Abstract
INDONESIA:
Sistem kewarisan yang selama ini banyak dianut di Indonesia yaitu hukum kewarisan Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah hasil ijtihad Imam Syafi’i yang terbentuk dari hukum masyarakat Arab. Dalam hal ini Hazairin mempunyai pandangan lain mengenai hukum kewarisan dengan menggunakan konsep yang sesuai dengan sistem kekeluargaan yang ada di Indonesia. Hazairin membagi sistem kewarisan menjadi tiga bagian yaitu: yang pertama dzu al-faraidl istilah ini juga diapakai oleh Syafi’i maupun Hazairin, yang kedua adalah dzu al-qarabat, dalam hal ini Hazairin menolak konsep ‘ashabah sebagaimana diterapkan Syafi’i, Hazairin menyebut ‘ashabah dengan istilah dzu al-qarabat, dzu al-qarabat adalah seorang yang menerima sisa harta dalam keadaan tertentu, kemudian pembagian Hazairin yang ketiga adalah mawali, adalah mereka yang mewarisi harta sebab menggantikan kedudukan orang tua mereka yang lebih dahulu meninggal.
Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu; 1) apa yang menjadi dasar normatif dan sosiologis dalam kewarisan Bilateral? 2) mengapa dalam sistem kewarisan Bilateral Hazairin menghapuskan ashabah?
Untuk menjawab rumusan masalah tersebut, maka metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian normatif dengan pendekatan deskriptif analitis, yaitu memberi gambaran terhadap suatu obyek penelitian yang diteliti melalui data yang telah terkumpul kemudian membuat kesimpulan dari data tersebut. Adapun sumber data yang digunakan meliputi data sekunder dan data primer. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis komparatif.
Hasil dari penelitian ini yaitu, 1. Dasar normatif pemikiran Hazairin secara keseluruhan adalah pola pemahaman mengenai ayat-ayat dalam Surat An-Nisa khususnya dibidang pernikahan dan kewarisan.Beliau memahami ayat yang terkandung dalam Al-Quran dan hadist dengan hukum adat yang tengah berlaku pada sistem kekeluargaan yang ada di Indonesia yaitu sistem kekeluargaan bilateral.Dasar sosiologis yang mendasari pemikiran Hazairin adalah latar belakang Hazairin mengenai hukum adat dan lingkungan keluarga Hazairin,2. Menurut Hazairin, sistem kewarisan Bilateral menghapuskan ashabah yaitu kata ashabah tidak terdapat dalam Al-Quran dan hadist. Namun, al-Quran dan hadist hanya memperhatikan pengertian dzawul arham, dan dalam al-Quran hanya terdapat kata awlad, walidan, ikhwatun, mawali, selanjutnya dalam aqrabun, dan dzawul aqruba.
ENGLISH:
ENGLISH:
Inheritance system that has been widely adopted in Indonesia, namely inheritance law ofSunnite Schoolespecially,
of ijtihad of Imam Shafi'i that is formed from Arab society. In this case Hazarin has other views regarding inheritance law by using the concept in accordance with the existing kinship system in Indonesia. Hazarin inheritance system divides into three parts: the first is dzu al-faraidl, term is also used by the Shafi'i and Hazarin, the second is dzu al-qarabat, in this case Hazarin rejects the concept of Ashabah as Syafi’i applied, Hazarin callsAshabah with terms of dzu al-qarabat and dzu al-qarabat are a recipient of the rest of the property under certain circumstances, then the third is mawali, are those who inherit wealth because their parents who die first
The problems of this study are; 1) what is the normative and socialbasisHazairin’s Bilateral inheritance? 2) why does Hazairin eliminate Ashabah in the Bilateral inheritance system?
To answer the problem formulation, the method used normative with descriptive analysis approach, which was giving a picture of an object of research studied through data that had been collected and making conclusions from these data. The sources of the data were secondary data and primary data. Analysis of the data in this study used a comparative analysis.
The results of this research, namely, 1. the overall basic of Hazairin thoughtwas the pattern of the verse in Surah An-Nisa, especially in the field of marriage and inheritance. He understood the verse that was contained in the Quran and hadith with the customary law prevailing in the family system in Indonesia that meant bilateral kinship system. Sociological basic that was underlying Hazairin thought was the background of Hazairin about customary law and Hazarin family environment, 2. in Hazairin thought, Bilateral inheritance system eliminatedAshabah, according to Hazairin, the word of Ashabahwas nothing in the Quran and hadith, however, the Qoran and the hadith only showed ulu al-arham sense, had clearly divided in the Qoran into Awlad, walidan, ikhwatun, mawali, next in aqrabun, and ulu al-aqruba
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kehidupan manusia bermula dari lahir, hidup
dan mati. Semua prosestersebut membawa pengaruh dan akibat hukum terhadap
sekitarnya, terutama dengan orang yang dekat dengannya, baik dekat dalam segi
keturunanmaupun yang lainnya. Kelahiran seseorang kedunia membawa akibat
timbulnya hak dan kewajiban bagi dirinya dan orang lain serta timbulnya
hubungan hukum antara dia dengan orang tua, kerabat, dan masyarakat lingkungan
yang ada disekitarnya. 2 Sepanjang kehidupannya sejak bayi, anak-anak, kemudian
tamyiz, usia baligh dan usia selanjutnya, manusia bertindak sebagai penanggung
hak dan kewajiban, baik menjadi seorang pribadi, atau menjadi anggota keluarga,
atau bahkan menjadi warga negara, dan pemeluk agama yang harus patuh, dan taat
kepada ketentuan syari‟at dalam kehidupannya. Demikian juga kematian, seorang
membawa pengaruh dan akibat hukum baik bagi dirinya, keluarga, masyarakat dan
lingkungan yang ada di sekitarnya. Selain itu, kematian juga menimbulkan
kewajiban orang lain bagi dirinya (si mayit) yang berhubungan dengan pengurusan
jenazahnya yang hukumnya fardlu kifayah. Dengan demikian timbul pula akibat
secara otomatis, yaitu adanya hubungan ilmu hukum yang menyangkut hak bagi para
keluarganya yang disebut ahli waris terhadap seluruh harta peninggalan yang
dimilikinya. Waris merupakan salah satu kajian ilmu fiqih yang sangat
penting.Adapun kata mawaris merupakan jama‟ dari kata mirats yang berarti pusak
atau disebut juga harta peninggalan.Dengan demikian semua harta peninggalan
orang yang telah wafat yang diterima oleh para ahli waris disebut dengan
mirats.Orang yang meninggal dunia dan meninggalkan benda dinamakan muwaris,
sedangkan orang yang berhak menerima harta benda disebut waris atau ahli waris.
Istilah tirkah atau terkadang disebut tirkah, dijelaskan dalam firman Allah
Surat An-Nisa‟ ayat 7 yang memiliki maksud maka dapatlah dimengerti bahwa harta
peninggalan mempunyai arti yang sama dengan mirats yakni harta peninggalan,
jadi harta yang ditinggalkan oleh seseorang yang meningal dunia dinamakan
tarikah si mati atau tarikatul mayyit. 3 Beberapa pengertian tentang ilmu
mawaris yang telah disebutkan fuqoha, antara lain definisi yang ditulis oleh
Prof. T.M. Hasbi Ash- Shiddiqi dalam bukunya Fiqh al-mawaris, bahwa ilmu
mawaris adalah ilmu yang dengan dia dapat mengetahui orang yang berhak menerima
warisan, orang yang tidak dapat menerima warisan, dan kadar yang diterima oleh
tiap-tiap ahli waris dan cara pembagiannya. Adapun maksud dari uraian tersebut
bahwa ilmu waris itu memaparkan tentang kriteria ahli waris, yang menyebabkan
seorang tersebut menjadi ahli waris, persyaratan yang harus dipenuhi agar mereka
memperoleh harta waris.Disamping itu juga memaparkan tentang
permasalahan-permasalahan yang terdapat disekitar pembagian warisan itu.1 Dalam
bukunya, Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid yang berjudul Panduan waris empat
madzhab menyebutkan bahwa ilmu waris adalah kajian fikih yang berkaitan dengan
persoalan-persoalan waris, kajian mengenai seseorang kapan dia menjadi ahli
waris dan kapan seseorang tesrsebut tidak mendapatkan warisan, menjelaskan
mengenai takaran yang di dapat dari harta peninggalan jika dia menjadi ahli
waris, dan ilmu yang mengupas pembagian harta warisan kepada ahli waris
perempuan, serta segala hal yang masih berkenaan tentang warisan. Dalil-dalil
akan legalitas ilmu ini berasal dari Al-Quran, As-Sunnah dan kesepakatan para
ulama. Dalil yang terdapat dalam Al-Quran adalah ayat-ayat tentang waris pada
bagian yang diterima ahli waris. Sementara dalil dari 1 Hasniah Aziz, Hukum
Warisan Dalam Islam, (Solo: CV. Ramadhani, 1987), h. 13. 4 sunnahseperti dalil
Nabi Muhammad SAW. yang diriwayatkan Al-Bukhari Muslim,”Berikanlah warisan
kepada orang yang berhak. Adapun sisanya, maka prioritas utama adalah diberikan
kepada anak laki-laki.2 Islam telah menetapkan bahwa terdapat tiga ikatan atau
hubungan yang menyebabkan seseorang mempunyai hak memperoleh harta peninggalan
atau harta pusaka yaitu hubungan kekeluargaan atau pertalian darah seperti
anak, ibu, bapak, nenek, cucu, saudara, dan lain sebagainya, hubungan ikatan
perkawinan yakni suami atau isteri, dan hubungan agama untuk kemaslahatan umum.
Sistem pengelompokan ahli waris dalam Islam ditinjau dari segi hak dan
bagiannya ada 3 (tiga) bagian, yakni: dzual-faraidl yakni ahli waris yang
berhak mendapatkan bagian tertentu dari harta peninggalan, kemudian dzual-arham
adalah ahli waris yang tidak memiliki hak mendapat bagian tertentu (furudl) dan
juga tidak memiliki hak mendapat ashabah karena pertalian dan hubungan
kekeluargaannya terbilang jauh, selanjutnya ashabah adalah ahli waris yang
tidak memndapatkan bagian tertentu tetapi mereka berhak seluruh harta
peningalan jika tidak ada dzual-furudl, dan atau berhak mendapatkan seluruh
sisa harta peninggalan setelah dibagikan kepada dzu al-faraidl, atau tidak
menerima apa-apa karena harta peninggalan sudah habis dibagikan kepada dzu
al-faraidl. Uraian diatas adalah sistem kewarisan yang selama ini banyak dianut
di Indonesia yaitu hukum kewarisan Ahlu al-Sunnah wa al-Jama‟ah hasil ijtihad
Syafi‟i yang terbentuk dari hukum masyarakat Arab. Dalam hal ini terdapat 2
Muhammad Muhyidin Abdul Hamid, Panduan Waris Empat Madzhab, (Jakarta: Pustaka
AlKautsar, 2006), h. 3. 5 mujtahid yang berbeda pandangan mengenai hukum
kewarisan, dan beliau adalah Hazairin. Hazairin membagi sistem kewarisan
menjadi tiga bagian yaitu: yang pertama dzu al-faraidl istilah ini juga diapakai
oleh Syafi‟i maupun Hazairin, yang kedua adalah dzu al-qarabat, dalam hal ini
Hazairin menolak konsep „ashabah sebagaimana diterapkan Syafi‟i, Hazairin
menyebut „ashabah dengan istilah dzu al-qarabat, dzu al-qarabat adalah seorang
yang menerima sisa harta dalam keadaan tertentu, kemudian pembagian Hazairin
yang ketiga adalah mawali, adalah mereka yang mewarisi harta sebab menggantikan
kedudukan orang tua mereka yang lebih dahulu meninggal.3 Dari sekilas uraian
mengenai pemikiran Hazairin, peneliti tidak menemukan ashabah dalam sistem
kewarisan yang dikemukakan oleh Hazarin.Dalam hal ini peneliti ingin mengetahui
Pemikiran Hazairin dalam Sistem Kewarisan Bilateral fokus pada menghapuskan
ashabah.Maka dari itu perlu diadakan penelitian yang mendalam dan peneliti
mengangkat judul Pemikiran Hazairin Mengenai Penghapusan Ashabah dalam Sistem
Kewarisan Bilateral.Diharapkan dengan adanya skripsi ini bisa memberikan sebuah
kontribusi pemikiran dan khazanah keislaman yang ada. 3 Abdul Ghofur Anshori,
Filsafat Hukum Kewarisan Islam Konsep Kewarisan Bilateral Hazairin,
(Yogyakarta: UII Press, 2005), h. 80. 6 B. Batasan Masalah Untuk lebih fokus
terhadap pembahasan pada penelitian ini yang telah diuraikan pada latar
belakang, maka perlu adanya batasan masalah pada pemikiran Hazairin mengenai
konsep sistem pembagian waris.Dari konsep yang ditawarkan hazairin ada tiga
konsep sistem pengelompokan ahli waris, dan peneliti fokus pada penghapusan
ashabah serta melacak akar pemikiran Hazairin mengenai penghapusan ashabah.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan pada latar belakang yang
telah diuraikan diatas, peneliti dapat memaparkan rumusan masalahnya sebagai
berikut: 1. Apa yang menjadi dasar normatif dan sosiologis dalam kewarisan
bilateral Hazairin? 2. Mengapa dalam Sistem Kewarisan Bilateral Hazairin
menghapuskan ashabah?
C.
Tujuan
Penelitian
Setiap penelitian tentu saja tidak terlepas
dari tujuan-tujuan tertentu yang senantiasa terkait dengan pokok masalah yang
menjadi inti pembahasan dan selanjutnya dapat dipergunakan sehingga dapat pula
diambil manfaatnya. Adapun penyusunan skripsi ini bertujuan sebagai berikut: 1.
Untuk menjelaskan yang menjadi dasar normatif dan sosiologis dalam kewarisan
bilateral Hazairin. 2. Untuk menjelaskan Pemikiran Hazairin mengenai Sistem
Kewarisan Bilateral menghapuskan ashabah.
E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat secara teoritis Untuk
memperkaya khazanah keilmuan dibidang waris khususnya pemikiran Hazairin
mengenai sitem pembagian waris penghapusan ashabah.Serta bisa dijadikan bahan
perbandingan penelitian yang berkenaan dengan pemikiran Hazairin dalam hal
waris. 2. Manfaat secara aplikatif Sebagai kontribusi pemikiran serta bahan
rujukan bagi peneliti selanjutnya dan masyarakat sosial untuk menyelesaikan
permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan waris
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi al-Ahwal al-Syakhshiyyah" : Pemikiran Hazairin mengenai penghapusan ashabah dalam sistem kewarisan bilateral" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
No comments:
Post a Comment