Abstract
INDONESIA:
Beberapa kasus perceraian hampir dipastikan dapat berpengaruh terhadap psikologis anak, apalagi anak yang sedang melalui masa perkembangan remaja, karena masa remaja merupakan masa transisi dari kanak-kanak menuju dewasa. Dimana anak akan mencari jati diri mereka yang sesungguhnya. Dan karena perceraian tersebut, akan timbul masalah pada anak yang berbeda-beda baik dari segi kadar maupun konflik psikis yang dialaminya. Salah satunya adalah kondisi psikis berupa kecemasan, kecemasan merupakan suatu perasaan yang tidak menyenangkan yang ditandai dengan kekhawatiran, keprihatinan, dan ketakutan dalam tingkat yang berbeda-beda. Untuk meminimalisir kondisi tersebut maka salah satu bentuk coping positif yang dilakukan adalah dengan menumbuhkan sikap forgiveness. Forgiveness adalah suatu proses perubahan emosi dan sikap dari negatif menjadi positif.
Mengacu pada problematika diatas, maka masalah yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah bagaimana tingkat forgiveness anak dalam menghadapi perceraian orangtua di SMPN 3 Kepanjen Kabupaten Malang, bagaimana tingkat anxiety anak dalam menghadapi perceraian orangtua di SMPN 3 Kepanjen Kabupaten Malang dan bagaimana hubungan antara forgiveness dengan anxiety anak dalam menghadapi dampak perceraian orangtua di SMPN 3 Kepanjen Kabupaten Malang.
Rancangan dalam penelitian ini menggunakan kuantitatif dengan pendekatan korelasional. Dengan teknik populative sampling maka dalam penelitian ini mengambil keseluruhan subjek anak korban perceraian di SMPN 3 Kepanjen Kabupaten Malang untuk dijadikan sebagai sampel penelitian. Metode pengambilan data menggunakan skala, observasi, wawancara, dan dokumentasi. Dan untuk analisis datanya menggunakan analisis korelasi product moment, dan untuk validitas dan reliabilitasnya menggunakan alpha cronbach dan diolah dengan bantuan program SPSS 16.0 for windows.
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan didapatkan hasil bahwa tingkat forgiveness anak korban perceraian di SMPN 3 Kepanjen Kabupaten Malang berada pada kategori tinggi yakni 79.2%, dan kategori sedang berjumlah 20.8%, dan kategori rendah 0%. Sedangkan pada tingkat anxiety yang berada pada kategori tinggi yakni 62.5%, sedangkan kategori sedang 25.0% dan yang kategori rendah 12.5%. Hasil perhitungan korelasi dengan menggunakan product moment yakni rxy = – 0.206 dengan nilai signifikansi p = 0.334. Jadi dalam penelitian ini terdapat korelasi antara forgiveness dengan anxiety anak dalam menghadapi perceraian orangtua. Karena semakin tinggi forgivenessnya maka semakin rendah anxiety anak korban perceraian, begitu pula sebaiknya, semakin rendah forgiveness maka akan semakin tinggi anxiety pada diri siswa tersebut.
ENGLISH:
Several cases of parental divorce must affect the children psychologically. Moreover they are facing adolescence, as adolescence is a transition period from childhood to adulthood. During this period, children are looking for their true identity. The divorce causes various problems according to the level of problem or psychological conflict they face. One of those them was anxiety. Anxiety is an uncomfortable feeling characterized by worrying, concerning, and being afraid at different levels. To minimize the conditions, one of positive coping taken was forgiveness attitude. Forgiveness is the emotional transformation from negative attitude toward positive attitude.
According to the problem above, the question would be answered in this research was how the level of forgiveness of children in dealing effect with parental divorce at SMPN 3 Kepanjen Malang is, and how the level of anxiety of children in dealing with parental divorce at SMPN 3 Kepanjen Malang is.
The research design used in this research was the quantitative correlational approach. By populative sampling technique, therefore the researcher took all subjects that are the victims of divorce SMPN 3 Kepanjen Malang as the sample of research. To collect the data, the researcher used scale, observation, interview and documentation. To analyze the data, the researcher used product moment correlation, and to examine the validity and reliability of the scale the researcher used alpha cronbach with the help of SPSS 16.0 for windows.
It can be found from the result that the level of forgiveness of children who became the victim of divorce at SMPN 3 Kepanjen Malang was 79.2 % of those subjects were in high level and 20.8% of them were in moderate level and 0% of them was in low level. While the level of anxiety of children who became the victim of divorce was 62.5 % of those subjects were in high level and 25.0% of them were in moderate level and 12.5% of them were in low level. The result of product moment analysis showed that the value of rxy was – 0.206 and the value of p was 0.334. Hence there is correlation between forgiveness and anxiety of children in dealing with parental divorce. Because it was the higher of forgiveness, the lower of anxiety of children, on the contrary, the lower of forgiveness the higher of anxiety in children.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dewasa ini, masalah-masalah yang
muncul dalam kehidupan remaja sering menimbulkan berbagai tantangan bagi para
orang dewasa. Banyak hal yang timbul pada masa remaja, salah satunya adalah
problematika seksual. Sebagian besar orang tua mengadukan bahwa anak-anak
sering kedapatan membaca buku porno. Hal ini berdampak pada maraknya kasus
pelecehan seksual hingga tindakan asusila lainnya seperti perkosaan yang
dialami oleh para remaja. Remaja memasuki usia subur dan produktif. Artinya,
secara fisiologis, mereka telah mencapai kematangan organ-organ reproduksi
tersebut, sehingga mendorong individu untuk melakukan hubungan sosial baik
dengan sesama jenis maupun dengan lawan jenis. Mereka berupaya mengembangkan
diri melalui pergaulan, dengan membentuk teman sebayanya (peer-group).
Pergaulan bebas yang tak terkendali secara normatif dan etika-moral antar
remaja yang berlainan jenis, akan berakibat adanya hubungan seksual di luar
nikah (sex pre-marital) (Agoes Dariyo, 2004). Berdasarkan survei pada tahun
2010 yang dilakukan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)
menyatakan, bahwa separuh remaja perempuan lajang yang tinggal di Jakarta,
Bogor, Tangerang, dan Bekasi kehilangan keperawanan dan melakukan hubungan seks
pranikah. Bahkan, tidak sedikit yang hamil di luar nikah. Rentang usia remaja
yang pernah melakukan 2 hubungan seks di luar nikah antara 13-18 tahun. Temuan
serupa juga terjadi di kota-kota besar lain di Indonesia. Selain di
Jabodetabek, data yang sama juga diperoleh di wilayah lain. Di Surabaya
misalnya, remaja perempuan lajang yang kegadisannya sudah hilang mencapai 54%,
di Medan 52%, Bandung 47%, dan Yogyakarta 37%
(http://www.jpnn.com/read/2010/11/29/78294/Separuh-Gadisdi-Kota-Besar-Tak
Perawan-Lagi- diakses tanggal 24 januari 2014). Tidak dapat dipungkiri, bahwa
banyak pasangan yang mulai berani melakukan tindakan fisik seperti mencium, meraba,
berpegangan tangan dan lain sebagainya, hingga akhirnya sampai pada melakukan
hubungan intim. Hal tersebut sering dijumpai pada remaja masa kini. Dariyo
(2004) mengatakan bahwa Hal-hal yang mendorong remaja melakukan seks di luar
pernikahan, menurut sebuah penelitian yang dilakukan Yayasan Keluarga Kaiser
(Kaiser Family Foundation, dalam Santrock, 1998) adalah (a) faktor mispersepsi
terhadap pacaran: bentuk penyaluran kasih sayang yang salah di masa pacaran,
(b) faktor religiusitas, kehidupan iman yang tidak baik, dan (c) faktor
kematangan biologis Masa remaja sering disebut-sebut sebagai suatu masa yang
storm and stress (Sturn und Drang). Pernyataan ini mengacu pada teori Stanley
Hall yang mengemukakan bahwa masa remaja merupakan masa penuh gejolak emosi dan
ketidakseimbangan. Dengan demikian remaja mudah terkena pengaruh oleh
lingkungan (Singgih, 1983). Sekalipun para ahli mengabaikan teori ini, namun
memang terdapat tanda-tanda bahwa para remaja mengalami banyak tekanantekanan,
bila dibandingkan dengan anak-anak atau orang dewasa. 3 Kondisi remaja yang
dapat dikatakann labil tersebut, mendorong seorang remaja melakukan tindakan
yang melanggar norma, seperti melakukan hubungan seksual pra nikah. Dampaknya
adalah kehamilan di luar nikah. Remaja yang mengalami kehamilan di luar nikah
menghadapi masalah yang cukup kompleks, sehingga membuat remaja merasa
tertekan, stres dan seringkali tidak mampu menghadapi dengan baik. Sebuah studi
kasus remaja Surakarta Tahun 2011 yang dilakukan oleh ‘Uyun dan Saputra Fakultas
Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta tentang kecemasan pada remaja yang
hamil di luar nikah menunjukkan hasil bahwa remaja yang hamil di luar nikah
mengalami sebuah kecemasan terhadap nasib janin yang ada dalam kandungannya.
Perasaan pertama kali ketika mengetahui kalau hamil adalah takut atas masa
depan janin yang tengah dikandungnya dan khawatir jika kehamilannya tersebut
diketahui oleh kedua orang tua dan lingkungan sekitar (‘Uyun, 2012). Dalam
penelitian tersebut menunjukkan adanya kecemasan pada remaja yang mengalami
hamil di luar nikah. Penelitian serupa tentang remaja yang mengalami kehamilan
di luar nikah juga dilakukan oleh Fatimah dan Cahyono, Fakultas Psikologi
Universitas Airlangga tahun 2013 tentang pemenuhan aspek-aspek kepuasan
perkawinan pada remaja perempuan yang mengalami kehamilan pra nikah menunjukkan
hasil bahwa bentuk pemenuhan pada aspek psikologis berupa: hubungan
persahabatan dengan pasangan, merasa dipahami, merasa dihormati, mencapai
kesepakatan bersama, tidak adanya stimulus negatif dari pasangan dan adanya 4
kehangatan dan afeksi diantara pasangan. Sedangkan pada aspek material,
sebagian besar bentuk pemenuhan kebutuhannya masih dibantu orangtua, begitupun
juga dengan kondisi tempat tinggal yang belum tertata dan terawat dengan baik.
Selanjutnya pada aspek seksual, bentuk interaksi seksual yang terpenuhi hanya
terlihat pada aspek kepuasan emosional. Dalam penelitian tersebut menunujukkan
bahwa remaja yang mengalami kehamilan di luar nikah dan menikah belum mandiri secara
finansial. Perubahan peran dari seorang gadis menjadi ibu dapat dialami secara
normal oleh seorang perempuan yang hamil, hal ini akan dirasakan suatu
kebahagiaan jika didukung dengan kesiapan fisik, psikologis, ataupun spiritual.
Namun sebaliknya, dalam kehamilan di luar nikah dapat dikatakan dari berbagai
segi biasanya belum memiliki kesiapan untuk terjadinya perubahan dalam dirinya
bahkan mungkin untuk menerima kandungannya. Terlebih kehamilan yang dihadapi
merupakan pengalaman pertama sehingga banyak hal belum diketahui dengan pasti.
Perasaan cemas ini dapat berkem bang menjadi rasa takut menghadapi segala
situasi yang mungkin terjadi selama kehamilan dan memasuki persalinan, apalagi
semuanya harus dihadapi sendirian tanpa pasangan yang mendukung atau menemani.
Setiap individu tumbuh dan berkembang selama perjalanan kehidupannya melalui
beberapa periode atau fase-fase perkembangan. Setiap fase-fase perkembangan
mempunyai serangkaian tugas perkembangan. Tugas perkembangan masa remaja
menurut Hurlock (1991) adalah: (1) mampu menerima keadaan fisiknya, (2) mampu
menerima dan memahami peran seks usia 5 dewasa, (3) mampu membina hubungan baik
dengan anggota kelompok yang berlainan jenis, (4) mencapai kemandirian
emosional, (5) mencapai kemandirian ekonomi, (6) mengembangkan konsep dan
keterampilan intelektual yang sangat diperlukan untuk memasuki dunia dewasa,
Mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan, (7) memahami dan mempersiapkan
berbagai tanggung jawab kehidupan keluarga ( Ali, 2012). Remaja yang mengalami
hamil di luar nikah atau melakukan hubungan seksual sebelum menikah menunjukkan
bahwa remaja tersebut terhambat dalam menjalankan tugas perkembangannya.
Santrock menyebutkan bahwa seorang remaja mengalami beribu-ribu jam interaksi
dengan orang tua, teman sebaya, dan guru-guru dalm 10 hingga 13 tahun terakhir
masa perkembangan. Namun demikian, pengalaman dan tugas tugas perkembangan baru
masih muncul selama masa remaja. Relasi dengan orang tua memiliki bentuk yang
berbeda, hubungan teman-teman sebaya semakin intim, dan kencan dilakukan untuk
pertama kali, demikian pula penjajakan seksual dan mungkin hubungan seksual
(Santrock:7). Tugas perkembangan pada remaja lebih banyak mengarah kepada
persiapan menghadapi masa depan diantaranya pekerjaan, pencarian identitas dan
pernikahan. Ketika seorang remaja mengalami hamil di luar nikah dan memaksanya
untuk menikah dini maka seorang remaja tersebut dituntut untuk melewati masa
remajanya dengan singkat. Hurlock (1998) mengatakan bahwa semua periode
perkembangan memiliki ciri-ciri perkembangan yang membedakan dari satu periode
dengan periode berikutnya. Masa remaja juga mempunyai ciriciri tertentu yang
membedakan dengan periode sebelumnya dan sesudahnya. 6 Remaja yang menikah baik
itu remaja putra maupun remaja putri akan mengalami masa remaja yang
diperpendek, sehingga ciri dan tugas perkembangan mereka juga ikut diperpendek
dan masuk pada masa dewasa (Monks, 2001). Seorang ahli psikologi yang dikenal
luas dengan teori tugas-tugas perkembangan adalah Robert J. Havighust (dalam
Hurlock, 1990). Robert mengatakan bahwa tugas perkembangan adalah tugas yang
muncul pada saat atau sekitar satu periode tertentu dari kehidupan individu dan
jika berhasil akan menimbulkan fase bahagia dan membawa keberhasilan dalam
melaksanakan tugas-tugas berikutnya. Akan tetapi, kalau gagal akan menimbulkan
rasa tidak bahagia dan kesulitan dalam menghadapi tugas-tugas berikutnya ( Ali,
2012). Masa remaja yang singkat ini membuat remaja melewatkan tugas-tugas
perkembangannya. Tugas perkembangan yang tidak terselesaikan menimbulkan
ketidakbahagiaan dan kesulitan dalam menyelesaikan tugas perkembangan
selanjutnya. Kabahagiaan adalah idaman semua orang. Ia berangkat dari sebuah
kehidupan yang normal dan sehat. Oleh karena itu, setiap manusia berupaya
menciptakan kehidupan yang sejahtera baik kondisi fisik, sosial, dan
psikologisnya. Hal ini dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas hidupnya,
Dengan memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut banyak permasalahan yang muncul
sehingga menyebabkan terganggunya perkembangan psikologi seseorang ( Ramadhan,
2012). Terhambatnya tugas perkembangan tersebut menimbulkan kesulitan dan
ketidakbahagiaan yang berdampak pada kesejahteraan psikologis. Menurut 7
Campbell (dalam McDowell & Newel, 1996), kesejahteraan psikologis adalah
suatu kondisi individu tanpa adanya distres psikologis. Distres merupakan
keadaan sakit secara fisik dan psikologis yang merupakan salah satu indikator
utama dalam kesehatan mental. Distres psikologis dan kesejahteraan dapat
dipengaruhi oleh masyarakat, lingkungan sekitar, dan ketahanan individu secara
mental dalam menghadapi kecemasan dan depresi. Kaitan antara kesejahteraan
psikologis dengan depresi atau masalah psikologis lain yaitu pada efek negatif
psikis yang dialami individu tersebut akan menghambat perkembangan dirinya dan
dapat mengakibatkan timbulnya ketidakberdayaan diri sehingga menerima keadaan
apa adanya tanpa ada usaha dari dirinya untuk membuat hidupnya menjadi lebih
baik (Handayani, 2010). Berdasar pada Penelitian mengenai Psychological
Well-Being dipelopori oleh Ryff. Bahwa Psychological Well-being yang kemudian
disingkat PWB sebagai pencapaian penuh potensi Psikologis seseorang, dimana
individu tersebut dapat menerima kekuatan dan kelemahan yang ada pada dirinya,
menciptakan hubungan yang positif dengan orang lain yang ada disekitarnya,
memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan dan mandiri, mampu dan
berkompetensi untuk mengatur lingkungan, memiliki tujuan hidup dan merasa mampu
untuk melalui tahapan perkembangan dalam kehidupannya. Survei awal yang
dilakukan oleh peneliti pada subjek N mendapatkan informasi bahwa subjek
berusia 14 tahun. Subjek senang berganti-ganti pacar sampai akhirnya subjek
hamil. Subjek N mengaku bahwa dia melakukan hubungan seksual karena dipaksa oleh
pasangannya (N, 13.11.13). Hubungan 8 positif dengan orang lain merupakan salah
satu dimensi dalam kesejahteraan psikologis seseorang. Dalam konteks tugas
perkembangan seorang remaja mampu menjalin hubungan yang baik dengan teman
sebayanya baik sejenis maupun lawan jenis, serta mampu membina hubungan yang
baik dengan kelompok lawan jenis lainnya. Dalam kasus N ini, mengalami hambatan
dalam membina hubungan yang baik dengan lawan jenis dan juga sosial lainnya,
dimana subjek jarang bermain kerumah tetangga-tetangganya dan juga saat ini
subjek dan suaminya sepakat untuk tidak menggunakan media komunikasi yaitu
handphone. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah agar tidak terjadi sesuatu
yang tidak di inginkan seperti kecemburuan. Jadi, keseharian subjek dihabiskan
untuk menonton televisi di rumah. Subjek merasakan kebosanan dalam
kesehariannya (N, 13.11.13). Paparan mengenai subjek di atas mengindikasikan
bahwa kesejahteraan psikologis remaja dalam konteks perkembangannya mengalami
hambatan. Terhambatnya subjek dalam mencapai kesejahteraan psikologis terlihat
dari gagalnya subjek dalam menerima dirinya dengan baik dan dalam membangun
hubungan positif dengan lingkungan sosialnya. Dua hal tersebut adalah beberapa
indikator yang menunjukkan bahwa seseorang dapat mencapai kesejahteraan
psikologisnya. Seorang remaja yang hamil di luar nikah membutuhkan keadaan yang
sejahtera secara psikologis untuk melanjutkan kehidupannya. Karena remaja yang
hamil di luar nikah tersebut akan menjadi seorang isteri dan juga seorang ibu.
Dia harus mengerti tugas-tugasnya sebagai seorang istri dan juga seorang ibu. 9
Sehingga remaja tersebut dapat menjadi seorang ibu yang baik dan juga tidak
terjadi konflik dalam rumah tangganya yang mengakibatkan perceraian. Dari
beberapa paparan di atas, penting untuk diketahui gambaran kesejahteraan
psikologis remaja yang mengalami hamil di luar nikah karena pada hakikatnya
setiap individu menginginkan kehidupan yang sejahtera. Terlebih di sini adalah
remaja yang mengalami hamil di luar nikah, sehingga peneliti ingin meneliti
gambaran kesejahteraan psikologis remaja yang hamil di luar nikah dalam konteks
perkembangan. B. Rumusan Masalah Dari berbagai uraian latar belakang di atas,
maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana gambaran kesejahteraan
psikologis remaja yang pernikahannya karena hamil di luar nikah? 2. Bagaimana
upaya remaja yang menikah karena hamil di luar nikah dalam mencapai
kesejahteraan psikologisnya? 3. Apa saja faktor yang memengaruhi kesejahteraan
psikologis pada remaja yang pernikahannya karena hamil di luar nikah? C. Tujuan
Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kesejahteraan
psikologis, upaya yang dilakukan dalam mencapai kesejahteraan psikologis, dan
faktor-faktor yang memengaruhi kesejahteraan psikologis remaja menikah karena
hamil di luar nikah. 10 D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat
memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu psikologi khususnya psikologi
positif. 1. Manfaat teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan pemikiran ilmiah khususnya dalam bidang psikologi yang berkaitan
dengan kesejahteraan psikologis remaja yang hamil di luar nikah. 2. Manfaat
Praktis a. Memberikan masukan dan informasi pada remaja yang hamil di luar
nikah dan masyarakat luas mengenai kesejahteraan psikologis. b. Dapat digunakan
sebagai referensi bagi peneliti selanjutnya yang meneliti terkait dengan
kesejahteraan psikologis.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" : Hubungan antara forgiveness dengan anxiety anak dalam menghadapi dampak perceraian orangtua di SMPN 3 Kepanjen Kabupaten Malang" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment