Abstract
INDONESIA:
Kehadiran globalisasi yang diikuti oleh kemajuan teknologi telah menyebabkan banyak perubahan yang cukup signifikan di berbagai penjuru dunia terutama di Negara berkembang seperti di Indonesia. Budaya popular menjadi suatu hal yang telah ada di mana-mana. Budaya pop saat ini tidak hanya menjadi dominasi budaya barat, akan tetapi Asia tepatnya di Korea juga mulai menjadi pengekspor budaya pop. Korea terbukti telah mampu mempengaruhi pasar dunia dengan keragaman budaya pop yang ditawarkannya, dan itu berdampak kepada gaya hidup dan identitas diri yang mengarah ke-Korea-an. Jika diperhatikan, budaya pop Korea telah merambah kota-kota di Indonesia. Ia berhasil mempengaruhi gaya hidup masyarakat sekitarnya yang ia datangi, tidak terkecuali di Malang. Budaya pop Korea mampu mempengaruhi para remaja di Malang yang dalam penelitian ini lebih di kategorikan kepada mahasiswa yang terwujud dalam fashion, gaya rambut, selera makan, tempat rekreasi, alat komunikasi yang digunakan, serta kepemilikan terhadap barang.
Melihat adanya fenomena yang terjadi diatas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak adanya budaya pop Korea terhadap gaya hidup dan identitas diri serta dinamika psikologis mahasiswa penyuka budaya pop Korea. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi dengan mahasiswa sebagai subjek utama. Informan berjumlah 3 orang yang dipilih dengan teknik purposive sampling. Data penelitian diperoleh melalui wawancara, observasi dan dokumentasi untuk pengelolahan data lebih mendalam. Analisis data yang dilakukan, menggunakan teknik analisis data interaktif.
Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan bahwa dampak dari adanya budaya pop Korea terhadap mahasiswa di Malang hanya sebatas menikmati dan tidak begitu berpengaruh terhadap gaya hidupnya. Adapun bentuk dari gaya hidup yang diadopsi dari kesemua subjek hanya dari segi selera memilih hiburan, kegiatan mengisi waktu luang dengan menonton tayangan Korea, dan bahasa yang agak sedikit meniru Korea. Adapun untuk perubahan identitas dari ketiga subjek masing-masing mememiliki tingkat perubahan identitas yang berbeda-beda. Subjek 1 (Nana) tidak ada perubahan yang berarti terhadap identitas diri karena faktor lingkungan sekitarnya yang masih kuat dengan budaya sebelumnya. Subjek 2 (Ceri) mengalami dilemma karena berada diantara dua lingkungan yang berbeda yang membuatnya harus menyesuaikan identitasnya dengan dua lingkungan tersebut. Subjek 3 (Nina) mengalami perubahan identitas ketika berkumpul bersama anggota fansclub yang terlihat dari berubahnya gaya hidup yang meniru Korea ketika berkumpul bersama penyuka Korea. Adapun dinamika psikologis dari masing-masing subjek terlihat dari adanya pola perubahan gaya hidup dan identitas diri yang tingkatannya berbeda dari masing-masing subjek
ENGLISH:
The presence of globalization are followed by progress in technology has led many the most significant change all over the world especially in developing countries such as in indonesia. Popular culture has become a thing exists everywhere. Pop culture now is not only being dominance of western culture, but asia precisely in korea also start to become exporter of pop culture. Korea proved to have been able to influence the world market with a variety of pop culture has to offer, and it's impact on the lifestyle and identity-leading to Korea's. If you notice, Korean pop culture has penetrated the cities in Indonesia. He managed to influence the lifestyle surrounding communities that he visited, not least in Malang. Korean pop culture is able to influence adolescents in Malang are further categorized in this study to students who materialized in the fashion, hairstyles, appetite, recreation, communication tools being used, as well as ownership of the items.
Looking at the phenomenon that occurs above, this study aims to determine the impact of the Korean pop culture to lifestyle and identity as well as the psychological dynamics of Korean pop culture enthusiasts of students. This research uses qualitative research methods with the phenomenology of approach with the students as the main subject. Informants amounted to 11 people who were chosen by purposive sampling technique. Research Data obtained through interviews, observation and data processing of documentation for more in-depth. The data analysis was carried out, using interactive data analysis techniques.
Based on the results of the study, pointed out that the impact of pop culture in Korea against the hapless student limited to enjoy and not so affect his lifestyle. As for the shape of its lifestyles adopted from all subject matter only in terms of taste choose entertainment, leisure activities by watching Korea impressions, and the language is a bit mimics Korea. As for the change of identity of these three subjects each mememiliki different levels of identity changes. Subject 1 (Nana) no meaningful change to the identity due to the surrounding environment which is still strong with formerly culture. Subject 2 (ceri) suffered because it is located between two's dilemma different environments which make it must adjust its identity with these two environments. Subject 3 (Nina) experienced a change of identity when gathered together members of fansclub seen from the change in lifestyle that mimic Korea Korea thrill when getting together. As for the psychological dynamics of each of the subjects seen from the change in lifestyle and patterns of identity different grades of each subject.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada akhir tahun 2012, demo buruh
untuk penuntutan upah muncul di berbagai media, baik itu layar kaca (televisi),
internet, radio, koran harian, dan majalah. Fenomena ini merupakan sesuatu hal
yang terus menarik perhatian publik mengenai apa yang melatarbelakanginya.
Pasalnya demo buruh tersebut bisa ditinjau dari berbagai macam sisi, yakni
memang dari para demonstran buruh kekurangan gaji kerja yang sesuai dengan
UMR/P (Upah Minimum Regional/Provinsi) maupun UMK (Upah Minimum) sehingga para
pengusaha pabrik memberikan upah yang memang kurang layak ataukah dari demonstran
yang kurang memiliki aspek komitmen terhadap perusahaan sehingga merasa kurang
dengan gaji yang telah didapatkan seiring dengan produktivitas yang
dihasilkannnya selama ini. Seperti demonstrasi buruh yang terjadi pada hari
Rabu, 3 Oktober 2012, di Kawasan Industri Pulogadung, Jakarta Timur. Demo yang
diikuti dengan aksi mogok kerja seluruh buruh di Indonesia, seperti yang juga
diperkuat dengan demo di Bekasi, Padang, Surabaya, dan lain tersebut menuntut
penghapusan outsourching dan penghapusan upah murah (dalam Adisty, 2012). Hal
tersebut mengundang respon Joko Widodo, Gubernur Jakarta menaikkan UMR sebesar
2,2 juta secara langsung. Berbeda dengan keputusan orang nomor satu di Jakarta
tersebut, Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Jakarta menolak apa yang
menjadi ketetapan UMR tanpa konfirmasi tersebut karena bisa 2 berdampak pada
efisiensi buruh, seperti PHK besar-besaran. Respon dari demonstrasi buruh
diikuti oleh wilayah lain di Indonesia. Tentu dilematis kondisi semacam itu.
Ada tiga perspektif kebenaran yang ditawarkan dari aktor pemeran kenaikan UMP/R
maupun UMK tersebut yaitu pemerintah (Kemenakertrans), pengusaha, dan buruh.
Tentu tidak serta merta mudah memutuskan pihak yang patut dibela ialah salah
satu dari ketiga aktor tersebut, melainkan semuanya, win-win solution. Jika
ditelisik realitas perekonomian, PDB Indonesia berada pada urutan 17 sedunia
sehingga patut untuk dibanggakan. Akan tetapi hal tersebut tidak berbanding
lurus dengan kemiskinan yang terjadi di Indonesia, ketika pada tahun 2012
apabila mengacu dewan PBB, sekitar 117 juta rakyat Indonesia berada dibawah
garis kemiskinan. Produktifitas ekspor dari dalam negeri juga masih defisit
dibandingkan total impor, menurut Suryamin, Kepala Badan Pusat Statistik,
dengan perhitungan bulan Januari – November impor naik sebesar 9,4 persen
(dalam Kompas edisi Kamis, 3 Januari 2012). Terlebih lagi saat ini menurut
pengamat ekonomi Sustainable Development Indonesia, Dradjat Hari Wibowo, serta
Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada, A.
Tony Prasetiantono, memaparkan bahwa pertumbuhan produktivitas tenaga kerja di
Indonesia lebih lamban daripada kenaikan upah dikarenakan kurangnya inovasi dan
teknologi dan 70% tenaga kerja di Indonesia masih tamatan sekolah menengah pertama
kebawah (dalam Kompas edisi Kamis, 20 Desember 2012; hal. 17). Fenomena
demonstrasi buruh tersebut merupakan efek dari kerjasama antara pengusaha dan
buruh. Pengusaha sebagai pimpinan dari kebijakan, 3 sedangkan buruh sebagai
karyawan yang orientasinya lebih besar dalam menjalankan kebijakan. Kedua aktor
inilah yang membuat peneliti tertarik untuk mengamati lebih dalam sisi komitmen
dari pelaksana dalam hal ini ialah karyawan, disisi lain ialah pengusaha dalam
hal ini pimpinan dari perusahaan. Sinkronisasi keduanya berperan penting dalam
memajukan perusahaan. Terlebih lagi era global menuntut persaingan yang semakin
luas, semakin tidak mudah menembus top rank prestasi, apalagi prestasi kebaikan
perusahaan. Saat tahun 2012 peneliti melakukan proses penelitian PKLI dari
kampus yang berjudul Evaluasi Kinerja PT PG Candi Baru dengan Pendekatan
Balanced Scorecard 2012 (sampai bulan Juni 2012), disana peneliti mengamati
tentang fenomena pentingnya menjaga kualitas sumber daya manusia dikala
perkembangan teknologi semakin berkembang. Perkembangan teknologi menuntut
diadakannya efisiensi, antara menambah peralatan canggih yang memiliki
konsekuensi putus hubungan kerja (PHK) karena meminimalisir output pengeluaran
gaji karyawan dengan mempertahankan karyawan demi menjaga kesejahteraannya.
Disini para pimpinan pabrik mengalami dilematis apa yang harus dilakukan
sehingga pada akhirnya mempertahankan karyawan supaya pengangguran tidak
terjadi ketika diadakan PHK. Efeknya pabrik dibawah naungan PT Rajawali
Nasional Indonesia (RNI) Tbk, sebagai salah satu perusahaan milik pemerintah
tersebut harus mengalah bahwa daya saing kualitas dan kuantitas
produktifitasnya dikalahkan dengan pabrik gula swasta. Peran sumber daya
manusia (SDM) sangat penting untuk diembangkan oleh pimpinan dan para elemen
perusahaan termasuk karyawan. Kecermatan dalam pola komunikasi yang
berkelanjutan merupakan sebuah kebutuhan, antara atasan dan 4 bawahan. Gaya
kepemimpinan menentukan bagaimana bawahan merespon dengan tingkah laku
kinerjanya sehari-hari, termasuk komitmen yang menjadi komponen penting dalam
laju maju mundurnya perusahaan. Pimpinan sebagai pemegang kebijakan sudah
semestinya cermat dengan memperhatikan aspirasi dari para bawahannya dalam
membuat keputusan, mengarahkan dengan baik, mengetahui permasalahan, serta
mampu menstimulasi dengan motivasi dan prestasi supaya bawahan mampu
menghasilkan yang terbaik dirinya, kemudian perusahaan. Gaya kepemimpinan
semacam itu tercakup dalam kepemimpinan transformasi. Menurut Bass (dalam
Tondok dan Rita, 2004; hal. 38) kepemimpinan transformasi adalah pola
kepemimpinan yang berkarakteristik mempunyai kharisma, inspirasional, mampu
memberikan stimulasi intelektual, dan perhatian individual. Adapun mengenai
perusahaan tentu didalamnya untuk menjabarkan dan melaksanakan tujuannya,
seorang pimpinan memakai perencanaan terorganisir sehingga pembentukan
organisasi yang efektif menjadi perlu. Organisasi merupakan sebuah sistem
sosial yang kompleksitasnya jelas terlihat melalui jenis, peringkat, bentuk, dan
jumlah interaksi yang berlaku. Sumber daya manusia yang berkualitas
professional di dalamnya merupakan hal penting dalam mengimbangi adanya laju
era globalisasi dalam organisasi. Keprofesionalan tersebut terimplementasikan
dari tiap-tiap komitmen para penyelenggara organisasi, apakah sesuai dengan
visi misi perusahaan. Suatu organisasi yang efektif apabila memiliki mayoritas
karyawan yang berkomitmen kuat pada organisasi, pasti berdampak pada
keselarasan bekerjasama sesuai dengan tujuan organisasi (collective collegial)
demi mewujudkan sasaran kedepan yang begitu kompleks. 5 Barangsiapa
penyelenggara organisasi di perusahaan yang tidak berkomitmen maka akan
mengancam perusahaan. Komitmen terhadap organisasi didefinisikan sebagai suatu
keadaan saat seorang individu memihak pada organisasi tertentu dan
tujuan-tujuannya serta berniat memelihara keanggotaan dalam organisasi itu
(Robbins, 1998; hal. 140). Menurut Steers (dalam Damayanti, 2003; hal. 131)
komitmen terhadap organisasi merupakan peristiwa dimana individu sangat
tertarik atau merupakan ketertarikan individu terhadap tujuan, nilai-nilai dan
sasaran organisasi. Jadi komitmen lebih dari sekedar keanggotaan, tetapi juga
meliputi kesediaan untuk mengupayakan yang terbaik bagi organisasi demi tujuan
organisasi. Tentu dalam pengaplikasian komitmen ini membutuhkan komando dari
pemimpin supaya komitmen dari para anggota mendapat umpan balik yang
diharapkan. Komando tersebut tergantung dari gaya kepemimpinan yang dianut di
tiap-tiap organisasi, terutama organisasi kerja yang ada di perusahaan.
Pemimpin sebagai pengarah kebijakan dengan menggunakan bantuan orang lain untuk
merealisasikan tujuannya. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Mc. Farland (dalam
Rahmadin, 2010; hal. 5) kepemimpinan adalah suatu proses dimana pemimpin
dilukiskan akan memberi perintah atau pengaruh, bimbingan atau proses
mempengaruhi pekerjaan orang lain dalam memilih dan mencapai tujuan yang
diterapkan. Menghadapi situasi yang demikian rumit terkait dengan kondisi
karyawan mogok kerja karena demonstrasi gaji seperti yang dipaparkan
sebelumnya, maka gaya kepemimpinan transformasi cenderung dibutuhkan karena
mampu mengenali kebutuhan bawahan. Bass (dalam Wutun, 2001, hal. 350),
menyatakan bahwa gaya kepemimpinan transformasi cenderung 6 membangun kesadaran
para bawahan mengenai pentingnya nilai kerja dan tugas mereka. Pemimpin
berusaha memperluas dan meningkatkan kebutuhan melebihi minat pribadi serta
mendorong perubahan tersebut kearah kepentingan bersama termasuk kepentingan
organisasi (Wutun, 2001, hal. 352) dengan menyetakan visi yang jelas dan
menarik, menjelaskan bagaimana visi tersebut bisa dicapai, bertindah secara
rahasia dan optimis, memperlihatkan keyakinan terhadap pengikut, menggunakan
tindakan dramatis dan simbolis untuk menekankan nilainilai penting, memimpin
dengan memberi contoh, memberikan kewenangan kepada orang-orang dibawahnya
untuk mencapai visi itu (Yukl, 2005; hal. 315- 319). Beberapa penelitian
sebelumnya memaparkan bahwa gaya kepemimpinan akan banyak mempengaruhi
aspek-aspek pekerjaan yang dilakukan oleh karyawan. Misalnya penelitian yang
berjudul hubungan gaya kepemimpinan dengan prestasi kerja karyawan di PT Adira
Finance. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa gaya kepemimpinan akan
mempengaruhi prestasi kerja karyawan sebesar 64% dan 36% lainnya dipengaruhi
faktor-faktor lain (dalam Nurita, 2008; hal. 82). Lain cerita dengan penelitian
yang berjudul hubungan gaya kepemimpinan transformasi dan transaksional dengan
komitmen karyawan pada organisasi Telkom dengan hasil berhubungan secara
positif kepemimpinan transformasi 45%, sedangkan kepemimpinan transaksional
berhubungan secara positif sebesar 52% (dalam Hermanto, 2004). Selain itu
dipenelitian lain yang berjudul hubungan antara persepsi karyawan tentang gaya
kepemimpinan transformasi dengan kinerja karyawan PT coca cola bottling
Indonesia dipaparkan ada hubungan positif diantara keduanya sebesar 37,4%
(dalam Paramitha, 2010; 7 hal. 95). Sedangkan penelititan terahir yang peneliti
dapatkan berjudul hubungan antara persepsi gaya kepemimpinan transformasi dan
transaksional dengan sikap karyawan terhadap pekerjaan menunjukkan hasil adanya
hubungan signifikan kepemimpinan transformasi dengan sikap karyawan sebesar
58,7% dan tidak signifikan (negatif) dari kepemimpinan transaksional sebesar
7,9% dengan keduanya berkorelasi signifikan sebesar 58,6% (dalam Rahmadin,
2010; hal. 103). Dari paparan data-data serta penelitian yang telah diuraikan
sebelumnya, maka perlulah pengamatan lebih dalam terhadap kepemimpinan
transformasi dengan komitmen organisasi. Penelitian dengan tema tersebut yang
telah di lakukan di Telkom sebelumnya, mungkin memiliki peranan yang berbeda di
instansi lain yaitu Bank Central Asia yang merupakan komoditas perbankan milik
swasta terbesar di Indonesia dengan pelayanan modern baik dari sisi pelayanan
terhadap nasabah oleh para karyawannya. Menggunakan prinsip SMART (Sigap,
Menarik, Antusias, Ramah, dan Teliti), pengelola SDM Bank BCA melaksanakan
pelayanannya secara professional dan berkualitas tinggi terhadap nasabahnya
(dalam Rosady, 2012). Oleh karena itu peneliti melakukan penelitian lebih
lanjut dengan judul “Peran Kepemimpinan Transformasi dengan Komitmen Organisasi
di BCA Kota Malang” 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di
atas, maka rumusan masalahnya adalah: 1. Bagaimana peran tingkat kepemimpinan
transformasi dengan tingkat komitmen organisasi di Bank BCA Kota Malang? 8 1.3
Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk
mengetahui peran antara tingkat kepemimpinan transformasi dengan komitmen
organisasi di BCA Kota Malang. 1.4 Manfaat Penelitian Berdasarkan tujuan
penelitian diatas, manfaat penelitian yang BCA lakukan adalah sebagai berikut :
1. Teoritis Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi, melengkapi
dan memperkuat teori perilaku organisasi, serta membantu pengembangan di bidang
psikologi organisasi, khususnya yang berhubungan dengan kepemimpinan
transformasi dan komitmen organisasi. 2. Praktis Hasil penelitian ini dapat
dimanfaatkan untuk bahan pertimbangan dalam membuat keputusan dan menentukan
kebijakan perusahaan untuk mewujudkan komitmen organisasi yang dipengaruhi oleh
kepemimpinan transformasi.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" : Identitas diri mahasiswa penyuka budaya Pop Korea di Malan" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment