Abstract
ENGLISH:
The majority personal behaviors are determined by our concept or can be said that personal behavior will be appropriate with personal ways in considering and judging themselves. A basic component of individual concept is sex role identity which constitutes conceptualism of masculinity and feminism: how the person can adapt with beliefs which are approved by public deal with characteristics appropriate for man and women (Burns, 1993). Transsexual is person with the physic as man but he has desire to be woman so in his interaction with the environment, transsexual shows attitude and behavior which are not appropriate with his genital physic.
This recourse has goal to know the self-concept of transsexual and to know the factors with influence the self-concept of transsexual. The subjects here are three man who have characteristics as follows: a). who consider himself as a woman b) who is often or ever contact with transsexual c.) who is in early-middle-age (18-40 years), physic and psychology changes which accompany lack of reproductive ability (Hurlock, 1980) d.) show another sex identity continuously at least 2 years.
The data collective methods are used interview and observation. From the result of the data analysis can be concluded that personal concept of transsexual divided into four categories:
1. Self-judgment physically, the subject tends to conceal his identity as man.
1. Self-judgment physically, the subject tends to conceal his identity as man.
2. Self-judgment physically, the subject decides to show. Himself as woman consciously and available in the environment when entry the grown step of adult (16-18 years), judge themselves as woman, have awareness that transsexual have different sexual with the other.
3. Self-judgment morally, the subject considered that responsibility of his constitutes his privacy. Because life as transsexual is the choice of personal subject.
4. Self-judgment socially, judge a man can be sexual relation otherwise a woman just can be a friend, he tends to feel uncomforted interaction in environment, he likes if the environment treat him as woman.
There are factors which is influence transsexual to build their personal concept:
1. An internal factor, there is a controversy between their desire to be a woman but the fact that they are man, and they feel comfort with their genetic appearance.
2. An external factor, the environment usually unaware with the strange
attitude, which far from their own sex, social interaction with transsexual, there is a rejection from the family at the beginning as transsexual and there is no support to convince them to be man.
3. Self-judgment morally, the subject considered that responsibility of his constitutes his privacy. Because life as transsexual is the choice of personal subject.
4. Self-judgment socially, judge a man can be sexual relation otherwise a woman just can be a friend, he tends to feel uncomforted interaction in environment, he likes if the environment treat him as woman.
There are factors which is influence transsexual to build their personal concept:
1. An internal factor, there is a controversy between their desire to be a woman but the fact that they are man, and they feel comfort with their genetic appearance.
2. An external factor, the environment usually unaware with the strange
attitude, which far from their own sex, social interaction with transsexual, there is a rejection from the family at the beginning as transsexual and there is no support to convince them to be man.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Waria, bencong, banci, wadam,
merupakan istilah yang sangat akrab dengan telinga kita jika berbicara tentang
sosok laki-laki yang menyerupai wanita dalam perilaku, dandanan, serta tingkah
lakunya. Sikapnya yang “lembeh”, bibir yang bergincu tebal, tutur katanya yang
sok kemayu dan sok feminim serta cenderung dibuat-buat, ditambah pula dengan
perilakunya yang terkadang mengundang senyum selalu saja hadir dalam keseharian
para waria tersebut. Itulah sekelumit tentang gambaran yang selalu terbayang
jika kita membahas tentang “sosok yang spesial” tersebut. Sebuah pengalaman
pertama yang tidak akan pernah terlupakan “berhubungan“ dengan sosok spesial
tersebut terjadi ketika semasa SMA pada tahun 2002. Ketika itu sedang berjalan
seorang waria dengan kemayunya, berdandan menor, memakai sepatu hak tinggi
serta menjinjing tas, sebuah dandanan dan perilaku yang sangat feminim di balik
kekekaran badannya serta jakun yang dimiliknya. Sebuah ungkapan refleks yang
tiba-tiba muncul adalah keinginan untuk menggodanya. Entah dorongan dari mana
sehingga muncul celetukan yang mungkin sangat menyinggung dia. Seketika itu
pula si waria tersebut langsung berbalik arah dan tanpa basa-basi mengejar,
sebuah keadaan yang tidak terduga sebelumnya sehingga secara refleks pula
berusaha melepaskan diri dari kejaran waria tersebut. 4 Sebuah kesan yang
sangat mendalam terjadi saat itu, bagaimana sosok yang pada awalnya sangat
kemayu, bahkan cenderung sangat feminim jika dibandingkan dengan wanita pada
umumnya, hanya dalam hitungan detik langsung berubah menjadi sosok yang garang
dan ganas yang dengan amarahnya berlari mengejar para penggodanya. Perubahan
perilaku yang sangat drastis tersebutlah yang selalu saja menimbulkan sebuah
pertanyaan, mengapa hal itu bisa terjadi? Sebenarnya dia itu dalam posisi
wanita ataukah dalam posisi lakilaki? Berawal dari pengalaman yang sangat
berkesan tersebut itulah, keingintahuan terhadap kehidupan wariapun semakin
hari semakin tak bisa terbendung, Ke”aneh”an yang terjadi pada sosok spesial
tersebut begitu berkesan, sehingga setiap ada kesempatan bertemu dengan waria
entah itu dimanapun, selalu menyempatkan waktu walaupun hanya sekedar mengamati
perilakunya, kelucuannya, tetapi itu merupakan sebuah cara untuk sedikit
menjawab sekian banyak pertanyaan yang selalu datang. Walaupun demikian,
ternyata untuk “memuaskan” keingintahuan terhadap sosok waria tersebut tidak
pernah bisa terpuaskan dengan mudah. Sosoknya yang terkadang sangat sensitif,
cepat marah dan tersinggung menjadi salah satu penyebab kesulitan tersebut.
Selain itu pandangan masyarakat kita yang masih belum bisa menerima keberadaan
mereka, sehingga akan selalu saja timbul sebuah penilaian yang negatif jika ada
orang yang bergaul dekat dengan para waria. Penolakan masyarakat tersebut
sebagian besar terjadi karena ketidakjelasan 5 status waria yang tercermin dari
perilaku mereka, apakah mereka laki-laki ataukah mereka itu perempuan, sehingga
kemudian timbullah wilayah yang abu-abu. Wilayah yang abu-abu inilah yang
menjadikan kebingungan dalam setiap permasalahan, termasuk dalam wilayah
per-kelaminan ini. Mana yang lakilaki dan mana yang perempuan terkadang menjadi
perdebatan yang sangat menarik. Banyak sekali fenomena-fenomena yang
menunjukkan bagaimana pandangan masyarakat kita terhadap masalah-masalah
perkelaminan khususnya kaum-kaum termarjinalkan seperti waria. Orientasi
seksual yang ada pada seorang waria selalu saja sangat menarik untuk
diperbincangkan khususnya perkembangan kelompok ini dalam dekade terakhir.
Artikel, buku, bahkan komunitas yang berkaitan dengan lingkup waria berkembang
dengan pesat. Apakah memang dunia waria saat ini lebih berkembang jauh dan
pesat, serta memiliki kemajuan yang berarti terutama dalam hal kuantitas.
Mengingat dengan berkembangnya media-media yang ada di masyarakat yang mengulas
tentang waria, berarti dapat dipastikan pula bahwa kualitas maupun kuantitas
kaum wariapun semakin meningkat. Walaupun kenyataannya ada sebagian peningkatan
kualitas dari kaum waria tu sendiri, namun masyarakat saat ini memiliki sikap
cenderung negatif terhadap komunitas waria.1 Komunitas waria sering mendapat
tekanan dan atau penolakan dari masyarakat umum. Stigma negatif di masyarakat
ini banyak disebabkan karena benturan dengan norma seksual dan norma lain yang
ada di masyarakat. Masyarakat sendiri yang didominasi oleh orientasi seks
heteroseksual 1 Gadpaile, W.J Homoseksuality. In Kaplan&Sadock (Eds)
Comprehensive Textbook of Psychiatry (5 Th edition )(Baltimore: Williams and
Wilkins.1989) 89 6 seringkali menolak keberadaan kaum waria ini yang selalu
dikaitkan dengan perilaku yang cenderung gemar berganti pasangan, tampil
feminim, dan rawan terinfeksi HIV/AIDS.2 Sikap masyarakat tersebut pada umumnya
lebih ditujukan pada aktivitas erotik yang dilakukan oleh kaum waria.
Masyarakat yang telah memiliki prasangka, memiliki alasan untuk tidak
membenarkan anggotanya terjerumus dalam dunia waria dengan mengenakan berbagai
sanksi. 3 Sanksi dari masyarakat bervariasi macamnya, mulai dari cemoohan,
hingga diskriminasi, bahkan tidak jarang juga penganiayaan. Pandangan dan sikap
itu tentunya tidak lahir dengan begitu saja, semuanya berasal dari proses
budaya bangsa kita ini yang selalu meletakkan segala sesuatunya pada wilayah
yang normatif tidak ada tempat bagi yang abu-abu, semuanya harus dalam wilayah
yang saling bertentangan, hitam-putih, tinggipendek, tua-muda, bagitu juga pada
wilayah jenis kelamin, secara diskrit masyarakat Indonesia hanya mengakui dua
jenis kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan, yang mana keduanya mempunyai
posisi yang berpasangan. Permasalahan diskrit tersebut Koeswinarno, menjelaskan
: Klasifikasi diskrit ini mengakibatkan hadirnya penilaian tentang perilaku,
bahwa laki-laki harus seperti laki-laki dan perempuan juga sebagaimana layaknya
perempuan. Orang-orang yang berperilaku menyimpang dari ketentuan klasifikasi
itu akhirnya 2 Bancroft, Human Sexuality and its Problem (2nd edition) (London
Longman Group UK, 1989) 45 3 Myers. Exploring Social Psychology. (New york . Mc
Graw Hill, 1994) 76 7 akan mendapat sebutan lain. Misalnya, muncul istilah
perempuan tomboy, laki-laki feminim, dan sebagainya. 4 Tidak ada tempat bagi
laki-laki dengan laki-laki atau perempuan dengan perempuan. Keduanya dikonstruk
dalam posisi masing-masing dan tidak boleh saling bertukaran. Hal itu terjadi
karena meramu dua “jati diri” dalam satu tubuh divonis sebagai sebuah
penyimpangan, baik dalam tafsir sosial maupun teologi.5 Penafsiran yang
bermacam-macam tersebut tentunya tidak terlepas dari perilaku waria itu sendiri
dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan sebagian orang cenderung untuk menganggap
bahwa waria merupakan salah satu bentuk patologis sosial yang terjadi di
masyarakat. Komunitas waria memang bagi sebagian orang merupakan komunitas yang
selalu membuat resah bagi kehidupan sosial, hal itu bisa tercermin dari
beberapa ulah yang sering dilakukan oleh para waria selalu saja membuat
masyarakat sekitar menjadi tidak aman dan tidak tenang. Perkelahian antar waria
ketika terjadi persaingan dalam mencari pelanggan maupun bentuk-bentuk
kejahatan yang lain. Sikap-sikap dan perilaku waria yang seperti itulah
sehingga menyebabkan waria dianggap sebagai sebuah patologis sosial. Waria
dipandang sebagai individu yang patologis secara sosial pernah dikaji oleh
Soejono, hasil dari studi tersebut menjelaskan bahwa penyimpangan seksual yang
ada dalam diri seorang waria ternyata telah melahirkan suatu bentuk
penyimpangan sosial seperti pelacuran, seks bebas dan perkosaan, meskipun 4
Koeswinarno. “ Hidup Sebagai Waria”. (LkiS, Yogyakarta, 2004) 8 5 Ibid, 5 8
hukum menyadari bahwa perbuatan ini diluar keinginan pelaku dan merupakan
penyakit.6 Penerimaan sosial dalam lingkungan dimana waria menjadi bagian telah
menjadi persoalan latent. Pandangan negatif terhadap waria menciptakan
keterasingan secara sosial, baik oleh keluarga, maupun lingkungan. Kondisi ini yang
kemudian harus membuat mereka lari dari rumah dan lingkungannya. Dengan bekal
keahlian yang minim, akhirnya mereka kemudian menyatu dengan teman senasib,
melacur, dan kemudian terbentuklah sub-kultur waria dengan berbagai atributnya;
bahasa, nilai, gaya hidup, dan solidaritas. Posisi ini yang mengakibatkan waria
tidak memiliki bargaining position (posisi tawar-menawar) secara sosial,
sehingga penerimaan waria hanya terbatas pada kelompok-kelompok yang permisif
dengan nilai-nilai pelacuran. Permisivitas ini terkadang tidak rasional, bahkan
cenderung emosional. Sekali lagi, keberadaan waria yang seperti itu justru
menambah lagi stigmasi baru terhadap kaum waria serta semakin membuat sulit
bagi komunitas ini. Berdasarkan berbagai macam fenomena yang ada, sebenarnya
para waria tersebut sudah berusaha untuk mengungkapkan identitas diri dan
meningkatkan eksistensi mereka pada masyarakat, seperti pemilihan Miss Waria
pada bulan Juni 2005 yang diikuti dari berbagai propinsi yang ada di
Indonesia,seperti konteskontes kecantikan lain, pemilihan putri waria juga
mempertimbangkan aspek 3 B, yakni beauty (kecantikan), brain (daya pikir), dan
behavior (atau tingkah laku), penerbitan buku, road show ke sejumlah kota di
Indonesia tentang kehidupan 6 Soedjono. “Pathologi Sosial”, (Alumni,
Bandung,1982) 59 9 mereka, penyuluhan HIV/AIDS, bahkan salah satu dari mereka
yaitu Merlyn Sopjan yang juga sebagai ketua IWAMA pernah mendaftarkan diri
sebagai calon walikota di Malang. Selain itu Merlyn juga pernah dianugerahi
gelar Doktor Honoris Causa (HC) dari dari Northean California Global University
Amerika Serikat atas perannya sebagai aktivis HIV/AIDS, terutama atas
peranannya dalam meminimalisisr perilaku seksual beresiko tinggi di kalangan
waria. Semua itu mereka perjuangkan semata-mata karena ingin menunjukkan
bahwasannya mereka “ada” dan berhak menjalani kehidupan yang layak sebagaimana
manusia yang lainnya. Menengok dari jenjang pendidikan yang ditempuh oleh kaum
waria ini, walaupun ada sebagian diantara mereka yang sampai menempuh ke
jenjang perguruan tinggi, tetapi terasa sangat susah untuk mencari pekerjaan
yang layak. Pada sektor-sektor formal, kebanyakan masyarakat menilai waria
sebagai sesuatu yang beda, bahkan ada sebagian diantara mereka yang takut
terhadap waria. Pandangan masyarakat yang negatif terhadap waria dan enggan
bergaul membuat mereka menjadi tidak leluasa mengungkapkan dirinya sebagaimana
layaknya masyarakat pada umumnya. Melihat kenyataan yang seperti itu, tentunya
kita menyadari bahwa kaum waria adalah juga manusia yang membutuhkan tempat
untuk mengaktualisasikan diri mereka dalam kehidupan ini. Tetapi kembali lagi,
semua itu berbenturan dengan pandangan masyarakat yang selalu minor terhadap
kaum waria ini. Keadaan seperti itulah yang terkadang menjadi sebuah penghambat
bagi komunitas waria untuk bisa mengaktualisasikan bakat dan potensi yang
mereka 10 miliki. Sebuah stigma yang terlanjur minor sudah sejak lama melekat
pada diri mereka, sehingga sangat sulit bagi para kaum ini untuk bisa hidup
sebagaimana normalnya manusia secara sosial. Sebagian waria di Indonesia mampu
mengembangkan diri sebagai seorang waria dangan kekhasannya, namun tidak
sedikit waria yang belum mampu melihat dirinya berbeda. Merasa ditolak dan
belum mampu berinteraksi dalam masyarakat. Perlakuan buruk tersebut, serta
ketidakbebasan mengekspresikan jiwa kewanitaannya memicu untuk meninggalkan
keluarga dan lebih memilih untuk berkumpul bersama dengan waria lainnya. Ada
FKW (Forum Komunikasi Waria) untuk daerah Jakarta, IWABA (Ikatan Waria Bandung),
HIWAT (Himpunan Waria Jawa Barat), dan di Malang pada tanggal 17 Mei 1991
berdirilah organisasi waria bernama IWAMA (Ikatan Waria Malang). Menurut
Kartono (1989), waria dalam konteks psikologis termasuk gejala transeksualisme,
yakni seseorang yang secara jasmani jenis kelaminnya jelas dan sempurna. Namun
secara psikis cenderung untuk menampilkan diri sebagi lawan jenis. Gejala ini
sangat berbeda dengan homoseksual, dimana homoseksualitas semata-mata untuk
menunjuk pada suatu relasi seksual, seseorang merasa tertarik dan mencintai
dengan jenis kelamin yang sama.7 Walaupuan hadirnya seorang waria secara umum
tidak pernah dikehendaki oleh keluarga manapun, tetapi sangat sulit bagi
seorang waria untuk dapat lepas dari belenggu yang sangat kuat membelitnya
tersebut. Seperti yang disimpulkan oleh Davison dan Neale (1978) dalam
penelitiannya tentang transeksualisme, 7 Kartono,Kartini, “Psikologi Abnormal
dan Abnormalitas Seksual”. (Mandar Maju, Bandung. 1989) 47 11 salah satu
penyebab transeksualisme adalah heterophobia, yakni adanya ketakutan pada
hubungan seks dari jenis kelamin perempuan karena pengalaman yang salah.8
Banyak sekali tentang cerita kehidupan seorang waria yang selalu dikucilkan
dalam kehidupan mereka. Proses pencarian jati diri yang mereka lakukan
terkadang membutuhkan waktu yang lama dan dengan penuh pengorbanan. Tidak
sedikit dari mereka yang diusir dari keluarga setelah ketahuan mempunyai sifat
yang seperti itu. Walaupun ada pula keluarga yang menerima dengan lapang dada
keberadaan mereka tetapi membutuhkan waktu yang sangat lama. Dengan melihat
berbagai persoalan tersebut di atas, melakukan penelitian tentang dunia waria
dengan sendirinya menjadi satu tema yang cukup menarik. Ada tiga hal yang
secara teoritik menjadikan tema penelitian tentang waria menjadi suatu tema
yang cukup menarik. Pertama ,fakta menunjukkan bahwa dunia waria bukan
merupakan satu keadaan yang secara tiba-tiba muncul dengan sendirinya. Sejarah
kebudayaan menunjukkan adanya fenomena gemblak dalam dunia warok di Jawa Timur.
Dimana seorang warok akan selalu memelihara gemblak (pemuda usia belasan tahun)
yang dijadikan sebagai pelampiasan nafsu para warok tersebut. Kedua, waria
sebagai makhluk sosial yang harus hidup dalam lingkungan masyarakat selalu saja
mendapatkan tantangan dari berbagai komponen masyarakat yang ada disekitar
mereka. . Ketiga, waria sebagai individu tentunya juga mempunyai sebuah
cita-cita dan juga pengharapan 8 Davison, G. C & Neale, John M. Abnormal
Psychology. 8 th edition: (John Wiley & Son, New York 1978) 312 12 terhadap
keberadaan mereka. Timbulnya keinginan itulah yang melahirkan adanya anggapan
terhadap diri mereka yang berasal dari lingkungan, baik itu yang positif maupun
yang negatif dimana pada akhirnya menumbuhkan konsep diri yang bisa mempengaruhi
cara pandang mereka terhadap diri mereka sendiri. Pandangan-pandangan yang
terkadang miring terhadap kaum waria itulah yang menyebabkan mereka kurang
mempunyai keberanian untuk mengakui siapa dia sebenarnya. Kekurang beranian
mereka tentunya sangat beralasan. Karena hal itu juga berkenaan dengan
penerimaan masyarakat terhadap individu waria. Permasalahan berani atau tidak
untuk mengakui jati dirinya juga tidak terlepas dari bagaimana konsep diri yang
dimiliki oleh waria tersebut. Konsep diri menurut Brehm & Kassin (dalam
Dayakisni dan Hudaniah) adalah : “ Keyakinan yang dimiliki individu tentang
atribut (ciri-ciri sifat) yang dimilikinya ”.9 Sunaryo (2004), mendefinisikan
konsep diri sebagai cara individu dalam melihat pribadinya secara utuh, menyangkut
fisik, emosi, intelektual, sosial dan spiritual.10 Berdasarkan definisi
tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa konsep diri merupakan sesuatu
yang berkenaan dengan pandangan, pendapat, dan perasaan individu terhadap
dirinya sendiri yang berhubungan dengan cara pandang lingkungan terhadap
dirinya baik itu secara fisik maupun psikologis. Dalam hal ini adalah bagaimana
pandangan individu waria tersebut terhadap keadaan dirinya, tentunya hal itu
dipengaruhi pula oleh cara pandang 9 Dayakisni dan Hudaimah. “ Psikologi Sosial
” (Ed. Revisi), (UMM Press, Malang , 2003) 65 10 Sunaryo, “ Psikologi Untuk
Keperawatan ”, (Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta , 2004) 32 13 lingkungan
terhadap dirinya. Ketika seseorang sudah mempunyai konsep diri yang positif terhadap
drinya maka dia akan merasa nyaman terhadap keadaan apapun yang terjadi
terhadap dirinya. Namun sebaliknya ketika seseorang mempunyai pandangan yang
kurang baik terhadap dirinya, maka dia akan selalu merasa tidak nyaman dengan
keberadaannya tersebut. Berdasar pada fenomena diatas maka peneliti akan
membahas Konsep Diri Individu Waria (Studi Kasus Pada IWAMA (Ikatan Waria
Malang)). Dalam peneltian ini, diharapkan peneliti dapat menemukan bagaimanakah
konsep diri yang ada pada individu waria tersebut.
B.
Rumusan
Masalah.
Berdasarkan latar belakang
penelitian yang dikemukakan diatas, maka beberapa masalah dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah proses terjadinya konsep diri pada
individu waria IWAMA ? 2. Mengapa individu waria IWAMA mempunyai konsep diri
tertentu ?
C.
Tujuan
Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah diatas, maka
beberapa tujuan dalam penelitian ini adalah : 1. Mengetahui konsep diri pada
individu waria di IWAMA. 2. Mengetahui alasan individu waria IWAMA memiliki konsep
diri tertentu.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis 14 a. Kontribusi
ilmiah bagi kalangan akademisi berupa informasi mengenai waria. b. Para
peneliti dapat memanfaatkan hasil penelitian sebagai salah satu rujukan
penelitian selanjutnya, terutama yang berkaitan dengan konsep diri waria. 2.
Manfaat praktis a. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi salah satu
pertimbangan bagi para praktisi dibidang kesehatan mental (Psikolog dan
Psikiater) yang menangani klien atau pasien waria. b. Anggota masyarakat
mendapatkan bahan informasi mengenai waria, khususnya yang berkaitan dengan
konsep diri waria.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" : Konsep diri pada individu waria: Sudi kasus pada IWAMA (Ikatan Waria Malang).." Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment