Abstract
INDONESIA:
Renungan tentang nihilisme pada intinya adalah sebuah renungan tentang krisis kebudayaan Eropa sebagaimana disaksikan oleh Nietzsche yang hidup pada akhir abad yang lalu: sebuah kehancuran tatanan mapan peradaban, yakni agama, ilmu pengetahuan, dan moral. Dalam istilah nihilisme, kata nihil tidak menunjukan keberadaan namun menunjukan nilai nol. Kehidupan memiliki nilai nol sejauh ia ditolak dan didepresiasikan. Kemudian setelah meramalkan nihilisme, Nietzsche bukan lantas mengajak untuk menolak nihilisme. Justru Nietzsche dalam tulisan-tulisannya mengajak manusia untuk menghadapi nihilisme dan mengatasinya. Gejala perilaku seperi Nietzsche ini agaknya sulit dijelaskan dengan teori motivasi psikologi modern. Sebab, penelitian yang dilakukan oleh Maslow, Alderfer, Frederick Herzberg, Murray, Mc Clelland, dan Vroom berdiri pada konteks masyarakat kerja atau masyarakat industri. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimana konsep motivasi menurut Nietzsche? Apa saja aspek-aspek motivasi menurut Nietzsche? Faktor apa saja yang mempengaruhi konsep motivasi Nietzsche. Dan, penelitian ini bertujuan untuk menggali konsep motivasi menurut Nietzsche, aspek-aspek motivasi menurut Nietzsche serta faktor-faktor yang mempengaruhi konsep motivasi Nietzsche.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah penelitian kepustakaan. Data primer yang dalam penelitian ini menggunakan sumber dari karya Nietzsche. Sedangkan data sekundernya menggunakan buku Nietzsche karangan St Sunardi, Filsafat Nietzsche karangan Gilliez Deleuze, 90 Menit Bersama Nietzsche, karangan Paul Strathern, Friedrich Nietzsche, karangan Roy Jackson, Nietzsche dan Posmodernisme, karangan Dave Robinson, Jurnal Filsafat Driyarkara, tahun XXVII volume 1.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, disimpulkan bahwa konsep motivasi dalam pemikiran Nietzsche mendorong manusia bersikap berani terhadap situasi kondisi sosial yang tak lagi menyandarkan nilai-nilai kehidupan pada eksistensi Tuhan. Tiga perkembagan motivasi menurut Nietzsche ialah, dari roh manusia menuju penciptaan manusia yang penuh beban, dari manusia yang penuh beban menuju manusia yang bebas dan berani, dan dari manusia bebas dan berani menuju manusia unggul. Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi menurut Nietzsche ialah dorongan kehendak untuk berkuasa, dorongan menjadi adimanusia, dan dorongan kebahagiaan. Konteks motivasi dalam pemikiran tersebut ialah untuk menggambarkan manusia ateistis yang menginginkan “panduan” hidup dalam dunia yang dianggap sudah tak punya makna dan ketiadaan Tuhan. Dunia di mana kebebasan memuncah dan semua bentuk perilaku dan perbuatan manusia diperbolehkan. Aspek-aspek Motivasi dalam pemikiran Nietzsche ialah, motivasi keberanian, motivasi penerimaan hidup tapa makna, dan motivasi mengatasi keterbatasan diri. Sedangkan konsep motivasi Nietzsche dipengaruhi oleh peradaban Eropa abad 19 dan fenomena agama kristen.
ENGLISH:
Reflections on nihilism at its core is a reflection on the crisis of European culture, as witnessed by Nietzsche who lived at the end of the last century: the destruction of the established order of civilization, the religion, science, and moral. In terms of nihilism, the word does not indicate the existence of zero, but shows a zero value. Life has zero value as far as he was rejected and depreciated (diperosotkan). Then after a forecast of nihilism, Nietzsche was not necessarily invited to reject nihilism. It is precisely in his writings, Nietzsche invites people to confront and overcome nihilism. Behavioral symptoms are like Nietzsche is rather difficult to explain the motivation theories of modern psychology. Therefore, the research conducted by Maslow, Alderfer, Frederick Herzberg, Murray, Mc Clelland, and Vroom stand in the context of community work or community industry. Formulation of the problem in this study is: How does the concept of motivation according to Nietzsche? What are the motivational aspects according to Nietzsche? What factors influence the motivation of Nietzsche's concept. And, this study aimed to explore the concept of motivation according to Nietzsche, according to the motivational aspects of Nietzsche and the factors that influence the motivation concept of Nietzsche.
The method used in this study is the research library. Primary data in this study using the source of the book of Nietzsche. Secondary use of data are Nietzsche written by St. Sunardi, Filsafat Nietzsche written by Gilliez Deleuze, 90 Menit bersama Nietzsche, written by Paul Strathern, Friedrich Nietzsche, written by Roy Jackson, Nietzsche dan Posmodernisme, written by Dave Robinson, Jurnal Filsafat Driyarkara, year of XXVII 1st volume.
Based on the results of research conducted, a conclusion that the concept of motivation in Nietzsche's thought encourages people to be brave attitude towards the situation of social conditions which no longer rely on the values of the life of God's existence. Three perkembagan motivation according to Nietzsche is, of the human spirit towards the creation of man is full load, full load of man to man free and brave, and of the free and brave human being superior to humans. Factors that affect motivation according to Nietzsche is to boost the will to power, thrust into superman, and a boost of happiness. Motivation in the context of thinking is to describe the atheistic man who wanted a "guide" to live in a world that thought had no meaning and the absence of God. Memuncah world where freedom and all forms of human behavior and actions are allowed. Motivational aspects in Nietzsche's thought is, the motivation of courage, motivation, acceptance of tapa meaning of life, and overcome the limitations of self- motivation. While Nietzsche's concept of motivation is influenced by 19th century European civilization and Christian religious phenomenon.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pandangan bahwa manusia sebagai individu
merupakan satu kesatuan dari aspek fisik atau jasmani dan psikis atau rohani
atau jiwa yang tidak dapat dipisahkan, sesungguhnya sudah berkembang pada
pemikiran para filsuf klasik sejak masih zaman Yunani kuno. Para filsuf klasik
berpandangan bahwa bagian fisik atau jasmani merupakan aspek individu yang
bersifat kasat mata, konkret, dapat diamati, dan tidak kekal, sedangkan aspek
psikis, rohani atau jiwa merupakan aspek individu yang sifatnya abstrak,
immaterial, tidak dapat diamati, dan kekal. Karena manusia merupakan satu
kesatuan yang tidak terpisahkan antara aspek jasmani dan rohani maka
perkembangan berbagai aspek dalam diri individu itu akan tampak
gejala-gejalanya sebagai gambaran perkembangan tersebut (Ali & Asrori,
2006:1). Manusia adalah makhluk yang mempunyai kesadaran akan dirinya sendiri.
Oleh karena itu, manusia adalah makhluk yang ingin mengenal dirinya dan selalu
merefleksikan dirinya, disadari ataupun tidak disadari (Ahyadi, 2005:111).
Dalam Al-Qur’an terdapat uraian tentang manusia sebagai makhluk biologik,
psikologik, dan rohaniah, antara lain terdapat dalam surat al-Mu’minuun [23]
ayat 12-16, yang berbunyi: Artinya: “Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan
saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian
air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan
segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu
tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan Dia
makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.
Kemudian, sesudah itu, Sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati.
Kemudian, Sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari
kiamat.”(Departemen Agama RI, 2005:342). Salah satu sifat yang dimiliki manusia
adalah locus of control atau disebut dengan letak kendali dikembangkan oleh
Rotter dari teori pembelajaran sosial yang mendudukkan penguatan
(reinforcement) pada suatu posisi inti. Diyakini, sejarah belajar seorang
individu dapat menggiringnya ke pengharapan yang terampatkan (generalized)
tentang penguat. Orang dapat memandang suatu imbalan (reward, positif maupun
negatif) sebagai hal yang tergantung pada perilakunya sendiri atau tergantung
pada kekuatan-kekuatan di luar kendalinya (Berry dkk, 1999:142). Hasil
penelitian membuktikan bahwa orientasi pusat kendali yang internal ternyata
lebih banyak menimbulkan akibat-akibat positif. Sebagaimana yang dikemukakan
oleh Lao menyatakan bahwa status sosial ekonomi, kepercayaan diri, aspirasi,
serta harapan pada mereka yang internal ternyata lebih tinggi. Menurut Pervin
orang-orang internal lebih aktif mencari informasi dan menggunakannya untuk
mengontrol lingkungan. demikian pula orang dengan locus of control internal
lebih suka menentang pengaruh-pengaruh dari luar, sedangkan orang-orang dengan
locus of control eksternal lebih bersikap conform 3 terhadap pengaruh-pengaruh
tersebut. Solomon dan Oberlander mengatakan bahwa orang-orang dengan locus of
control internal bertanggungjawab terhadap kegagalannya, sedangkan orang-orang
yang berorientasi pada locus of control eksternal memiliki anggapan bahwa
kegagalannya berasal dari faktor lain di luar dirinya sendiri (dalam Ghufron
& Risnawita S, 2011:67-68). Duke dan Lancaster dalam penelitiannya
menunjukkan bahwa sering tidaknya orang tua berada di rumah ikut pula
memengaruhi terbentuknya pusat kendali. Anak-anak yang orang tuanya sering
tidak berada di rumah lebih eksternal pusat kendalinya bila dibandingkan dengan
yang orang tuanya sering berada di rumah (dalam Ghufron & Risnawita S, 2011:71).
Sedangkan salah satu faktor disposisional yang menyusun kepribadian altruistik
yaitu locus of control internal yang merupakan kepercayaan individual bahwa dia
dapat memilih untuk bertingkah laku dalam cara yang memaksimalkan hasil akhir
yang baik dan meminimalkan yang buruk. Mereka yang menolong mempunyai locus of
control internal yang tinggi. Mereka yang tidak menolong, sebaliknya cenderung
memiliki locus of control eksternal dan percaya bahwa apa yang mereka lakukan
tidak relevan, karena apa yang terjadi diatur oleh keuntungan, takdir,
orang-orang yang berkuasa, dan faktor-faktor tidak terkontrol lainnya (Baron
& Byrne, 2003:106-107). Bierhoff, Klein, dan Kramp telah mengemukakan
faktor-faktor dalam diri yang menyusun kepribadian altruistik, yaitu adanya empati,
kepercayaan terhadap dunia yang adil, rasa tanggung jawab sosial, memiliki
internal locus of control dan egosentrisme yang rendah (dikutip oleh Sarwono
& Meinarno, 2009:135). 4 Gejala-gejala yang biasanya tampak sebagai
gambaran berkembangnya berbagai aspek dalam diri individu yaitu (a) aspek
jasmani atau rohani, (b) aspek intelek, (c) aspek emosi, (d) aspek sosial, (e)
aspek bahasa, (f) aspek bakat khusus, dan (g) aspek nilai, moral, dan sikap
(Ali & Asrori, 2006:4). Dari aspek sosial dapat timbul beberapa perilaku
seperti berkembangnya sifat toleran, empati, memahami, dan menerima pendapat
orang lain, semakin santun dalam menyampaikan pendapat dan kritik kepada orang
lain, adanya keinginan untuk bergaul dengan orang lain dan bekerja sama dengan
orang lain, suka menolong kepada siapa saja yang membutuhkan pertolongan,
kesediaan menerima sesuatu yang dibutuhkan dari orang lain, bersikap hormat,
sopan, ramah, dan menghargai orang lain (Ali & Asrori, 2006:3). Perilaku
prososial tidak lepas dari kehidupan manusia dalam interaksinya di masyarakat.
Interkasi manusia ini tidak lepas dari perbuatan tolong-menolong, karena dalam
kenyataan kehidupannya meskipun manusia dikatakan mandiri, pada saat tertentu
masih membutuhkan pertolongan orang lain (Mahmudah, 2010:85). Perilaku
prososial merupakan segala bentuk tindakan yang dilakukan atau direncanakan
untuk menolong orang lain, tanpa mempedulikan motif-motif si penolong. Namun,
ada beberapa jenis perilaku prososial yang tidak merupakan tindakan altruistik,
misalnya jika Anda memberikan sumbangan yang besar pada malam amal yang
diadakan oleh atasan Anda dengan harapan akan menimbulkan kesan yang
menyenangkan dan mendapatkan gaji kenaikan gaji, Anda tidak melakukan tindakan
altruistik yang sesungguhnya (Sears dkk, 1985:47). 5 Menurut Caprara dkk.
beberapa individu lebih cenderung untuk menolong daripada yang lain. Terdapat
juga konsistensi sepanjang masa, anak-anak yang prososial pada masa kanak-kanak
awal (terlibat dalam tingkah laku bekerjasama, menolong, berbagi, dan
menghibur) menjadi remaja yang cenderung disukai oleh teman-teman dan
berprestasi secara akademik (dalam Baron & Byrne, 2003:110- 111). Beberapa
penelitian telah menemukan bahwa budaya kolektif pada umumnya memiliki
nilai-nilai altruisme yang lebih tinggi daripada budaya individualistik.
Penemuan ini tidak berarti bahwa individu-individu dalam budaya kolektif akan
selalu lebih menunjukkan perilaku menolong/membantu daripada orang-orang dari
budaya individualistik. Yang jelas, orang-orang dari budaya kolektif membuat
perbedaan yang jelas antara anggota-anggota in-group, atau potensial in-group
dan anggota-anggota out-group. Mereka lebih mungkin memberikan
pertolongan/bantuan kepada anggota in-group tetapi kurang memberikan bantuan
kepada anggota out-group. Triandis memberikan contoh, orang Yunani biasanya
lebih bersedia memberikan bantuan/pertolongan kepada orang-orang asing yang
secara potensial dianggap sebagai in-groupnya daripada orang Yunani sendiri
yang dengan jelas bukan aggota dari kelompoknya sendiri atau in-groupnya
(Dayakisni & Yuniardi, 2008:123). Pengalaman sehari-hari memberikan banyak
contoh perilaku prososial. Dalam sebuah studi McGuire meminta mahasiswa
mendeskripsikan contoh di mana mereka memberikan dan menerima bantuan. Mereka
ini tidak kesulitan menyebutkan 72 jenis perilaku menolong yang berbeda,
termasuk pertolongan 6 biasa (memberi petunjuk arah, mengambilkan Koran yang
jatuh), pertolongan substansial (memberi pinjaman uang, membantu orang lain
untuk berkemas), pertolongan emosional (mendengarkan orang mengutarakan
problemnya) dan pertolongan darurat (membawa seseorang ke UGD, mendorong mobil
yang mogok) (Taylor, 2009:457). Ketika menolong, seseorang mungkin tidak
menyadari apa keuntungan bagi dirinya. Tindakannya ketika menolong dikarenakan
ia merasa harus memberikan bantuannya kepada orang lain. kegiatan menolong
seperti keharusan membantu teman yang sedang sakit, membantu menunjukkan jalan
kepada orang baru, dan membantu tetangga yang sedang pindah rumah, semuanya
dipersepsikan sebagai sesuatu yang diharuskan oleh norma-norma masyarakat
(Sarwono & Meinarno, 2009:130). Perilaku prososial menekankan makna penting
proses belajar. Dalam masa perkembangan, anak mempelajari norma masyarakat,
orang dewasa mengajarkan pada anak bahwa mereka harus menolong orang lain.
Orang belajar menolong melalui penguatan, atau peneguhan, efek ganjaran dan
hukuman terhadap tindakan menolong, dan peniruan, meniru orang lain yang
memberikan pertolongan. Sudah banyak penelitian dan eksperimen yang dilakukan
dengan menggunakan teknik-teknik seperti yang telah disebutkan, memang terbukti
teknik tersebut dapat membentuk perilaku prososial. Perilaku prososial sejak
masa kanak-kanak sangat tergantung pada ganjaran eksternal dan persetujuan
sosial. bagi orang dewasa menolong dapat menjadi nilai yang diinternalisasi,
tidak tergantung pada dukungan eksternal (Sears, dkk., 1985:53-56). 7 Perilaku
prososial dipengaruhi oleh tipe relasi antar-orang. Entah itu karena suka,
merasa berkewajiban, memiliki pamrih, atau empati, kita biasanya lebih sering
membantu orang yang kita kenal ketimbang orang yang tidak kita kenal. Meski
demikian, memberi pertolongan kepada orang asing bukanlah hal yang jarang
terjadi (Taylor, 2009:457). Empati merupakan respons yang kompleks, meliputi komponen
afektif dan kognitif. Dengan komponen afektif, berarti seseorang dapat
merasakan apa yang orang lain rasakan dan dengan komponen kognitif seseorang
mampu memahami apa yang orang lain rasakan beserta alasannya. Daniel Batson
menjelaskan adanya hubungan antara empati dengan tingkah laku menolong serta
menjelaskan bahwa empati adalah sumber dari motivasi altruistik (dalam Sarwono
& Meinarno, 2009:128). Menolong sebagai tingkah laku yang ditujukan untuk
membantu orang lain, dalam beberapa kasus bisa saja tidak dapat mencapai
tujuannya. Hal ini dapat disebabkan karena penolong tidak mengetahui kesulitan
korban yang sesungguhnya atau karena penolong tidak mempunyai keterampilan yang
dibutuhkan untuk menolong korban sehingga dapat berakibat fatal, baik bagi penolong
maupun yang ditolong. Misalnya, kasus tenggelamnya 5 orang mahasiswa UI di
pantai Anyer pada tanggal 13 Juli 2003. Awalnya hanya satu orang yang hanyut
dan beberapa orang temannya mencoba untuk menolong. Derasnya arus laut membuat
teman-temannya yang menolong akhirnya ikut hanyut (Sarwono & Meinarno,
2009:123). 8 Dalam mekanisme kehidupan bersama tetap diperlukan adanya perilaku
prososial. Pertolongan ini berperan menyeimbangkan kehidupan bersama.
Orangorang yang memiliki kelebihan membagikan kepada orang-orang yang
membutuhkan. Dalam situasi seimbang, kehidupan bersama yang saling menopang
akan berjalan terus. Sebaliknya, bila dalam situasi memerlukan pertolongan,
orang-orang yang lebih mampu ternyata acuh tak acuh, maka akan muncul
ketidakseimbangan. Dalam situasi di mana si kaya tetap menggunakan kelebihannya
bagi dirinya sendiri dan tidak membaginya dengan yang tidak mampu, maka mulai
muncul kecemburuan sosial. bila kecemburuan ini bersifat kumulatif, maka ia
tinggal menunggu saatnya untuk diledakkan. Bila suatu saat terdapat pemicu,
suatu kejadian yang di dalamnya ada clash kepentingan, maka tidak tertutup
kemungkinan akan terjadi konflik antarkelompok (Nashori, 2008:39-40). Untuk
mengetahui motivasi yang mendasari tingkah laku menolong, apakah selfless atau
selfish, sampai batas tertentu adalah sulit. Sebagian karena manusia tidak
selalu tepat dalam menyimpulkan penyebab tingkah laku seseorang dan sebagian
lagi karena manusia cenderung menampilkan diri mereka dengan cara-cara yang
dapat diterima secara sosial (dalam Sarwono & Meinarno, 2009:125). Pada
kalangan mahasiswa, perilaku prososial tentu tidak dapat dipisahkan dalam
kehidupannya sehari-hari. Hal ini karena setiap harinya mereka bertemu dengan
banyak orang yang besar kemungkinan terjadinya tindakan prososial antara yang
satu dengan yang lain. Pada hakekatnya di dunia ini tidak ada 9 manusia yang
mampu bertahan hidup sendiri tanpa bantuan dari makhluk di sekitarnya. Tidak
terkecuali pada mahasiswa fakultas psikologi Universitas Islam Negeri Maulana
Malik Ibrahim Malang, dari hasil observasi ketika mereka menjalankan kewajiban
sebagai seorang mahasiwa hampir setiap hari bertemu di kelas, sebagai contoh
waktu kegiatan belajar mengajar dimulai tentu di sana terjadi interaksi dan
kadangkala ada kegiatan belajar yang mengharuskan mereka membentuk kelompok
untuk mengerjakan suatu tugas mata kuliah. Dari kegiatan tersebut dapat diamati
perilaku para mahasiswa yang satu dengan yang lain. Ada yang tidak peduli
dengan pelajaran yang diikuti, otomatis dalam kelompok tersebut tidak semua
mahasiswa ikut mengerjakan tugas yang diberikan, dari kegiatan ini tentu
terjadi ketidakseimbangan sosial, karena dalam satu kelompok tersebut akan
memperoleh nilai yang sama meskipun tidak semua ikut mengerjakan kewajiban, malah
yang lebih mengherankan lagi malah yang tidak terlibat secara aktif mendapatkan
nilai yang lebih bagus dari yang serius mengerjakan. Sehingga suatu saat dapat
menjadi pemicu suatu kejadian yang di dalamnya ada clash kepentingan, maka
tidak tertutup kemungkinan akan terjadi konflik antarkelompok. Dengan
menyerahkan pekerjaan yang menjadi tanggungjawabnya kepada orang lain, individu
tersebut tidak memberi kesempatan kepada dirinya akan kemampuan yang dimiliki.
Meskipun begitu tidak sedikit mahasiswa yang mampu bekerjasama dengan baik,
mereka mampu mengeluarkan kemampuan dirinya untuk melakukan sesuatu untuk
dirinya dan orang lain. Jadi mereka tidak hanya mementingkan 10 dirinya tetapi
juga untuk orang di sekitarnya. Misalnya ketika mendapatkan tugas kelompok yang
dikerjakan di kelas, mereka akan membagi masing-masing anggota kelompoknya
materi yang dibutuhkan agar semua mendapatkan bagian untuk mengerjakan. Hal ini
bisa disebabkan karena faktor-faktor yang mempengaruhinya sejak kecil, seperti
pendidikan yang diberikan oleh orang tuanya di rumah, dan faktor sosial lain di
lingkungan pergaulan. Selain dalam kegiatan belajar ketika di luar jam
pelajaran juga didapati mahasiswa yang mau berbagi dengan temannya ketika
temannya ingin curhat dengannya tentang masalah yang dihadapi baik itu dengan
pacar, keluarga atau dengan sesama mahasiswa. Begitu juga ketika di sela-sela
pelajaran, ketika ada beberapa mahasiswa yang meminta bantuan untuk memberikan
santunan untuk korban bencan atau yang lain, sebagian besar ada yang memberikan
sumbangan namun sebagian yang lainnya cuek saja. Dengan adanya fenomena di
atas, peneliti ingin meneliti tentang “Hubungan antara Locus of Control dengan
Perilaku Prososial pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri
Maulana Malik Ibrahim Malang”. B. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah dari
penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana tingkat locus of control
mahasiswa fakultas psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim
Malang? 2. Bagaimana tingkat perilaku prososial mahasiswa fakultas psikologi
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang? 11 3. Adakah hubungan
antara locus of control dengan perilaku prososial pada mahasiswa fakultas
psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang? C. Tujuan
Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Untuk mengetahui tingkat locus of
control mahasiswa fakultas psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim Malang. 2. Untuk mengetahui tingkat perilaku prososial mahasiswa
fakultas psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. 3.
Untuk mengetahui hubungan antara locus of control dengan perilaku prososial
pada mahasiswa fakultas psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim Malang. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini
diharapkan dapat memberikan masukan dan manfaat terhadap disiplin ilmu
psikologi terutama tentang pembahasan locus of control dan perilaku prososial.
12 2. Manfaat Praktis a. Bagi Peneliti Selanjutnya Dari hasil penelitian ini diharapkan
menjadi motivasi tersendiri bagi peneliti untuk lebih mengembangkan keilmuannya
di bidang psikologi khususnya dalam pokok bahasan locus of control dan perilaku
prososial. b. Bagi Mahasiswa Harapan peneliti adalah bahwa penelitian ini dapat
dijadikan pengetahuan baru bagi para pembaca umum bukan hanya bagi mahasiswa
dalam bidang psikologi khususnya pemahaman mengenai locus of control dengan
perilaku prososial.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" : :Konsep motivasi menurut Nietzsche.." Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment