Abstract
INDONESIA:
Maraknya agresivitas terhadap anak yang terjadi di Indonesia ini merupakan isu yang sangat memilukan. Ironisnya lagi, agresivitas ini dilakukan oleh orang terdekat korban yaitu orang tua.Agresivitas ini tidak hanya dilakukan pada anak normal namun juga anak berkebutuhan khusus salah satunya anak tuna grahita. Agresivitas yang dilakukan oleh orang tua kepada anak tunagrahita ini salah satunya disebabkan oleh kurangnya penerimaan orang tua. Namun observasi awal yang dilakukan di SLB Putra Jaya Malang ini terjadi beberapa kasus agresivitas kepada anak, namun banyak orang tua yang yang memiliki penerimaan yang cukup baik. Rumusan masalah dari penelitian ini adalah bagaimana tingkat agresivitas orang tua terhadap anak tunagrahita? Bangaimana tingkat penerimaan orang tua yang memiliki anak tunagrahita? Adakah hubungan antara penerimaan orang tua dengan agresivitas orang tua terhadap anak tunagrahita?
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengatahui tingkat agresivitas orang tua terhadap anak tunagrahita di SLB Putra Jaya, mengetahui tingkat penerimaan orang tua yang memiliki anak tunagrahita di SLB Putra Jaya, dan mengetahui ada tidaknya hubungan penerimaan orang tua yang memiliki anak tuna grahita dengan agresivitas orang tua terhadap anak tunagrahita di SLB Putra Jaya Malang.
Rancangan penelitian ini menggunakan penelitian kuantiitatif korelasi.Variabel bebas dari penelitian ini adalah penerimaan orang tua dan variabel terikatnya adalah agresivitas orang tua. Populasi dari penelitian ini sekaligus menjadi sampel penelitian ini yaitu orang tua dari siswa tunagrahita di SMALB dan SMPLB Putra Jaya Malang yang berjumlah 28 responden. Istrumen pengambilan data menggunakan skala penerimaan orang tua dan skala agresivitas orang tua. Peneliti menggunakan sistem analisis item tryout terpakai karena keterbatasan sampel yang ada. Sedangkan untuk pengolahan data, dianalisis dengan Product Moment Correlation dari pearson dengan menggunakan bantuan program SPSS 16,0 for Windows.
Dari hasil analisis penelitian, didapatkan 4 responden (14%) memiliki tingkat penerimaan orang tua yang tinggi, 21 responden (75%) memiliki tingkat penerimaan orang tua yang sedang dan 3 (11%) responden memiliki tingkat penerimaan orang tua yang rendah. Untuk tingkat agresivitas, sebanyak 5 responden (18%) memiliki tingkat agresivitas tinggi, 19 responden (68%) memilikitingkat agresivitas sedang dan 4 responden (14%) memiliki tingkat agresivitas rendah. Untuk uji korelasi diperoleh rxy= -.091 danp= 0,647 dengan sampel sebanyak 28 subjek. Hal ini menunjukkan bahwa tidak adanya korelasi anatara penerimaan orang tua yang memiliki anak tunagrahita dengan agresivitas orang tua terhadap anak tunagrahita di SLB Putra Jaya karena nilai p>0,05.
ENGLISH:
The rise of aggression against a child that occurred in Indonesia, this is an issue that is very sad. Ironically, this aggressiveness is done by the victim’s closest peoplethat’s parent. Agresivitas is not only done in normal children but also children with special needs one of them mentally retardated children. Aggressiveness is done by parents to children is one of mental retardation because of parental acceptanceless. However, preliminary observations made in Putra Jaya SLB Malang been several cases of aggressiveness to the child, but many parents who have good eception enough. Formulation of the problem of this research is how the level of aggressiveness of parent to child mental retardation? Bangaimana acceptance rate of parents of children with mental retardation? Is there a correlation between parent acceptance that has mentally retarded children with the parent aggressivity towards mentally retarded children?
The aims of this researc is to know the level of aggressiveness of parents of mental retardated children in SLB Putra Jaya, determine the level of acceptance of parents with mental retardation children in SLB Putra Jaya, and determine whether there is a correlation between parent acceptance that has mentally retarded children with the parent aggressivit y towards mentally retarded children in SLB Putra Jaya Malang.
The research design is using correlation qualitative research. Free variable
from this research is parent acceptance and aggressivity as dependent variable. Population and also become the sample of this research is parents from the children in SMALB and SMPLB Putra Jaya Malang and totally have28 respondences. The research instrument is using parent acceptance and parent aggressivity scale. The researcher use try out item analizing because of the sample’s limitation, whereas to process the datum, the researcher analyze by using Product Momment Correlationfrom Pearson and helped by SPSS 16,0 Program for Windows.
from this research is parent acceptance and aggressivity as dependent variable. Population and also become the sample of this research is parents from the children in SMALB and SMPLB Putra Jaya Malang and totally have28 respondences. The research instrument is using parent acceptance and parent aggressivity scale. The researcher use try out item analizing because of the sample’s limitation, whereas to process the datum, the researcher analyze by using Product Momment Correlationfrom Pearson and helped by SPSS 16,0 Program for Windows.
The result of this research got 4 respondent (15%) that has high parent acceptance, 21 respondent (75%) has medium parent acceptance and 3(11%) respondent has low parent acceptance. For parent aggressivity, as many as 5 respondent (18%) has high aggressivity, 19 respondent (68%) has medium aggressivity and 4 respondent (14%) has low aggressivity. The correlation test got rxy= -.091 danp= 0,647 with 28 sample subject.It shows that there is no correlation between parents acceptance that has mentally retarded children with the parents aggressivity towards mentally retarded children in SLB Putra Jaya Malang because the result value is p>0,05.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kekerasan
telah menjadi kasus yang sangat familiar di Indonesia. Ada banyak sekali kasus
kekerasan yang dialami dan dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Bentuk
kekerasanpun sangat beragam seperti kekerasan seksual, tawuran, aniaya,
kekerasan rumah tangga dan lain sebagainya. Kekerasan ini sering dialami oleh
wanita, remaja bahkan anak-anak. Kekerasan terhadap anak akhir-akhir ini
meningkat cukup tajam. Jumlah kasus kekerasan pada anak di Indonesia terus
meningkat. Data dari Komisi Nasional Perlindungan Anak mencatat, pada 2007
jumlah pelanggaran hak anak yang terpantau sebanyak 40.398.625 kasus. Jumlah
itu melonjak drastis jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai
13.447.921 kasus. Data tersebut berdasarkan laporan yang masuk ke lembaga
tersebut, yang tersebar di 30 provinsi. Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan
Anak Seto Mulyadi menjelaskan, kasus pelanggaran hak anak meliputi kekerasan,
penelantaran, eksploitasi, perdagangan anak, dan penculikan
(www.gugustugastrafficking.org). ''Ini sangat mengkhawatirkan. Kekerasan secara
fisik dan psikis pada anak yang terjadi merupakan fakta yang tidak bisa lagi
disembunyikan”. Versi berbeda namun sama memprihatinkan diungkapkan tim ahli
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Rachmat Sentika. Menurutnya,
berdasarkan data yang dihimpun dari Kejaksaan Agung pada 2006 dan telah
diteruskan ke Komite Anak Dunia, dalam laporan III dan IV, terungkap berbagai
data yang 2 merisaukan perihal kekerasan terhadap anak yang telah resmi
diproses sesuai hukum. Pada laporan tersebut tercantum, terdapat 600 kasus yang
telah resmi diputus oleh Kejaksaan Agung. Dari total tersebut, 41% di antaranya
terkait dengan tindak pencabulan dan pelecehan seksual. Adapun 41% lainnya,
berkenaan dengan perkosaan. Sisanya, 3% merupakan kasus perdagangan anak, 3%
kasus pembunuhan, 7% tindak penganiayaan, sedangkan lainnya 5% tidak diketahui.
Sementara itu, sepanjang 2007, berdasarkan hasil penghimpunan berbagai berita
di 19 koran dalam rentang satu tahun terungkap, terdapat 470 kasus kekerasan
pada anak. Dari jumlah itu 67 di antaranya terbunuh, sedangkan 23 kasus lainnya
merupakan tindak perkosaan yang umumnya dilakukan pihak keluarga dekat. Rachmat
juga mengungkapkan, dari kasus perdagangan anak, rata-rata 290 ribu anak
pertahunnya menjadi buruh migran di luar negeri. Dari jumlah itu, 10% di
antaranya umumnya terkait dengan anak-anak (www.gugustugastrafficking.org).
Semakin lama tingkat kekerasan pada anak semakin meningkat. Seperti artikel
yang dimuat pada liputan6.com menyebutkan bahwa menurut Sekertaris Jenderal
Komnas Anak Samsul Ridwan, angka pengaduan kasus pelanggaran hak anak meningkat
tajam dibandingkan tahun lalu. Bahkan sepanjang tahun 2013 masih didominasi
oleh kekerasan terhadap anak. Ironisnya, kasus-kasus kekerasan terhadap anak
tersebut terjadi di lingkungan terdekat anak. Samsul memaparkan bahwa:
"Kasus kekerasan justru terjadi di lingkungan terdekat anak yakni rumah
tangga, sekolah, lembaga pendidikan dan lingkungan sosial anak. Sedangkan 3
untuk pelakunya adalah orang-orang yang harusnya melindungi anak seperti orang
tua, paman, guru, orang tua angkat ataupun tiri. Berdasarkan tempat kejadian
kekerasan terhadap anak ada di lingkungan keluarga 24%, lingkungan sosial 56 %
dan sekolah 17 % latar belakang kasus kekerasan seksual diantaranya karena
pengaruh media pronografi sebanyak 81 kasus (8%) terangsang dengan korban 178
kasus (17%), hasrat tersalurkan sebanyak 298 kasus (29%). Sedangkan kasus fisik
berlatar belakang kenakalan anak 80 kasus (8%), dendam atau emosi 147 kasus
(14%), ekonomi 62 kasus (6%), persoalan keluarga 50 kasus (5%) dan lain-lain
145 kasus (14%). Kekerasan fisik tersebut diantaranya dipukul 162 kasus,
ditampar 12 kasus, disundut 4 kasus, dijewer 5 kasus, senjata tajam 103 kasus,
dan lain-lain 245 kasus. Dampak dari kekerasan fisik tersebut diketahui
menimbulkan luka ringan 97 kasus, luka berat 141 kasus, meninggal dunia 181
kasus dan lain-lain 71 kasus.” Kekerasan atau agresivitas menurut Moore dan
Fine (dalam Koeswara, 1988) menjelaskan agresi sebagai tingkah laku kekerasan
secara fisik ataupun secara verbal terhadap individu lain atau terhadap
objek-objek (dalam Suprihatin, 2003:75). Serupa dengan pengertian di atas,
Herbert (dalam Praditya, 1999) mengatakan bahwa agresi adalah bentuk tingkah
laku yang tidak dapat diterima secara sosial, yang mungkin menyebabkan luka
fisik atau psikis kepada orang lain, atau merusak benda-benda. Dari dua
pendapat ini terlihat bahwa perilaku agresi tidak hanya dilakukan terhadap
makhluk hidup, tetapi juga terhadap bendabenda atau objek lainnya seperti benda
mati. Secara umum agresi merupakan segala macam bentuk perilaku yang bertujuan
untuk menyakiti orang lain baik secara fisik maupun psikis (Berkowitz, dalam
Myers, 2012). Senada dengan pandangan di atas, Brigham (dalam Myers, 2012)
mengatakan bahwa agresivitas adalah tingkah laku yang bertujuan untuk menyakiti
orang yang tidak ingin disakiti, baik secara fisik maupun psikologis (dalam
Nurtjahyo dkk, 2013:226). 4 Faktor yang dapat mendukung terjadinya agresi
yaaitu sesuai dengan teori agresi frustasi. Menurut Berkowith dan Dollard
penyebab yang menonjol sehingga orang-orang berbuat agresif adalah karena
frustasi yang dialaminya. Orang dalam keadaan frustasi, biasanya akan mencari
sasaran untuk mengurangi frustasinya. Sasaran tersebut bisa disebut sumber
frustasi (dalam Mahmudah, 2010:102). Selain itu faktor lain yang dapat
menyebabkan terjadinya agresi adalah adanya kondisi aversiv. Kondisi avertif
adalah kondisi tidak menyenagkan yang biasanya dihindari oleh seseorang,
menurut Barikit kondisi ini merupakan salah satu faktor saja. Adanya faktor
yang kurang menyenangkan menyebabkan orang itu lalu mencoba berbuat sesuatu
agar senang dan mengubah suasana tersebut. Apabila yang tidak senang itu orang
lain, maka akan timbullah perilaku agresif terhadap orang yang menjadi penyebab
tersebut (dalam Mahmudah, 2012: 105). Stres yang terjadi pada seseorang yang
dapat meningkatkan agresivitas dapat terjadi karena peneriman yang kurang.
Seperti penelitian yang dilakukan oleh Muh. Hizbul Akbar mengenai Tingkat
Penerimaan Guru dan Kesulitan Belajar Hubungannya dengan Sikap Agresivitas
Siswa di Smk Negeri 1 Seyegan Yogyakarta menunjukkan hasil bahwa (1) ada
hubungan antara tingkat penerimaan guru dengan sikap agresivitas siswa yang
ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi sebesar -0,374. Nilai t hitung
lebih besar dari t tabel (4,928>1,980). (2) Ada hubungan antara kesulitan
belajar dan sikap agresivitas siswa yang ditunjukkan dengan nilai koefisien
korelasi sebesar 0,196. Nilai t hitung lebih besar dari t tabel (2,646>1,980).
(3) Ada hubungan tingkat 5 penerimaan guru dan kesulitan belajar secara
bersama-sama dengan sikap agresivitas siswa yang ditunjukkan dengan F hitung
lebih besar dari F tabel (14,292>3,004). Selain itu, salah satu paper untuk
semnas PAUD oleh staf pengajar Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan
Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta, Rita Eka Azaty
mengatakan bahwa dari beberapa kajian literatur tentang perkembangan sosial
anak terbukti bahwa adanya penerimaan teman sebaya merupakan salah satu
indikator yang signifikan atas kemampuan penyesuaian diri anak. Dasar
penerimaan teman sebaya anak adalah karakter yang dimunculkan anak ketika
berinteraksi. Karakter anak yang tercermin dari adanya perilaku prososial yang
menunjukkan kemampuan anak mempertahankan hubungan baik dengan cara yang dapat
diterima sosial berhubungan dengan adanya penerimaan teman sebaya. Sebaliknya,
perilaku agresif dan pasif berhubungan dengan adanya penolakan teman sebaya.
Peran lingkungan terdekat anak sebagai kontributor pembentuk karakter anak
diharapkan dapat bersinergi kuat sehingga proses internalisasi nilai-nilai
sosial melalui pembiasaan sehari-hari yang diajarkan dapat terwujud. Tidak
hanya terjadi pana anak-normal, kekerasan juga sering terjadi pada anak
berkebutuhan khusus. Seperti yang dikemukakan Aktivis Sasana Integrasi dan
Advokasi Difabel (SIGAB) Yogyakarta Purwanti berpendapat masalah seksualitas
difabel kompleks. Pemberian materi kesehatan reproduksi belum banyak membantu
menghindari kejahatan seksual. “Difabel lemah secara hukum, sosial dan
ekonomi,” kata dia. Purwanti menemukan banyak kasus pemerkosaan 6 pada difabel
justru diabaikan oleh keluarga, publik, serta penegak hukum. Padahal, di
sejumlah kasus itu, pelaku datang dari lingkungan sekitar korban, mulai
kenalan, teman, tetangga, saudara, ayah hingga kakek. Pekerjaan pelakupun
beragam. Ada kuli, wiraswasta, guru, pegawai, PNS, militer dan lainnya.
“Ekonomi dan pendidikan pelaku bukan ukuran,” kata Purwanti (www.tempo.co).
Menurut WHO difabel adalah suatu kehilangan atau ketidak normalan baik
psikologis, fisiologis maupun kelainan struktur atau fungsi anatomis. Ketidak
normalain ini biasanya disebut dengan ketunaan atau kecacatan. Terdapat
beberapa jenis ketunaan yakni tunarungu (cacat pendengaran), tunanetra (cacat
penglihatan), Tunagrahita (cacat mental), autis dan lain sebegainya (www.
WHO.int). Anak tunagrahita adalah anak yang mengalami keterbelakangan mental.
American Association on Mental Reatardation menjelaskan keterbelakangan mental
berarti menunjukkan keterbatasan dalam fungsi intelektual yang ada di bawah
rata-rata, dan keterbatasan pada dua atau lebih keterampilan adaptif seperti
berkomunikasi, merawat diri sendiri, keterampilan sosial, kesehatan dan
keamanan, fungsi akademis, serta waktu luang (Suharmini, 2009: 41).
Keterbatasan fungsi intelektual dan keterbatasan dalam kemampuan adaptif ini
mengakibatkan terganggunya proses perkembangan sosial. Dari penelitian yang
dilakukan oleh Mc Iver dengan menggunakan Children’s Personality Questionare menyebutkan
bahwa anak – anak tunagrahita mempunyai beberapa kekurangan. Anak tunagrahita
pria memiliki kekurangan 7 berupa tidak matangnya emosi, depresi, bersikap
dingin, menyendiri, tidak dapat dipercaya, impulsif, lancang dan merusak. Anak
tunagrahita wanita mudah dipengaruhi, kurang tabah, ceroboh, kurang dapat
menahan diri dan cenderung melanggar ketentuan, dalam hal lain anak tunagrahita
sama dengan anak normal. Kekurangan–kekurangan dalam hal kepribadian akan
berakibat pada proses penyesuaian diri (Somantri, 2006: 116). Menurut Bank
Dunia dan badan kesehatan dunia (WHO), tercatat sebanyak 15 persen dari
penduduk dunia atau 785 juta orang mengalami gangguan mental dan fisik (9 April
2012, www.psikologizone.com). Berdasarkan berbagai macam keterbatasan fisik dan
mental yang ada, retardasi mental adalah salah satunya. Retardasi mental
merupakan masalah dunia dengan implikasi yang besar terutama pada negara-negara
berkembang. Menurut PBB, hingga tahun 2000 diperkirakan sekitar 500 juta orang
di dunia mengalami kecacatan dan 80 persen dijumpai di negara-negara
berkembang. Di Amerika serikat, setiap tahun sekitar 3000-5000 anak penyandang
retardasi mental dilahirkan. Keberadaan anak berkebutuhan khusus termasuk
penyandang cacat secara nasional maupun pada masing-masing provinsi belum
memiliki data yang pasti. Menurut WHO jumlah anak berkebutuhan khusus di
Indonesia adalah sekitar 7% dari total jumlah anak usia 0-18 tahun atau sebesar
6.230.000 pada tahun 2007. Sedangkan menurut data Sensus Nasional Biro Pusat Statistik
tahun 2003 jumlah penyandang cacat di Indonesia sebesar ,7% dari jumlah
penduduk sebesar 211.428.572 atau sebanyak 1.480.000 jiwa. Dari jumlah tersebut
24,45% atau 8 361.860 diantaranya adalah anak-anak usia 0-18 tahun dan 21,42%
atau 317.016 anak merupakan anak cacat usia sekolah (5-18 tahun). Sekitar
66.610 anak usia sekolah penyandang cacat (14,4 % dari seluruh anak penyandang
cacat) ini terdaftar di Sekolah Luar Biasa (SLB). Hal ini berarti ada 295.250
anak penyandang cacat (85,6%) ada di masyarakat di bawah pembinaan dan
pengawasan orang tua dan keluarga dan pada umumnya belum memperoleh akses
pelayanan kesehatan sebagaimana mestinya. Pada tahun 2009 jumlah anak
penyandang cacat yang ada di sekolah meningkat menjadi 85.645 dengan rincian di
SLB sebanyak 70.501 anak dan di sekolah inklusif sebanyak 15.144 anak.
Sedangkan berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2004
mendata jumlah penderita tuna grahita sebanyak 777.761 jiwa, atau sebesar 12,8%
dari jumlah penyandang cacat di Indonesia (bulaksumurugm.com), dan jumlah
tersebut dimungkinkan akan terus bertambah dari tahun ke tahun. Hapsara (2006)
mengemukakan bahwa jumlah tunagrahita atau cacat mental di Indonesia mencapai
6,6 juta orang atau 3% dari jumlah penduduk sekitar 220 juta jiwa. Ini belum
termasuk jumlah yang tidak tercatat, karena pencatatan hanya kepada mereka yang
datang berobat, memeriksakan diri, dan yang terdaftar pada sekolah luar biasa.
Rasio penyandang retardasi mental pada laki-laki dan perempuan di Indonesia adalah
3:2. Hal ini berarti kemungkinan laki-laki menderita retardasi mental lebih
besar dari pada kemungkinan perempuan menderita retardasi mental (Kompas,
2004). Jumlah sebesar itu, tentu menjadi masalah karena tidak 9 mampu mandiri
dan menjadi “beban” bagi keluarga dan orang-orang sekitar (dalam Prass,
2012:2). Penerimaan dari orang tua sangat penting bagi anak yang mengalami
retardasi mental. Penerimaan dari orang tua inilah yang akan menentukan
perlakuan yang tepat untuk anaknya. Penerimaan ditandai dengan sikap positif,
adanya pengakuan atau penghargaan terhadap nilai-nilai individual tetapi
menyertakan pengakuan terhadap tingkah lakunya (Chaplin, 2000). Roger (dalam
Sutikno, 1993) mengatakan bahwa penerimaan merupakan dasar bagi setiap orang
untuk dapat menerima kenyataan hidup, semua pengalaman baik ataupun buruk
(dalam Subhan, 2011:29). Hurlock (1999: 204) menambahkan bahwa selain kasih
sayang orang tua yang menerima anaknya akan memperhatikan perkembangan
kemampuan anak dan memperhitungkan minat anak. Orang tua yang menerima anaknya
tidak akan menentukan sesuatu terhadap anaknya tanpa menanyakan dan
mempertimbangkan keinginan atau minat dari anak, karena mereka menghargai
anaknya sebagai individu seutuhnya. Banyak dari orang tua yang tidak dapat
menerima kondisi anaknya yang mengalami retardasi mental. Seperti penelitian
yang dilakukan oleh Wiwin Hendriani dkk pada tahun 2006 mengenai penerimaan
keluarga terhadap individu yang mengalami keterbelakangan mental, hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa di antara tiga kasus keluarga, hanya satu dari
mereka yang benar-benar dapat menerima anak terbelakang mental. Penerimaan
dalam penelitian ini 10 berkaitan dengan beberapa faktor, seperti: (1)
Interaksi antara anggota keluarga, (2) Adanya informasi dari kondisi anak sejak
periode prenatal, (3) Tingkat pemahaman keterbelakangan mental, (4) kesiapan
untuk menghadapi anak kondisi yang berbeda dari normal satu, dan (5) Persepsi
tentang orang yang secara mental terbelakang. Hasil ini juga menunjukkan bahwa
ada beberapa variasi reaksi keluarga terhadap anak retardasi mental. Namun,
tidak semua orang tua membuat respons negatif terhadap kehadiran anak retardasi
mental itu di kalangan keluarga. Ada beberapa bukti bahwa orang tua yang kurang
berpendidikan dari kelompok sosio-ekonomis bawah lebih berhasil dalam membantu
anak-anak cacat mereka dibandingkan dengan orang tua yang berpendidikan baik
dari kelompok sosio-ekonomis atas. Meskipun ini tidak seluruhnya benar, tetapi
orang tua yang berpendidikan baik cenderung memandang anak yang retardasi
mental itu sebagai suatu ancaman. Oleh karena itu, mereka mungkin menolaknya
atau tidak mau menerima kekurangan-kekurangan intelektualnya dan mencoba
memaksanya untuk mencapai hasil pada taraf yang cukup jauh melampaui
kemampuankemampuannya (Semiun, 2006 dalam Ein, 2012:2). Hal ini senada dengan
penelitian yang dilakukan oleh Hadil Khoiri pada tahun 2012 mengenai penerimaan
orang tua terhadap anak retardasi mental ditinjau dari kelas sosial. Hasil
analisis data dengan teknik Mann Whitney menunjukkan z=0,271 dengan P=0,787.
(P>0,05) yang berarti tidak ada perbedaan penerimaan orang tua terhadap anak
retardasi mental ditinjau dari kelas sosial menengah dan kelas sosial bawah.
Oleh karena itu, ia 11 menyimpulkan bahwa kelas sosial yang berbeda tidak
membuat penerimaaan orang tua terhadap anak retardasi mental ikut berbeda.
Penyebabnya adalah tingkat kemampuan beradaptasi orang tua yang baik terhadap
keadaan anak, dan penerimaan diri orang tua sendiri. Selain itu hasil
penelitian menunjukkan bahwa ibu yang memiliki anak cacat cenderung mengalami
stres yang lebih besar dari pada ibu yang memiliki anak normal (Adams dalam
Bania dan Raras, 2005:10). Stres pada ibu yang memiliki anak penyandang cacat,
khususnya retardasi mental berhubungan dengan permasalahan perilaku tersebut.
Hal ini diperkuat oleh Walker (dalam Bania dan Raras, 2005:10) bahwa perilaku
anak yang menyandang retardasi mental ini dapat menyebabkan ibu mengalami
stres. Stres yang dialami oleh orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus
ini tidak jarang dipicu oleh frustasi akibat kekecewaan dan peneriamaan diri
yang kurang karena memiliki anak berkebutuhan khusus yang kemudian dapat
memunculkan perilaku-perilaku agresif. Seperti yang dikemukakan oleh Miler
(dalam Sarwono, 1996: 305) bahwa agresi dipicu oleh frustasi, agresi merupakan
pelampiasan dari perasaan frustasi. Ditambahkan oleh Berkowitz (1995: 47) bahwa
kesiapan untuk bertindak agresi biasanya terbentuk oleh pengalaman frustasi.
Selain itu, situasi stres akan menghasilkan reaksi emosional tertentu pada
individu. Reaksi tersebut dapat meliputi reaksi positif (jika stres dapat
ditangani) dan reaksi negatif seperti kecemasan, kemarahan dan depresi. Rekasi
negatif 12 timbul jika stres yang dialami individu tidak dapat ditangani
(Atkinson, 2000). Rekasi-reaksi emosi memungkinkan muncul saat menghadapi
situasi stres adalah kecemasan, kemarahan, agresi, apati dan deprsi serta
gangguan kognitif. Seperti yang dikutib dalam edikasi.kompasiana.com yang
diunggah pada 20 Maret 2013 mengenai dapak dari memiliki anak yang mengalami
tuna grahita sebagai berikut: “Orang yang paling banyak menanggung beban akibat
kekhususan yang dialami anak ini adalah orang tua dan keluarga anak tersebut.
Keluarga anak retardasi mental berada dalam resiko yang berat.Saudara-saudara
anak tersebut pun akan menghadapi hal-hal yang bersifat emosional, seperti rasa
depresi, malu dan frustasi.” Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa
orang tua yang memiliki anak tunagrahita memiliki kemungkinan untuk mengalami
frustasi terlebih lagi jika tidak memiliki peneriamaan diri atas apa yang
dialaminya. Menurut Somantri (2007), orang yang paling banyak menanggung beban
akibat retardasi mental adalah orang tua dan keluarga anak tersebut. Selain
saudara-saudara anak tersebut yang mengalami hal emosional, retardasi mental
berdampak bagi orang tua seperti perasaan bersalah, berdosa, kurang percaya
diri, terkejut/tidak percaya, malu, dan over protective (dalam Prasa, 2012: 3).
Senada dengan hal tersebut, hasil penelitian Hamid (2004) menggambarkan bahwa
orang tua yang memiliki anak retardasi mental memiliki perasaan sedih, denial,
depresi, malu, marah dan menerima keadaan anaknya. Seperti pengakuan seorang
ibu kepada Safaria (2005) yang merasa tidak 13 berharga karena tidak mampu
melahirkan anak normal selain perasaan malu yang dominan (dalam Prasa, 2012:3).
Reaksi pertama orang tua ketika anaknya dikatakan bermasalah adalah tidak
percaya, shock, sedih, kecewa,merasa bersalah, marah dan menolak. Tidak mudah
bagi orang tua yang anaknya menyandang retardasi mental untuk mengalami fase
ini, sebelum akhirnya sampai pada tahap penerimaan (acceptance). Ada masa orang
tua merenung dan tidak mengetahui tindakan tepat apa yang harus diperbuat.
Tidak sedikit orang tua yang kemudian memilih tidak terbuka mengenai keadaan
anaknya kepada teman, tetangga bahkan keluarga dekat sekalipun, kecuali pada
dokter yang menangani anaknya tersebut (Puspita, dalam Rachmayanti, 2007: 8).
Gunarsa (dalam Aisha, 2012: 5) menambahkan ada berbagai reaksi orang tua atau
kerabat ketika menyadari bahwa anaknya tergolong retardasi mental. Ketika anak
dinyatakan retardasi mental sebagian besar orang tua akan merasa terpukul dan
menyesali keadaan si anak maupun dirinya sendiri, bahkan menyangkal kondisi
tersebut ketika anaknya dianggap berbeda, karena berada dibawah batas normal
pada umumnya. Observiasi awal yang dilakukan oleh peneliti pada salah satu
siswa SLB Putra Jaya. Siswa ini menderita tunagrahita. Saat peneliti melakukan
home visit di rumah subjek selama tiga minggu, terlihat bahwa ibu subjek kurang
suka dengan keberadaan peneliti disana. Ibu subjek merasa bahwa apapun yang
dilakukan peneliti untuk memberikan terapi kepada anaknya sudah tidak ada
gunanya. Ia 14 kurang mengapresiasi hasil kerja anaknya dengan cara berkata”
paleng yo diewangi”. Tidak hanya itu ibu siswa tersebutpun sering berkata di
depan anaknya seperti “goblok”, “tidak bisa berbuat apa-apa” dan “tidak
berguna”. Tidak hanya sekedar agresivitas verbal saja, subjek juga beberapa
kali mendapatkan agresivitas fisik seperti di pukul dan dilempar meksipun
secara fisik tidak menimbulkan bekas luka. Hal ini tidak hanya dilakukan kepada
subjek yang mengalami tunagrahita namun juga adiknya yang juga mengalami
ketunaan yakni tunarungu. Tidak hanya subjek home visit ini, peneliti juga
mendapat laporan dari guru di SLB Putra Jaya, bahwa ada 5 siswa lain di sekolah
tersebut yang sering mangalami agresivitas oleh orang tua. Guru tersebut
mengatakan bahwa anak tersebut sering datang kesekolah dengan memar-memar di
tubuhnya. Ketika ditanya, anak tersebut mengaku dicubit oleh ibunya. Saat ibu
subjek diajak berbicara tentang kondisi anaknya tersebut, ibu subjek mengaku ia
merasa kurang senang dengan kondisi anaknya. Ia memiliki dua anak dan semuanya
mengalami ketunaan yakni tunagrahita dan tunarungu. Ia kecewa kepada Tuhan
karena mendapatkan anak yang kurang sempurna. Ia merasa anak mereka tidak
memiliki masadepan yang baik akibat ketunaan yang mereka miliki. Ibu subjek
terkesan otoriter dengan tidak memberi kesempatan anaknya untuk menyampaikan
pendapatnya dan subjekpun takut untuk menyampaikan apa yang ia inginkan. Namun,
observasi yang dilakukan pada orang tua wali SLB Putra Jaya saat peneliti
mengadakan acara talk show mengenai “Smatr Parenting Untuk anak 15 Berkebutuhan
Khusus” di SLB ini, orang tua terlihat sangat antusias. Orang tua wali siswa
sangat ingin tau cara terbaik untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh
anak-anak mereka. Mereka merasa yakin bahwa ada cara untuk mengoptimalkan
kemampuan anak mereka ditengah keterbatasan mereka. Para orang tua ini juga
sangat mendukung anak mereka ketika anak mereka mengikuti Mini Pentas Seni pada
acara tersebut. Orang tua siswa-siswa ini juga sangat antusias menceritakan
suka duka pengalaman mereka dalam mendidik anak mereka yang memiliki
keterbatasan. Dari hasil observasi di atas menunjukkan bahwa orang tua dari
siswa SLB Putra Jaya memiliki penerimaan orang tua yang baik. Mereka tidak malu
dengan kondisi anak mereka dan mereka mau terbuka dan menerima kondisi anak
mereka. Mereka juga tidak pesimis dengan kondisi anak mereka. Hal ini
ditunjukkan dengan antusias para orang tua untuk bertanya tentang cara untuk
mengoptimalkan potensi anak mereka ditengah keterbatasan anak-anak mereka.
Namun ditengah penerimaan yang cukup baik ini, terdapat agresivitas yang
dilakukan oleh beberapa orang tua siswa SLB Putra Jaya tersebut. Dari sini
peneliti ingin mengetahui apakah ada kaitannya peneriamaan orang tua dengan
agresivitas orang tua terhadap anaknya yang mengalami tuna grahita. Dan apakah
banyak orang tua yang belum bisa menerima keadaannya yang memiliki anak cacat
mental serta apakah banyak orang tua yang melakukan tindakan agresif baik
secara fisik amupun verbal kepada anaknya yang mengalami tunagrahita. 16 B.
Rumusan Masalah 1. Bagaimana tingkat penerimaan orang tua yang memiliki anak
tuna grahita? 2. Bagaimana tingkat agresivitas orang tua terhadapa anak yang
mengalami tunagrahita? 3. Apakah ada hubungan antara penerimaan orang tua yang
memiliki anak tunagrahita dengan agresivitas orang tua terhadap anaknya
tersebut? C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui bagaiman tingkat penerimaan orang
tua yang memiliki anak tuna grahita. 2. Mengetahui bagaimana tingkat
agresivitas orang tua terhadapa anak yang mengalami tunagrahita. 3. Mengetahui
apakah terdapat hubungan penerimaan orang tua yang memiliki anak tunagrahita
dengan agresivitas orang tua terhadap anaknya tersebut. D. Manfaat Penelian 1.
Manfaat teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah sumbangan
pikiran mengenai khazanah ilmu psikologi terutama mengenai penerimaan orang tua
yang memiliki anak tunagrahita dan agresivitas orang tua yang memiliki anak
tunagrahita terhadap anaknya. 17 2. Manfaat Praktis Manfaat praktis dari
penelitian ini adalah untuk menambah pengetahuan dari orang tua yang mamiliki
anak tunagrahita mengenai pentingnya menerima kondisi anaknya dan meminimalisir
tindak agresivitas orang tua terhadapa anak yang menderita tunagrahita.
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment