja,
mengalami stress. Salah satu penyebabnya adalah tragedi yang ada dalam
kehidupan mereka misalnya, kematian, perceraian dan penyakit yang dideritanya
atau diderita anggota keluarganya. Begitu pula hasil penelitian dari
Furnamawati (2007), penelitian tersebut menyatakan bahwa sebagian besar remaja
yang tinggal di panti asuhan memiliki kecenderungan depresi tingkat sedang yang
cenderung ke tinggi, dari 112 anak diantaranya 15 orang depresi rendah, sedang
55 orang dan 42 orang dengan depresi tinggi. Panti asuhan adalah tempat untuk
memelihara anak-anak yang orang tuanya tidak mampu mengasuh dan membiayai
mereka. Anak yang dirawat di 3 panti asuhan tidak semuanya dirawat sejak bayi
atau kecil, sehingga perubahan yang tiba-tiba dari kehidupan sebelumnya ke kehidupan
di panti asuhan biasanya menyebabkan kesulitan dalam beradaptasi. Hal yang
paling sering terjadi pada anak panti asuhan sebagai reaksi terhadap stres
berupa gangguan makan dan tidur, sikap antisosial, kecemasan, kemarahan,
perilaku menghindar, dan rasa takut. (Kaplan & Sadock, 1995). Penghuni
panti asuhan bukan saja dari kalangan anak-anak, akan tetapi mulai dari
anak-anak hingga dewasa. Penghuni panti asuhan tersebut adalah orang-orang yang
mengalami berbagai permasalahan sosial (Muchti, 2000). Dari sensus penduduk
yang dilakukan pemerintah pada tahun 2004 tercatat sebanyak 5,2 juta anak
mengalami permasalahan sosial dan sebagian besar adalah remaja. Remaja yang
tinggal di panti asuhan, diantaranya ada yang sudah tidak mempunyai ayah atau
ibu bahkan ada yang sudah tidak mempunyai keduanya, ketika mereka mengalami
masalah seperti kegagalan dalam berprestasi di sekolah, nilai ujian yang buruk,
dan masalah dengan teman sebaya akan menimbulkan stress, dan untuk
menyelesaikan masalah tersebut dibutuhkan motivasi dan dukungan dari orang tua.
Namun, bagi remaja yang tinggal di panti asuhan, tidak adanya orang tua di
dekat mereka untuk memotivasi dan mendukung mereka dalam mengatasi masalah akan
memperpanjang stres mereka. Selain itu, kebutuhan akan kasih sayang dari kedua
orang tua dapat menyebabkan beban pikiran yang akan menimbulkan stres. Stress
merupakan salah satu reaksi atau respon psikologis manusia saat dihadapkan pada
hal-hal yang dirasa sudah melampaui batas atau dianggap sulit 4 untuk dihadapi.
Stres membuat seseorang yang mengalaminya berpikir dan berusaha keras dalam
menyelesaikan suatu permasalahan atau tantangan dalam hidup. Stres memang
merupakan bagian dari dinamika kehidupan manusia. Mustahil, orang sepanjang
hidupnya tidak pernah mengalami stress. Namun demikian, masing-masing individu
telah diberi kemampuan untuk dapat beradaptasi dengan keadaan yang menyebabkan
stress (stressor). Definisi stres dari respon mengacu pada keadaan stres,
reaksi seseorang terhadap stres, atau berada dalam keadaan di bawah stress.
(Lazarus & Folkman, 1984). Kemampuan mengelola stress ini dalam istilah
psikologi disebut dengan strategi coping. Lazarus dan Folkman (dalamYusuf dan
Nurihsan, 2006) mendefinisikan coping sebagai suatu proses mengelola tuntutan
(internal atau eksternal) yang ditaksir sebagai beban karena di luar kemampuan
diri individu. Sementara Weiten dan Llyod (dalam Siswanto, 2007) mengemukakan
bahwa coping merupakan upaya-upaya untuk mengatasi, mengurangi atau
mentoleransi ancaman atau beban perasaan yang terjadi karena stress.
Sederhananya, coping dapat diartikan sebagai reaksi individu ketika menghadapi
stress. Kemampuan coping pada setiap individu berbeda-beda tergantung pada
beberapa faktor seperti kondisi individu, kepribadian, sosial kognitif, hubungan
dengan lingkungan sosial dan strategi coping yang dipilih (Smet, 1944). Dalam
pemilihan strategi coping, berbeda-beda untuk tiap-tiap individu tergantung
bagaimana permasalahan yang dihadapi dan bagaimana situasi yang 5 mempengaruhi
stressor tersebut. Strategi coping yang dapat dipilih ada dua, yaitu strategi
problem focused coping dan strategi emotional focused coping. Strategi problem
focused coping digunakan untuk mengurangi stressor atau mengatasi stres dengan
cara mempelajari cara-cara atau ketrampilanketrampilan yang baru. Individu akan
cenderung menggunakan strategi ini bila dirinya yakin dapat merubah situasi
yang mendatangkan stres. Sedangkan strategi emotional focused coping digunakan
untuk mengatur respon emosional terhadap stres. Pengaturan ini melalui perilaku
individu, seperti penggunaan alkohol, bagaimana meniadakan fakta-fakta yang
tidak menyenangkan, melalui strategi kognitif. Bila individu tidak mampu
mengubah kondisi yang penuh dengan stres, maka individu akan cenderung untuk
mengatur emosinya. (Smet, 1994). Berkaitan dengan penelitian ini, ternyata
Emotional focused coping lebih sesuai dilakukan oleh subjek yang berusia
berkisar antara 17 sampai 20 tahun karena mereka belum mencapai tahap
perkembangan yang matang untuk bisa menggunakan problem focused coping.
(Tanumidjojo, 2004). Sedangkan berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan oleh Basuki, Yudiarso, dan Tanumidjojo (2004) mengungkapkan bahwa
orang akan cenderung menggunakan strategi coping yang tergolong dalam Emotional
focused coping, dimana metode ini memang lebih sesuai untuk mengatasi stress
yang disebabkan oleh kondisi yang tidak dapat dirubah ataupun dengan kondisi
yang dapat dirubah namun dalam jangka waktu yang cukup lama. Menurut Lazarus
(dalam Effendi, 1999) Emotional focused coping adalah upaya untuk mencari dan
memperoleh rasa nyaman dan memperkecil tekanan 6 yang dirasakan, yang diarahkan
untuk mengubah faktor dalam diri sendiri dalam cara memandang atau mengartikan
situasi lingkungan, yang memerlukan adaptasi yang disebut pula perubahan
internal. Emotional focused coping berusaha untuk mengurangi, meniadakan
tekanan, untuk mengurangi beban pikiran individu, tetapi tidak pada kesulitan
yang sebenarnya. Menurut Pramadi (2003) Emotional focused coping merupakan respon
yang mengendalikan penyebab stress yang berhubungan dengan emosi dan usaha
memelihara keseimbangan yang efektif. Perilaku coping yang berpusat pada emosi
yang digunakan untuk mengatur respon emosional terhadap stress. Sementara
menurut Hapsari (2002) Emotional focused coping merupakan pelarian dari masalah
dimana individu menghindari masalah dengan cara berkhayal atau membayangkan
seandainya dia berada pada situasi yang menyenangkan. Menurut Lazarus dkk
(dalam Aldwin dan Revenson 1987) indikator yang menunjukkan strategi yang
berorientasi pada emotional focused coping yaitu Escapism (pelarian dari
masalah), Minimazation (menganggap masalah seringan mungkin) , self blame
(menyalahkan diri sendiri), seeking meaning (mencari hikmah yang tersirat).
Emotional focused coping memungkinan individu melihat sisi kebaikan (hikmah)
dari suatu kejadian, mengharap simpati dan pengertian orang lain atau mencoba
melupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan hal yang telah menekan
emosinya, namun hanya bersifat sementara (Folkman & Lazarus, 1985).
Maksudnya individu belajar mencoba dan mengambil hikmah atau nilai dari segala
usaha yang telah dilakukan sebelumnya dan dijadikan latihan pertimbangan 7
untuk menyelesaikan masalah berikutnya, hal ini merupakan bentuk emotional
focused coping adaptif,contohnya jika ada masalah dapat diceritakan kepada
teman atau anggota keluarga. Hal ini bertujuan agar beban dapat berkurang
walaupun hanya bersifat sementara karena individu menyelesaikan masalah dengan
cara represi yaitu berusaha menekan masalah yang dihadapinya. Namun masalah
yang sebenarnya belum terselesaikan atau dilupakan untuk sementara waktu saja.
Kecenderungan individu dalam memilih strategi coping dipengaruhi oleh beberapa
faktor. Menurut Lazarus dan Folkman (dalam Pramadi dan Lasmono, 2003)
sumber-sumber individual seseorang seperti pengalaman, persepsi, kemampuan
intelektual, kesehatan, kepribadian, pendidikan dan situasi yang dihadapi
sangat menentukan proses penerimaan suatu stimulus yang kemudian dapat
dirasakan sebagai tekanan atau ancaman. Faktor yang mempengaruhi coping sebagai
upaya untuk mengatasi stress adalah dukungan sosial dan kepribadian (Asiyah,
2012). Syamsu yusuf (2004) mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi coping
sebagai upaya mereduksi atau mengatasi stress adalah dukungan sosial (social
support) dan kepribadian (personality). Dukungan sosial, menurut Syamsu Yusuf
diartikan sebagai pemberian bantuan atau pertolongaan terhadap seseorang yang
mengalami stress dari orang lain yang memiliki hubungan dekat (saudara atau
teman). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Anggarani (2009)
dinyatakan bahwa ada hubungan antara dukungan sosial dengan strategi coping
pada penderita pasca stroke. 8 Menurut Syamsu Yusuf (2004) kepribadian
mempunyai pengaruh yang cukup berarti terhadap coping atau usaha dalam
mengatasi stress yang dihadapinya, seperti kepribadian hardiness, optimis dan
humoris. Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Scheir dan Carver
(1985) membuktikan bahwa terdapat korelasi antara sikap optimis dengan
kesehatan fisik yang baik pada para mahasiswa. Selain itu Martin dan Lefcourt
(Syamsu Yusuf, 2004) juga menenemukan bahwa humor dapat berfungsi untuk
mengurangi dampak negatif stress terhadap suasana hati atau perasaan seseorang.
Sehingga dari sini terlihat bahwa kepribadian seseorang cukup berperan dalam
coping yang dipilih. Setiap manusia memiliki tipe kepribadian yang melekat pada
diri mereka. Tiap individupun berbeda-beda kepribadiannya. Tipe kepribadian
menurut Eysenck dibagi menjadi dua, yaitu tipe kepribadian ekstrovert dan
introvert. Eysenk menegaskan bahwa individu dengan kepribadian ekstrovert
cenderung mampu mengekspresikan perasaannya dengan lebih bebas, tidak perlu
merasa takut terhadap akibatnya, dan berani bertanggungjawab atas apa yang
dilakukannya. Sedangkan tipe kepribadian introvert adalah kebalikan dari trait
ekstrovert, yakni sulit bergaul, statis, pasif, ragu, taat aturan, sedih,
minus, lemah, dan penakut. Individu dengan tipe kepribadian ini cenderung
tertutup, susah mengungkapkan apa yang diinginkannya, dan takut menanggung
akibat atas perbuatannya Dalam penelitian terdahulu, yang dilakukan oleh
Wulandari (2002) ditemukan bahwa ada perbedaan emotional focused coping dalam
hubungan interpersonal antara remaja yang mengikuti les musik klasik dan yang
tidak 9 mengikuti les musik klasik. Hal ini juga dibuktikan pula oleh Theodora
Elma Tambuwun (2011) bahwa ada perbedaan penggunaan emotional focused coping
pada tiga divisi di Adira Insurance. Kedua penelitian tersebut diperkuat
kembali oleh Tirza Alvina Ruth (2011) yang menyatakan bahwa ada perbedaan
penggunaan strategi emotional focused coping antara yang menggunakan motor dan
yang menggunakan mobil. Berkaitan dengan penelitian diatas, peneliti melihat
fenomena di panti asuhan adz-Dzikraa Arjasa Situbondo. Panti asuhan ini
merupakan salah satu panti asuhan yang ada di Situbondo, dengan jumlah populasi
remaja sebanyak 248 orang. Studi pendahuluan yang dilakukan adalah metode
wawancara terhadap 4 orang anak remaja yang tinggal di panti asuhan Adz-Dzikraa
ini. Dari wawancara tersebut didapat informasi bahwa mereka pernah mengalami
masalah yang menjadi beban pikiran seperti permasalahan dalam keluarganya,
keinginan untuk membeli sesuatu yang tidak terwujud, rindu dengan orang tua,
susah menyesuaikan diri dengan lingkungan panti ataupun di luar panti. Peneliti
juga melakukan observasi, dan terlihat pada wajah mereka yang sedih ketika
peneliti bertanya mengenai keberadaan orang tuanya. Peneliti juga menanyakan
tentang cara mereka menghadapi masalah atau mengatasi stress tersebut, beberapa
remaja mengaku sudah cukup dengan membaca shalawat, menangis pada saat sholat
malam, menyendiri, sedangkan yang lain mengaku dapat meringankannya dengan
berkumpul bercanda ria bersama teman. Terlihat jelas bahwa cara-cara tersebut
merupakan strategi tipe emotional focused coping, di mana seseorang berupaya 10
mengatasi ketegangan melalui pengatasan terhadap reaksi emosional yang mereka
rasakan. Munculnya strategi emotional focused coping disebabkan oleh beberapa
faktor, salah satunya adalah tipe kepribadian, dan diantara banyak jenis tipe
kepribadian adalah ekstrovert dan introvert. Bermula dari sini, peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian tentang“ Perbedaan Strategi Emotional
Focused Coping Pada Remaja Panti Asuhan Adz-Dzikraa Arjasa Situbondo ditinjau
dari Tipe Kepribadian Ekstrovert dan Introvert “. B. Rumusan Masalah 1.
Bagaimana tingkat strategi emotional focused coping pada remaja panti asuhan
Adz-Dzikraa? 2. Bagaimana tipe kepribadian pada remaja panti asuhan
Adz-Dzikraa? 3. Bagaimana perbedaan strategi emotional focused coping remaja
panti asuhan Adz-Dzikraa ditinjau dari tipe kepribadian ekstrovert dan
introvert? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui tingkat strategi emotional
focused coping pada remaja panti asuhan Adz-Dzikraa. 2. Untuk mengetahui tipe
kepribadian pada remaja panti asuhan AdzDzikraa. 11 3. Untuk mengetahui
perbedaan tingkat strategi emotional focused coping remaja panti asuhan
Adz-Dzikraa ditinjau dari tipe kepribadian ekstrovert dan introvert. D. Manfaat
Penelitian 1. Manfaat Teoritis Peneliti berharap penelitian ini akan membawa
manfaat pada pengembangan teori keilmuan psikologi pada umumnya dan psikologi
klinis pada khususnya. 2. Manfaat Praktis Diharapkan hasil penelitian ini dapat
dijadikan bahan pertimbangan pengasuh, pendidik, guru, dan orang – orang yang
berhubungan dengan panti asuhan dan anak asuhnya agar menjadi lebih baik lagi.
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment