Abstract
INDONESIA:
Perkawinan adalah salah satu dari sekian banyak ritual agama yang dilakukan dengan tujuan untuk menciptakan sebuah keluarga. Dalam masyarakat pedesaan yang sarat dengan nilai-nilai tradisi, perkawinan tidak hanya dilakukan dengan tata cara atau peraturan sesuai dengan ketetapan agama. Dalam hal ini adalah agama Islam.
Salah satu yang terpenting dalam penyelenggaraan sebuah perkawinan adalah adanya mas kawin. Mas kawin identik dengan pengikat dari pihak pengantin laki-laki pada pengantin perempuan yang menjadi istrinya. Hukum Islam tidak memberikan batasan tentang sedikit banyaknya jumlah mas kawin, karena yang terpenting adalah penerimaan istri akan pemberian suaminya.
Desa Karduluk yang menjadi lokasi penelitian skripsi ini, pemberian mahar berbentuk barang-barang perlengkapan rumah tangga mulai lemari, dipan/ tempat tidur, kursi dengan meja, lemari hias, dan sebagainya. Barang-barang ini dibawa ke rumah pihak mempelai perempuan pada saat penyelenggaraan pernikahan dan dianggap sebagai bagian dari mahar dengan sebutan bhaghibha. Barang-barang bhaghibha ini dipastikan selalu ada di hampir semua perkawinan yang berlangsung di desa Karduluk. Bhaghibha ini todak disebutkan dalam prosesi Ijab Qabul seperti halnya mas kawin tetapi keberadaannya diketahui semua orang sebagai sebuah tradisi yang dianggap ‘wajib’.
Dampak sosial adanya tradisi ini adalah bahwa seorang laki-laki yang berasal dari desa Karduluk ini akan menunggu kesiapan dan kesanggupan dirinya untuk mempunyai barang-barang bhaghibha ini sebelum menetapkan untuk menikahi seorang perempuan warga desanya sendiri. Karena hal ini tidak diberlakukan pada perkawinan dengan mempelai laki-laki dari luar desa Karduluk.
Sedangkan dampak ekonominya lebih merupakan tuntutan tersendiri bagi sebuah keluarga yang mempunyai anak laki-laki bahwa suatu saat nanti harus mengusahakan pengadaan barang-barang perlengkapan ini untuk persiapan perkawinannya.
Hukum Islam tidak memandang tradisi ini berlebih-lebihan. Hukum sosial sendiri menganggap bahwa tradisi adalah sepenuhnya miliki masyarakat yang menciptakan dan melestarikan tradisi tersebut.
ENGLISH:
Marriage is one of many Islamic rituals undertaken in order to make a family. In the village society which has many tradition values, the marriage is not only undertaken with Islamic procedures or rules.
One important thing in the marriage is a dowry. The dowry is identically a held from the groom to the bride. Islamic law does not give a boundary about how much the dowry is, because the important thing is the bride acceptance for the groom gift.
Karduluk village is being location of this thesis study. The dowry gift in form of furniture from wardrobe, bed, chairs with table, dressing table, etc. The furniture is brought to the bride house at the wedding ceremony and considered as a part of the dowry named by bhaghibha. Bhaghibha furniture is always in most marriage ceremony in Karduluk village. Bhaghibha is not mentioned in ijab qabul procession as the dowry but its existence is known by all people as the tradition concerned by “obligation”.
Social effect of this tradition is that men from Karduluk village will wait their readiness and capability to have bhaghibha furniture before they decide to marry a woman in their village. This case does not happen in the marriage with man from the outside of Karduluk.
Therefore, the economic effect is being own claim for the family which has son. One day, they must be ready to buy the furniture for the marriage preparation.
Islamic law does not face that this tradition is over. Social law considers that this tradition is totally society own that makes and preserves the tradition.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Tradisi masyarakat Desa Karduluk Setiap
pernikahan identik dengan Bhaghibha (barang bawaan) dari mempelai pria ke rumah
mempelai wanitanya. Barang-barang Bhaghibha ini dianggap sebagai bagian dari
mahar, selain mas kawin yang diserahkan langsung di hadapan penghulu pada saat
akad nikah. Barang-barang bhaghibha ini dibawa dalam rombongan besar lamaran
dari pihak pengantin pria. Tradisi membawa barang bawaan ini menjadi sebuah
keharusan bagi seorang mempelai pria, meskipun tidak ada permintaan khusus dari
mempelai wanita. Sehingga dengan adanya tradisi tersebut,keluarga dari mempelai
pria tetap berusaha mengikut sertakan barang bawaannya pada saat akad nikah,
walaupun mempelai pria berasal dari keluarga tidak mampu akan tetapi Sanak
saudara dari mempelai pria akan tetap membantu menyumbang untuk membeli
seperangkat barang bawaan demi berlangsungnya pernikahan antara mempelai pria
dan wanita. Tidak banyak dari para mempelai pria yang dengan mudahnya
melangsungkan pernikahan ini,ada sebagian dari mereka yang harus bekerja
terlebih dahulu untuk mengumpulkan dana pembelian barangbarang bawaan pada saat
pernikahan,sehingga pernikahannya ditunda beberapa tahun sampai dia mampu
membeli barang-barang tersebut. Memang pernikahan dalam islam itu tidak
memberatkan mempelai, akan tetapi dengan adanya tradisi seperti ini yang
melekat dan sudah turun temurun dan masih bertahan sampai sekarang. Walaupun
tradisi tersebut merupakan beban bagi mempelai pria tapi mereka semua sadar,
bahwa setiap makhluk diciptakan dengan cara berpasang-pasangan. Begitu juga
manusia, Jika pada makhluk lain dalam berpasangan tidak memerlukan tata cara
dan peraturan tertentu, maka lain halnya dengan manusia. Pada manusia terdapat
beberapa ketentuan yang merupakan peraturan dalam memilih pasangan dan untuk
hidup bersama pasangan. Baik itu peraturan agama, adat-istiadat, tradisi,
maupun sosial kemasyarakatan. Setiap makhluk diciptakan saling
berpasang-pasangan. Begitu juga manusia. Jika pada makhluk lain untuk berpasangan
tak memerlukan tata cara dan peraturan tertentu, tidak demikian dengan manusia.
Pada manusia terdapat beberapa ketentuan yang merupakan peraturan dalam memilih
pasangan dan untuk hidup bersama pasangan. Baik itu peraturan agama,
adat-istiadat maupun sosial kemasyarakatan. Dalam hal dan tujuan untuk hidup
berpasangan inilah istilah perkawinan atau pernikahan disebutkan. Perkawinan
merupakan sebuah upacara penyatuan dua jiwa manusia, menjadi sebuah keluarga
melalui akad perjanjian yang diatur oleh agama.1 Karena itulah penyatuan antara
dua manusia menjadi sakral dan agung oleh sebab adanya tata cara khusus ini.
setiap agama memiliki tata cara peraturan tersendiri. Tetapi kesemuanya mengacu
pada satu hal ini, yaitu bahwa manusia adalah makhluk Tuhan yang mulia,
mempunyai karunia akal budi sehingga dalam banyak perilaku kehidupannya tidak
sama dengan makhluk lain seperti halnya binatang. Khusus dalam pandangan agama
Islam, pernikahan dianggap sebagai ibadah, jejak sunnah Nabi Muhammad S.A.W.
Sekalipun sebenarnya pernikahan ini sudah ditetapkan oleh Allah sejak zaman
manusia pertama yaitu Adam, yang dinikahkan langsung oleh Allah dengan
pasangannya yaitu, Siti Hawa, di surga. Maka jelaslah bahwa menikah merupakan
sesuatu yang dianjurkan Rasulullah. Bukan semata untuk meneruskan keturunan dan
menciptakan generasi melainkan terutama untuk mengatur kehidupan agar selaras
dengan ajaran agama yang memuliakan manusia di atas makhluk lainnya. Tentang 1
M. Hariwijaya, Tata Cara Penyelenggaraan Perkawinan Adat Jawa (Yogyakarta:
Hanggar Kreator, 2008), 1. kemuliaan manusia sebagai makhluk ini Allah
berfirman dalam Al-Qur’an surat At-Tin, ayat 4: ∩⊆∪ 5 ΟƒÈθø)s? Ç|¡ômr& þ’Îû z≈|¡ΣM}$# $uΖø)n=y{ ô‰s)s9 “Sungguh
telah Aku ciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik baiknya” Ayat di atas
semakin memperjelas perbedaan kemuliaan manusia di atas makhluk lainnya. Tidak
saja secara lahiriah, yang sempurna, cantik dan gagah serta memiliki bentuk
yang begitu berbeda dengan hewan – melainkan terutama secara ruhani-nya.
Sehingga manusia disebut sebagai Hayawanun Nathiq atau hewan yang berpikir.
Terlepas dari teori evolusi Darwin tentang asal mula manusia adalah seekor
Kera. Karena bagaimanapun, karunia akallah yang membuat manusia memiliki tata
cara yang berbeda dalam menjalankan hidupnya, di antaranya adalah tata cara
pernikahan. Dalam Islam, disebutkan pula bahwa pernikahan adalah ibadah yang
menyempurnakan agama seseorang. Karena pernikahan dua orang anak manusia
berarti menyatukan dua keluarga, seringkali juga berarti penyatuan dua masyarakat
jika pernikahan itu terjadi antara dua golongan masyarakat yang berbeda. Karena
itulah dalam proses pernikahan banyak hal yang perlu diperhatikan sebagai
peraturan bagi kedua manusia yang akan berpasangan. Pernikahan diselenggarakan
dalam sebuah prosesi khusus dengan tata cara yang khusus yang disesuaikan
dengan ketentuan dalam agama maupun dalam tradisi masyarakat dimana prosesi itu
akan dilaksanakan. Terkhusus ketentuan dalam agama Islam, terdapat beberapa hal
yang menjadi rukun dan syarat dalam pernikahan. Rukun dan syarat ini sama-sama
harus dipenuhi, baik proses sebelum akad nikah maupun pada saat pelaksanaan
akad nikah.Dalam hal ini adanya kedua mempelai adalah yang terpenting dari
syarat dan rukun pernikahan. Adanya kedua mempelai merupakan hal primer baik
sebelum maupun pada saat pelaksanaan pernikahan. Karena keduanya-lah yang akan
menjalani pernikahan. Akan tetapi ada beberpa hal lain yang juga penting dalam
pernikahan, yaitu adanya mahar. Mahar dalam bahasa Arab adalah shadaq. Asalnya
isim mashdar dari kata ashdaqa, mashdarnya ishdaq diambil dari kata shidqin
(benar). Dinamakan shadaq karena memberikan arti benar-benar cinta nikah dan
inilah yang pokok dalam kewajiban mahar atau mas kawin.2 Secara etimologi mahar
juga berarti mas kawin. Sedangkan pengertian mahar menurut istilah ilmu Fiqih
adalah pemberian yang wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai
ketulusan hati calon suami, untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang
istri kepada calon suaminya.3 Islam sangat memperhatikan dan menghargai
kedudukan seorang wanita dengan memberi hak kepadanya, di antaranya adalah hak
untuk menerima mahar. Mahar hanya diberikan oleh calon suami kepada calon
istri, bukan kepada wanita lainnya atau siapapun, walaupun sangat dekat
dengannya. Orang lain tidak boleh menjamah apalagi menggunakannya meskipun oleh
suaminya sendiri, kecuali dengan rida dan kerelaan istri. 2 Abdul Aziz Muhammad
Azzam dan Abdul Wahhab sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat ( “Berikanlah mas kawin atau (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi)
sebagaipemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada
kamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah)
pemberian itu (senagai makan) yang sedap lagi baik akibatnya. (Q.S.An-Nisa:4)
Maka jelaslah bahwa ketika mahar telah diserah terimakan dari pihak suami pada
pihak istri, maka sepenuhnya mahar itu menjadi miliki si istri dan hak
penggunaannya berada dalam wewenang istri. Para Fuqaha’ bersepakat bahwa tidak
ada batasan mengenai pemberian mahar.Ukuran mahar disesuaikan dengan kemampuan
si calon suami untuk memberi. Akan tetapi seyogyanya juga tidak berlebihan
karena hal itu akan mendatangkan sikap berpaling dari pernikahan yang akan
diikuti orang secara umum. Allah berfirman: ..dan berilah maskawin mereka menurut yang patut
...” (Q.S.An-Nisaa’: 25) Segala sesuatu yang dapat dinilai secara material
dapat dijadikan mahar. Para ahli Fiqih bersepakat bahwa harta yang berharga dan
patut dapat dijadikan mahar. Oleh karena itu emas, perak, uang, takaran,
timbangan, uang kertas dan lain-lain sah dijadikan mahar karena bernilai
materian dalam pandangan syara’. Dan sebaliknya, sesuatu yang tidak dapat
dinilai dengan material dan bukan merupakan harta benda yang layak tidak dapat
dijadikan mahar. Seperti kata-kata atau janji untuk setia, khamar, bangkai dan
sebagainya. Akan tetapi ada pendapat lain bahwa sesuatu yang bermanfaat dapat
dijadikan mahar sekalipun tidak dapat dinilai dengan material, seperti
pengabdian, pengajaran Al-Qur’an yang juga bermanfaat. 4 Pendapat ini
dikemukakan oleh Asy-Syairazi, berdasarkan firman Allah: “Berkatalah ia (Syu’aib): “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan
salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku
delapan tahun…” (Q.S. Al-Qashash:27) Berdasarkan hal-hal di atas, syarat sah
mahar adalah sebagai berikut: 1. Mahar tidak berupa barang haram, tidak sah
mahar berupa khamar atau babi dan sejenisnya yang jelas barang haram. 2. Tidak
ada kesamaran, jika terdapat unsur ketidakjelasan maka tidak sah dijadikan
mahar, seperti mahar berupa hasil panen kebun pada tahun yang akan datang atau
sesuatu yang tidak jelas, seperti mahar rumah yang tidak ditentukan. 3. Mahar
dimiliki dengan pemilikan sempurna. Syarat ini mengecualikan pemilikan yang
kurang atau tidak sempurna, seperti mahar sesuatu yang 4 Abdul Aziz Muhammad
Azzam dan Abdul Qahab Sayyed Hawwas, Op. Cit., 183 dibeli tetapi belum
diterima, pemilikan yang kurang atau tidak sempurna, tidak sah dijadikan mahar.
4. Mahar mampu diserahkan. Dengan syarat ini mengecualikan yang tidak ada kemampuan
menyerahkan seperti burung di awang-awang atau ikan di laut. Adalah Desa
Karduluk Kecamatan Pragaan Kabupaten Sumenep yang memiliki tradisi penyerahan
perabot rumah tangga. Perabot-perabot ini berbentuk lemari, satu set kursi dan
meja untuk ruang tamu, perangkat tempat tidur lengkap dengan kasur, bantal,
guling, seprai dan sarung bantal serta selimut, barang-barang pecah belah dan
lemari sebagai tempatnya, alat-alat kecantikan/ kosmetik dengan lemari hiasnya.
Ini di luar mas kawin yang disebutkan secara terang-terangan saat akad nikah
berlangsung di hadapan penghulu dan para saksi dari kedua belah pihak.
Ketetapan perabot ini menjadi tradisi dalam hampir setiap pernikahan masyarakat
Desa Karduluk. Sehingga untuk sampai pada hari pernikahan dibutuhkan banyak
persiapan. Keluarga calon mempelai pria harus memiliki persiapan materi yang
tidak sedikit. Sedangkan mas kawin biasanya akan ditentukan oleh calon
pengantin wanita dengan jumlah standar atau barang standar seperti emas dengan
jumlah gram yang tidak besar, yaitu dua hingga lima gram. Sebelumnya tidak
pernah dilakukan penelitian serupa di Desa Karduluk, baik dengan perspektif
hukum Islam ataupun disiplin ilmu Sosiologi Antropologi. Karena itulah
penelitian ini merupakan penelitian pertama yang dilakukan di lokasi
penelitian, yaitu Desa Karduluk. Penelitian tentang tradisi pemberian mahar
berbentuk perlengkapan rumah tangga ini dilakukan sebagai studi kasus dalam
Penelitian ini mengambil judul “Tradisi Penyerahan perabot Rumah Tangga dalam
Perkawinan (Study Kasus di Desa Karduluk Kec. Pragaan Kab. Sumenep Madura) B.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, dimungkinkan untuk
mengadakan penelitian dengan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana
tradisi penyerahan perabot rumah tangga dalam perkawinan di Desa Karduluk
Pragaan Sumenep? 2. Bagaimana pemahaman masyarakat tentang tradisi penyerahan
perabot rumah tangga dalam perkawinan di Desa Karduluk Pragaan Sumenep? C.
Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengetahui tradisi
penyerahan perabot rumah tangga dalam perkawinan di Desa Karduluk Pragaan
Sumenep? 2. Mengetahui pelaksanaan tradisi penyerahan perabot rumah tangga
dalam perkawinan di Desa Karduluk Pragaan Sumenep D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini memberikan data deskriptif tentang tradisi pemberian mahar dalam
perkawinan berbentuk perlengkapan barang rumah tangga. Secara khusus manfaat
penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Peneliti Dengan penelitian ini,
peneliti menyelesaikan satu tugas akademik sebagai persyaratan mendapatkan
gelar sarjana strata satu dalam bidang hukum Islam, sekaligus peneliti dapat
mengetahui satu kekayaan tradisi di daerah lain. 2. Bagi Masyarakat Terutama
masyarakat Desa Karduluk, dimana sebelumnya penelitian sejenis belum pernah dilakukan.
Maka hasil penelitian ini akan menjadi dokumen pertama bagi Desa Karduluk. 3.
Bagi Kalangan Akademis Bagi sesame mahasiswa ataupun kalangan akademis di
kampus, hasil penelitian ini akan menjadi tambahan referensi di masa yang akan
datang, yang memungkinkan akan dilakukannya banyak penelitian sejenis oleh
kalangan akademis lainnya. E. Batasan Masalah Agar kajian dalam karya ilmiah
ini tidak kehilangan arah, maka penulis membatasinya pada fenomena tradisi
membawa penyerahan perabot rumah tangga dalam perkawinan yang eksis di Desa
Karduluk Kec. Pragaan Kab. Sumenep. F. Definisi Operasional 1. Tradisi Tradisi
dianggap sama dengan adat istiadat. Ada juga yang menganggap sebagai
kebudayaan.akan tetapi tradisi bukanlah kebuadayaan. Karena kebudayaan itu bermakna
lebih luas dan umum, sedangkan tradisi bermakna lebih khusus.5 tradisi juga
diartikan sebagai kebiasaan turun temurun6 2. Perkawinan Menurut Wahbah
al-zuhaily adalah akad yang membolehkan terjadinya al-istimta’ (persetubuhan)
dengan seorang wanita, atau melakukan wathi’, dan berkumpul selama wanita
tersebut bukan wanita yang di haramkan baik dengan sebab keturunan atau
persusuan. Sedangkan menurut Hanafiah adalah akad yang memberi faedah ntuk
melakukan mut’ah secara sengaja, artinya kehalalan seoran laki-laki untuk
beristimta’ dengan seorag aita selama tidak ada faktor yang menghalangi sahnya
pernikahan tersebut secara syar’i. menurut Muhammad Abu Zarah di dalam kitabnya
al-ahwal al-syakhsiyyah, mendifinisikan nikah sebagai akad yang menimbulkan akibat
hokum berupa halalny melakukan persetubuhan antara laki-laki dengan perempuan,
saling tolong menolong serta menimbulkan hak dan kewajiban 5 Nur Syam,
Madzhab-Madzhab Antropologi. (Yogyakarta: LKIS.2007),70 6 Dahlan Al-Barry,
Kamus Mudern Bahasa Indonesia, (Yogyakarta : Arkola) di antara keduanya.7
Pernikahan adalah suatu akad antara seorang pria dengan seorang wanita atas
dasar kerelaan dan kesukaan kedua belah pihak, yang dilakukan oleh pihak lain
(wali) menurut sifat dan syarat yang telah ditetapkan syara untuk menghalalkan
pencampuran antara keduanya, sehingga satu sama lain saling membutuhkan menjadi
sekutu sebagai teman hidup dalam rumah tangga.8 G. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: BAB I : Pada
bab ini menerangkan tentang pendahuluan yang meliputi: latar belakang masalah,
rumusan masalah, manfaat penelitian, batasan masalah, definisi operasional, dan
sistematika pembahasan BAB II : Kajian pustaka dibahas dalam bab ini. Dimulai
dengan pemaparan beberapa penelitian terdahulu, kajian teori tentang tradisi
dalam perspektif Islam dan sosial, hak-hak dan kewajiban suami istri dalam
keluarga, pengertian perkawinan, syarat dan rukun perkawinan, perkawinan dalam
perspektif hokum Islam dan adat. 7 Amiur Nuruddin, dan Azhari Akmal Tarigan,
Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hokum Islam dari
Fikih,UU No 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2004), 38-39. 8 Slamet Abidin
dan Aminuddin, Op. Cit. , 11-12 BAB III : Menerangkan tentang metode penelitian
yang membahas, jenis penelitian, paradigma penelitian, pendekatan penelitian,
sumber data, metode pengumpulan data dan tekhik pengolahan data. BAB IV :
Menerangkan tentang paparan data dan analisis data yang meliputi setting sosial
berkaitan dengan letak geogarafis, keadaan lokasi penelitian, kondisi sosial
dan budaya, adat istiadat yang berkaitan dengan penyelenggaraan perkawinan.
tentang pelaksanaan tradisi penyerahan perabot rumah tangga dalam perkawinan di
Desa Karduluk, hasil wawancara, observasi dan dokumentasi yang berkaitan dengan
tradisi penyerahan perabot rumah tangga dalam perkawinan. Juga menerangkan
bagaimana pemahaman masyarakat tentang tradisi penyerahan perabot rumah tangga
dalam perkawinan di Desa Karduluk. Juga menerangkan tentang tradisi penerahan
perabot rumah tangga dalam perkawinan dalam perspektif ‘urf. BAB V : Penutup
yang berisi kesimpulan dan saran
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi al-Ahwal al-Syakhshiyyah" :Tradisi penyerahan perabot rumah tangga dalam perkawinan: Studi Kasus di Desa Karduluk Kec. Pragaan Kab. Sumenep Madura" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
No comments:
Post a Comment