Abstract
INDONESIA:
Pernikahan bagi manusia merupakan hal yang penting, karena dengan menikah seseorang akan memperoleh keseimbangan hidup baik secara biologis, psikologis maupun secara sosial.Dimana menikah adalah tugas perkembangan yang menjadi karakteristik dewasa awal yaitu usia 20- 40 tahun(Papalia, 1998). Namun masih sering dijumpai penikahan dilakukan dibawah usia yang telah ditentukan oleh undang-undang yaitu 21 tahun. Pernikahan yang dilakukan di usai remaja ditakutkan akan mengalami banyak konflik karena karakteristik remaja adalah mengalami krisis identitas, sehingga keputusan yang diambil bukanlah keputusan yang tepat.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan: 1) Untuk mengetahui bagaimanakah tingkat pengambilan keputusan menikah diusia muda pada remaja 2) Untuk mengetahui apakah status identitas berpengaruh terhadap pengambilan keputusan menikah diusia muda 3) Untuk mengetahui status identitas mana yang paling berpengaruh terhadap pengambilan keputusan menikah diusia muda.
Rancangan penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan analisa regresi linier berganda. Variabel bebas (X) adalah status identitas dan variabel (Y) adalah pengambilan keputusan menikah. Sampel penelitian ini diambil dengan teknik purposive sampling pada pelaku menikah di usia muda dikecamatan Pujon dan didapat 54 responden.
Hasil pengukuran dengan skala status identitas dan skala pengambilan keputusan menikah didapatkan hasil terdapat hubungan yang signifikan anatara status identitas dengan pengambilan keputusan menikah di usia muda p = 0,001, r = 0,304. Besar tingkat pengambilan keputusan menikah di usia muda yaitu 3 responden dengan prosentase 5,56 % berada pada kategori tinggi, 46 responden dengan prosentase 85,1% berada pada kategori sedang, dan 8 responden dengan prosentase 14,8 % berada pada kategori rendah. Dan status identitas achievement berpengaruh paling besar dalam proses pengambilan keputusan menikah di usia muda sebesar p = 0,000, r = 0,497. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hipotesis diterima.
ENGLISH:
It is believed that marriage is important thing for human in order to achieve life balance either biologically, psychology or socially, that becomes growth task of first adult characteristic in rate of 20 – 40 years old (Papalia, 1998). However, it is often found a marriage under the age prescript by the government, which is at least 21 years old. A marriage on the teenager age is assumed that it will get many conflicts because of their identity crisis, so the decision is inappropriate.
This research aims to: 1) understand the rate of decision making to marry under the age 2) understand whether identity status influences against decision making to marry under the age 3)understand which identity status that is most influence to marry under the age.
The plan of this research uses quantitative method by multiple linier regression analysis. Acquitted Variable (X) is an identity status and variable (Y) is decision making to marry. The sample of this research is taken with purposive sampling to the people who marry under the age in the sub district of Pujon based on 54 respondents.
The measuring result by using identity status and decision making to marry scales is reached out the significant relationship between identity status and decision making to marry under the age; p = 0.001, r = 0.304. The abundance of the rate of decision making to marry under the age reaches 3 respondents on the 5.56% high category, 46 respondents on the 85.1% mid category and 8 respondents on the 14.8% low category. Achievement of identity statues that is most influence in the decision making to marry under the age is in a range of p = 0.000, r = 0.494. In conclusion, the hypothesis can be accepted.
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pernikahan bagi manusia merupakan hal yang
penting, karena dengan menikah seseorang akan memperoleh keseimbangan hidup
baik secara biologis, psikologis maupun secara sosial. Seseorang yang
melangsungkan sebuah pernikahan maka secara otomatis semua kebutuhan
biologisnya bisa terpenuhi, ia akan bisa menyalurkan kebutuhan seksnya dengan
pasangan hidupnya. Selain secara mental dan kejiwaan mereka yang telah menikah
lebih bisa mengendalikan emosinya dan mengendalikan nafsu seksnya, kematangan
emosi merupakan aspek yang sangat penting. Mengingat keberhasilan suatu rumah
tangga sangat di pengaruhi oleh kematangan emosi baik dari suami maupun istri.
Di lain sisi, menikah memiliki banyak konsekuensi yang berkaitan dengan
tanggungjawab dan pemenuhan peran masing-masing pihak yang harus dipenuhi. Oleh
karenanya, keputusan menikah perlu dipertimbangkan dengan serius. Setiap orang
memiliki pertimbangan masing-masing menjelang pengambilan keputusannya untuk
menikah. Cara pandang, budaya masayarakat, dan sistem tradisi dalam keluarga
memberi kontribusi pertimbangan cukup besar menuju pengambilan keputusan
menikah, terlebih di usia muda. 2 Di usia muda inilah, masa dimana banyak
keputusan-keputusan penting menyangkut masa depannya mulai ditentukan, misalnya
tentang pekerjaan, sekolah, dan pernikahan (Steinberg, 2002). Namun demikian,
tidak jarang remaja mengambil keputusan yang salah karena pengaruh orientasi
masyarakat terhadap remaja dan kegagalannya untuk memberi remaja
pilihan-pilihan yang memadai. Kondisi emosional remaja yang masih labil, dengan
dinamika yang fluktuatif juga turut mempengaruhi ketidakmatangan dalam hal
pengambilan keputusan. Oleh sebab itu, Daniel Kaeting (dalam Desmita, 2008)
menyarankan jika keputusan yang diambil remaja keputusan yang tidak disukai,
maka kita perlu memberi mereka suatu pilihan alternatif yang lebih baik. Pemberian
alternatif pilihan bukan berarti orang tua atau figur otoritas remaja
memberikan pemaksaan untuk memilih sesuai dengan keinginan figur otoritas.
Figur otoritas hanya memberikan alternatif pilihan dan memberikan saran tentang
baik dan buruknya suatu pilihan, disinilah tugas remaja untuk menentukan
sendiri keputusannya. Di beberapa kasus pernikahan muda dalam sebuah penelitian
masih sering kita jumpai adanya keputusan otoritas yang dilakukan orang tua
seperti anak dijodohkan. Sebagaimana yang ungkap Nadya (2010) yang menyatakan
salah satu faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan menikah muda remaja
putri adalah orang tua dan keluarga. Selain itu Nadya (2010) juga menyebutkan
faktor lain seperti adat istiadat, dan sosial budaya setempat juga memberikan
sebuah kontribusi 3 yang mengharuskan remaja mengambil keputusan menikah muda.
Sebutan sebagai “perawan tua” oleh masyarakat setempat pada remaja wanita
membuat mereka menjadi malu akan statusnya yang masih lajang. Dari uraian
diatas dapat kita lihat bahwa masing-masing orang dalam mengambil sebuah
keputusan memiliki keunikan sendiri-sendiri. Kuzgun (Bacanli, 2012) menyebutkan
bahwa ada 4 gaya seseorang dalam mengambil keputusan yaitu rational, intuitive,
dependent dan indecisiveness. Sebagai contoh remaja yang dijodoh oleh orang tua
atau keluarga menurut Kuzgun remaja ini berada dalam gaya pengambilan keputusan
dependent. Mereka menyerahkan segala keputusan yang diambil kepada orang tua
atau figur otoritas, sehingga keputusan yang diambil bukan dari pemikiran dan
perencanaan yang matang terhadap masa depannya. Berbeda halnya remaja yang
memiliki gaya rasional dalam mengambil keputusan, dimana remaja ini memiliki
ciri khas remaja yang sudah memiliki identitas dan memiliki komitmen kuat
terhadap dirinya mereka akan berfikir panjang mengenai perannya sebagai suami
atau istri, pola pengasuhan anak, dan sudah memiliki pandangan yang jelas
mengenai kehidupan rumah tangganya kedepan. Menurut Santrock (2002) seseorang
melakukan pernikahan berarti ia telah memasuki tahap perkembangan
sosio-emosional pada masa dewasa awal yang tergabung menjadi keluarga melalui
perkawinan. Sedangkan masa untuk melakukan pernikahan saat usia dewasa awal
yaitu 20-40 tahun (Papalia, 1998). Oleh karena masa dewasa adalah masa yang 4 tepat
untuk melangsungkan pernikahan dan membina keluarga, hal ini sejalan dengan
pendapat Harvingust (Dalam Hurlock, 1990) yang menyatakan bahwa tugas
perkembangan yang menjadi karakteristik dewasa awal adalah mulai memilih
pasangan hidup dan bekerja. Sementara tugas perkembangan remaja adalah mencapai
hubungan baru yang lebih baik dengan sebayanya dan mencapai peran sosial pria
atau wanita. Sementara pernikahan atau membina rumah tangga adalah tugas
perkembangan masa dewasa ( Harvighurst, dalam Hurlock, 1980 ) Akan tetapi
banyak fenomena yang terjadi, remaja yang sudah melakukan pernikahan di bawah
standart umur sesuai Undang-undang nomer 1 tahun 1974 pasal 7, yang
mensyaratkan bahwa perkawinan dapat dilakukan jika seseorang telah berusia 21
tahun dan telah memeliki kematangan psikologis. Pernikahan di bawah usia 21
tahun baru diperbolehkan, dengan syarat mendapatkan ijin dari orang tua atau
walinya. Di Indonesia pernikahan dini berkisar 12-20% yang dilakukan oleh
pasangan baru. Biasanya, pernikahan dini dilakukan pada pasangan usia muda yang
rata-rata berusia antara 16-20 tahun. Menurut catatan kantor Pengadilan Agama
(PA) kecamatan Pujon terdapat 45 pasang menikah di usia 20 tahun kebawah baik
laki-laki maupun perempuan sepanjang tahun 2011 dan 2012 (Data Statistik
pengadilan Agama, 2011/2012). Di kota Malang angka pernikahan di bawah usia 15
tahun meningkat 5 kali lipat dibanding 2007 lalu, hingga September 2008
tercatat 10 pernikahan dimana usia pengantin perempuannya masih di 5 bawah 15
tahun (kumpulan-artikel-menarik.blogspot.com, 2008). Pernikahan dengan usia
pengantin antara 10-15 tahun dijawa timur berkisar 17,43% dan secara nasional
di seluruh Indonesia sebesar 13,40% di tahun 2009 (BPS, 2010). Maka usia
pernikahan di atas termasuk kategori menikah usia muda sesuai dengan ketetapan
PBB yang menyebutkan bahwa pernikahan usia muda adalah yang terjadi dalam
rentang usia 15-24 tahun. Menurut Yann Le Strat dalam penelitiannya di Amarika
menemukan bahwa remaja perempuan yang menikah di usai 18 tahunan, beresiko
mengalami gangguan mental naik hingga 41%, termasuk depresi, kecemasan, dan
gangguan bipolar. Mereka juga lebih mudah ketagihan alkohol, narkoba dan
nikotin (www.usatoday.com , 2011). Jika dipelajari lebih dalam usia 18 tahun
adalah usia dimana remaja sedang mengalami masa transisi, yang mana menurut
para ahli batas usia remaja antara 12 hingga 21 tahun (Desmita, 2008). Masa
transisi adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang
ditandai dengan adanya perubahan aspek fisik, psikis, dan psikososial. Masa
remaja, menurut Stanley Hall (dalam Santrock, 1999) dianggap sebagai masa
topan-badai dan stress (storm and stress), karena telah memiliki keinginan
bebas untuk menentukan nasib dirinya sendiri. Kalau terarah dengan baik, maka
ia akan menjadi seorang individu yang memiliki rasa tanggung jawab, namun jika
tidak berimbang, maka bisa menjadi seseorang yang tidak memiliki orientasi masa
depan yang baik. 6 Pada aspek pemikirannya, remaja mengalami beberapa hal,
yaitu: (1) Remaja dituntut untuk bersikap mandiri dalam tindakannya di
masyarakat; (2) Remaja bersikap kritis; (3) Remaja sering mengajukan
argumentasi; (4) Remaja bersikap ragu-ragu dalam bertindak (indivieveness); (5)
Remaja kadang menampakkan sikap munafik (hypocrisy); (6) Remaja memiliki
kesadaran diri (self-counsciousness); dan (7) Remaja menganggap dirinya kebal
terhadap segala sesuatu (assumption of invulnerability) (Elkind dalam Papalia
and Olds,1998). Hal inilah yang dinamakan sebagai krisis identitas dimana
remaja akan mengalami kebingungan dan keraguan dalam menentukan masa depannya.
Pada aspek psikososial, remaja yang mengalami krisis, menurut Erik Erikson
(dalam Lindzey dkk, 1998), berarti menunjukkan bahwa dirinya sedang berusaha
mencari jati dirinya, yang lebih dikenal dengan tahap Identity vs Identity
Confusion dimana seorang remaja belum menemukan ke-aku-annya. Pada tahap ini
seorang remaja masih mengalami kebingungan identitas dan berusaha mencari
identitas dirinya. Kondisi ini sangat rentan jika dialami dalam kondisi berumah
tangga, sebab dalam masa pencarian identitas, seseorang memiliki pemikiran dan
perasaan yang cenderung berubah-ubah. Padahal kritis di sini adalah suatu
masalah yang berkaitan dengan tugas perkembangan yang harus dilalui oleh setiap
individu, termasuk remaja. Oleh karena paparan diatas, fase remaja bukanlah
masa yang tepat untuk melangsungkan pernikahan. Menurut Erikson (dalam Newman,
7 2006), seseorang harus mencapai status identitas yang baik sebelum ia mampu
untuk membuat berkomitmen terhadap diri sendiri untuk berbagi identitas dengan
orang lain. Pada fase dewasa awal, remaja yang tidak mengenal dengan jelas saat
dirinya terancam ketika memasuki suatu hubungan jangka panjang dengan orang
lain, komitmen, atau keterikatan atau juga mereka memiliki ketegantungan yang
berlebihan kepada pasangannya sebagai sumber identitas olehnya. Selain itu
remaja yang masih mengalami sebuah krisis yang kurang jelas terhadap dirinya
sendiri juga sangat riskan terjadinya pertengkaran dan pertikaian antar
pasangan sehingga menimbulkan perceraian. Berdasarkan hasil wawancara dengan
tokoh masyarakat kecamatan Pujon menyebutkan bahwa besarnya angka perceraian di
kecamatan Pujon akibat dari pernikahan yang masih tergolong muda, satu sama
yang lain saling memiliki tingkat keegoisan tinggi yang akhirnya berujung pada
pertengkaran dan perceraian. Tidak heran jika pasangan yang baru menikah usia 3
bulan, 7 bulan dan 1 tahun akhirnya mengalami kegagalan dalam berumah tangga.
Marcia (1993), mengelompokkan identitas diri remaja ke dalam empat kategori
yaitu diffusion, foreclosure, moratorium dan achievement. Pengelompokan ini
didasarkan atas krisis dan komitmen yang terbentuk. Pengertian dari krisis itu
sendiri adalah sebuah periode pembuatan keputusan ketika pilihan-pilihan, kepercayaan-kepercayaan,
dan pengidentifikasian yang telah ada sebelumnya dipertanyakan oleh individu 8
dan informasi atau pengalaman yang berhubungan terhadap pilihannya untuk
dilakukan pencarian. Krisis juga menggambarkan sejumlah pencarian untuk
meninjau kembali atau mendefinisikan ulang mengenai dirinya. Komitmen adalah
keadaan di mana seseorang telah memiliki sejumlah pilihan-pilihan, kepercayaan
dan nilai-nilai yang spesifik. Komitmen juga memperlihatkan suatu tanggung
jawab pribadi terhadap apa yang mereka lakukan. Beberapa penelitian pendukung
yang menunjukkan adanya pengaruh status identitas terhadap pengambilan
keputusan antara lain penelitian Blustein, David dan Susan (1990) yang
menunjukkan bahwa adanya hubungan status identitas ego dan gaya pengambilan
keputusan, dimana remaja yang memiliki identitas yang stabil mampu berfikir
secara rasional dan sistematis dalam startegi pengambilan keputusannya. Mereka
yang identitas dirinya kurang stabil cenderung tergantung dalam pengambilan
keputusannya. Remaja yang berada dalam status diffusion cenderung mengandalakan
gaya pengambilan keputusan yang tergantung dan tidak sistematis. Sedangkan pada
status monatorium tidak adanya komitmen dan kekonsistenan dalam stategi
pengambilan keputusannya. Hasil penelitian senada juga diungkapkan oleh Osipow
dkk. (dalam Bacanli, 2012) yang mana status identitas juga berpengaruh terhadap
keraguan pengambilan keputusan karir, dimana status identitas Status identitas
achievement berhubungan negatif, sedangkan status identitas 9 moratorium,
foreclosure, dan diffusion, berhubungan positif dengan keraguan mengambil
keputusan karir. Mengacu pada penelitian Blustein, David dan Susan (1990) yang
menunjukkan bahwa adanya hubungan status identitas ego terhadap gaya
pengambilan keputusan peneliti ingin menggali lebih lanjut dan lebih
mengkhususkan pada pengambilan keputusan menikah di usia muda. Dimana
berdasarkan fenomena dilapangan dan juga hasil penelitian sebelumnya pemuda
yang menikah di usia muda karena permintaan orang tua dan rasa malu menunjukkan
bahwa ia masih mengalami krisis identitas dimana ia belum memiliki komitment
yang kuat untuk mengambil keputusan terhadap masa depannya sehingga keputusan
yang diambil cenderung tergantung (dependent). Menurut Marcia pemuda dan pemudi
diatas dapat golongkan pada “Identity Foreclosure”,dimana remaja dengan status
identitas ini dalam menentukan pilihannya masih sangat tergantung oleh orang
tua, ia menerima pilihan orang tua tanpa mempertimbangkannya terlebih dahulu
(Yusuf, 2006). Sedangkan remaja yang memutuskan untuk menikah di usia muda
karena keinginannya sendiri tanpa ada pengaruh dari orang lain, menunjukkan
bahwa remaja tersebut telah berhasil melewati masa krisisnya dan mampu membuat
komitmen terhadap siri sendiri sehingga remaja yang memiliki identitas yang
stabil ini akan mampu berfikir secara rasional dan sistematis dalam startegi
pengambilan keputusannya (gaya 10 rational) keadaan ini menurut Marcia di
golongkan pada “identity achievement” (Yusuf, 2006). Hal ini menunjukkan bahwa
status identitas berpengaruh terhadap kematangan dalam pengambilan keputusan
untuk menikah diusia muda. Oleh sebab itu peneliti ingin meneliti bagaimana
“Pengaruh Status Identitas Terhadap Pengambilan Keputusan Menikah di Usia
Muda”. B. Rumusan masalah Dalam penelitian ini peneliti mengambil rumusan
masalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah tingkat pengambilan keputusan menikah
di usia muda pada remaja ? 2. Apakah status identitas berpengaruh terhadap
pengambilan keputusan menikah di usia muda? 3. Status identitas manakah yang
paling berpengaruh terhadap pengambilan keputusan menikah di usia muda? C.
Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan di atas maka tujuan penelitian ini
adalah: 1. Untuk mengetahui bagaimanakah tingkat pengambilan keputusan menikah
diusia muda pada remaja 11 2. Untuk mengetahui apakah status identitas
berpengaruh terhadap pengambilan keputusan menikah diusia muda 3. Untuk
mengetahui status identitas mana yang paling berpengaruh terhadap pengambilan
keputusan menikah diusia muda. D. Manfaat Penelitian 1. Untuk pelaku pernikahan
muda, untuk memberikan pemahaman tentang konsekuensi menikah dibawah umur dan
memberikan alternatif solusi untuk lebih meningkatkan kualitas kehidupan rumah
tangga. 2. Untuk pihak keluarga, memberikan pengertian bahwa pernikahan di usia
yang masih muda memiliki konsekuensikonsekuensi terhadap kelangsungan rumah
tangga anaknya. 3. Untuk Kantor Urusan Agama dan dinas terkait , untuk
memberikan sosialisai lebih lanjut tentang Undang-undang perkawinan dan
sosialisasi tentang membentuk keluarga yang harmonis. 4. Bagi pembaca, hasil
penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan dapat dijadikan sebagai
tambahan referensi dalam penyusunan penelitian selanjutnya atau
penelitianpenelitian sejenis.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" : Pengaruh status identitas terhadap pengambilan keputusan menikah di usia muda." Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah iniDOWNLOAD
No comments:
Post a Comment