Abstract
INDONESIA:
Pada masa remaja, salah satu tugas perkembangan yang harus dipenuhi adalah penyesuaian sosial. Remaja dapat menjadi orang yang normal apabila individu tersebut membiasakan diri dengan situasi yang penuh dengan ketegasan atau asertif. Asertif merupakan kemampuan seseorang untuk mengkomunikasikan apa yang diinginkan dan pikirkan kepada orang lain namun dengan tetap menjaga dan menghargai perasaan pihak lain. Seseorang yang bersikap asertif akan mudah dalam melakukan hubungan sosial dengan orang lain, dan lingkungannya, sehingga perilaku asertif dapat dikembangkan pada diri sendiri dan lingkungan masyarakat. Dalam perkembangannya, terdapat kekerasan emosional yang terjadi dilingkungan mahasiswi. Kekerasan emosional merupakan salah satu bentuk kekerasan yang paling sering ditemui, seperti marah, dan mengatakan sesuatu perkataan yang membuat pasangan sakit hati. Namun orang yang terlibat didalamnya sering tidak menyadarinya. Oleh karena itu orang yang tidak asertif dalam menjalin hubungan berpacaran memiliki peluang yang sangat besar untuk menjadi korban kekerasan emosional.
Pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan asertifitas dengan kecenderungan mengalami kekerasan emosional pada perempuan yang berpacaran. Penelitian ini menggunakan penelitian korelasional. Populasi dalam penelitian adalah mahasiswi yang berpacaran, yang berjumlah 383 mahasiswi. Dalam pengambilan sampel digunakan teknik purposive cluster random sampling, pada mahasiswi D III kebidanan semester III. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah skala, wawancara dan dokumentasi.
Setelah dilakukan analisis korelasi product moment, diperoleh nilai korelasi (0,170) yaitu sama dengan signifikan (0,05), maka dari hasil analisa data yang dilakukan diketahui bahwa ada hubungan yang positif antara asertifitas dengan kecenderungan mengalami kekerasan emosional pada perempuan yang berpacaran di prodi D III kebidanan semester III STIK avicenna kendari-sulawesi tenggara atau dengan kata lain hipotesis di terima.
ENGLISH:
In adolescents, one of the development duties that should be fulfilled is the social adaptation. Adolescents will grow normal if they could adapt to the situation which is full of assertiveness. Assertiveness is an ability of people to communicate what they want and what they think to the others yet still aware of the other’s feeling and opinion. The people having such assertiveness will always be easy to have social relationship with others and their environment. This then can be applied in themselves and the society. In its development, there is emotional violence occurs in university students’ field. Emotional violence is one of the violence that can be found a lot, like anger and saying things which hurts the couple’s heart, but people often unconsciously do this violence. Hence, people who are not assertive in having a relationship, have a big chance to be victims of emotional violence.
This research is aimed to know the relationship between assertiveness and the tendency of having emotional violence in women who are in relationship. This research correlation analysis method. The number of population in this research is 383 students who are in relationship. In gaining the sample, the researcher usespurposive cluster random sampling to the students of Diploma III, third semester. The method used to collect the data is scale, interview, and documentation.
After the product moment correlation analysis is conducted, the researcher gets correlation score (0.170) which is equal with the significance (0.05). From the analysis, it is concluded that there is a positive relationship between assertiveness and the tendency of having emotional violence to those students of third semester, Diploma III of Midwifery STIK Avicenna Kendari, Sout-east Sulawesi, the hypothesisis then accepted.
After the product moment correlation analysis is conducted, the researcher gets correlation score (0.170) which is equal with the significance (0.05). From the analysis, it is concluded that there is a positive relationship between assertiveness and the tendency of having emotional violence to those students of third semester, Diploma III of Midwifery STIK Avicenna Kendari, Sout-east Sulawesi, the hypothesisis then accepted.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Fenomena tentang perilaku berpacaran sudah
sangat umum di kalangan masyarakat Indonesia. Bahkan perilaku ini juga
dilakukan oleh anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah menengah. Dapat
diamati pula di berbagai media massa yang membidik pasaran anak usia sekolah
menengah sebagai target pasar, banyak mengangkat tulisan mengenai hubungan
antar lawan jenis yang mereka sebut sebagai pacaran. Mungkin sebagian orang
justru menjadi merasa malu ketika tidak punya pacar atau dikatakan “ jomblo”.
Kenyataan menjadi “jomblo” yang tidak disukai oleh para remaja menyebabkan
mereka memilih untuk tetap berpacaran meskipun dengan laki-laki yang berperilaku
buruk. Menurut DeGenova & Rice pacaran adalah menjalankan suatu hubungan
dimana dua orang bertemu dan melakukan serangkaian aktivitas bersama agar dapat
saling mengenal satu sama lain.1 Definisi pacar sebagai hubungan pertemanan
antar lawan jenis yang tetap dan mempunyai landasan cinta kasih di luar
pernikahan juga tidak mencakup hubungan antar sesama jenis. Di negara luar
khususnya Amerika Serikat menyebut kata “partners” untuk mendeskripsikan
hubungan baik antar lain jenis, maupun sesama jenis. Hal ini berbeda dengan
hubungan antara laki-laki dan perempuan yang sudah menikah. Mereka memiliki
komitmen yang lebih tinggi untuk benar-benar menghasilkan keturunan dalam
sebuah ikatan rumah tangga. Berpacaran berbeda dengan bertunangan.
1www.google.com (Dalam Pdf Skripsi. Teori Pacaran. Universitas Sumatra Utara.
Hlm: 14. Akses: 11-01-2012. 2 Bertunangan adalah bersepakat (biasanya diumumkan
secara resmi atau dinyatakan di hadapan orang banyak) akan menjadi suami-istri.
Definisi ini justru saling bertentangan. Biasanya pacaran tidak diumumkan
secara terbuka kepada orang banyak.2 Kekerasan dalam berpacaran telah banyak
terjadi di Indonesia seperti yang dipaparkan Alvita dkk.3 Bahwa terdapat 28
kasus kekerasan dalam berpacaran. Rifka Annisa, sebuah Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang kesehatan reproduksi dan jender
menemukan bahwa sejak tahun 2001– 2005, dari 1683 kasus kekerasan yang
ditangani, 385 diantaranya adalah kekerasan dalam berpacaran.4 Rumah Sakit
Bhayangkara di Makassar yang menangani masalah kekerasan terhadap perempuan
mendapatkan bahwa dari tahun 2005-2006 ada 7 kasus kekerasan dalam pacaran yang
dilaporkan.5 Sedangkan PKBI Yogyakarta mendapatkan bahwa dari bulan Januari
hingga Juni 2008 saja, terdapat 47 kasus kekerasan dalam berpacaran, 57% di
antaranya adalah kekerasan emosional, 20% mengaku mengalami kekerasan seksual,
15% mengalami kekerasan fisik, dan 8% lainnya merupakan kasus kekerasan
ekonomi.6 Beberapa kejadian kekerasan dalam berpacaran yang diungkap Lembaga
Catatan Rifka Annisa Women’s Crisis Center–Yogyakarta memperlihatkan bahwa 2
Nita Ardiantini, (2010). Hubungan Asertifitas dengan Kekerasan Berpacaran.
Skripsi. Fakultas Psikologi. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Hlm: 2 3 Dalam
Harian Suara Merdeka (8 Maret 2009) 4
http://a5tut1.blogdetik.com/2011/06/09/kekerasan-dalam-pacaran- 5 Kompas
–online 8 Maret 2002 6 Kompas, 20 juli 2002 dalam ( http://www.bkkbn.go.id ) 3
selain kekerasan di masa pacaran tampil menonjol dibandingkan bentuk atau
fenomena kekerasan lain seperti pada tabel berikut ini.7 Tabel: 1.1 Kasus
kekerasan dalam yang Di tangani Rifka Annisa 1994-2001 Jenis Kasus % Jumlah %
Kekerasan terhadap istri 1037 62 Kekerasan dalam pacaran 385 23 Perkosaan 113 7
Pelecehan seksual 76 4 Kehamilan tidak dikehendaki 32 2 Kekerasan dalam
keluarga (bentuk lain) 36 2 Kekerasan terhadap anak 4 0 TOTAL 1683 100 Sumber:
Peta kekerasan pengalaman perempuan indonesia Rezeki (2006)8 dalam sebuah studi
di Amerika Serikat memaparkan bahwa lebih dari 500 mahasiswi dari sekitar 1000
mahasiswi pada perguruan tinggi mengalami perkosaan yang dilakukan oleh pacar
mereka. Hasil penelitian dari National Crime Victimization Survey di Amerika
Serikat berkesimpulan bahwa perempuan 6 (enam) kali lebih rentan mengalami
kekerasan akibat ulah teman dekat mereka, baik pacar maupun mantan pacar.
Penelitian tersebut juga menyatakan hampir separuh dari sekitar 500.000 kasus
perkosaan dan percobaan perkosaan yang dilaporkan dialami perempuan dari
berbagai golongan umur, dilakukan oleh teman atau orang yang dikenal, terdapat
80% hingga 95% 7 Publikasi Komnas Perempuan. (2002). Peta Kekerasan Pengalaman
Perempuan Indonesia Bagian 2 Kekerasan Keluarga dan Relasi Personal. Jakarta:
Ameepro. Hlm: 52 8 Publikasi Komnas Perempuan. (2002). Peta Kekerasan Pengalaman
Perempuan Indonesia Bagian 2 Kekerasan Keluarga dan Relasi Personal. Jakarta:
Ameepro. Hlm: 53 4 perkosaan yang terjadi pada mahasiswi di universitas
dilakukan oleh orang yang dikenal oleh korban. Berdasarkan data diatas,
menunjukkan tindak kekerasan yang terjadi saat berpacaran cukup mengkhawatirkan
dan sangat merugikan bagi para wanita. Kekerasan terhadap perempuan lebih
banyak dilakukan oleh orang-orang yang dekat dengan korban. Hanya sedikit
presentase pelaku yang merupakan orang asing atau tidak dikenal korban.9 Hal
tersebut berkaitan dengan dampak yang diterima oleh korban kekerasan dalam
berpacaran. sehingga Apabila pada masa remajanya seseorang mendapat perlakuan
yang kasar baik secara fisik maupun psikis maka akan dapat mengganggu kestabilan
jiwanya, maka hal ini dapat membawa dampak yang buruk bagi perkembangannya,
terutama perkembangan jiwanya saat ia dewasa. Berkaitan dengan kekerasan
emosional , NN (20 th) mahasiswi salah satu perguruan tinggi di kota Kendari
(Inisial M) menceritakan pengalamannya sebagai berikut:10 “Saya sering disakiti
oleh pacar saya, seperti dimarahi, pernah juga dimaki-maki di depan orang
banyak, dianggap tidak becus, bodoh dan sebagainya. Itu membuat saya malu dan
sebenarnya hati saya juga terluka, saya sendiri hanya bisa diam, dan kadang
menangis, tapi pacar saya sepertinya tidak peduli dengan tindakannya seperti
itu”. Fathul, dkk (2007), mengemukakan kekerasan dalam pacaran mengalami
berbagai macam distorsi dengan pemahaman tentang hal-hal yang terjadi selama berpacaran.
Sering didengar pengakuan bahwa cemburu adalah 9 Nita Ardiantini, (2010).
Hubungan Asertifitas dengan Kekerasan Berpacaran. Skripsi. Fakultas Psikologi.
Universitas Muhammadiyah Surakarta. Hlm: 2 10 Wawancara Tgl: 19-06-2011 Melalui
Telepon Seluler. 5 bagian dari cinta, padahal sering kejadian kekerasan dimulai
dari alasan ini. 11Pasangan menjadikan perasaan cemburu untuk mendapatkan
legitimasi untuk melakukan hal-hal yang possessive dan tindakan mengontrol dan
membatasi. Kekerasan dalam berpacaran yang umum terjadi adalah kekerasan
seksual dimana korban dipaksa mulai dari melakukan ciuman sampai dengan
intercourse atau berhubungan seksual. Remaja berani melakukan hubungan seksual
asalkan mereka tidak mengalami kehamilan, sehingga hubungan seksual yang
dilakukan lebih pada “safe-sex”, (tidak ada rasa tanggung jawab sedikit pun
didalamnya). Kekerasan dalam pacaran adalah kekerasan atau ancaman melakukan
kekerasan dari satu pasangan yang belum menikah terhadap pasanganannya yang
lain dalam konteks berpacaran atau tunangan. Bentuk kekerasan lain yang kerap
dialami oleh perempuan yang berpacaran yaitu kekerasan emosional (emotional
abuse).12 Menurut Nichols (2006), kekerasan emosional adalah tindakan atau
tingkah laku non fisisk yang digambarkan dalam bentuk perilaku menghina,
mencemoh, mempermalukan, merendahkan, atau yang dapat menyebabkan sakit hati
pada seseorang.13 Namun ada pula jenis tingkah laku fisik yang dapat
dikategorikan sebagai kekerasan emosional yaitu tindak kekerasan simbolis
(symbolic violence) yang meliputi tingkah laku yang mengintimidasi seperti
membanting pintu, menendang tembok, membanting benda -benda tertentu, menyetir
secara ugal-ugalan saat korban berada dalam kendaraan, dan mengancam akan atau
menghancurkan sesuatu yang menjadi milik korban. 11 Ibid. Hlm: 3 12
http://www.Excellent-lawyer.com.13/07/2011:kekerasan-pada-pasangan-pacaran. 13
Venessa Blair Watts. (2011). The Effect of Harmful Family Dynamics on
Continuous Dating Violence. San Diego: Tesis. Master of Arts in Psychology 6
Bentuk kekerasan emosional termasuk didalamnya adalah menghina, mengutuk,
meremehkan, mengancam, meneror, menghilangkan hak milik, mengasingkan dari
keluarga dan teman, termasuk pula perilaku possessiveness seperti cemburu yang
berlebihan.14 Sendangkan Menurut Loring (1994) kekerasan emosional merupakan
salah satu bentuk tindak kekerasan yang paling sering ditemui, namun orang yang
terlibat di dalamnya seringkali tidak menyadarinya. Korban seringkali bahkan
yakin bahwa merekalah yang bersalah sehingga hubungan interpersonal yang mereka
jalin tidak berjalan dengan baik. Subjek tidak menganggap bahwa sebenarnya
dirinya adalah korban. Menurut Israr (2008) penyebab terjadinya kekerasan dalam
berpacaran antara lain: kecenderungan korban menyalahkan diri (tidak berani
menolak atau berkata “tidak”), menutup diri, menghukum diri, menganggap dirinya
aib. Faktorfaktor penyebab ini berkaitan erat dengan kemampuan individu dalam
mengungkapkan perasaan, pikiran, kebutuhan yang dimiliki secara jujur tanpa
merugikan orang lain dan diri sendiri (asertif).15Argumentasi di atas didukung
oleh pendapat Hadi dan Aminah (1998) yang menyatakan bahwa ketidakmampuan
seseorang untuk asertif juga menjadi penguat bagi terjadinya perilaku
kekerasan.16 Penelitian yang dilakukan oleh Rifka Annisa-WCC sepanjang tahun
1995-1999 di Yogyakarta (Hadi dan Aminah, 1998) menjelaskan bagaimana seorang
perempuan yang tidak asertif memiliki peluang yang lebih 14 Ibid. 15 Nita
Ardiantini, (2010). Hubungan Asertifitas dengan Kekerasan Berpacaran. Skripsi.
Fakultas Psikologi. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Hlm: 6 16Ibid. Hlm:7 7
besar untuk menjadi korban kekerasan. bentuk perlakuan kekerasan yang paling
sering dialami oleh perempuan.17 Menurut Afiatin (2004) dalam asertif
terkandung perilaku kesanggupan bermasyarakat, berempati dan berkomunikasi baik
verbal maupun non verbal. Individu yang asertivitasnya tinggi sadar akan
kelebihan-kelebihan yang dimiliki dan memandang kelebihan-kelebihan tersebut
lebih penting dari pada kelemahannya.18 Chalhoun dan Acocella (1990),
berpendapat bahwa asertivitas berarti mempertahankan hak-hak pribadi dan
mengekspresikan perasaaan, pikiran serta keyakinan dengan cara yang jujur,
terbuka, langsung dan tepat. Menjadi asertif berarti seseorang juga berperilaku
jujur, sadar sepenuhnya dalam mewujudkan kebutuhan dan dorongan-dorongan
pribadi tanpa merugikan hak-hak orang lain. McDonald (dalam Calhoun &
Acocella,1990) juga menegaskan bahwa asertivitas merupakan ekspresi jujur dari
setiap perasaan, termasuk perasaan senang, marah, sedih, benci, cinta, afeksi,
pernyataan persetujuan dan sebagainya. Sebaliknya perempuan yang tidak asertif
tidak memiliki ketrampilan komunikasi yang membuatnya mampu menegosiasikan
kepentingannya, maka tanpa disadari ia telah menjadi korban kekerasan karena
kegagalannya menyatakan pikiran dan kebutuhannya secara terus terang dan telah
memberi peluang pada orang lain 17 Ibid. Hlm:7 18 Ibid. Hlm: 7 8 untuk tidak
menghargainya. Hal tersebut sama halnya dengan membiarkan diri mereka disakiti
secara fisik, seksual, emosi maupun sosial.19 Menurut Lew (dalam Loring, 1994),
efek dari kekerasan emosional pada dasarnya sama bagi korban perempuan maupun
laki-laki. Namun, karena perempuan dibesarkan dalam masyarakat yang menuntut
mereka untuk menjadi pribadi yang pasif, lemah, dan tidak berdaya maka saat
mereka menjadi korban, masyarakat lebih mudah menunjukkan simpati. Namun bukan
berarti bahwa perempuan lebih mudah dalam menghadapi kekerasan emosional
dibandingkan laki-laki. Sebaliknya, penerimaan masyarakat terhadap peran
perempuan sebagai korban malah menjadi pembenaran terjadinya kekerasan
emosional dan menghalangi pemulihannya. Tetapi yang perlu diingat adalah bahwa
saat yang menjadi korban kekerasan emosional adalah laki-laki, ada masalah
tertentu yang tidak dialami oleh korban perempuan. Pada kenyataannya, budaya
pada masyarakat secara umum tidak memberikan ruang kepada laki-laki yang
menjadi korban.20 Pesan seperti ini membuat perempuan cenderung untuk
mengabaikan dampak dari tindak kekerasan untuk mengecilkan kebutuhan mereka
sendiri. Hal ini terjadi baik pada pasangan yang masih berstatus pacaran
ataupun pasangan yang sudah menikah. Namun pacaran sebenarnya tidak terdapat
mekanisme pertanggungjawaban. Jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan
seperti kehamilan di luar nikah, maka orang yang tidak bertanggungjawab dengan
mudah akan 19 Diana Rahmasari. (2007). Hubungan antara Harga Diri, Asertivitas,
dan Strategi Mengatasi Masalah dengan Depresi pada Remaja Jawa dan Madura.
Yogyakarta: Tesis. Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Hlm:
68 20 Op. Cit. Hlm: 8 9 melarikan diri. Dengan dalih bahwa hubungan yang mereka
lakukan adalah karena “atas dasar cinta”.21 Berdasarkan wawancara yang telah
dilakukan, melalui telepon kepada mahasiswi kebidanan avicenna. Penulis
mengambil subyek di Universitas Kebidanan Avicenna karena di Universitas
tersebut merupakan salah satu Universitas yang cukup terkenal di Sulawesi
Tenggara yang baru beberapa tahun berdiri. Selain itu juga terdapat banyak
kasus kekerasan pacaran yang terjadi dilingkungan universitas tersebut yang
mana tidak ditanggani dengan baik disebabkan karena tidak adanya psikolog
sebagai pemerhati setiap permasalahan yang ada. Mantan Anggota BEM kebidanan
juga memberikan pernyataan yang menyatakan bahwa sebagian mahasiswi sering
mengalami kekerasan emosional baik dari segi fisik maupun psikis dari pacar
mereka 22 Fenomena lain yang menyebabkan terjadinya kekerasan emosional pada
perempuan adalah kurangnya perilaku asertif didalam membangun hubungan interpersonal
dengan orang lain dalam hal ini komunikasi interpersonal dengan lawan jenis.
Pada tahun 1990-an, masyarakat Provinsi Sulawesi Tenggara, khususnya kota
kendari diramaikan oleh kehadiran berbagai istilah (budaya) bahasa remaja yang
kadang-kadang sangat membingungkan orang lain yang mendengarkan istilah-istilah
para remaja tersebut. Beberapa istilah remaja yang sempat populer di
tengah-tengah masyarakat kota kendari yaitu kodimo (artinya: kamu diam monyet),
kodise (kamu diam setan), komodo (kamu diam monyet bodoh), ubi karet (orang
yang berwajah jelek), ubi kayu (orang yang berwajah 21 Iip Wijayanto. (2003).
Pemerkosaan Atas Nama Cinta. Yogyakarta: CV. Qalam. Hlm: 32. 22 Wawancara Tgl:
19-06-2011 Melalui Telepon Seluler 10 jelek), dan juga janter (jangan terlalu)
atau janterententeng (jangan terlalu). Selain istilah-istilah itu, pada akhir
tahun 1990 sampai awal tahun 2000, masyarakat kota ini kembali disuguhi istilah
kogambar, kolukis, dan kohapus. Istilah-istilah tersebut ramai dipakai oleh
para remaja, sebagai bahasa pergaulan di dalam sebuah komunitas, sehingga
dengan sendirinya tercipta menjadi istilah atau kosakata bahasa gaul remaja
kota kendari yang mana fungsi dari budaya pemakaian bahasa tersebut terkadang
mengakrabkan, menyindir, menghina, dan memaki. Akan tetapi penggunaan bahasa
tersebut lebih bersifat menghina, menyindir, dan memaki sehingga terkadang
penggunaan bahasa tersebut lebih banyak menimbulkan perilaku negatif dari pada
positif yang menyebabkan perilaku kekerasan fisik ataupun Psikis.23 Oleh karena
ketertarikan terhadap permasalahan diatas, maka peneliti bermaksud meneliti
lebih dalam tentang “Hubungan Antara Asertivitas Dengan Kecenderungan Mengalami
Kekerasan Emosional Pada Mahasiswi Yang Berpacaran di Prodi D III Kebidanan Semester
III STIK Avicenna KendariSulawesi Tenggara”. Penelitian ini merupakan suatu
tahapan proses yang dilakukan untuk menyelidiki suatu fenomena hubungan antara
asertivitas dengan kecenderungan mengalami kekerasan emosional yang terjadi
dilingkungan Universitas Kebidanan Avicenna Sulawesi Tenggara. Fakta penelitian
ini layak untuk diteliti karena berdasarkan fakta dilapangan terdapatnya wanita
yang mengalami kekerasan emosional pada saat berpacaran. 23 www//http/A brief
essay of linguistic_ikho85’s.blog.htm. Akses: 08-04-2012. 11 1.2. Rumusan
Masalah 1. Bagaimana tingkat asertifitas pada mahasiswi yang berpacaran di
Prodi D III Kebidanan Semester III STIK Avicenna Kendari-Sulawesi Tenggara. 2.
Bagaimana tingkat kekerasan emosional pada mahasiswi yang berpacaran di Prodi D
III Kebidanan Semester III STIK Avicenna Kendari-Sulawesi Tenggara. 3. Apakah
ada Hubungan Antara Asertivitas Dengan Kecenderungan Mengalami Kekerasan
Emosional Pada Mahasiswi Yang Berpacaran di Prodi D III Kebidanan Semester III
STIK Avicenna Kendari-Sulawesi Tenggara. 1.3. Tujuan Penelitian 1. Untuk
mengetahui tingkat asertifitas pada mahasiswi yang berpacaran di Prodi D III
Kebidanan Semester III STIK Avicenna Kendari-Sulawesi Tenggara. 2. Untuk
mengetahui tingkat kekerasan emosional pada mahasiswi yang berpacaran di Prodi
D III Kebidanan Semester III STIK Avicenna Kendari-Sulawesi Tenggara. 3. Untuk
mengetahui Hubungan Antara Asertivitas Dengan Kecenderungan Mengalami Kekerasan
Emosional Pada Mahasiswi Yang Berpacaran di Prodi D III Kebidanan Semester III
STIK Avicenna Kendari-Sulawesi Tenggara. 12 1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1
Manfaat Teoritis Untuk mengembangkan pengetahuan dan menambah pengalaman
penulis tentang hal-hal yang berkaitan dengan Hubungan Antara Asertivitas
Dengan Kecenderungan Mengalami Kekerasan Emosional Pada Mahasiswi Yang
Berpacaran, serta sebagai bahan pustaka dan kajian untuk penelitian berikutnya.
1.4.2 Manfaat Praktisi a) Bagi lembaga : - Sebagai bahan dalam memperkaya
khazanah studi Psikologi di Perguruan Tinggi Islam khususnya, dan Perguruan
Tinggi lain pada umumnya yang intens terhadap Psikologi. - Sebagai bahan
informasi bagi lembaga pendidikan pemerhati masalah kekerasan pada perempuan,
tentang informasi tentang hubungan antara asertivitas dengan kekerasan emosional
juga memberikan pendekatan atau intervensi dalam menangani masalah kekerasan
emosional pada Mahasiswi sehingga perempuan yang mengalami kekerasan emosional
dapat lebih memahami keadaan dirinya dan mendapatkan pelayanan terutama yang
terkait dengan permasalahannya. b) Bagi peneliti : Dapat memberikan kontribusi
secara akademis dan perluasan cakrawala pada ilmu pengetahuan khususnya ilmu
psikologi tentang Hubungan Antara Asertivitas Dengan Kecenderungan Mengalami 13
Kekerasan Emosional Pada Mahasiswi Yang Berpacaran, sehingga dapat dijadikan
sebagai refrensi untuk pengembangan penelitian yang sejenis. c) Bagi subjek :
subjek bisa mengetahui sejauh mana Hubungan Antara Asertivitas Dengan
Kecenderungan Mengalami Kekerasan Emosional Pada Mahasiswi Yang Berpacaran,
sehingga subyek diharapkan dapat meningkatkan kualitas diri. Yang nantinya
hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman dan pemikiran bagi
subyek penelitian mengenai keterkaitan antara asertivitas dengan kekerasan
emosional, sehingga dapat memahami bahwa kekerasan bukanlah bagian dari sebuah
hubungan antara manusia, dan kekerasan tersebut diharapkan dapat dikendalikan
atau diminamilisir dengan berkomunikasi secara asertif.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" : Hubungan antara asertivitas dengan kecenderungan mengalami kekerasan emosional pada mahasiswi yang berpacaran di Prodi D III Kebidanan semester III STIK Avicenna Kendari-Sulawesi Tenggara" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment