Abstract
INDONESIA:
Sehubungan dengan batas usia perkawinan dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974, pada 5 Maret 2014 Ketua Dewan Pengurus Yayasan Kesehatan Perempuan dan sejumlah lembaga dan aktivis perlindungan wanita dan anak mengajukan permohonan judicial review terhadap Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU No. 1 Tahun 1974. Alasan permohonan pengujian undang-undang tersebut antara lain, aturan tersebut telah melahirkan banyak praktik perkawinan anak, khususnya anak perempuan dan bertentangan dengan Perundangan-undangan yang mengatur batas usia dewasa lainnya.
Dalam penelitian ini, penulis merumuskan beberapa rumusan masalah, diantaranya yaitu: 1) Bagaimana tinjauan UU No. 39 Tahun 1999 dan UU No. 23 Tahun 2002 terhadap Putusan judicial review Mahkamah Konstitusi No. 30-74/PUU-XII/2014 mengenai batas usia perkawinan? 2) Adakah upaya untuk mencegah conflict of norm antara UU No. 39 Tahun 1999 dan UU No. 23 Tahun 2002 dengan Putusan judicial review Mahkamah Konstitusi No. 30-74/PUU-XII/2014 mengenai batas usia perkawinan?
Penelitian ini termasuk ke dalam jenis penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, dan pendekatan kasus. Bahan-bahan hukum dari penelitian ini berasal dari bahan hukum sekunder, seperti buku mahkamah konstitusi, buku yang berkaitan dengan dengan perlindungan anak dan HAM khususnya hak asasi perempuan. Metode analisis yang digunakan yaitu analisis deskriptif selanjutnya dengan menjabarkan alasan untuk keputusan tersebut. Dan metode pengolahan bahan hukum dengan cara editing, coding, rekonstruksi bahan hukum dan sistematis bahan hukum.
Dari hasil penelitian, diperoleh kesimpulan bahwa konsekuensi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut bertentangan dengan UU No. 23 Tahun 2002 yang mewajibkan orang tua untuk mencegah terjadinya perkawinan di usia anak-anak. Selain itu juga bertentangan dengan UU No. 39 Tahun 1999 yang mensyaratkan perkawianan atas dasar kehendak sendiri sehingga perkawinan paksa telah melanggar hak asasi manusia. Untuk itu harmonisasi perundang-undangan dapat dijadikan sebagai upaya untuk menjaga keselarasan dan mencegah adanya konflik antar perundang-undangan. Juga harus diharmonisasikan dengan asas pembentukan perundang-undangan yang baik.
ENGLISH:
Regarding to the law No.1 Year 1974, on 5th March 2014 about the marriage age limit, Chairman of the Board Women's Health Foundation with a number of institutions and the protection of women and child activists filed a judicial review application of Article 7, clause (1) and (2) of Law No. 1 Year 1974. The reason for testing law petition is the rule has spawned a lot of child marriage practice, particularly girls and contrary to legislation and regulations governing other adult age limit.
In this research, the authors formulate some formulation of problems, among which are: 1) How does a review of Law No. 39 of 1999 and Law No. 23, 2002 against a judicial review of the Constitutional Court No. 30-74/PUU-XII/ 2014 regarding the marriage age limit? 2) Are there efforts to prevent conflict of norm between the Law No. 39 of 1999 and Law No. 23, 2002 with a judicial review of the Constitutional Court No. 30-74/PUU-XII/2014 regarding the marriage age limit?
This study included into normative law research by using legislation approach and case approach. Viewed from the approach, the legal materials of this research comes from secondary law, such as the constitutional court books, related book to child protection and human rights, especially women's rights. The analytical method used is descriptive analysis by outlining the reasons for the verdict. Legal materials and Processing methods by means of editing, after that coding or marking on the material law , then the reconstruction of legal material and the last is a systematic legal materials.
From the research, we concluded that the consequences of the Constitutional Court verdict is contrary to the Law No. 23 of 2002 on Child Protection that obligates parents to prevent marriage at the children age. It is also contrary to the Law No. 39 of 1999 on Human Rights, which requires the marriage on the basis of his own free will that forced marriage has violated human rights. For the harmonization of legislation can be used as an effort to keepconformity and prevent potential conflict in legislation. Also have to be harmonized with the principle of good legislationestablishment.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring perkembangan peradaban manusia yang semakin maju, masalah yang timbul dalam bidang hukum keluarga pun ikut berkembang, tidak terkecuali masalah perkawinan. Perkawinan merupakan salah satu perbuatan hukum yang sudah melembaga dalam kehidupan masyarakat. Perkawinan merupakan faktor yang paling penting sebagai salah satu sendi kehidupan dan susunan masyarakat Indonesia. Tidak hanya itu, perkawinan juga merupakan masalah hukum, agama dan masyarakat. Di dalam lingkungan peradaban barat maupun yang bukan barat, perkawinan merupakan persekutuan hidup antara seorang pria dan seorang wanita yang 19 dikukuhkan secara formal dan berdasarkan aturan-aturan baik secara yuridis formal (Undang-undang hukum positif), ataupun secara religius (aturan agama yang diyakini).1 Meskipun hukum agama dan perundang-undangan telah mengatur sedemikian rupa tentang perkawinan yang baik dan benar, nyatanya masih banyak permasalahan-permasalahan yang terjadi di masyarakat dengan berbagai aspek. Hukum Islam menyebut perkawinan dengan tazwij (تزويج ( atau nikah ( نكاككك .(Pernikahan merupakan sunnatullah yang berlaku bagi setiap makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Pernikahan adalah suatu cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi makhlukNya untuk berkembang biak dan melestarikan budaya. Pernikahan akan berperan setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranannya yang positif dalam mewujudkan tujuan dan pernikahan itu sendiri.2 Sebagaimana yang terdapat dalam beberapa ayat Al-Qur’an sebagai berikut: QS. Ar-Rum : 21 مدة و م كم ن ي ب ل ع ج ا َ ه ل ي وا إ كن س ت ا ل اج َ أ ز كم س ف أ ن ن م ل كم ل ق ن خ أ ه ات آي ن م َ َ ن مكر ف ت ي ٍ م و ق ٍت ل ا ك َلي ل َٰ من يف ذ إ ۚ ة مح ر َ Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tandatanda bagi kaum yang berfikir.”3 1 Shofiyun Nahidloh, Kontroversi Perkawinan Di Bawah Umur (Studi Kompilasi Ilmu Fiqh dan Kompilasi Hukum Islam), Tesis, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2009), h. 1. 2 Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat, Jilid 1, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), h. 9. 3 Q.S Ar-Rum: 21 20 Islam telah menawarkan sebuah konsep dengan persyaratan istita’ah (kemampuan) bagi seseorang yang menghendaki pernikahan. Hal ini merupakan patokan yang diberikan oleh Rasulullah sebagaimana dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam al Bukhari, yaitu: عنَعبدَاهللَبنَمسعودَرضيَاهللَعنهَقالَلناَرسولَاهللَصلىَاهللَعليهََسلمَ:َ ياَ ب ا ال مشب شر ع م ر لف ل ن ص أ ح ر َ ص لب غ ُّض ل أ نمه إ ف مَج ز ت لي ف ة اء ال ب كم ن م ط ع ت اس ن م َل ن م ج َ . اء َج ل ه إنمه ف م ال مصو ب ه ل ي ع ف ع ط ت س ي Artinya: Dari ‘Abdullah bin Mas’ud, ia berkata: telah bersabda Rasulullah saw.kepada kami: “Wahai para pemuda! Barang siapa diantara kalian yang telah memiliki kemampuan maka menikahlah, karena sesungguhnya ia lebih (mampu) menundukkan pandangan, lebih memelihara kemaluan, dan barang siapa tidak mampu, hendaklah ia berpuasa, karena itu perisai bagimu.”4 Kemampuan yang dimaksud dalam hadits tersebut ialah kemampuan secara fisik (biologis), mental (kejiwaan) dan materi yang meliputi biaya proses pernikahan dan juga pemenuhan kebutuhan dalam keluarga. 5 Mayoritas ulama klasik tidak menjelaskan batas usia seseorang yang sudah dikatakan memiliki kemampuan tersebut. Bahkan menurut Ibn al-Munzir, seluruh ulama sepakat tentang keabsahan menikahkan seorang anak kecil dengan syarat ada maslahah dan kafa’ah. 6 Hal ini didasarkan pada sejarah pernikahan Rasulullah saw. dengan ‘Aisyah, yang pada waktu itu masih 4 Al-Hafidz bin Hajar ‘Atsqalani, Bulugh al-Maram, hadist no. 993, (Surabaya: Dar al-‘Ilm,t.t) h. 200. 5 Musthafa Muhammad Umdah, Jawahir al Bukhari wa Syarh al Qastalani, (Beirut: Dar al Fikr, 1994), h. 250. 6 PBNU, Hasil-Hasil Muktamar XXXII Nahdlatul Ulama, (Jakarta: Sekretariat Jendral PBNU, 2011), h. 149. 21 berumur 6 (enam) atau 7 (tujuh) tahun. Walaupun Rasul dan ‘Aisyah baru menjalani hidup bersama pada saat ‘Aisyah berumur 9 (sembilan) tahun.7 Berkaitan dengan usia perkawinan, menarik untuk dicermati bersama tentang ketentuan dari Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan bahwa: “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”.8 Seperti yang disebutkan dalam penjelasan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 didasarkan kepada pertimbangan kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan. Adanya ketentuan ini jelas menimbulkan pro dan kontra dalam penerimaannya karena dalam Al-Qur’an dan Hadits yang notabenenya menjadi sumber dari hukum Islam tidak memberikan ketetapan yang jelas dan tegas tentang batas minimal usia seseorang untuk melangsungkan suatu perkawinan. Kedua sumber hukum tersebut hanya menetapkan dugaan, isyarat dan tanda-tanda usia kedewasaan saja. Adapun alasan dari penetapan batas usia minimal untuk menikah bagi laki-laki 19 tahun dan bagi perempuan 16 tahun dapat dilihat dalam aturan penjelasan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yang menyebutkan bahwa tujuan dari adanya ketentuan batas minimal usia untuk menikah bagi laki-laki dan perempuan adalah untuk menjaga kesehatan suami, istri dan keturunan. 7 Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam di Indonesia dan Perbandingan Hukum di Dunia Muslim, (Yogyakarta: Acamedia Tazaffa, 2009) h. 372. 8 Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. 22 Berdasarkan bunyi penjelasan ini maka bisa dilihat bahwa ketentuan mengenai batas usia minimal untuk menikah dalam Pasal tersebut nampak lebih melihat pada segi kesiapan fisik atau biologis semata, belum sampai melihat pada perlunya mempertimbangkan kesiapan psikis calon mempelai. Padahal kesiapan mental dari calon mempelai sangat penting dipertimbangkan guna memasuki gerbang rumah tangga, karena sebuah perkawinan yang dilakukan tanpa mempertimbangkan kesiapan mental maka hal itu seringkali menimbulkan masalah di belakang hari bahkan tidak sedikit yang berantakan di tengah jalan.9 Berdasarkan penjelasan Pasal 7 ayat (1) tersebut jika kita lihat dalam praktiknya di masa sekarang makna dari penjelasan tersebut tidak menjadi tolak ukur untuk menjaga kemaslahatan keluarga. Nyatanya malah berbanding terbalik dengan isi penjelasan Pasal tersebut. Sehubungan dengan batas usia perkawinan dan Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 Pasal 7 ayat (1) yang menerangkan tentang masalah tersebut pada tanggal 5 Maret 2014 Ketua Dewan Pengurus Yayasan Kesehatan Perempuan dengan sejumlah lembaga dan aktivis perlindungan wanita dan anak mengajukan permohonan judicial review terhadap Pasal 7 ayat (1) dan (2) UndangUndang No. 1 Tahun 1974. 10 Alasan permohonan pengujian undangundang tersebut antara lain pemohon berpendapat, aturan tersebut telah melahirkan banyak praktik perkawinan anak, khususnya anak perempuan. 9 Andi Mappiare, Psikologi Orang Dewasa, Cet. II, (Surabaya: Usaha Nasional, 1983), h. 16. 10 Lihat Salinan Putusan judicial review Mahkamah Konstitusi No. 30-74/PUU-XII/2014. 23 Ini mengakibatkan perampasan hak-hak anak, terutama hak untuk tumbuh dan berkembang. Selain itu juga untuk melindungi dan pemenuhan hak-hak asasi anak, serta memberi kepastian hukum yang adil bagi warga negara sebagaimana dimandatkan oleh UUD 1945. Ruang lingkup Pasal yang diuji antara lain, Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sedangkan Dasar Konstitusional yang digunakan antara lain, Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 28B ayat (1), Pasal 28B ayat (2), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2).11 Masalah lain, aturan itu dinilai mengancam kesehatan reproduksi dan menimbulkan masalah terkait pendidikan anak. Alasan dan dalil Mahkamah Konstitusi menolak permohonan tersebut yaitu dengan alasan bahwa tidak ada jaminan apabila batas usia tersebut diubah akan berdampak signifikan pada turunnya tingkat perceraian maupun menyelesaikan berbagai masalah kesehatan dan sosial yang muncul. Dan dalil yang digunakan yaitu bahwasannya dalam Al-quran dan hadits tidak menetapkan usia tertentu dalam perkawinan. Mahkamah Konstitusi juga telah mempertimbangkan bahwasannya usia minimum merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang sewaktu-waktu dapat diubah oleh pembentuk Undang-Undang sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan yang ada. Hal tersebut sepenuhnya merupakan kewenangan 11 Lihat Salinan Putusan judicial review Mahkamah Konstitusi No. 30-74/PUU-XII/2014. 24 pembentuk Undang-Undang yang, apa pun pilihannya, tidak dilarang dan selama tidak bertentangan dengan UUD 1945. Bila melihat dari latar belakang kondisi sosial pada saat UndangUndang Perkawinan tahun 1974 diundangkan, pernikahan pada anak usia 16 tahun merupakan hal yang lumrah mengingat rendahnya jumlah anak perempuan yang sekolah pada saat itu. Hal ini tentu berbeda dengan kondisi yang ada saat ini, ketika pendidikan anak Indonesia menjadi salah satu perhatian utama pemerintah. Apabila batas usia ini tidak diubah, tentunya hal ini tidak sejalan dengan program wajib belajar 12 tahun yang diusung pemerintahan Jokowi. Jika seorang anak dapat masuk SD pada usia 7 tahun, seharusnya pada usia 16 tahun ia masih duduk di bangku SMP.12 Lebih lanjut, putusan Mahkamah Konstitusi juga nampaknya tidak melihat pertentangan antara batas usia perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan dengan batas usia anak dalam Undang-Undang Perlindungan Anak. Pasal 1 Undang-Undang Perlindungan Anak jelas menyatakan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Dengan demikian, pada dasarnya Undang-Undang Perkawinan masih membolehkan pernikahan di bawah umur karena batas minimum usia bagi perempuan untuk menikah dalam peraturan tersebut adalah 16 tahun. 12 https://www.selasar.com/politik/putusan-mk-tidak-memihak-perlindungan-anak diakses pada tanggal 4 November 2015. 25 Prosesi perjodohan perempuan dibawah umur sehingga terjadi kawin paksa merupakan contoh nyata dari adanya hegemoni laki-laki atas perempuan. Perempuan yang dijodohkan oleh orang tuanya secara umum tidak mengetahui karakter calon suaminya. Hal itu terjadi karena perempuan enggan untuk menikah di bawah umur. Akan tetapi mereka (para perempuan) terpaksa menjalaninya karena alasan menghormati orang tua. Begitu kuatnya hegemoni orang tua, sehingga anak perempuan tidak memiliki hak untuk menolak perkawinan yang ditawarkan. Inilah salah satu faktor penyebab terjadinya praktek kawin paksa yaitu karena kuatnya budaya dan adat patriarki. Padahal praktek kawin paksa ini telah melanggar hak asasi manusia khususnya hak asasi perempuan apalagi jika perkawinan paksa ini dilakukan di bawah umur. Dari beberapa peraturan perundang-undangan sudah bisa dilihat bahwasannya Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 ini tidak hanya bertentangan dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak melainkan juga bertentangan dengan beberapa undangundang lainnya. Diantaranya yaitu, Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 26 tentang Jabatan Notaris, Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial, dan lain sebagainya. Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu lembaga negara seharusnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan jenis kelamin, sebagaimana yang diamanatkan Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Perlindungan Anak. Namun demikian, putusan Mahkamah Konstitusi atas judicial review ini seakan bertolak belakang dengan kewajiban dan tanggung jawab yang seharusnya diemban. Dengan tetap berlakunya Pasal 7 Undang-Undang Perkawinan, Mahkamah Konstitusi dapat dikatakan tidak memihak perlindungan hak-hak anak, terutama anak perempuan. Dengan demikian berdasarkan pemaparan di atas dan didorong oleh rasa tanggung jawab sebagai bagian dari masyarakat dan akademisi, maka peneliti mencoba mengangkat permasalahan mengenai konsekuensi hukum atau akibat hukum yang ditimbulkan putusan judicial review Mahkamah Konstitusi No. 30-74/PUU-XII/2014 terhadap Pasal 7 ayat (1) UndangUndang Perkawinan tersebut dengan mengangkat judul penelitian : “Analisis Putusan Judicial Review Mahkamah Konstitusi No. 30- 74/PUU-XII/2014 Mengenai Batas Usia Perkawinan Tinjauan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak”. 27 B. Rumusan Masalah 1. Bagaiman tinjauan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak terhadap Putusan judicial review Mahkamah Konstitusi No. 30-74/PUU-XII/2014 mengenai batas usia perkawinan? 2. Adakah upaya untuk mencegah conflict of norm antara UU No. 39 Tahun 1999 dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan Putusan judicial review Mahkamah Konstitusi No. 30-74/PUUXII/2014 mengenai batas usia perkawinan? C. Tujuan Penelitian 1. Memahami tinjauan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak terhadap Putusan judicial review Mahkamah Konstitusi No. 30-74/PUU-XII/2014 mengenai batas usia perkawinan. 2. Mengetahui upaya pencegahan conflict of norm antara UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan Putusan judicial review Mahkamah Konstitusi No. 30- 74/PUU-XII/2014 mengenai batas usia perkawinan. D. Manfaat Penelitian Selain tujuan penelitian di atas, diharapkan penelitian ini memiliki nilai manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis dalam rangka memperluas dinamika ilmu pengetahuan hukum di masyarakat. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 28 1. Secara Teoritis, penelitian ini diharapkan mampu memperluas khazanah keilmuan khususnya dalam bidang-bidang ilmu hukum, sehingga memiliki sumbangan pemikiran dalam batas usia perkawinan. Dan diharapkan dapat menambah referensi bahan kajian ilmu, khususnya berguna sebagai sumbangan pemikiran bagi fakultas Syari’ah jurusan Al-Ahwal As-Syakhsiyyah. 2. Secara Praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman baru bagi masyarakat, baik kalangan akademisi, praktisi maupun masyarakat pada umumnya mengenai batas usia perkawinan, bagaimana baik buruknya sehingga dapat melangsungkan kehidupan berkeluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi al-Ahwal al-Syakhshiyyah" : Analisis putusan judicial review Mahkamah Konstitusi no. 30-74/PUU-XII/2014 mengenai batas usia perkawinan tinjauan Undang-undang no. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-undang no. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
No comments:
Post a Comment