BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kebahagiaan adalah hal yang selalu ingin
dicapai oleh semua orang. Baik yang kaya, miskin, tua, muda, besar, kecil,
laki-laki, maupun perempuan, mereka ingin dirinya bahagia. Hanya saja
persoalannya adalah bagaimana caranya mendapatkan kebahagiaan itu. Meskipun
telah hidup di era modern seperti saat ini dengan berbagai kemudahan dan
fasilitas yang bersifat materi, kebahagiaan tidaklah mudah didapat. Buktinya,
banyak orang yang bergelimang harta tetapi tidak juga menemukan kebahagiaan
dalam hidupnya. Stress, bimbang, dihantui rasa takut, merasa asing di tengah
keluarganya, adalah keadaan yang seakan tak terpisahkan dari kehidupan
sehari-harinya (Al-Kusayer, 2009). Meskipun semua orang ingin bahagia, namun
mayoritas manusia tidak mengetahui makna bahagia yang sebenarnya dan bagaimana
cara mendapatkannya. Ada sebagian orang merasa gembira dan suka cita saat hidup
di dunia, akan tetapi kecemasan, kegalauan, dan penyesalan itu merusak suka ria
yang dirasakan. Bahkan banyak di antara mereka yang menganggap bahwa orang lain
lebih bahagia daripada dirinya dan begitu pun sebaliknya. Beberapa orang
menganggap bahwa kebahagiaan sangat berhubungan dengan materi. Semakin banyak
harta yang dimiliki, maka semakin bahagia. Uang bisa memberikan kesenangan,
uang bisa mendatangkan teman, dan apapun bisa 2 diraih hanya dengan uang.
Padahal sesungguhnya harta atau uang bukanlah satusatunya hal yang dapat
mendatangkan kebahagiaan. Kebahagiaan yang dirasakan oleh setiap orang bersifat
subjektif dan tidak akan sama karena mereka memiliki perbedaan faktor yang mendasarinya.
Misalnya ada orang yang merasakan kebahagiaan karena rasa puasnya terhadap
kemampuan yang dimiliki untuk menyelesaikan tugas-tugas dalam pekerjaan maupun
keberhasilannya dalam membina rumah tangga. Ada juga orang yang tidak puas
dengan apa yang telah mereka dapatkan, begitu pula sebaliknya ada orang
berlimpah materi tetapi mereka justru merasakan hidupnya hampa dan tidak
bahagia. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya kebahagiaan juga bergantung
pada penilaian, cara pandang, dan kemampuan dalam menyikapi segala keadaan
dalam hidupnya secara positif. Sesungguhnya sumber kebahagiaan yang hakiki
adalah di kedalaman diri seseorang, perasaan yang memancar deras dari kedalaman
diri dengan perasaan ridha, ketenangan jiwa, keceriaan dan rasa menikmati.
Bukan karena faktor-faktor eksternal sehebat apapun faktor-faktor itu, karena
faktor-faktor itu bersifat temporal. Selama seseorang tidak menyiapkan
faktor-faktor kebahagiaan secara internal, maka dia tidak akan meraih
kebahagiaan, akan tetapi dia akan melewati gelombang kebahagiaan secara
temporal dan berbentuk potongan-potongan yang tidak utuh dari kebahagiaan. Oleh
karenanya orang seperti ini tidak bisa dikategorikan sebagai orang yang bahagia
(Al-Kusayer, 2009). Selain itu bentuk-bentuk kebahagiaan yang ingin didapat
oleh setiap orang tentu berbeda. Bagi orang kaya bahagia yang dirasakannya
tentu berbeda dengan 3 orang miskin. Bahagia bagi orang yang sudah tua juga
berbeda dengan orang yang masih muda. Begitu pula bahagia yang dirasakan oleh
orang-orang yang memiliki kekurangan dalam dirinya. Misalnya, bahagia yang
dirasakan oleh seorang remaja yang memiliki cacat fisik. Bahagia yang
dirasakannya tentu memiliki arti tersendiri yang berbeda dengan remaja yang
memiliki fisik yang lengkap. Tidak mudah bagi seorang remaja dengan kondisi
fisik yang tidak sempurna, mampu menemukan arti kebahagiaan bagi dirinya
sendiri. Orang yang terlahir cacat sering kali tidak mendapatkan penerimaan
yang layak di lingkungannya. Seorang anak yang terlahir dengan satu tangan dengan
berat hati diterima oleh orangtuanya. Saudara kandung dan teman-teman sebayanya
bahkan mungkin menolak kehadirannya. Sewaktu masih kanak-kanak, teman-temannya
bertanya dengan polos, “kenapa tanganmu cuma satu? Kenapa kakimu pincang?
Kenapa bibirmu sumbing? Kenapa kepalamu besar? Kenapa matamu buta?” dan
disertai dengan berbagai olok-olokan. Hal ini akan membuat seorang individu
diliputi shock dan tersakiti. Reaksi berlebihan orang-orang disekitar juga
dapat mengganggu, misalnya terlalu mengasihani dan melindunginya sehingga
menimbulkan perasaan mudah menyerah. Ada pula sebagian orang yang
terang-terangan menolak kehadiran para penderita cacat tanpa alasan yang dapat
diterima (Chomaria, 2009: 58). Cacat atau tidaknya seseorang bukan jaminan
muncul rasa minder atau tidak pada diri seseorang. Lingkunganlah yang
menentukan. Individu normal juga dapat merasa minder dan kurang percaya diri
(Chomaria, 2009: 58). 4 Sikap orang tua, keluarga, teman sebaya, teman sekolah,
dan masyarakat pada umumnya sangat berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri
anak tunadaksa. Dengan demikian akan mempengaruhi respon sebagian terhadap
lingkungannya. Sebagaimana dimaklumi bahwa konsep diri seseorang dipengaruhi
oleh lingkungannya. Seseorang akan menghargai dirinya sendiri apabila
lingkungan pun menghargainya, misalnya seorang anak yang dianggap oleh
masyarakat tidak berdaya akan merasa bahwa dirinya tidak berguna (Sutjihati,
2006: 132). Sebenarnya cacat atau kekurangan pada diri seseorang memberikan
kesempatan untuk belajar dan berkembang. Kecacatan yang dialami seseorang
mengajarkan sikap pasrah, sikap elastik, keramahan, dan seluruh kebajikan yang
adiluhung. Andaikata bukan dengan seorang yang cacat, bagaimana cara menguji
cinta dan kasih sayang orangtuanya? Bagaimana cara menunjukkan signifikansi
peran seorang yang cacat dalam mengatasi kesengsaraan? Jadi apa yang dianggap
sebagai hal buruk yang menimpa seseorang, termasuk malapetaka atau kecacatan,
berpotensi menjadi sumber-sumber kebaikan dan kebahagiaan (Khavari, 2006). Seperti
yang diungkapkan oleh Barus yang memiliki kebanggaan dalam dirinya sehingga
dapat membuatnya bahagia: “Meski hidup dalam kondisi fisik yang tidak sempurna
layaknya orang lain, saya masih tetap memiliki kebanggaan pada diri saya. Salah
satu kebahagiaan yang saya rasakan adalah karena saya tidak pernah menyusahkan
orang tua untuk biaya sekolah. Kebahagiaan lain yang saya rasakan karena saya
mampu mengangkat kembali semangat hidup yang sempat runtuh. Diskriminasi dan
pengucilan yang sering saya terima 5 membuat pembelajaran hidup yang berharga
bagi kematangan dan kedewasaan saya.” ( Adinda Melati, Komunikasi Personal 9
Juni 2010: 7) Selain itu dalam penelitian terdahulu dengan judul penelitian
Konsep Striving For Superiority Pada Siswa Penyandang Tuna Daksa Di Sekolah
Inklusif Islam menyebutkan bahwa kehidupan yang mereka (siswa penyandang tuna
daksa) merupakan suatu ketetapan yang Allah buat dan harus mereka jalani, suatu
garis kehidupan yang sudah Allah gariskan ketika diciptakan oleh Allah sebagai
Tuhan mereka, yaitu suatu ketetapan yang berkaitan dengan kebahagiaan maupun
kesengsaraan ketika hidup di dunia (Sujoko, 2011: 5). Hal ini berarti seorang
penyandang tuna daksa sudah mampu menerima keadaan dirinya dan meyakini bahwa
semua yang ada dalam dirinya merupakan ketetapan dari Allah. Orang-orang yang
cacat fisik seperti tuna daksa adalah mereka yang tubuhnya tidak normal
sehingga sebagian besar kemampuannya untuk berfungsi di masyarakat terhambat.
Tuna daksa, yaitu individu yang mengalami kelainan anggota tubuh sebagai akibat
dari luka, penyakit, pertumbuhan yang salah bentuk sehingga mengakibatkan
turunnya kemampuan normal untuk melakukan gerakangerakan tubuh tertentu,
misalnya kelainan pada bagian tulang-tulang, otot-otot tubuh maupun daerah
persendian dan kelainan yang disebabkan oleh gangguan pada urat syaraf. Ada
bagian-bagian tertentu yang tidak sanggup mereka lakukan, ada juga
bagian-bagian lain yang masih sanggup mereka lakukan (Efendi, 2008). Dengan
terganggunya salah satu atau lebih alat indranya (penglihatan, pendengaran,
pengecap, pembau, maupun peraba), niscaya akan berpengaruh terhadap indra-indra
yang lain. Pada gilirannya akan membawa konsekuensi 6 tersendiri terhadap
kemampuan dirinya berinteraksi dengan lingkungan sekitar (Efendi, 2008). Individu-individu
yang mengalami cacat tubuh biasanya harus dapat mencapai
penyesuaian-penyesuaian mental yang tidak pernah dihadapi oleh mereka yang
normal. Misalnya, penyesuaian dalam hubungan dengan sikap orang-orang lain
terhadap dirinya. Anak-anak kecil melihat mereka dengan pandangan yang penuh
perhatian, sedangkan orang-orang dewasa mengekspresikannya secara lebih
tersembunyi dengan menghindarkan diri dari keterlibatan dengan mereka. Keadaan
rendah diri dan merasa tertolak oleh lingkungan yang dirasakan seseorang yang
mengalami kecacatan (apalagi setelah usianya beranjak dewasa) menyebabkan ia
sulit menerima kondisi yang dialaminya. Hubungan dengan orang lain seringnya
tidak baik dikarenakan merasa kecewa dengan dirinya dan merasa tidak puas
dengan keadaannya (Ryff & Singer: 2008). Ia juga menjadi orang yang sangat
sensitif terhadap evaluasi ataupun harapan dari luar, tidak mampu membuat
keputusan sendiri dan cenderung conform terhadap orang lain atau kelompok
karena adanya tekanan kelompok yang akhirnya membuatnya tidak percaya diri.
Keterbatasannya dalam melakukan aktivitas, ia seringkali tidak mampu mengatur
kegiatan sehari-hari, mengabaikan kesempatan yang hadir, dan tidak mampu
mengontrol pengaruh dari luar, kurang memiliki keberartian hidup, sedikit
memiliki tujuan hidup, tidak menganggap tujuan hidupnya di masa lalu, dan tidak
memiliki keyakinan dalam hidup, mengalami personal stagnation, tidak dapat
meningkatkan dan mengembangkan diri, merasa jenuh dan tidak tertarik 7 dengan
kehidupan, merasa tidak mampu untuk mengembangkan sikap atau tingkah laku yang
baru (Ryff & Singer, 2008). Kehidupan beberapa orang yang mengalami cacat
fisik adalah beberapa atlet yang telah banyak mengikuti
pertandingan-pertandingan meskipun ia mengalami kecacatan. Di antara para atlet
tersebut pasti ada yang mengalami cacat sejak lahir, sedangkan yang lain
mendapatkan cacat fisik ketika masih kecil atau saat remaja. Untuk yang
mempunyai cacat bawaan, penerimaan lingkungan terhadap kondisi mereka dan
bimbingan yang diterima sejak kecil akan menjadi arah perkembangan diri mereka.
Artinya, kalau lingkungan (orang tua, saudara dan teman-teman) menerima kondisi
yang ada dan menyemangati yang bersangkutan untuk "tetap maju", walau
tahu kalau mempunyai keterbatasan, mereka akan dapat berkembang menjadi orang
yang tidak berbeda dengan orang yang fisiknya lengkap (Efendi, 2008). Padahal
tidak semua orang yang memiliki tubuh sempurna sering merasakan kebahagiaan.
Namun, kembali pada pribadi masing-masing orang. Setiap orang memiliki kelebihan
dan kekurangan masing-masing. Meskipun secara fisik orang-orang yang cacat
terlihat tidak bahagia, tetapi siapa yang tahu di dalam dirinya terselubung
rasa bahagia. Apa yang membuatnya merasa bahagia dan bagaimana cara meraihnya,
hanya merekalah yang tahu. Apalagi bagi seorang remaja yang memiliki cacat
fisik, disamping perkembangan emosinya yang masih tinggi dan labil, dia harus
menerima kenyataan bahwa tubuhnya tidak sesempurna orang lain. Mereka pun harus
8 belajar menerima keadaan diri, hingga akhirnya mereka menemukan kebahagiaan
yang tersimpan dalam diri mereka. Dalam membahas akibat fisik pada masa remaja,
Tanner mengatakan, bahwa bagi sebagian besar anak muda, usia antara dua belas
dan enam belas tahun merupakan tahun kehidupan yang penuh kejadian sepanjang
menyangkut pertumbuhan dan perkembangan. Tak dapat disangkal, selama kehidupan
janin dan tahun pertama atau kedua setelah kelahiran, perkembangan berlangsung
semakin cepat, dan lingkungan yang baik semakin lebih menentukan, tetapi yang
bersangkutan sendiri bukanlah remaja yang memperhatikan perkembangan atau
kurangnya perkembangan dengan kagum, senang atau takut. Kendala dalam
perkembangan kepribadian anak tuna daksa, antara lain terhambatnya aktivitas
normal sehingga menimbulkan perasaan frustasi, timbulnya kekhawatiran
berlebihan dan sikap orang tua yang over protection, dan diskriminasi perlakuan
yang berbeda terhadap anak tunadaksa (Efendi, 2008). Adanya semangat hidup
untuk menjalani kehidupan membuat seseorang menjadi merasa bahagia. Merasa
bahagia dan selalu berpikir positif adalah salah satu kunci penting dalam
menjalani kehidupan. Orang-orang percaya bahwa kebahagiaan adalah tujuan hidup
manusia. Kebahagiaan merujuk pada banyaknya pikiran positif tentang kehidupan
yang dijalani seseorang (Seligman, 2005). Kebahagiaan merupakan konsep yang
mengacu pada emosi positif yang dirasakan individu serta aktivitas positif yang
yang tidak mempunyai komponen perasaan sama sekali. Selanjutnya dia
mengkategorikan emosi yang terkait dengan masa lalu, sekarang dan masa depan.
Kebahagiaan merupakan konsep yang 9 subjektif karena setiap individu memiliki
tolak ukur yang berbeda-beda. Setiap individu juga memiliki faktor yang berbeda
sehingga bisa mendatangkan kebahagiaan untuknya. Faktor-faktor itu antara lain
uang, status pernikahan, kehidupan sosial, usia, kesehatan, emosi negatif,
pendidikan, iklim, ras, dan jenis kelamin, serta agama atau tingkat
religiusitas seseorang (Seligman, 2005). Selain itu, Carr (dalam Seligman,
2005) berpendapat bahwa pada dasarnya keinginan yang cukup besar dalam diri
manusia ialah keinginan untuk hidup secara baik, dalam arti semua proses hidup
manusia seperti sekolah, bekerja, dan menikah dapat berjalan sebagaimana
mestinya. Menurut Seligman (2005), kebahagiaan bisa tentang masa lalu, masa
sekarang dan masa depan. Kebahagiaan masa lalu mencakup kepuasan, kelegaan,
kesuksesan, kebanggaan, dan kedamaian. Kebahagiaan masa sekarang mencakup
kenikmatan dan gratifikasi. Sedangkan kebahagian masa depan mencakup optimisme,
harapan, keyakinan, dan kepercayaan. Ketika ada penyandang cacat dan orang
normal yang memiliki kemampuan sama maka penghargaan lebih justru di berikan
kepada penyandang cacat. Rasa bangga dan bahagia walau sebagian orang selalu
melihat dengan sebelah mata karena ketidaksempurnaan pada penyandang cacat
bukan halangan apalagi menimbulkan kesedihan untuk mereka. Kecacatan selalu
membuat kuat, tegar dan bahagia walau tanpa dipungkiri sebagai makhluk sosial
perasaan malu pasti ada, tapi ternyata nikmat ini tidak pudar begitu saja.
Dengan kecacatan itu, mereka masih bisa berbuat yang terbaik untuk keluarga,
suami dan orang lain. Semua terasa begitu sempurna, diluar apa yang terlihat
sebagai fisik yang aneh, 10 dengan kaki kecil sebelah dan jalan yang timpang
atau tidak mempunyai tangan (Marlinda, 2008; Adinda, 2011: 9). Berdasarkan
pemaparan di atas dapat diketahui bahwa tidak semua orang cacat merasa percaya
diri, hubungan sosialisasi terhambat, bahkan selalu memandang negatif keadaan
dirinya. Namun, ada beberapa diantara orang yang cacat memiliki kebanggaan
tersendiri dalam dirinya yang dapat membuatnya bahagia. Oleh karena itu
peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang makna bahagia bagi remaja
penyandang cacat fisik (tunadaksa). B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar
belakang diatas, maka permasalahan yang dapat dirumuskan yaitu, 1. Bagaimana
tingkat kebahagiaan pada remaja penyandang tuna daksa? 2. Apa makna kebahagiaan
pada remaja penyandang tuna daksa? 3. Siapa yang mendukung kebahagiaan pada
remaja penyandang tuna daksa? 4. Faktor apa yang menyebabkan munculnya
kebahagiaan pada remaja penyandang tuna daksa? C. Tujuan Tujuan penulis dalam
melakukan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui tingkat kebahagiaan pada
remaja penyandang tuna daksa. 2. Untuk mengetahui makna kebahagiaan pada remaja
penyandang tuna daksa. 11 3. Untuk mengetahui siapa saja yang mendukung
kebahagiaan pada remaja penyandang tuna daksa. 4. Untuk mengetahui
faktor-faktor yang menyebabkan munculnya kebahagiaan pada remaja penyandang
tuna daksa. D. Manfaat 1. Secara Teoritis Dengan adanya penelitian ini
diharapkan dapat memperkaya ilmu pengetahuan khususnya di bidang Psikologi. 2.
Secara Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi untuk
bisa mengembangkan self respect, yaitu menghargai diri sendiri dengan cara
menerima diri apa adanya sehingga menjadikannya sebagai seorang pribadi yang
berharga.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" :Makna bahagia bagi penyandang cacat fisik (tuna daksa)" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment