Abstract
INDONESIA:
Kata santri bukanlah hal yang asing dan baru bagi masyarakat Indonesia. Bagi masyarakat Indonesia santri adalah pelajar yang sedang mendalami ilmu agama islam dan berusaha mengamalkan sebagai pedoman hidup keseharian. Seiring perkembangan zaman, santri tidak hanya mendalami ilmu agama islam di pesantren saja, namun juga mendalami ilmu umum dalam pendidikan formal. Sekarang banyak dijumpai mahasiswa yang sedang menuntut ilmu di perguruan tinggi, juga merupakan santri di suatu pondok pesantren / lembaga pendidikan berbasis keagamaan, sehingga selain berstatus sebagai mahasiswa juga berstatus sebagai santri. Sebagai seorang mahasiswa sekaligus santri tak lepas dari tekanan permasalahan yang dihadapi, baik permasalahan yang muncul dari statusnya sebagai mahasiswa maupun dari statusnya sebagai santri. Berbekal pengetahuan dan pengalaman agama yang dimiliki, mahasiswa santri melakukan tindakan koping berbasis religi sebagai strategi koping dalam rangka menanggulangi tekanan / stressor yang dialaminya.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dan bentuk penelitian kuantitatif komparatif, bertujuan untuk mengetahui tingkat religius koping mahasiswa santri dan mahasiswa bukan santri, serta mengetahui adakah perbedaan tingkat religius koping diantara dua subyek penelitian karena diasumsikan mahasiswa santri memiliki religius koping yang lebih tinggi dibanding mahasiswa bukan santri. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sebanyak 60 mahasiswa santri dan 60 mahasiswa bukan santri di UIN MALIKI Malang. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode kuesioner atau angket religius koping berjumlah 25 aitem dengan reliabilitas α=,713 untuk aspek religius practice, α=,846 untuk aspek negative feeling toward God, α=,684 untuk aspek benevolent reappraisal, α=,684 untuk aspek passive dan α=,684 untuk aspek active. Teknik analisa deskriptif digunakan dengan cara mengklasifikasikan dalam kategori tinggi, sedang atau rendah.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa : 1) tingkat religius koping mahasiswa santri mayoritas berada pada kategori sedang dengan prosentase 65%, 2) tingkat religius koping mahasiswa bukan santri mayoritas berada pada kategori sedang dengan prosentase 70%, 3) terdapat perbedaan tingkat religius koping antara mahasiswa santri dan mahasiswa bukan santri, yaitu tingkat religius koping mahasiswa santri lebih tinggi daripada mahasiswa bukan santri, dengan nilai religius koping pada mahasiswa santri adalah 111,887 dan nilai religius koping pada mahasiswa bukan santri adalah 94,417. Artinya hipotesis penelitian bersifat signifikan, mahasiswa santri memiliki tingkat religius koping yang lebih tinggi disebabkan mendapat dukungan sosial yang lebih besar karena berada di lingkungan agamis dan mendapatkan pelayanan dan pendidikan keagamaan secara intensif dan terstuktur.
ENGLISH:
The santri are nothing new and foreign for the Indonesian society. For the Indonesian society, santri are students who are learning deepen in Islamic sciences and attempted to practise as guidance in our daily lives. Over time, santri not only learning deepen in Islamic sciences at boarding school only but also learn deepen about common science in formal education. Now many students who are found studying in college, are a santri at Islamic boarding schools / religious- based institutions, beside as a collage student, has status as a santri. Being a collage student and santri at the same time do not making out of the pressure of problem of collage student and santri. Armed with the religious knowledge and religious experiences, santri collage student doing effort of religious based coping as the coping strategy in order to cope the pressure / stressor that happening.
This research use descriptive method and quantitative comparative shape, and the purpose of this research are to know the degree of religious coping of santri collage student and non santri collage student, and to know is there the defferences of the degree of religious coping between two group of subject research, because there is an assumption that santri collage student has higher degree of religious coping than religious coping of non santri collage student. This research used purposive sampling technique, the number of sample is 60 santri collage student and 60 non santri collage student that studying in UIN MALIKI Malang. Collecting data of the research used questionnaire method, the religious coping questionare amounts of 25 items with reliability value α=,713 for religius practice aspect, α=,846 for negative feeling toward God aspect, α=,684 for benevolent reappraisal aspect, α=,684 for passive aspect dan α=,684 for active aspect. Descriptive analysis technique is used for clasifying the skors of measurements to three categories; high, average, low.
The conclusions of the research are : 1) the degree of religious coping of santri collage student is at average level with amount of value = 65%, 2) the degree of religious coping of non santri collage student is at average level with amount of value = 70%, 3) there is a defference degree of religious coping of santri collage student and non santri collage student, that the degree of religious coping of santri collage student is higher than non santri collage student, with amount of value of santri collage student = 111,887 and amount of value of non santri collage student = 94,417. This result means that statement of hypothesis is significant, santri collage student has higher degree of religious coping because has higher social support in religious community and get religious service and education intensively and structurely
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Hampir
seluruh masyarakat nusantara tidak asing mendengar kata santri. Kata santri
sendiri diidentikkan bagi orang yang sedang belajar dan tinggal di pondok
pesantren yang kesehariannya mengkaji kitab-kitab salafi atau kitab kuning,
dengan mengenakan sarung, peci dan pakaian koko bagi laki-laki dan rok, baju
terusan panjang, dan kerudung bagi perempuan yang menjadi pelengkap dan
menambah ciri khas tersendiri bagi mereka. Seiring dengan berkembangnya
teknologi informasi dan tuntutan perkembangan zaman, banyak santri yang melanjutkan
studi mereka ke perguruan tinggi ataupun universitas, yang mana kegiatan yang
ada dalam lembaga perguruan tinggi ataupun universitas berbeda dengan kegiatan
pondok pesantren. Di dalam perguruan tinggi maupun universitas, sistem
belajarnya menuntut mahasiswa untuk lebih banyak mengkaji sendiri materi yang
perlu dipelajari, sedang di pondok pesantren sistem belajar dengan dipandu oleh
satu orang yang ahli dalam bidang ilmu tersebut. Dengan menjadi mahasiswa, para
santri sebenarnya dituntut untuk mengembangkan keilmuan yang telah diterima di
pondok pesantren sekaligus mempraktekkannya. Misalkan pelajaran tentang tata
cara mencari ilmu yang baik dan benar, santri diajarkan untuk menghormati guru
dan mengerjakan tugas yang diberikan oleh gurunya dengan sebaik-baiknya. Dalam
2 perkuliahan pun santri dituntut untuk mempraktekkan hal tersebut. Ketika ada
hal yang berseberangan pendapat dengan guru atau dosen maka santri tesebut
menyampaikan dengan tanpa megurangi rasa hormatnya terhadap orang yang telah memberikan
pengetahuan baru kepadanya. Santri dilatih untuk senantiasa mempraktekkan
ajaran agama mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi dalam rangka membina ruh
spiritual dalam diri santri. Kegiatan harian seperti shalat berjamaah,
pengajian kitab kuning, mengaji Al Quran, kebahasaan, taushiyah, kegiatan
mingguan seperti diskusi, membaca barzanji dan membersihkan pondok, hingga
kegiatan tahunan seperti peringatan hari besar. Rangkaian kegiatan tersebut
mereka ikuti tanpa mengabaikan kegiatan mereka sendiri sebagai mahasiswa.
Aktifitas sehari-hari santri ternyata memunculkan permasalahanpermasalahan.
Permasalahan utama yang sering dialami santri adalah perasaan terkekang akibat
peraturan-peraturan yang ketat yang dijalankan pondok, beban moral yang dialami
santri kepada orang tua dan masyarakat sekitar tempat tinggalnya terkait status
sebagai seorang santri, perbedaan status ekonomi dikalangan santri, yang
mengakibatkan santri merasa rendah diri atau minder (Purnomo, 2005, hal.2). Hal
tersebut dapat menyebabkan sebagian dari santri merasa stres walaupun sumbernya
berasal dari kegiatan sehari-harinya. Berkaitan tugas sebagai mahasiswa juga
berkecenderungan memunculkan stres. Stressor atau penyebab stres pada mahasiswa
dapat bersumber dari kehidupan akademiknya, terutama dari tuntutan eksternal
dan 3 tuntutan dari harapannya sendiri. Tuntutan eksternal dapat bersumber dari
tugas-tugas kuliah, beban pelajaran, tuntutan orang tua untuk berhasil di
kuliahnya, dan penyesuaian sosial di lingkungan kampusnya. Tuntutan ini juga
termasuk kompetensi perkuliahan dan meningkatnya kompleksitas materi
perkuliahan yang semakin lama semakin sulit. Tuntutan dari harapan mahasiswa
dapat bersumber dari kemampuan mahasiswa dalam mengikuti pelajaran (Heiman
& Kariv, 2005, hal.1). Sebagaimana Heiman & Kariv (2005), Alisyahbana
dkk (1977) juga menyatakan bahwa stres yang dialami oleh mahasiswa dikarenakan
beberapa sebab, antara lain yaitu studi akademis yang berbeda dengan studi yang
selama ini didapatkan disekolahnya dulu, cara belajar yang menuntut lebih
mandiri, perpindahan dan perbedaan lingkungan tempat tinggal, beban tugas
akademik yang lebih berat, pilihan jurusan yang diambil tidak berdasarkan bakat
minat, ketidak sanggupan berkonsentrasi dan kesulitan pergaulan. Mahasiswa dengan
sejumlah tuntutan akademik telah dapat menyebabkan dirinya mengalami stres.
Padatnya kegiatan dan peraturan didalam pondok juga dapat menyebabkan stres,
sehingga mahasiswa yang juga menjadi santri mempunyai beban dan sumber stres
yang cenderung lebih banyak dibanding mahasiswa yang lain. Berkaitan dengan
fase perkembangan, sebagian besar mahasiswa berada pada usia remaja yang
seringkali dihubungkan dengan stres yang bermuara dari berbagai sumber.
Sumber-sumber stres tersebut antara lain adalah peristiwa hidup, kesibukan
sehari-hari, dan faktor sosial budaya (Santrock, 4 2007, hal 295). Ketegangan
dan kerumitan peristiwa sehari-hari dapat menciptaan stres hidup yang tinggi.
Dan dalam beberapa kasus dapat menimbulkan gangguan psikologis atau sakit.
Dalam sebuah studi yang dilakukan Tolan, Miller dan Thomas, 1988, orang-orang
yang mengalami kerumitan sehari-hari adalah orang yang memiliki gambaran diri
yang paling negatif. Dampak negatif secara fisiologis antara lain gangguan
kesehatan, daya tahan tubuh yang menurun terhadap penyakit, sering pusing,
badan terasa lesu, lemah, dan insomnia. Dampak perilaku yang muncul antara lain
menunda-nunda penyelesaian tugas kuliah, malas kuliah, penyalahgunaan obat dan
alkohol terlibat dalam kegiatan mencari kesenangan yang berlebihlebihan serta
berisiko tinggi (Heiman & Kariv, 2005, hal.3). Allah menciptakan manusia
dengan segenap keunikan. Sejak manusia dilahirkan, sudah mulai belajar mengenal
sifat-sifat lingkungannya, dan bagaimana cara menghadapinya. Proses ini terus
berputar menerus dalam kehidupannya. Dalam proses itu, ada tuntutan terhadap
masalah yang mewarnai kehidupan emosional seseorang. Bisa jadi emosi positif,
cinta, bahagia, dan senang; atau emosi negatif, rasa takut, cemas, marah,
tertekan, dan rasa bersalah. Situasi yang menekan tersebut menjadi pemicu
timbulnya stres. Stres adalah respon individu terhadap stressor, yaitu situasi
dan peristiwa yang mengancam mereka dan menuntut kemampuan koping mereka. Dalam
penelitian Hans Selye (1974, 1983) disebutkan bahwa semua 5 stressor dapat
mengakibatkan reaksi tubuh bahkan gejala-gejala yang serupa, seperti kehilangan
nafsu makan, kelemahan otot, dan menurunnya minat terhadap dunia sekitar
(Hawari,1996). Stressor yang akut dan kronis berkaitan dengan menurunnya fungsi
sistem kekebalan tubuh (Kiecoll-Glaser & kawankawan, 2002). Stressor
dianggap sebuah faktor penting bagi kesehatan mental dan tingginya tingkat
stress berkaitan dengan depresi dan usaha bunuh diri (Nolen-Hoeksema, 2004)
(dalam Santrock, 2007, hal.295). Tubuh akan bereaksi dan menunjukkan
gejala-gejala fisiologis stress, sebagaimana yang dijelaskan Dadang Hawari,
bahwa anggota tubuh seperti rambut kepala, mata, mulut, kulit, jantung,
lambung, usus, saluran air seni, libido, pernafasan, kadar gula darah dan daya
pikir akan mengalami gangguan. Selain itu gangguan yang dirasakan tubuh ketika
terkena stress ialah otot tubuh terasa keju, sehingga mengeluh pegal linu,
badan lemah, selalu gelisah, tidak bisa santai, tidak pernah merasa fit. Dan di
bidang emosional akan menjadi mudah marah atau sebaliknya menjadi pemurung
(Hawari, 1996, hal.97). Stressor dalam bahasa agama disebut sebagai musibah,
dan kemampuan untuk mengatasi dan memecahkan masalah telah dijelaskan dalam
kitab suci Al Quran dalam surat Ath-Thalaaq ayat 7 : ÇÐÈ # Z ô£ç 9 ô£ã ã y÷èt/ ª !$# ã@yèôfuy 4 $yg8s?#uä !$tB wÎ) $²¡øÿtR ª !$# ß #Ïk=s3ã w
”Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah
berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.”
6 Kemampuan mengatasi stres disebut koping. Salah satu dari banyak keterangan
para peneliti yang menjelaskan tentang koping adalah penjelasan dari Lazarus
dan Folkman yaitu upaya secara kognitif dan perilaku yang ditujukan utnuk mengelola
tuntutan-tuntutan spesifik dari internal maupun eksternal, bahwa well being
tidak ditentukan oleh cara individu mengatasi (cope) terhadap stres. Koping ini
bisa dilakukan dengan cara menfokuskan diri untuk menyelesaikan masalah
(problem focuse coping) atau dengan melampiaskan diri pada emosi yang
disebabkan pada masalah (emotional focus coping). Selain dari dua pola koping
diatas, terdapat cara koping yang didasarkan pada keyakinan dan pengetahuan
terhadap agama sehingga dikenal sebagai religius koping. Penelitian memuktikan
bahwa religiusitas dan spiritualitas mempunyai peran dalam upaya menanggulangi
stres yang dialami individu. Diantaranya dalam Journal of Counseling and Values
(2001) berjudul “Religion and Spirituality in Coping with Stress” menerangkan
bahwa agama dan spiritualitas berkolerasi positif dalam mengatasi stres. Hill
& Pargament (2003) menjelaskan dalam jurnal Advances in the
Conceptualization and Measurement of Religion and Spirituality, religiusitas
dan spiritual merepresentasikan suatu hal yang berhubungan daripada konteks
yang berdiri sendiri. Pargament (1997) melakukan banyak penelitian terkait
religius dan dalam penemuannya membuktikan bahwa religius koping berpengaruh
terhadap kesejahteraan seorang individu. 7 Religi dan spiritualitas bisa
memiliki peran yang penting dalam mengatasi stres. Hal ini dibuktikan dengan
semakin banyaknya penelitian yang menguji hubungan antara religiusitas dengan
berbagai aspek kehidupan. Hasilnya yaitu ditemukannya hubungan positif antara
religiusitas dengan kebahagiaan (Lewis, 2000), religiusitas dengan
kesejahteraan (French & Joseph, 1999), bahkan Koenig & Larson telah
mengkaji 850 penelitian dan menemukan adanya hubungan positif antara
religiusitas dengan kesehatan mental (dalam Utami, 2012, hal.48). Dan bagi
orang muslim cara menemukan makna dan tujuan dalam hidup serta mempercayai dan
mengandalkan pada kekuatan yang lebih tinggi itu melalui pendekatan diri pada
Tuhan. Prakteknya meliputi pelaksanaan ibadah dan pemaknaan pengalaman hidup.
Pargament (1997) memiliki pandangan bahwa religi dapat menjadi sentral dari
bagian konstuksi koping. Agama mempunyai peran penting dalam mengelola stres,
agama dapat memberikan individu pengarahan/bimbingan, dukungan dan harapan,
seperti halnya pada dukungan emosi. Melalui keyakinan beragama, berdoa, dan
ritual keagamaan, individu mengelola stres yang dialaminya, karena hal tersebut
dapat memberikan pengharapan dan kenyamanan. Mahasiswa santri adalah mahasiswa
dari suatu perguruan tinggi atau universitas yang nyantri di pondok pesantren
maupun santri dari pondok pesantren yang melanjutkan studinya di suatu perguran
tinggi atau universitas. Mahasiswa santri ini memiliki dua peran yang diampu
sekaligus olehnya, yaitu peran sebagai mahasiswa di suatu perguruan atau universitas
8 dan peran sebagai santri di pondok pesantren. Dua peran ini adalah memiliki
sisi yang berbeda, dimana mahasiswa adalah orang yang setidaknya memiliki tiga
unsur dalam dirinya, yaitu kebebasan berpikir, kemerdekaan berpikir dan
kebebasan berkehendak (Robbani, 2012, hal.1). Mahasiswa meyakini tidak ada
kebenaran yang absolute, semua orang berhak atas pemikirannya sendiri dan
menganggap bahwa dosen adalah orang yang menjadi perantara ilmu, bukan sebagi
orang yang memberi ilmu. Selain sebagai mahasiswa, mahasiswa santri juga
mempunyai peran sebagai santri, yaitu orang yang sedang menimba ilmu agama dan
berusaha mempraktekkan ilmu ajaran agamanya dalam rangka mendekatkan diri
kepada Sang Pencipta. Kegiatan sehari-hari santri ditujukan dalam rangka
meningkatkan religiusitas mereka, hal inilah yang peneliti asumsikan membedakan
kemampuan koping religius mahasiswa santri dengan mahasiswa yang bukan santri.
Hal ini dikarenakan mahasiswa santri memiliki peluang mengembangkan
religiusitas yang lebih tinggi dibanding dengan mahasiswa bukan santri, karena
pendidikan yang diterima di pondok ditujukan pada peningkatan religiusitas
santri melalui melalui metode keteladanan, latihan dan pembiasaan, ibrah (makna
dan pelajaran dari peristiwa), nasihat (mau’idzah hasanah), disiplin, mandiri,
dan targhib wa tahzib (janji dan ancaman). Enam metode-metode pendidikan
tersebut diberikan di pondok dan terintegrasikan dengan kegiatan-kegiatan yang
menunjang pembinaan religiusitas santri, sehingga penulis asumsikan mahasiswa
santri memiliki religius koping yang lebih tinggi dibanding mahasiswa yang
bukan santri. 9 Berdasarkan sudut pandang teoritis dan realitas empirik yang
dijelaskan di atas maka peneliti tertarik untuk mengambil judul “Religius
Koping Pada Mahasiswa Santri dan Mahasiswa Bukan Santri di Universitas Negeri
Maulana Malik Ibrahim Malang.” B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan gambaran diatas,
dapat dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimana
tingkat religius koping mahasiswa santri ? 2. Bagaimana tingkat religius koping
mahasiswa bukan santri ? 3. Apakah ada perbedaan tingkat religius koping pada
mahasiswa santri dan mahasiswa bukan santri ? C. TUJUAN Berdasarkan rumusan
masalah tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah untuk : 1. Mengetahui tingkat
religius koping mahasiswa santri 2. Mengetahui tingkat religius koping
mahasiswa bukan santri 3. Mengetahui adanya perbedaan tingkat religius koping
mahasiswa santri dan mahasiswa bukan santri D. MANFAAT Secara garis besar
penelitian ini memiliki dua manfaat utama, yaitu 10 manfaat teoritis dan
manfaat praktis : a. Manfaat teoritis : secara umum penelitian ini memberikan
pengetahuan baru, melalui pengujian dan pengembangan konsep dan teori ilmu
psikologi dan agama. Hal ini sejalan dengan visi dan misi Universitas Islam
Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang yang memiliki semangat mengkaji
integrasi ilmu pengetahuan umum dengan ilmu agama, sehingga diharapkan
penelitian ini dapat memberikan sumbangsih terhadap perkembangan keilmuan,
khususnya Fakultas Psikologi b. Manfaat praktis : secara khusus penelitian ini
memberikan kontribusi praktis, terutama dalam bidang pengembangan dan
peningkatan kualitas mutu mahasiswa dan santri. Manfaat ini tertuju pada : 1.
Peneliti : peneliti dapat mengembangkan layanan dan penanganan konseling
berorientasi pada kemampuan mengatasi beban stres mahasiswa baik baik yang
berdomisili di pesantren maupun tidak. 2. Pesantren : pesantren memperoleh
informasi dan mengatur kegiatan-kegiatan di pesantren dalam rangka meningkatkan
religiusitas santri. 3. Fakultas Psikologi : berdasarkan hasil penelitian ini,
lembaga mampu menyediakan tenaga ahli dan profesional untuk memberikan layanan
bantuan dan mengembangkannya sesuai dengan kebutuhan lapangan.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" : Religius koping pada mahasiswa santri dan mahasiswa bukan
santri di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang." Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah iniDOWNLOAD
No comments:
Post a Comment