Abstract
INDONESIA:
Industri Perbankan Syariah di Indonesia menunjukkan progress yang sangat pesat dan prinsip syariah yang ditawarkan dengan meniadakan transaksi yang mengandung unsur-unsur riba, gharar, maisyir, dan bathil cukup menarik perhatian masyarakat luas sehingga industri ini diminati bukan hanya oleh Muslim akantetapi juga oleh non-Muslim. Meskipun demikian, terjadinya sengketa dalam industri ini tidak akan dapat dihindari, karena pada hakikatnya sengketa sendiri merupakan suatu gangguan terhadap harmoni kepentingan manusia dan disebabkan adanya kepentingan yang saling bertentangan antara yang satu dengan yang lain. Dilain sisi, manusia juga memiliki kecenderungan untuk senantiasa berupaya agar sengketa yang terjadi itu tidak berlangsung terus menerus, untuk menjaga keseimbangan tatanan masyarakat itu sendiri. Untuk itu dalam Pasal 49 huruf (i) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Pengadilan Agama diberikan kewenangan untuk menjadi satu-satunya lembaga kekuasaan kehakiman yang berwenang menyelesaikan dalam hal terjadi sengketa ekonomi syariah yang meliputi di dalamnya kegiatan Perbankan Syariah sebagai Pengadilan tingkat pertama di lingkungan Peradilan Agama karena lembaga tersebut memiliki aparat hukum yang dianggap mengerti tentang prinsip-prinsip Syariah. Senada dengan hal tersebut, Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah secara substansial juga mengatur hal yang sama dan selanjutnya permasalahan mengenai penyelesaian sengketa Perbankan Syariah ini ditunjukkan dalam penjelasan Pasal 55 ayat (2) dengan memberikan kewenangan kepada Pengadilan Negeri (Umum) untuk menangani sengketa Perbankan Syariah sebagai salah lembaga alternatif lain selain diselesaian kepada Pengadilan Agama. Hal ini menunjukkan adanya inkonsistensi dari penetapan kewenangan absolut Pengadilan Agama dalam Pasal 49 huruf (i) mengingat keduanya merupakan pelaksana Kekuasaan Kehakiman (Judicial Power) yang masing-masing mempunyai wewenang absolut maupun relatif yang terangkum dalam peraturan-peraturan yang menjadi pedoman masing-masing lingkungan peradilan dan berbeda satu sama lainnya.
Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah respons dari praktisi Bank Muamalat Indonesia, Bank Tabungan Negara Syariah, dan Bank Negara Indonesia mengenai penyelesaian sengketa Perbankan Syariah yang terangkum dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah dan juga respons mengenai persingunggan kewenangan antara Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri (Umum) sebagaimana yang terangkum dalam penjelasan Pasal 55 ayat (2).
Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian lapangan yang didukung dengan penelitian kepustakaan dan berpedoman pada Undang-Undang tentang Perbankan Syariah. Dimana pengumpulan datanya melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi dengan menggunakan analisis data deskripsi kualitatif, yaitu bagaimana menuangkan hasil pemikiran penulis yang dikorelasikan dengan respons para praktisi Bank Syariah mengenai penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dalam bentuk tulisan.
Pada hasil akhir dalam skripsi ini, dapat penulis simpulkan sebagai berikut. Pertama, baik Bank Muamalat Indonesia (BMI), Bank Tabungan Negara (BTN) Syariah, dan Bank Negara Indonesia (BNI) Syariah merespon baik mengenai lembaga penyelesaian sengketa Perbankan Syariah yang diatur dalam Pasal 55 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah karena dalam melaksanakan fungsinya sebagai pembangun ekonomi nasional tentunya Bank Syariah ingin mematuhi setiap peraturan yang melandasi operasional, kegiatan usahan maupun kelembagaan Bank. Disisi lain Bank Syariah juga merupakan lembaga intermediary financial yang berorientasi untuk mendapatkan keuntungan yang sebanyak-banyaknya dengan meminimalisir resiko yang dimungkinkan akan terjadi tetap mengutamakan prosedur penyelesaian sengketanya efektif dan efisien. Kedua, menggenai persinggungan kewenangan antara Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri yang timbul dari Penjelasan Pasal 55 ayat (2), Penambih Bambang Setijono, selaku Relationship Manager and Remedial (RM Remedial) dari BMI cabang Kota Malang berpendapat bahwa hal tersebut dikarenakan kesiapan hakim Pengadilan Agama yang masih meragukan para pencari keadilan dan juga undang-undang yang mendukung transaksi produk Perbankan Syariah yang diterbitkan sebelum diterbitkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 seperti Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia belum disesuaikan. Kemudian, Tanti Widia selaku Manager Operational Bank Tabungan Negara (BTN) Syariah cabang Kota Malang, berpendapat bahwa dualisme kewenangan tersebut disebabkan adanya masih adanya Unit Usaha Syariah (UUS) sebagai kantor cabang dari Bank Konvensional yang ingin meaplikasikan prinsip Syariah, dari segi hukum masih berpedoman kepada Bank Konvensional yang mempercayakan urusan penyelesaian sengketa kepada Pengadilan Negeri. Selanjutnya, Ainul Yaqin selaku Recovery and Remedial, berpendapat bahwa dualisme kewenangan tersebut diatur untuk kebebasan bagi Nasabah untuk memilih upaya hukum yang dipercayainya. Dimana hal tersebut menurut pendapat penulis dikarenakan peminat dari Bank Syariah bukan hanya dari Muslim melainkan juga non-Muslim, sedangkan masih belum adanya unifikasi hukum dan kepastian hukum yangsama untuk seluruh golongan masyarakat.
ENGLISH:
The dispute in Sharia Banking industry will be inevitable, and then, the Article 49 point (i) of Law Number 3 of 2006 on the Amendment of the Law Number 7 of 1989 on Religious Court’s, Religious Court’s grantes the authority to be the only judicial power agency who is authorized to settle the sharia economics disputes which includes Sharia Banking activities as a court of first instance in the religious court because that agency considered has the law enforcement which understand the principles of Sharia. In line with this, Article 55 of Law Number 21 of 2008 on Sharia Banking also regulates the same substantially terms, but the authors found an issue about Sharia Banking dispute resolution which is demonstrated in the explanation of Article 55 clause (2) which indicates the inconsistency of the determination of the absolute authority of Religious Court’s in Article 49 point (i).
The problems which are discussed in this thesis is a response from practitioners of Bank Muamalat Indonesia, Bank Tabungan Negara (BTN) Syariah, and Bank Negara Indonesia (BNI) Syariah about Sharia Banking dispute resolution that are summarized in Article 55 of Law Number 21 of 2008 and also the response of the intersection authority between Religious Courts and District Court’s (General) as is summarized in the explanation of Article 55 clause (2). Furthermore, the type of research which used in this thesis is a field research that is supported by library research and based on the Law about Sharia Banking. And data collection through the observation, interviews, and documentation by using qualitative descriptions of data analysis.
At the end of the results in this thesis, the authors can conclude as follows. First, both Bank Muamalat Indonesia, Bank Tabungan Negara (BTN) Syariah, and Bank Negara Indonesia (BNI) Syariah respond well about Sharia Banking dispute resolution under Article 55 clause (1) and (2) of the Law Number 21 of 2008 about Sharia Banking because in performing they’s functions as the national economy builder, Sharia Bank certainly want to obey every regulations which underpin the operational, business and institutional of the Bank. On the other side, Sharia Bank is also a financial intermediary institutions which oriented to benefit as much as possible to minimize the risk which there will be fixed priority effectively and efficiently dispute resolution procedures. Second, regarding the intersection authority between Religious Court’s and the District Court’s (General) that arises from the Explanation of Article 55 clause (2), the Sharia Bank practitioners assumed that this case is because some factors: (1). The Religious Court’s judges readiness still doubt the justice seekers; (2). The laws that support the transaction of Sharia Banking products are issued prior to the issuance of Law No. 3 of 2006 as Law Number 42 of 1999 About Fiduciary has not been adjusted; (3). That the dualism of authority caused by the persistence of the Sharia Business Unit (UUS) as a branch office of a Conventional Bank which wants to apply Islamic principles, in terms of the law are still guided by Conventional Bank entrusted the dispute resolution matters to the District Court’s (General); (4). That the dualism of authority arranged for the Customer freedoms to select a trusted remedy. Where it is in the opinion of the author because the Sharia Bank enthusiasts not only Muslims but also from non-Muslims, while still there is no unification of law and the same legal certainty for all segments of society.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Hukum Bisnis Syariah" : Respons bank syariah Kota Malang terhadap kewenangan Pengadilan Agama di bidang penyelesaian sengketa perbankan syariah: Tinjauan terhadap pasal 55 Undang-undang nomor 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
No comments:
Post a Comment