Abstract
INDONESIA:
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara penyesuaian diri dengan kebahagiaan perkawinan istri yang tinggal di rumah mertua. Disamping itu juga memberikan diskripsi tentang sejauh mana hubungan kedua variabel tersebut. Penelitian ini mengajukan suatu hipotesis bahwa ada hubungan positif antar penyesuaian diri dengan kebahagiaan perkawinan istri.
subjek penelitian sebanyak 40 (empat puluh) istri yang tinggal di rumah mertua di dusun Klandungan Desa Landungsari Malang. pengambilan sample penelitian dengan teknik purposive sampling. kebahagiaan perkawinan diukur dengan menggunakan skala kebahagiaan perkawinan dari Calyton, Landis dan Landis, Knox, dan Sudirman yang terdiri dari aspek kerukunan, keterikatan suami-istri, keintiman perkawinan, kehidupan ekonomi. Penyesuaian diri diukur dengan skala penyesuaian diri dari Tallent, Schneiders dan Astuti.
Data yang terkumpul dianalisis dengan analisis regresi. hasil penelitian menunjukkan bahwa hipotesis diterima, yaitu ada hubungan positif antara penyesuaian diri dengan kebahagiaan perkawinan istri, dari olah statistik diperoleh nilai F=156,591, p<0,00, dan koefisien korelasinya R=0,897 serta koefisien determinasinya R2=0,805. Sumbangan prediktor penyesuiaian diri terhadap kebahagiaan perkawinan istri sebesar 80,5%.
ENGLISH:
This research aimed to know the relation among adjustmen with the wife's live in mother in law home marital happiness. beside that the study also discription about how far the realiton among availables. this research raise hypothesis that s positive corelation of adjustment with the marital happiness wife live in mother in law home.
The subject of this research were 40 wife in Klandungan village. Who live in mother in law's home. This research employed the purposive sampilng technique. The marital happiness measured by marital happiness scale from Clayton, :andis and Landis, Knox and Sudirman consisting marital harmony aspect, husband-wife interrelationship aspect, martial intimate aspect, and martial economical aspect. The adjustment measured with the scale adjustment from, Tallent, Schneider, and Astuti consisting emotional control, learning ability, direct action and interpersonal relation.
The data was analized by using regression analysis. The result of research show that hipotetical research has accepted. Tehre is reletion among adjustment with the marital happiness wife, where obtained value F=156,591, p<0,00, and it's correlation coefficient is R=0,897 and also coefficient of determination R2=0,805. Contribution of predictor of adjustment and attitude to ideal woman concept of java to marital happiness of wife has equal to 80,55.
BAB I
PENGANTAR
1.
Latar
Belakang Masalah
Menikah
adalah suatu peristiwa sakral dan memiliki arti penting dalam sejarah
perjalanan hidup seseorang, bukan hanya saja sebatas masa hidupnya tetapi juga
harapan menentukan kehidupan keturunan kedepannya dengan membentuk keluarga
lengkap (Ritongga, 2005). Dalam kehidupan, keluarga menempati posisi sangat
penting. Ia merupakan pondasi dan pilar yang dapat membangun masyarakat serta
menjamin keberlangsungan hidup manusia. Sebagai elemen terkecil dalam
masyarakat, keluarga menjadi sebuah kekuatan yang menjadi benteng penghalang
kehancuran sebuah masyarakat. Sehingga kebahagiaan keluarga sebagai indikasi
kesuksesan keluarga akan berpengaruh secara tidak langsung bagi kemajuan sebuah
bangsa dan negara. Namun, pada kenyataannya untuk mewujudkan hal tersebut
bukanlah persoalan mudah. Hal ini dapat dilihat dari data perceraian yang
semakin bertambah setiap tahunnya. Bahkan dengan angka 6.716 kasus tahun 2010,
daerah Malang menjadi daerah dengan kasus perceraian tertinggi di Indonesia
(www.Pa-Malangkab.go.id. Diakses 1 Februari 2012). Kehidupan dalam perkawinan
merupakan hal yang menarik untuk dibicarakan sekarang ini, banyak sekali
masalah yang timbul berkaitan dengan kehidupan dalam perkawinan. Saat individu
memutuskan berada dalam kondisi menjelang maupun setelah perkawinan, maka
individu akan mulai menemui beberapa kondisi yang rumit dan komplek. Setidaknya
kompleksitas kondisi tersebut bisa kita lihat dari kompleksitas jenis
perceraian. Data statistik di Pengadilan Agama Kota Malang menunjukkan pada
tahun 2009 jumlah perkara cerai gugat yang masuk di Pengadilan Agama Kota
Malang sebanyak 72,66% dan cerai talak 25,78%. Sedangkan 2 tahun 2010 terdapat
59,94% perkara cerai gugat dan 31,15% cerai talak. Dan pada tahun 2011
menunjukkan 63,76% cerai gugat dan 28,46% cerai talak (Grafik Perbandingan
Jenis Perkara, februari 2011). Dari jenis pengajuan gugatan cerai, data statistik
mencatat 70% angka perceraian di Kota Malang dari tahun 2009-2011 diajukan oleh
pihak istri, dan 30% lainnya oleh pihak suami (www.Pa-Malangkab.go.id., diakses
1 Februari 2012).. Dr. Joseph Abraham mengatakan bahwa tiap perkawinan tak
selamanya berjalan mulus, karena beberapa fase yang harus di lewati tiap
pasangan suami istri yaitu fase bulan madu, fase akomodasi, fase tantangan,
fase penyimpangan, dan fase terlahir kembali (www.walipop.com, diakses tanggal
1 februari 2012). Fincham, Stanley dan Beach (2007) menyatakan bahwa dalam
hubungan suatu rumah tangga di dalamnya tidak selalu membuahkan hubungan yang
selaras dan serasi. Hadirnya pihak ketiga, kesulitan masalah ekonomi dan juga
konflik dengan internal keluarga dapat merusak keserasian dan keharmonisan
keluarga (Gatra, 2006). Oleh karena itu dalam membentuk keluarga yang baik
melalui perkawinan diperlukan pemikiran mendalam, lebih-lebih dalam menghadapi
masa depan. Sebagai sebuah keniscayaan, setiap pernikahan melahirkan hubungan
kekerabatan baru yang dalam bahasa Arab disebut mushaharah. Mushaharah atau
dalam bahasa Inggris disebut in law merupakan hubungan kekerabatan baru dengan
besan, mertua, menantu, ipar, dan lain sebagainya. Hubungan tersebut juga
menjadi salah satu kunci penting yang dibutuhkan untuk menjalani pernikahan,
yaitu berupa peneriamaan dan proses penyesuaian diri dengan kekerabatan baru.
Bagi sebagian pasangan, permasalahan hubungan antara menantu dengan mertua
seringkali menjadi pemicu timbulnya konflik antara suami dengan istri atau
sebaliknya (Sukriya, 2002). Terlebih ketika orangtua (mertua) berada satu atap
dengan anak-anaknya yang 3 telah berumah tangga, hal tersebut akan meningkatkan
kemungkinan terjadinya konflik antara menantu dan mertua (www.suaramerdeka.com.
Diakses 8 Januari 2012). Tinggal di rumah mertua dikenal dengan sebutan pondok
mertua indah, bagi sebagian pasangan yang mungkin menganggap hal itu sebagai
kondisi yang menguntungkan. Namun di sisi lain, tidak sedikit pula pasangan
yang justru menganggap hal itu akan menimbulkan permasalahan dalam rumah
tangga. Aryani dan Setiawan (2007) menyebutkan ada beberapa hubungan yang
terjadi antara menantu dengan mertua, yaitu hubungan penuh konflik, hubungan
acuh tak acuh, ataupun hubungan harmonis. Beberapa bentuk hubungan menantu
dengan mertua tersebut yang sering terdengar dan menjadi bahan pembicaraan
menarik adalah hubungan penuh dengan konflik. Konflik itu sendiri banyak
dialami oleh menantu perempuan dengan ibu mertua. Hal tersebut didukung dengan
hasil penelitian dari Utah State University menyatakan bahwa 60% pasangan suami
istri mengalami ketegangan hubungan dengan mertua, yang biasanya terjadi antara
menantu perempuan dengan ibu mertua (Sweat, 2006). Secara psikologis, dua
perempuan yang mempunyai peran sama, sebagai ibu rumah tangga dalam satu rumah,
akan sulit menghindari konflik. Ibarat kapal, ada dua nahkoda. Masing-masing
merasa punya kekuatan dan peran. Selain itu, kasus ketidakharmonisan ini pada
dasarnya juga disebabkab oleh pola pikir perempuan yang sangat sensitif,
sedangkan fase kehidupan yang paling berharga baginya adalah keluarga
(www.intisari-online.com. Diakses 23 Januari 2012). Ketidakharmonisan hubungan
antara ibu mertua dengan menantu perempuan akan berakibat terjadinya pemutusan
hubungan interpersonal yang dipicu oleh masing-masing pihak yang berkompetisi,
keinginan untuk mendominasi, saling menyalahkan apabila terjadi kegagalan, dan
salah satu pihak berbuat sesuatu yang dapat menyinggung perasaan pihak lain
(Majalah Femina, 2008). 4 Permasalahan hubungan antara ibu mertua dengan
menantu perempuan seringkali juga menjadi pemicu timbulnya konflik yang
berakhir dengan perceraian. Salah satu perkara yang masuk ke Pengadilan Agama
Kota Malang yaitu perkara No. 1247/Pdt.G/2010/PA/.Mlg. Dalam perkara ini istri
mengajukan gugatan cerai kepada suami di Pengadilan Agama karena sudah tidak
betah hidup satu rumah dengan suami beserta keluarganya dan merasa bahwa
keluarga suami terutama ibu mertuanya terlalu ikut campur dalam urusan rumah
tangganya (www.PaMalangkab.go.id., diakses 1 Februari 2012). Bagi sebagian
pasangan, permasalahan hubungan antara menantu dengan mertua seringkali menjadi
pemicu timbulnya konflik antara suami dengan istri atau sebaliknya. Jika hal
ini berlangsung terus-menerus, akan berdampak buruk pada sebuah ikatan
perkawinan. Meksipun di masa kini sudah banyak pasangan yang tidak lagi tinggal
serumah dengan mertua, namun hal tersebut bukan berarti bahwa masalah menantu
dan mertua tidak lagi terjadi. Seperti yang dijelaskan pada kutipan bahwa mertua
dan menantu pasti akan sering bertemu dan saling berinteraksi, misalnya pada
saat perayaan ulang tahun, hari raya atau ketika menengok cucu (bagi sang
mertua) atau menengok nenek (bagi sang cucu) (www.e-psikologi.com. Diakses
tanggal 23 Februari 2012). Fenomena konflik ibu mertua dengan menantu
perempuannya bisa kita lihat secara nyata di berbagai kisah kehidupan. Bahkan
di media cetak dan televisi juga sering muncul masalah tersebut. Seperti dalam
kasus di bawah ini: “Kalau bukan karena ibu mertua, perkawinan saya (39) dengan
T (40) tak akan bermasalah seperti sekarang. Sebagai anak laki-laki bungsu,
hubungan suami dengan ibunya sangat dekat. Hal ini baru saya ketahui ketika
akan menjadi istrinya. Saya memang tidak diperkenalkan hingga menjelang tanggal
pernokahan. Yang membuat sebal, ibu mertua selalu ikt campur dalam kehidupan
saya. Saya sampai pusing meladeni pertanyaannya yang selalu ingin tahu setiap
detail rumah tangga saya Soal karier tak luput dari perhatiannyaa. Salah satu
contoh, saya tidak diperbolehkan dinas ke luar kota. Alasannya, ibu mertua
tidak suka saya 5 menelantarkan kepentingan keluarga. Bahkan, beliau menasihati
tentang kemungkinan yang bisa terjadi, jika suami ditinggal pergi terlalu lama
oleh istrinya. Saya bosan diceramahi dan gemas karena hanya dipandang sebagai
seseorang yang dititipi untuk mengurus anak kesayangannya bukan sebagai anak
sendiri. Saya dan suami jadi sering ribut karena masalah ini. Saya merasa
selalu dipojokkan” (Femina, 2008). Membaca beberapa paparan kasus di atas
memberikan gambaran bahwa, idealnya dalam satu rumah hanya ada satu keluarga
dengan satu kepala keluarga yaitu suami, istri sebagai kepala rumah tangga. Hal
tersebut dapat dijadikan antisipasi agar tidak terjadi konflik antara menantu
dan mertua karena perebutan posisi dan peran di dalam rumah. Kehidupan rumah
tangga akan lebih sempurna, ketika kita memiliki rumah sendiri, sehingga kita
dapat mengatur rumah dan keluarga kita sendiri dengan bebas tanpa ada campur
tangan dari pihak lain. Jika hal tersebut terjadi maka kebutuhan psikologis
masing-masing pihak akan terwujud. Glasser (1998) menjelaskan ada empat
kebutuhan psikologi yang harus terpenuhi yaitu cinta dan dimiliki (love and
belonging), kekuasaan (power), kebebasan (freedom), kesenangan (fun). Keempat
kebutuhan di atas, akan menjadi harapan bagi menantu perempuan dan ibu mertua
untuk sama-sama dapat menempati posisi yang aman. Namun kondisi saat mereka
tinggal bersama, maka kebutuhan dari Glasser akan menjadi hal yang
diperebutkan. Nampak pada kondisi menantu perempuan yang tinggal di rumah ibu
mertua, jika tidak mampu menempatkan diri secara baik maka secara otomatis
posisi menantu perempuan menjadi inferior dalam mencapai kebutuhannya. Namun,
akan berbeda jika tidak tinggal bersama dengan ibu mertua, maka tidak ada pihak
yang ikut campur tangga dan keempat kebutuhan akan dapat berjalan dengan
seimbang. Tetapi faktanya masih ada banyak pasangan yang masih ikut tinggal
bersama dengan orang tua dari pihak suami. Menurut Purnomo (1994) ada beberapa
alasan untuk tetap tinggal di rumah mertua. Pertama, mungkin mereka memang
belum berani untuk mandiri dengan mengandalkan 6 penghasilan, karena biaya
hidup berumah tangga tidaklah sedikit. Kedua, secara psikologis mungkin mereka
belum siap, karena menikah merupakan suatu pengalaman baru bagi mereka. Berada
dekat dengan orang tua dapat membantu untuk mendapatkan kekuatan, panutan, atau
pun teladan. Ketiga, sang menantu memang diminta untuk tinggal bersama oleh
mertuanya, karena sang mertua yang mungkin telah hidup sendiri, membutuhkan
seseorang untuk menemaninya. Begitu menikah pasangan itu harus belajar
menyesuaikan diri terhadap tuntutan dan tanggungjawab. Sementara pada saat ini
tak jarang individu setelah menikah lalu memutuskan untuk tinggal bersama
dirumah mertua dikarenakan belum memiliki tempat tinggal atau alasan lain
(Charlie, 2006). Pada dasarnya konsep kebahagiaan telah menjadi salah satu
indikasi kesuksesan dalam berumahtangga sudah banyak diulas dalam teori
psikologi. Hurlock (1999) mengemukakan bahwa orang akan merasa puas dan bahagia
apabila pengalaman-pengalaman yang menyenangkan lebih banyak daripada
pengalaman-pengalaman yang tidak menyenangkan. Batasan yang dikemukakan Hurlock
tersebut sifatnya universal, dan mudah dipahami, namun perlu perincian lebih
lanjut untuk memahami kehidupan perkawinan dengan penhalamanpengalaman yang
nyata. Kebahagiaan perkawinan adalah perasaan senang, tentram lahir dan batin
suami-istri dalam rentang kehidupan perkawinannya. Dalam pandangan budaya jawa,
kebahagiaan perkawinan dapat ditinjau dari dua kaidah dasar kehidupan, yaitu
prinsip kerukunan dan prinsip hormat (Suseno 1983). Rukun artinya berada dalam
keadaan selaras, tenang dan tentram tanpa perselisihan dan pertentangan.
Keadaan rukun adalah kondisi dimana semua pihak dalam kondisi damai satu sama
lain, suka bekerja sama, saling menerima, dalam suasana tenang dan sepakat
(Suseno, 1983) 7 Prinsip kerukunan artinya individu bersikap sedemikian rupa
sehingga tidak sampai menimbulkan konflik. Prinsip hormat ialah individu dalam
berbicara dan membawa diri dituntut untuk selalu menunjukkan sikap hormat
terhadap orang lain, sesuai derajat dan kedudukannya. Prinsip kerukunan dan
hormat tersebut merupakan kerangka normatif yang menentukan bentukbentuk
konkrit semua interaksi, termasuk hubungan suami-istri (Suseno, 1983) Hasil
penelitian yang dilakukan Andayani (2003) menunjukkan bahwa sebagian besar
subjek yang terdiri orang dewasa yang sudah menikah mengungkapkan ‘suasana
psikologis’ yang menimbulkan kenyamanan ialah suasana rukun, tentram dan damai.
Makna rukun, tentram, dan damai ialah suasana yang jauh dari pertengkaran hebat
dan biasanya berujung pada perceraian. Jadi dapat dikatakan bahwa rumah tangga
yang bahagia ialah rumah tangga dalam suasana rukun, tentram, dan damai.
Seseorang yang memutuskan untuk menikah pastinya akan menghadapi kehidupan
baru, kebudayaan baru, lingkungan baru dan keluarga baru yang kesemuanya itu
membutuhkan suatu penyesuaian diri. Menantu yang tinggal dengan mertuanya
setidaknya dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Penyesuaian diri
adalah suatu proses dinamis yang bertujuan untuk mengubah perilaku individu
agar terjadi hubungan yang lebih sesuai antara diri individu dengan
lingkungannya (Mu’tadin, 2002). Adams (dalam Wahyuni, 2008) menyatakan bahwa
penyesuaian diri merupakan kemampuan individu untuk mengatasi segala sesuatu
yang terjadi dalam lingkungannya secara efektif. Penyesuaian diri merupakan
proses yang terus berlanjut sepanjang kehidupan seseorang. Hal ini disebabkan
karena adanya perubahan situasi hidup yang menuntut seseorang untuk berubah.
Oleh sebab itu dalam sepanjang hidup seseorang harus terus menyesuaikan diri
sesuai dengan pengalaman hidupnya. Penyesuaian diri adalah suatu proses,
mengingat kehidupan mereka merupakan rangkaian perubahan dan tantangan yang 8
mengakibatkan individu selalu berada dalam proses yang berubah-ubah (Horsey
dalam Wahyuni, 2008). Sehubungan dengan hal itu, individu dapat mencari dan
menggunakan strategi baru untuk menyesuaikan diri dalam kehidupan mereka. Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa menantu yang tinggal dengan mertua
diharapkan dapat menyesuaikan diri dengan keadaan barunya sekarang, dimana
individu harus berusaha agar dapat mendapat hasil yang diharapkan yang lebih
sesuai untuk mengatasi ketegangan, frustasi, konflik tuntutan dari diri maupun
lingkungan, sehingga akan tercipta kebahagiaan perkawinan. Pendapat Wu, Yeh,
Croos, Larson dan Wang (2010) menyatakan bahwa akibat tingginya konflik yang
terjadi antara menantu perempuan dengan ibu mertua, membuat seorang istri
merasa tidak mampu memenuhi harapan masyarakat untuk menjadi kepala rumah
tangga yang berhasil, sehingga berdampak stress pada istri dalam kehidupan
perkawinannya. Dalam berbagai riset, perempuan dikatakan lebih sulit menyesuaikan
diri dari pada laki-laki (O’Connor, Dunn, Jenkis, Pickering & Rasgash,
2011). Hal ini dikarenakan perempuan memegang peranan yang sangat penting, yang
salah satunya adalah mempunyai hubungan yang baik dengan keluarga suami dan
perempuan pun memiliki kecemasan berupa “aku tidak diterima dalam keluarga
suami” (O’Connor, dkk., 2011). Agar hubungan menantu perempuan dengan ibu
mertua dapat terjalin relasi yang baik, maka dalam hal ini menantu perempuan
yang tinggal di rumah ibu mertua harus mampu menyesuaikan diri dengan baik.
Penyesuaian diri memiliki fase dalam prosesnya, lama tidaknya atau berhasil
tidaknya fase sangat dipengaruhi oleh pengalaman dan budaya dalam lingkungan
tersebut, kedua hal tersebut yang harus dipelajari oleh individu agar dapat
menyesuaikan diri dengan baik (Kertamuda & Herdiasyah, 2009). 9 Penjelasan
di atas dipertegas oleh O’Connor, dkk., (2001) dalam penelitiannya yang
menyatakan bahwa kondisi keluarga dan jalinan hubungan antara anggota keluarga
dapat mempengaruhi penyesuaian diri individu di lingkungan tempat tinggal.
Dalam hal ini untuk dapat menyesuaikan diri menantu perempuan harus menjalin
relasi yang baik dengan anggota keluarga. Selain itu cara lainya untuk dapat
mencapai penyesuaian diri dibutuhkan suatu kompetensi salah satunya adalah
bagaimana menantu perempuan dapat mengendalikan emosi, hal ini dapat diketahui
dengan melihat kematangan emosi pada diri menantu perempuan. Penjelasan di atas
jika dihubungkan dengan permasalahan tentang hubungan antara menantu perempuan
dengan ibu mertua sudah tentu menarik dan perlu mendapat perhatian khusus,
karena kasus ini sudah begitu lama adanya. Sudah banyak menantu yang sering
memberikan keluhan, diantaranya mengenai sulitnya untuk membangun relasi
positif dengan ibu mertua, apalagi menantu perempuan diketahui tinggal di rumah
ibu mertua. Hal ini mengundang tanda tanya bagi penulis tentang paparan yang
terjadi di atas, sehingga penulis ingin mencoba melihat lebih jauh aspek
tentang penyesuaian diri. Pada dasarnya kebanyakan budaya di Indonesia
mengharuskan seorang menantu perempuan untuk tinggal bersama mertua sebelum
memiliki rumah sendiri. Sehingga penyesuaian diri menantu perempuan menjadi hal
yang utama dalam keharmonisan rumah tangga. Berdasarkan riset sebelumnya yang
dilakukan O’Connor, dkk (2011) yang menyatakan bahwa perempuan lebih sulit
untuk beradaptasi dari pada laki-laki serta didukung oleh ulasan majalah Femina
(2008) yang menyatakan bahwa idealnya dalam satu rumah hanya terdapat satu
pengatur rumah tangga, sehingga keberadaan menantu perempuan dan ibu mertua
akan menjadikan konflik perebutan kekuasaan. Sehingga kemampuan penyesuaian
diri istri terhadap ibu mertua menjadi salah satu kunci yang mengindikasikan
tingkat kebahagiaan perkawinannya. 10 Peneliti ingin melihat apakah ada
hubungan antara tingkat penyesuaian diri menantu perempuan yang tinggal dirumah
ibu mertuanya dengan kebahagiaan perkawinan. Karena itu judul yang diangkat
oleh penulis adalah "Hubungan Kebahagiaan Perkawinan Istri Dengan
Penyesuaian Diri Menantu Perempuan Yang Tinggal Di Rumah Ibu Mertua ".
Terkait pemilihan Malang sebagai lokasi penelitian, peneliti mengajukan
beberapa pertimbangan, yaitu pertama berdasar data statistik tahun 2010 Malang
merupakan daerah dengan kasus perceraian terbanyak di Indonesia. Kedua tema
merupakan masalah umum yang terjadi di seluruh Indonesia, sehingga alasan
pertama (data statistik) akan memberikan tingkat populasi yang lebih luas. 2.
Rumusan Masalah Rumuasan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana
tingkat kebahagiaan istri yang tinggal di rumah ibu mertua? 2. Bagaimana
tingkat penyesuaian diri istri yang tinggal dirumah ibu mertua? 3. Apakah ada
hubungan antara kebahagiaan perkawinan istri dengan penyesuaian diri menantu
perempuan yang tinggal dirumah ibu mertua? 3. Tujuan Penelitian Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui: 1. Tingkat kebahagiaan istri yang
tinggal di rumah ibu mertua 2. Tingkat penyesuaian diri istri yang tinggal
dirumah ibu mertua 3. Hubungan antara kebahagiaan perkawinan istri dengan
penyesuaian diri menantu perempuan yang tinggal dirumah ibu mertua 11 4.
Manfaat Penelitian 1. Memperkaya hasanah keilmuan dalam perspektif psikologi
dalam kajian masalah perkawinan 2. Dapat memberikan sumbangan pengetahuan bagi
pemerhati perempuan pada umumnya, khususnya penasehat perkawinan untuk lebih
mengembangakan program kerjanya dengan melihat faktor psikologis yang berkaitan
erat bagi kehidupan individu khususnya dalam kehidupan perkawinan dengan tujuan
mencapai kebahagian. 5. Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu dibutuhkan
untuk memperjelas, menegaskan, melihat kelebihan dan kelemahan berbagai teori
yang digunakan penulis lain dalam penelitian atau pembahasan maasalah yang
sama. Dalam penelitian ini terdapat beberapa penelitian terdahulu dengan
penjelasan sebagai berikut : Kajian mengenai kebahagiaan perkawinan sudah
banyak dilakukan oleh penelitipeneliti terdahulu. Namun kajian tentang
“Kebahagiaan Perkawinan Ditinjau Dari Penyesuaian Diri Menantu Perempuan Yang
Tinggal Di Rumah Ibu Mertua” belum pernah ada. Hasil penelitian sejauh penulis
telusuri antara lain mengenai Kebahagiaan Perkawinan ditinjau dari Penyesuaian
Diri dari Sikap Wanita Terhadap Ajaran Wanita Ideal Jawa yang dilakukan oleh
Mardiyati (2004). Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data dengan
skala penelitian yang merupakan salah satu bentuk self-report ditambah
pengamatan (observasi) serta wawancara tak berstruktur sebagai pelengkap 12
data. Self-report ialah pemahaman dan pengetahuan serta keyakinan pribadi
mengenai suatu permasalahan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan
antara penyesuaian diri dan sikap istri terhadap konsep wanita ideal Jawa
dengan kebahagiaan perkawinan istri. Disampng itu juga memberikan diskripsi
tentang sejauhmana hubungan ketiga variabel tersebut. Yuliyana (2008) dengan
judul Penyesuaian Diri pada Menantu Pria Dewasa Awal yang Tinggal Dengan
Mertua. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik
pengumpulan data dengan wawancara dan observasi non partisipan. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui bagaimana hubungan mertua dan menantu pria dewasa
awal yang tinggal dengan mertua, bagaimana penyesuaian diri menantu piri dewasa
awal yang tinggal dengan mertua, mengapa menantu pria dewasa awal memiliki
penyesuaian yang demikian. Fitroh (2011) dengan judul Hubungan Antara
Kematangan Emosi Dan Hardiness Dengan Penyesuaian Diri Menantu Perempuan Yang
Tinggal Di Rumah Ibu Mertua. Teknik pengambilan sampel yang digunakan
penelitian ini adalah purposive sampling. Metode pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah skala. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui secara bersama-sama seberapa besar hubungan kematangan emosi dan
hardiness dengan penyesuaian diri. Selain itu, ingin melihat secara
sendiri-sendiri hubungan kematangan emosi dengan penyesuaian diri dan hubungan
hardiness dengan penyesuaian diri. Dari beberapa penelitian di atas, ada yang
memiliki persamaan judul maupun pembahasan yang dibahas dalam skripsi yang
peneliti tulis. Namun persamaan itu hanya terdapat pada variabel kebahagiaan
perkawinan dan penyesuaian diri saja, namun 13 penelitian ini memfokuskan pada
konsep wanita ideal Jawa, berbeda dengan penelitian yang akan di teliti
peneliti memfokuskan pada istri yang tinggal di rumah ibu mertua. Dalam beberapa
penelitian tersebut tidak ada yang membahas kebahagiaan perkawinan istri
ditinjau dari penyesuaian diri menantu perempuan yang tinggal dirumah ibu
mertua. Dari sini dapat disimpulkan bahwa belum ada yang membahas kajian yang
akan diteliti peneliti.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" : Hubungan penyesuaian diri dengan kebahagian perkawinan istri yang tinggal di rumah ibu mertua." Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment