Abstract
INDONESIA:
Pada saat ini, anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) di sekolah inklusi sangat memerlukan rasa percaya diri. Sebaiknya guru lebih memperhatikan ABK melalui perlakuan yang sesuai agar rasa percaya diri anak meningkat. Percaya diri merupakan salah satu pangkal dari sikap dan perilaku anak, sehingga semakin tinggi rasa percaya diri anak maka semakin mudah pula anak menghadapi tantangan dalam kesehariannya terutama bagi anak berkebutuhan khusus (ABK).
Adanya labelisasi sosial yang negatif bahwa ABK merupakan anak yang ”mendho” atau ”goblok” dari masyarakat daerah Sidowayah, terkait keberadaan sekolah inklusi yang ada di SDN 04 Krebet memunculkan deskriminasi terhadap ABK di daerah tersebut. Sebagian besar ABK memang aktif tetapi tidak responsif dan produktif dalam belajar, pendiam, lamban, minder dan kurang mampu bersosialisasi.
Dengan keterbatasan yang ada di Sidowayah, munculah inisiatif untuk menggunakan suatu metode pendekatan yaitu positive deviance, yang pada dasarnya pendekatan ini bisa diterapkan untuk berbagai permasalahan, terutama yang memerlukan perubahan sosial atau perilaku.
Melalui metode action research yang didukung pengolahan data secara deskriptif disertai kuantitatif sebagai pelengkap, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana peran posistive deviance guru dalam meningkatkan self confidence ABK. Subyek berjumlah 13 siswa kelas inklusi di SDN 04 Krebet, Sidowayah Ponorogo.
Penelitian dilakukan kurang lebih selama 1 bulan dan setelah diterapkan positive deviance guru sebagai proses tindakannya ternyata mampu meningkatkan indikator self confidence beserta jumlah prosentase siswa ABK yang percaya diri, dari yang awalnya hanya 23% meningkat kurang lebih hingga 46%.
Kesimpulannya bahwa penelitian ini selain mampu membuktikan kebenaran hipotesisnya, yaitu positive deviance memiliki peran dalam meningkatkan self confidence ABK, maka dapat dikatakan juga bahwa positive deviance juga bisa diterapkan pada bidang pendidikan terutama yang berkaitan dengan siswa ABK di kelas inklusi.
ENGLISH:
At this time, children with special needs in inclusive schools are in need of self- confidence. Teachers should pay more attention to children with special needs through the appropriate treatment for the child's confidence increases. Self-confidence is one of the base of the attitudes and behavior, so the higher the confidence of children so the more easily the challenges children face in their daily life especially for children with special needs (ABK).
The existence of negative social labeling that ABK is a child who "mendho" or "stupid" from the local community Sidowayah, related to the presence of inclusion in school SDN 04 Krebet led to discrimination against the crew in the area. Most of the crew was active but non- responsive and productive in the study, quiet, slow, insecure and less able to socialize.
With the limitations that exist in Sidowayah, came the initiative to use a method that is positive deviance approach, which is basically the approach can be applied to various problems, particularly those requiring social or behavioral changes.
Through action research methods are supported by descriptive data processing with complementary quantitative, this study aims to determine how the the role of teacher positive peviance to improve self- confidence For Children with Special Needs (ABK). The subjects totaled 13 grade students in SDN 04 Krebet inclusion, Sidowayah Ponorogo..
The study was conducted for about one month after the applied teacher positive deviance as the act was to increase self confidence indicator and the number of ABK percentage of students who are confident, from the beginning only increased approximately 23% to 46%.
The conclusion that the study is in addition able to prove the truth of the hypothesis, that positive deviance has a role in increasing self confidence ABK, it can be said also that the Positive Deviance can also be applied to the field of education especially with regard to inclusion of students in the class crew.
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Semarak dan bertambah gencarnya berbagai upaya
dalam memberikan perhatian yang lebih intensif terhadap pendidikan anak
berkebutuhan khusus (ABK), lebih – lebih sejak disahkannya UU No.20/2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang berbunyi "Pelayanan pendidikan
bagi penderita anak cacat atau Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) telah diatur
pemerintah dalam bentuk sekolah inklusi". Sehingga aplikasi dari UU
tersebut, keberadaan sekolah inklusi kini mempunyai pengaruh yang besar bagi
dunia pendidikan dari tingkat Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas.
Sekolah ini berpedoman bahwa anak berkebutuhan khusus (ABK) memiliki kedudukan
yang sama dengan anakanak normal lain dalam sekolah umum. Keberadaan anak yang
memerlukan perhatian dari beberapa orang, membuat ABK semakin percaya diri
untuk bermimpi ke masa depan. (http://slbmekarsari1-cibinong.com / 23 Maret
2012) Anak-anak berkebutuhan khusus di masa ini, sangat memerlukan rasa percaya
diri. Agar rasa percaya diri anak tumbuh sebaiknya orang tua lebih
memperhatikan anak, misalnya dengan meluangkan waktu bersama anak, jangan
menaruh harapan yang tinggi kepada anak jika tidak sesuai dengan kemampuan anak
dan hindari sikap over protective. Percaya diri merupakan salah satu pangkal
dari sikap dan perilaku anak. Apabila anak tidak mempunyai rasa percaya diri,
anak akan merasa malu, kapan dan di mana saja bila tampil, dan tidak berani
untuk bergaul, anak juga tidak 2 berani untuk menunjukkan kemampuan yang
dimilikinya kepada orang lain. Karena hal tersebut mengakibatkan
potensi/kemampuannya tidak berkembang. Tentu setiap orang tua tidak menginginkan
hal seperti ini terjadi pada anakanaknya. Pada saat ini terlihat banyak orang
tua yang kerap meletakkan harapanharapan yang terlalu tinggi pada anaknya.
Padahal seharusnya harapan itu disesuaikan dengan kemampuan anak itu sendiri.
Bila kemampuan anak tidak sampai pada yang diharapkan orang tua, akibatnya anak
akan sering mendapat kritikan, rasa takut, kekecewaan. Hal ini mengakibatkan
anak kehilangan rasa kepercayaan pada kemampuan dirinya sendiri. Semakin tinggi
rasa percaya diri anak maka semakin mudah anak menghadapi tantangan dalam
hidupnya terutama untuk anak berkebutuhan khusus (ABK). Tidak ada anak yang
menolak diberi pujian terutama saat anak telah berhasil mengerjakan
pekerjaannya dengan baik dan bersikap positif. Tetapi pada anak berkebutuhan
khusus, pujian menjadi minim karena anak seringkali bersikap tidak pada
tempatnya atau tidak sewajarnya. Psikolog perkembangan anak dari Developmental
Pediatrician of New Hyde Park, New York, Kate Rauch, mengatakan standar pujian
pada anak umumnya berbeda dengan anak berkebutuhan khusus. Berikan pujian saat
anak berhasil melakukan hal-hal yang sederhana, misalnya anak bertahan duduk di
meja makan selagi menghabiskan sarapannya. Hindari terfokus hanya pada perilaku
buruk anak. Sebaiknya sesuaikan pandangan anda dengan kemampuan anak.
Selanjutnya “orang tua perlu bersikap realistis dalam menaruh harapannya 3 pada
anak, dan membuka mata pada potensi anak lalu bantu anak mengembangkannya,”
ujar Helen Neville, parent educator di Rumah Sakit Kaiser, Oakland, California.
(http://www.inspiredkidsmagazine.com / 20 Maret 2012). Sekarang ini adanya
sekolah inklusi memang sangat berarti bagi ABK. Diberikannya pelayanan anak
berkebutuhan khusus secara berkesinambungan dengan cara memberikan layanan
pendekatan pelan-pelan dari guru dan orang tua menjadikan mereka lebih baik.
Peran orang tua yang dijadikan sebagai teman yang selalu mendengarkan dan
tempat mengadu anak dalam menceritakan masalah yang dihadapi membuat ABK nyaman
tanpa adanya kecanggungan. Di sekolah inklusi juga menyediakan ruang khusus
untuk siswa yang mempunyai permasalahan untuk mengadakan bimbingan secara
intensif setelah jam pelajaran biasa selesai. Jadi, anak berkebutuhan khusus
(ABK) disamping mendapatkan layanan pendidikan, tetapi mereka juga mendapat layanan
tambahan di luar jam pelajaran. Hal tersebut dapat meningkatkan kepercayaan
diri anak dalam bergaul dengan anak normal lainnya sesuai dengan kondisi
lingkungan. Bagaimana fakta di lapangan seperti halnya yang terjadi terutama di
daerah Sidowayah, tepatnya terletak di Kecamatan Jambon, Ponorogo. Daerah
tersebut belum mendapatkan perhatian dan dukungan yang optimal terkait
pendidikan bagi para ABK. Keberadaan dari sekolah inklusi yang digabungkan
dengan SDN 04 Krebet, Sidowayah juga masih memiliki banyak faktor yang menjadi
kendala meski sebenarnya sudah memiliki tempat / ruang sendiri ( lampiran data
validasi Jatim). 4 Adanya stigmasi sosial yang salah dari masyarakat daerah
tersebut khususnya, terkait keberadaan sekolah inklusi yang ada di SDN 04 Krebet
sehingga terjadilah deskriminasi terhadap para ABK di daerah tersebut.
Labelisasi yang muncul adalah anggapan bahwa ABK itu adalah anak yang “mendho”
atau “goblok” sehingga mereka masuk dalam program inklusi (Mahpur, 2011:12).
Salah pemahaman lagi pada masyarakat di sana bahwa adanya sekolah inklusi di
SDN 04 Krebet tersebut diperuntukkan bagi anak yang tidak pintar dan karena
itulah informasi yang sampai kepada pihak keluarga khususnya orang tua
memberikan dampak negatif terhadap perkembangan mental diri para ABK yang ada
di kelas inklusi tersebut. Salah satunya yaitu mereka menjadi kurang percaya
diri, merasa minder dengan apa yang ada pada diri mereka dan dari pandangan
lingkungan tempat tinggal serta di sekolah ketika mereka belajar (Mahpur,
2011:14). Sering ditemui ABK yang aktif tetapi tidak responsif dan produktif
dalam kegiatan belajar, pendiam padahal dari teman-teman yang lain sedang
bermain bersama. Tetapi juga tidak jarang sebagai usaha menutupi rasa mindernya
maka beberapa dari ABK berkumpul membentuk group sendiri untuk bermain.
Selanjutnya ketika di dalam kelas karena merasa asing dan berbeda dengan teman
lainnya maka ada beberapa dari mereka yang bertindak hiperaktif, hampir tidak
bisa diam, berteriak-teriak, berbicara sendiri dengan teman sebangku. Semua itu
menandakan bahwa mereka (ABK) kurang diakui dan minim perhatian sehingga
mengalami hambatan dalam perkembangan rasa percaya dirinya. 5 Selanjutnya
dengan keterbatasan yang ada di Sidowayah maka munculah inisiatif untuk
menggunakan suatu metode pendekatan yaitu PD (positive deviance), yang hakikat
dari positive deviance itu sendiri pada dasarnya bisa diterapkan untuk berbagai
permasalahan, yang di dalamnya memerlukan perubahan sosial atau perilaku dimana
sudah ada individu-individu di dalam masyarakat, organisasi maupun komunitas
tersebut yang sudah berhasil menemukan strategi untuk mengatasi permasalahan
yang sama. Dan sebelumnya telah diperoleh beberapa informasi bahwa metode ini
sering digunakan dalam poblematika kesehatan, contohnya seperti uraian di bawah
ini : PROBLEMATIKA GIZI BURUK SEPERTI GUNUNG ES BOGOR, KAMIS 4 DESEMBER 2008.
Permasalahan gizi buruk seperti fenomena gunung es karena jumlah balita (anak
usia di bawah lima tahun) yang mengalami gizi buruk lebih dari asumsi yang sudah
diperkirakan berbagai pihak. "Oleh sebab itu, upaya penanganan masalah
gizi perlu dilakukan secara simultan agar semakin banyak balita yang
terselamatkan dari status gizi buruk," ungkap Direktur Rumah Konseling ASI
Yasmina Iis Istiqomah di Bogor, Kamis (4/12). "Secara langsung, masalah
gizi dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu anak tidak mendapatkan makanan bergizi
yang cukup, anak tidak mendapatkan pola asuh (asuhan gizi) yang memadai, dan
adanya penyakit infeksi yang menyertai anak. Ketiga hal tersebut secara tidak
langsung berhubungan dengan tingkat pendidikan, daya beli masyarakat, kondisi
lingkungan, dan pelayanan kesehatan," papar Iis. Salah satu pendekatan
program yang cukup berhasil dalam menurunkan angka kurang gizi dan mencegah
munculnya kurang gizi kembali adalah program positive deviance. Program ini,
kata Iis, merupakan program pemberian makanan tambahan yang tidak hanya fokus
pada pemberian makanan, tetapi juga pada perubahan aspek perilaku dalam
kesehatan dan pengasuhan anak. "Proses positive deviance menggunakan
kearifan lokal untuk mencegah dan mengatasi masalah kurang gizi dan
menyebarluaskan kearifan lokal ke seluruh masyarakat," katanya. 6
Pendekatan ini berlandaskan pada pemikiran bahwa beberapa pemecahan masalah
terhadap masalah masyarakat telah ada di dalam masyarakat itu sendiri yang
perlu ditemukan, ungkap Iis. Menurut Iis, dalam pendekatan ini para sukarelawan
di masyarakat dan orangtua dari anak-anak yang menderita kurang gizi
mempraktikkan perilaku-perilaku baru dalam hal memasak, pemberian makanan,
kebersihan diri, dan sesi hearth. "Sesi hearth terdiri atas dua hal, yaitu
rehabilitasi gizi dan pendidikan selama 12 hari yang diikuti dengan kunjungan
rumah oleh para staf lapangan dan sukarelawan," ujar perempuan berkacamata
itu. Positive deviance itu dilakukan sebagai upaya mempromosikan perubahan
perilaku dan memperkuat para pengasuh anak untuk bertanggung jawab atas
rehabilitasi gizi anak mereka dengan menggunakan pengetahuan dan sumber daya
lokal. Iis mengatakan, setelah dua minggu diberi makanan tambahan yang tinggi
kandungan energinya, anak-anak akan menjadi lebih energik dan nafsu makan akan
lebih meningkat.( http://cpddokter.com/home / 23 Maret 2012 ). Selain itu,
adanya upaya pendekatan PD juga dapat diterapkan ke dalam bidang kerja dan
kehidupan seperti : mengurangi tingginya angka kematian bayi yang baru lahir di
pedesaan dan daerah miskin, penanggulangan anemia pada wanita usia subur,
meningkatkan jumlah ibu yang memberikan ASI eksklusif sampai 6 bulan,
mengurangi resiko penggunaan jarum suntik pada pengguna narkoba yang beresiko
terhadap terinfeksi HIV/AIDS dan mengurangi masalah kegemukan dan serangan
jantung (http://www.coregroup.org/working_groups/
South_Asia_Hearth_Workshop.pdf / 23 Maret 2012). Selanjutnya, dengan adanya uraian
di atas maka kali ini berusaha menerapakan positive deviance di bidang
pendidikan terutama ditujukan kepada anak berkebutuhan khusus di sekolah
inklusi terutama untuk membantu meningkatkan rasa percaya diri (self
confidence). Perlu diketahui bahwa Sears (1992:265) mengatakan ada beberapa
faktor yang mempengaruhi pembentukan 7 kepercayaan diri pada diri seseorang,
yaitu : pola asuh orang tua, sekolah, teman sebaya, masyarakat dan
pengalaman-pengalaman pribadinya. Khususnya faktor di lingkungan sekolah, guru
adalah panutan utama bagi siswanya. Perilaku dan kepribadian seorang guru
berdampak besar bagi pemahaman gagasan dalam pikiran siswa tentang diri mereka.
Maka di sinilah peran dari positive deviance pada guru sangat dibutuhkan. Di
sisi lain aspek perhatian dan perlakuan guru sebenarnya lebih memiliki efek
yang kuat dalam membantu terbentuknya rasa percaya diri siswa apalagi bagi ABK.
Perilaku guru yang menunjukan perhatian, penerimaan, cinta dan kasih sayang
serta kelekatan emosional yang tulus ketika mendidik siswa, akan membangkitkan
rasa percaya diri pada siswa tersebut. Siswa akan merasa bahwa dirinya berharga
dan bernilai di mata gurunya. Meskipun siswa tersebut melakukan kesalahan, dari
sikap seorang pendidik atau guru melihat bahwa dirinya tetap dihargai dan
dikasihi dan tanpa disadari betul bahwa sebenarnya hal ini termasuk dari
positive deviance pada guru. Akan tetapi karena wujud perilaku positive
deviance yang dilakukan oleh guru itu berbeda-beda maka dari itu diperlukan
klarifikasi baik pelaku maupun perilakunya juga agar dapat menentukan dimensi
dari positive deviance yang efektif terutama untuk meningkatkan rasa percaya
diri siswa ABK. Mengenai penelitian atau studi terdahulu yang membahas tentang
positive deviance masih belum ada namun demikian ada beberapa artikel maupun
jurnal yang membahasnya terkait hasil dari temuan penyelidikan positive
deviance digunakan untuk merancang program intervensi P3G (Program Pendidikan
dan Pemulihan Gizi),dan kemudian hasilnya dapat dilihat pada perubahan perilaku
8 pada anak, pengasuh, keluarga dan tetangga (pdnetworkindo@yahoogroups.com /
23 Maret 2012). Di sisi lain penelitian terdahulu yang mengkaji terkait self
confidence diantaranya berjudul “Hubungan antara Rasa Percaya Diri dengan
Kebutuhan Berafiliasi Siswa Kelas III di MTsN Malang 2 Cemorokandang” oleh
Sindi Atu Lestari L. B dengan kesimpulan bahwa semakin tinggi rasa percaya diri
maka akan dapat menurunkan kebutuhan berafiliasinya. Kemudian ada penelitian
yang mengkaji hubungan rasa percaya diri dengan kemandirian yang dilakukan oleh
bayu Eka Dermawan dengan subyeknya adalah siswa MTs M 01 Pondok Modern
Muhammaddiyah Paciran, Lamongan yang hasilnya adalah semakin tinggi rasa
percaya diri siswa maka semakin tinggi pula kemandiriannya. Hisbi Nur Baiti juga
melakukan penelitian tentang percaya diri dengan skripsinya yang berjudul
“Pengaruh Percaya Diri Terhadap Prestasi Belajar Siswa Kelas VIII di MTs
Miftahul Huda Muncar, Banyuwangi” dan hasilanya bahwa tidak adanya pengaruh
yang signifikan antara rasa percaya diri terhadap siswa tersebut. Tetapi hasil
tersebut berbanding terbalik dengan skripsi karya Khoirun Nisa’ tentang
“Hubungan antara Kepercayaan Diri dengan Motivasi Berprestasi Siswa” yang
menyimpulkan bahwa adanya hubungan positif antara tingkat kepercayaan diri
dengan motivasi berprestasi siswa SMA Mazra’atul Ulum Paciran. Sehingga apabila
tingkat kepercayaan diri siswa tinggi maka motivasi berprestasi pun juga
semakin tinggi. Tidak berbeda jauh dengan penelitian yang dilakukan oleh Dwi
Safitri yaitu tentang hubungan antara keparcayaan diri dengan penyesuaian
sosial 9 mahasiswa di fakultas psikologi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang bahwa
hasilnya menunjukkan antara kepercayaan diri berbanding seimbang/seiring dengan
tingkat penyesuaian diri mahasiswa. Jadi apabila tingkat kepercayaan diri
mahasiswa fakultas psikologi itu tinggi maka akan semakin tinggi pula tingkat
penyesuaian atau adaptasi sosial dari mahasiswa tersebut. Oleh karena itu,
berdasarkan pemikiran dan berbagai uraian maupun informasi yang diperoleh di
atas, maka akan diungkap lebih dalam masih keterkaitannya dengan rasa percaya
diri (self confidence) namun dalam konteks dan wacana yang berbeda melalui
sebuah hasil karya ilmiah yang berupa skripsi dengan judul : “PERAN POSITIVE
DEVIANCE GURU DALAM MENINGKATKAN RASA PERCAYA DIRI (SELF CONFIDENCE) ABK
(Penelitian Tindakan di SDN 04 Krebet Dusun Sidowayah, Kecamatan Jambon,
Kabupaten Ponorogo ) B. Rumusan Masalah Sesuai dengan apa yang menjadi latar
belakang terkait berbagai hal yang menjadi dasar dari penelitian ini, maka
rumusan masalahnya adalah : 1) Bagaimana kondisi mental ABK terkait rasa
percaya diri mereka selama berada di program kelas inklusi SDN 04 Krebet,
Sidowayah, Jambon Ponorogo? 2) Apa saja dimensi positive deviance guru yang efektif
untuk meningkatkan rasa percaya diri ABK? 3) Perubahan apa yang terjadi pada
self confidence ABK ketika pre-test dan post-test ? 10 4) Bagaimana peran dari
positive deviance guru dalam meningkatkan rasa percaya diri (self confidence)
ABK di Kelas inklusi SDN 04 Krebet, Sidowayah, Jambon Ponorogo? C. Tujuan
Penelitian Berdasarkan pada rumusan masalah di atas maka dalam tujuannya tidak
lain tidak lain adalah untuk mengetahui secara langsung maupun tidak langsung
hasil penelitian tindakan di lapangan terkait : 1) Kondisi mental (self
confidence) ABK selama ini berada di program kelas inklusi SDN 04 Krebet,
Sidowayah, Jambon Ponorogo 2) Dimensi positive deviance guru yang efektif untuk
meningktkan rasa percaya diri ABK. 3) Perubahan yang terjadi pada self
confidence ABK ketika pre-test dan post-test. 4) Peran dari PD (positive
deviance) guru dalam meningkatkan rasa percaya diri (self confidence) anak
berkebutuhan khusus (ABK) di kelas inklusi SDN 04 Krebet, Sidowayah, Jambon
Ponorogo. D. Manfaat Penelitian Ada dua aspek yang dapat dijadikan manfaat
dalam penelitian ini, yaitu : 1. Aspek Teoritis Yaitu memperoleh wacana
sekaligus pengetahuan dan pemahaman baru tentang peranan dari PD (Positive
Deviance) yang berhubungan dengan sekolah inklusi dan anak berkebutuhan khusus
pada usaha mengembangkan rasa percaya diri ABK, agar mampu berinteraksi dan
lebih mandiri dalam bermasyarakat. 11 2. Aspek Praktis Mampu
mengimplementasikan sekaligus mengaplikasikan hasil temuan dari penelitian yang
ada di lapangan sebagai salah satu usaha meningkatkan rasa percayaa diri (self
confidence) siswa yang belajar di sekolah inklusi, yaitu terutama bagi mereka
yang termasuk dalam kategori anak berkebutuhan khusus (ABK) agar merasa nyaman,
tidak minder dan lebih mandiri baik dalam menuntut ilmu pengetahuan,
beraktifitas maupun menjalani hubungan sosialnya. Selain itu, ada lagi manfaat
penelitian ini diantaranya adalah sebagai berikut : a) Bagi guru bisa sebagai
masukan terutama guru SD berkaitan dengan halhal yang bisa mendukung optimalisasi
pengajaran dalam usaha pendidikan formal yang disertai dengan pengembangan
potensi yang ada pada ABK. b) Bagi pihak sekolah, hasil penelitian ini dapat
digunakan sebagai rujukan sekaligus bahan pertimbangan dalam mengambil
kebijakan edukasi yang tepat dan efektif terhadap peserta didik terutama mereka
yang termasuk ABK. c) Bagi orang tua sebagai saran sekaligus solusi sehingga
nantinya dapat melakukan parenting yang tepat dalam membimbing, mendampingi dan
mengembangkan potensi yang ada pada ABK melalui positive deviance. d) Bagi
ilmuwan psikologi, penelitian ini menambah wawasan teoritikal dan praktikal
dalam mengaplikasikan ilmu psikologi, khususnya di bidang psikologi pendidikan
yang berkaitan dengan positive deviance sebagai usaha untuk meningkatkan rasa
percaya diri (self confidence) anak.
ntuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" : Peran positive deviance guru dalam meningkatkan self confidence Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)." Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment