Abstract
INDONESIA:
Remaja merupakan tahap perkembangan yang paling sulit sepanjang kehidupan. Resiliensi merupakan salah satu kekuatan individu yang dapat membuat dirinya tetap dapat berkembang dan berfungsi secara positif walaupun berada pada lingkungan yang tidak menunjang atau bahkan buruk. Keluarga, khususnya orang tua merupakan salah satu faktor protektif yang mempengaruhi resiliensi seorang anak, khususnya remaja. Akan tetapi keadaan keluarga yang berbeda dihadapi oleh remaja dari keluarga yang orang tuanya menjadi TKI. Orang tua yang menjadi TKI secara otomatis tidak bisa berinteraksi dengan anaknya secara langsung dalam waktu yang lama hal ini bisa berpengaruh terhadap pola hubungan mereka. Perasaan tidak disayang dan tidak diperhatikan oleh orang tua banyak mempengaruhi sikap, perasaan dan cara hidup anak dalam menjalani kehidupannya, termasuk resiliensinya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat resiliensi antara remaja yang orang tuanya menjadi TKI dengan keluarga yang orang tuanya bukan TKI, dan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan tingkat resiliensi remaja dari keluarga yang orang tuanya menjadi TKI dengan keluarga yang orang tuanya bukan TKI, serta untuk mengetahui proses terbentuknya resiliensi remaja dari keluarga yang orang tuanya menjadi TKI. Penelitian ini menggunakan rancangan metode campuran/ mixed methods dengan strategi penjelasan berurutan. Penelitian ini menggunakan pendekatan komparatif dan fenomenologi. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa-siwi SMA DR. Musta’in Romly Payaman Lbetweenan yang berjumlah 129. Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling sebanyak 40 siswa, masing-masing 20 dari keluarga yang orang tuanya menjadi TKI dengan keluarga yang orang tuanya bukan TKI. Instrumen pengumpulan data yang digunakan adalah skala psikologi, wawancara dan dokumentasi.
Setelah dilakukan analisis independent sample T-test, diperoleh P (0,77) > (0,05), maka tidak ada perbedaan tingkat resiliensi antara remaja dari keluarga yang orang tuanya menjadi TKI dengan remaja dari keluarga yang orang tuanya bukan TKI. Proses pembentukkan resiliensi remaja dari keluarga yang orang tuanya menjadi TKI ini dibentuk oleh beberapa faktor yang mempengaruhi resiliensi, antara lain dukungan sosial, optimisme, coping yang tepat, konsep diri yang positif, penyesuaian diri yang tepat terhadap perubahan, dan efikasi diri.
ENGLISH:
Teenagers are the most difficult stage of development throughout the life. Resilience is one of the strengths of individuals who can make himself still able to grow and even be a positive function in environments that do not support or even worse. Family, especially parents are one of the protective factors that influences the resilience of a child, especially teenagers. However, a different family circumstances faced by teenagers from families whose parents are a migrant workers. Parents who become migrant workers are not automatically able to interact directly and their children in a long time, this could affect the pattern of their relationship. Feeling unloved and unnoticed by parents mostly influences the attitudes, feelings and way of life of children in their lifes, including their resilience.
This study aims to determine the level of resilience between teenagers from family whose parents are migrant worker and a family whose parents are non migrant workers, and to determine whether there are differences in the resilience from family whose parents are migrant worker and a family whose parents are non migrant workers, and to learn about the process of teenager resilience development of whose parents is a migrant worker. This study uses mixed methods design and sequential explanation strategy. This study uses a comparative approach and phenomenology. The population in this study is high school students of DR. Musta'in Romly Payaman Lamongan totaling 129. Sampling was purposive sampling technique as much as 40 students, each other 20 from family whose parents are migrant worker and a family whose parents are non migrant workers. The instrument to collect the data is psychological scales, interviews and documentation.
After the analysis of independent sample T-test, P obtained (0.77)> (0.05), then there is no difference in the level of resilience between teenagers from family whose parents are migrant worker and a family whose parents are non migrant workers. The process of teenagers resilience development of whose parents is a migrant worker. is shaped by several factors that affect resilience, between others, social support, optimism, coping proper, positive self-concept, appropriate adjustment to changes, and self efficacy.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakan
Setiap manusia pasti memiliki masalah dalam
hidup. Kita juga pernah merasakan kesedihan, kekecewaan, kegagalan serta
kondisi sulit lainnya. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Santrock
(1995) bahwa setiap tahap perkembangan manusia dalam rentang kehidupannya
memiliki tugas perkembangan yang khas, yang menghadapkan manusia pada saat
krisis yang harus dihadapi. Situasi krisis yang dihadapi oleh manusia adalah
situasi dimana seseorang mengalami masalah yang akan membuat kita tertekan.
Beberapa wujud masalah, kondisi dan situasi yang tidak menyenangkan yang harus
dilalui oleh setiap manusia ini adalah stress, konflik, kesulitan, kegagalan
dan tantangan. Pada kenyataannya setiap orang berbeda-beda dalam menyikapi
masalah dalam hidup. Demikian pula dengan kemampuan untuk menghadapi keadaan
sulit atau pengalaman negatif serta situasi yang menyudutkan. Ada kalanya orang
dapat menerima setiap kejadian dalam hidupnya dengan lapang dada dan mampu
bersikap adaptif, tapi ada juga yang larut dalam keterpurukkan dalam waktu
lama. Mengenai hal ini, Santrock (1995) menegaskan kembali bahwa semakin
individu berhasil mengatasi krisis yang dihadapinya maka hal tersebut akan
semakin meningkatkan potensi (mental) 2 individu dalam rangka melewati tahap
perkembangan. Begitu pula ketika melewati masa remaja. Remaja adalah tahap
perkembangan yang merupakan masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa
dan masa sulit atau masa krisis. Pada tahap remaja ini dihadapkan dengan tugas
perkembangan yaitu menyelesaikan krisis identitas, sehingga diharapkan
terbentuk suatu identitas diri yang stabil pada akhir masa remaja (Desmita,
2006). Proses pencarian identitas diri yang tidak mudah, perubahan biologis,
sosial dan psikologis yang terjadi serta kepekaan yang ada dalam diri remaja
membuat mereka merasa terisolasi, hampa, cemas dan bimbang, sehingga pada tahap
perkembangan ini remaja merasakan penderitaan-penderitaan yang lebih berat dari
masa yang lain. Jika remaja mampu melewati masanya dengan baik dan bisa
menyesuaikan diri dengan baik, maka akan berkembang menjadi remaja yang otonom.
Namun jika remaja kurang bisa menyesuaikan dengan perubahan yang ada dan
cenderung ingin mencoba hal-hal yang baru, serta tidak ada kontrol dari orang
tua, maka bisa jadi mereka terjerumus pada perilaku-perilaku yang menyimpang
dan beresiko, seperti penyalahgunaan zat, alkohol, perilaku seksual secara dini
serta perilaku-perilaku kekerasan atau kejahatan. Oleh karena itu diperlukan
kemampuan tersendiri dalam menghadapi krisis yang terjadi pada masa remaja
tersebut. Resiliensi merupakan salah satu kekuatan individu yang dapat membuat
dirinya tetap dapat berkembang dan berfungsi secara positif 3 walaupun berada
pada lingkungan yang tidak menunjang atau bahkan buruk (Carr,2004). Menurut
Jackson (2002), resiliensi adalah kemampuan individu untuk dapat beradaptasi
dengan baik meskipun dihadapkan dengan keadaan sulit. Sejalan dengan itu,
Reivich dan Shatte (2002) mengemukakan bahwa resiliensi adalah kemampuan untuk
tetap gigih dan menyesuaikan diri ketika keadaan tidak berjalan dengan baik.
Dalam teori ekologi dari Bronfenbrenner (Santrock, 1995) menyatakan bahwa
terdapat sejumlah sistem mikro yang secara langsung dapat mempengaruhi
perkembangan anak yaitu keluarga, sekolah, teman sebaya, komunitas dan media
massa. Contohnya adalah hubungan antara pengalaman keluarga dengan pengalaman
sekolah. Misalnya remaja yang ditolak oleh orang tuanya mungkin mengalami kesulitan
untuk mengembangkan hubungan positif dengan guru. Rutter (1987) dalam Mira
Rizki W. (2008), menyebut faktor-faktor pendukung dalam resiliensi, yang
dikenal dengan istilah faktor protektif. Faktor-faktor protektif ini dibagi
dalam beberapa kategori: (1) Sumberdaya dan karakteristik yang positif dari
individu; (2) Keluarga yang stabil dan memberikan dukungan yang ditandai dengan
adanya pertalian di antara anggota keluarga; (3) Jaringan sosial eksternal yang
mendukung dan memperkuat cara coping yang adaptif. Keluarga merupakan salah
satu faktor protektif yang mempengaruhi resiliensi seorang anak, khususnya
remaja. Remaja merupakan masa perkembangan yang penuh resiko, maka dukungan
dari keluarga menjadi 4 sangat penting untuk membuat mereka menjadi resilien.
Dalam penelitian Yuli Yuyun F. (2006) dihasilkan kesimpulan bahwa ada hubungan
antara keharmonisan keluarga dengan resiliensi pada remaja di SMP 3 Pati. Hal
ini dapat diartikan bahwa seseorang yang memiliki keluarga yang harmonis
cenderung memiliki resiliensi yang baik. Keluarga yang harmonis adalah sebuah
keluarga dimana setiap anggota keluarga memiliki hubungan yang setara satu sama
lain, merasa nyaman dalam berinteraksi dan berkomunikasi, saling mendukung dan
tidak menyakiti serta dapat mendorong tiap anggota keluarga tumbuh dan
berkembang dengan baik (Yayasan Pulih, Jakarta). Keluarga harmonis ini biasanya
tercipta dari keluarga yang utuh, dimana mereka tinggal bersama dalam satu
rumah dan mampu menjalankan fungsi dan perannya sebagai anggota keluarga secara
baik. Keluarga, khususnya orang tua merupakan pendidik utama dan pertama bagi
anakanaknya. Oleh sebab itu orang tua bertugas sebagai pengasuh, pembimbing dan
pemelihara terhadap anak. Setiap orang tua menginginkan anak-anaknya menjadi
manusia yang berakhlak dan berhati mulia serta mempunyai tanggung jawab. Akan
tetapi keadaan keluarga yang berbeda dihadapi oleh remaja dari keluarga yang
orang tuanya menjadi TKI. Orang tua yang menjadi TKI secara otomatis tidak bisa
berinteraksi dengan anaknya secara langsung dalam waktu yang lama, hal ini bisa
berpengaruh terhadap pola hubungan mereka. Banyak anak yang ditinggal orang
tuanya menjadi TKI tidak menyadari bahwa 5 mereka disayang oleh orang tuanya
karena orang tuanya meninggalkan mereka untuk pergi merantau. Perasaan-perasaan
itulah yang banyak mempengaruhi sikap, perasaan dan cara hidup anak dalam
menjalani kehidupannya, termasuk resiliensinya. Fenomena semacam itulah yang
juga ditemui oleh peneliti ketika melakukan studi pendahuluan di SMA DR. Musta’in
Romly, Desa Payaman, Kecamatan Solokuro, Kabupaten Lamongan, ternyata banyak
(hampir 20%) siswanya ditinggal orang tuanya menjadi TKI. Banyak dari mereka
yang menghadapi masalah remaja pada umumnya, yaitu masalah hubungan dengan
lawan jenis, dengan orang tua/ keluarga, teman sebaya, masalah belajar, masalah
pengendalian diri yang terkait dengan aturan-aturan dan lain-lain. Namun tidak
semua siswa remaja yang ditinggal orang tuanya menjadi TKI mengalami masalah
yang dihadapi di atas. Banyak juga dari mereka yang mampu menyesuaikan diri
dengan baik, mandiri dan mempunyai cita-cita yang tinggi. Ketika peneliti
melakukan wawancara dengan salah satu siswa yang ditinggal orang tuanya menjadi
TKI, dia merasa tidak mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari orang tuanya.
Dia merasa orang tuanya tidak sayang kepadanya, karena meninggalkan dan
menelantarkan dirinya serta dititipkan pada keluarga yang lain. Perasaan
seperti itu sudah dialami sejak lama, dia ditinggal orang tuanya sejak 3 tahun
hingga sekarang dia berusia 14 tahun. Dia menyatakan bahwa setiap harinya
tinggal bersama tantenya, yang hanya 6 dicukupi kebutuhan ekonominya saja, tapi
tidak pernah diperhatikan, baik masalah pendidikan, maupun hal-hal yang lain.
Padahal setiap anak, apalagi masa remaja membutuhkan asah, asih dan asuh agar
dia bisa menjadi remaja yang mempunyai identitas diri yang stabil dan menjadi
otonom. Namun, fenomena lain ketika penulis melakukan wawancara dengan siswa
yang lain, yang juga ditinggal oleh orang tuanya menjadi TKI. Remaja tersebut
juga telah ditinggal mulai usia 3 tahun hingga sekarang berusia 15 tahun. Namun
dia termasuk siswa yang mandiri, mudah bergaul dengan orang lain dan mempunyai
cita-cita yang tinggi. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Hidayatul
Mustafidah (2008) menyatakan bahwa 42,86% remaja yang ditinggal orang tuanya
menjadi TKI di Desa Ketanen, Kecamatan Panceng, Kabupaten Gresik mempunyai
konsep diri yang negatif. Hal ini menunjukkan banyaknya masalah yang dihadapi
oleh remaja dari keluarga yang orang tuanya menjadi TKI. Siswa remaja yang
resilien akan mampu beradaptasi dengan perubahan yang ada, mengatasi tekanan,
memandang hidup secara positif, pulih dan berkembang menjadi individu yang
lebih kuat dan bijak. Untuk menjadi seorang individu yang resilien, seseorang
harus memiliki keahliankeahlian yang disebut oleh Reivich dan Shatte (2002)
dengan istilah tujuh aspek resiliensi. Tujuh aspek resiliensi yaitu, emotion
regulation, impuls control, optimism, causal analysis, empathy, self-efficacy,
dan reaching out. Masing-masing individu memiliki kekuatan yang berbeda-beda
dalam setiap 7 aspek. Hal itulah yang juga akan mempengaruhi kemampuan
resiliensi seseorang. Penelitian-penelitian tentang resiliensi memang telah
banyak dilakukan, namun hanya menghubungkan faktor – faktor internal yang lain.
Penelitian-penelitian yang ada itu antara lain; Muhammad Untung Manara (2009)
tentang pengaruh self efficacy terhadap resiliensi pada mahasiswa Universitas
Islam Negeri (UIN) Malang. Rizkia N. F Hasyim. (2009) tentang pengaruh dukungan
sosial terhadap resiliensi napi remaja di lembaga pemasyarakatan anak Blitar.
Agus Sakti Saifur R. (2010) meneliti tentang hubungan relugasi emosi dengan
resiliensi pada anak jalanan LPAJ Griya baca kota Malang. Agus Iqbal H. (2011)
meneliti tentang pengaruh resiliensi terhadap juvenile delinquency mahasiswa
fakultas psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.
Sedangkan yang meneliti tentang faktor protektif khususnya keluarga masih
minim, apalagi yang meneliti keadaan keluarga dari remaja yang orang tuanya
menjadi TKI. Padahal anakanak TKI, khususnya remaja berada pada resiko tinggi.
Penelitian yang dilakukan ini diharapkan dapat membuktikan jika memang ada
perbedaan tingkat resiliensi antara remaja dari keluarga yang orang tuanya
menjadi TKI dengan yang orang tuanya bukan TKI. Kemudian penulis juga akan
melanjutkan penelitian tentang bagaimana proses terbentuknya resiliensi pada
remaja dari keluarga yang orang tuanya menjadi TKI. 8 B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka penulis
merumuskan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana tingkat resiliensi pada remaja
dari keluarga yang orang tuanya menjadi TKI? 2. Bagaimana tingkat resiliensi
pada remaja dari keluarga yang orang tuanya bukan TKI? 3. Apakah ada perbedaan
tingkat resiliensi antara remaja dari keluarga yang kedua orang tuanya berada
di rumah dengan keluarga yang orang tuanya menjadi TKI? 4. Bagaimana proses
pembentukkan resiliensi remaja dari keluarga yang orang tuanya menjadi TKI? C. Tujuan
Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui
tingkat resiliensi pada remaja dari keluarga yang orang tuanya menjadi TKI. 2.
Untuk mengetahui tingkat resiliensi pada remaja dari keluarga yang kedua orang
tuanya yang bukan TKI. 9 3. Untuk mengetahui perbedaan tingkat resiliensi
antara remaja dari keluarga yang kedua orang tuanya berada di rumah dengan
keluarga yang orang tuanya menjadi TKI. 4. Untuk mengetahui proses pembentukan
resiliensi remaja dari keluarga yang orang tuanya menjadi TKI. D. Manfaat
Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan
pengetahuan bagi masyarakat tentang resiliensi remaja, faktor-faktor yang
membentuk dan mempengaruhi tingkat resiliensi agar masyarakat semakin paham dan
bisa mempersiapkan generasi remaja agar menjadi resilien. Penelitian ini
diharapakan dapat menjadi acuan, menambah literatur, dan menambah khasanah
penelitian tentang resiliensi. Penelitian juga diharapkan dapat memberikan
konstribusi pada bidang psikologi, khususnya psikologi perkembangan dan
psikologi sosial. Dalam perkembangan zaman yang sangat pesat dan mempengaruhi
perilaku manusia dan resiliensi menjadi salah satu faktor positif yang dapat
menjawab tantangan zaman demi kemajuan bangsa dan negara. Manfaat Praktis:
diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi
masyarakat, guru, pendidik dalam melakukan pendidikan dan pembinaan pada siswa
agar lebih menekankan pada aspek psikologis yang sesuai dengan perkembangan
anak. Agar tahap-tahap perkembangan pada 10 remaja berjalan lancar. Kepada
orang tua juga bisa lebih memperhatikan pengaruh dalam lingkungan keluarga,
baik kondisi, peran ataupun fungsi dari keluarga agar anak bisa tumbuh menjadi
optimal dan siap dengan keadaan/ situasi sulit yang akan dihadapi oleh anak,
khususnya remaja. Lebih memperhatikan dampak dari keluarga yang orang tuanya
menjadi TKI.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" :Perbedaan tingkat resiliensi pada remaja di SMA Dr. Musta’in Romly Payaman Lamongan: Studi komparasi antara remaja dari keluarga yang orang tuanya menjadi TKI dengan keluarga yang orang tuanya bukan TKI" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment