Abstract
INDONESIA:
Dalam sebuah kehidupan tidak semua anak dapat beruntung terlahir dengan kondisi fisik, psikologis, dan kognitif yang normal dan sehat. Namun pada kenyataannya tidak sedikit para orang tua dikaruniai anak yang tidak normal, misalnya anak tunagrahita. Kebahagiaan mereka pun akhirnya berubah menjadi kekecewaan karena harapan mereka untuk mendapatkan anak normal dan sehat tidak mereka peroleh, karena anak penyandang tunagrahita disebut anak keterbelakangan mental. Beragam reaksi emosional muncul salah satunya adalah perasaan tidak mampu dan malu. Perasaan tidak mampu ini ditunjukkan bagi diri sendiri karena tidak mampu melahirkan anak yang normal. Hal ini menyebabkan sebagian besar orang tua cenderung menarik diri terhadap anggota keluarga lain atau teman. Sehingga timbul keterbatasan hubungan antara orang tua dengan keluarga, teman atau tetangga sekitar. Selain itu, orang tua cenderung merasa pesimis dan berpikir bahwa anaknya tidak bisa melakukan bentuk rutinitas apapun tanpa bantuan dari orang lain, dan menilai bahwa masa depan sang anak tidak sebaik yang orang tua harapkan.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti ingin mengetahui tingkat dukungan sosial orang tua yang memiliki anak penyandang tunagrahita, tingkat optimisme orang tua yang memiliki anak penyandang tunagrahita dan hubungan antara dukungan sosial dengan optimisme orang tua yang memiliki anak tunagrahita di SLB Putra Jaya Malang.
Jenis metode yang digunakan adalah metode kuantitatif, yang terdiri dari optimisme sebagai variabel terikat dan dukungan sosial sebagai variabel bebas. Jumlah populasi sebanyak 60 orang. Teknik pengambilan sampel dengan menggunakan teknik purposive sampling dengan subyek penelitiannya sebanyak 30 orang tua yang memiliki anak tunagrahita di SLB (Sekolah Luar Biasa) Putra Jaya Malang. Instrumen penelitian yang digunakan yaitu skala dukungan sosial sebanyak 17 aitem dan skala optimisme sebanyak 19 aitem. Untuk menganalisis data menggunakan teknik koefisien Korelasi Pearson Product Moment melalui program SPSS 16.0 for windows.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa : 1. Tingkat dukungan sosial yang diperoleh orang tua yang memiliki anak penyandang tunagrahita berada dalam kategori sedang, yaitu sebesar 73.3 %. 2. Tingkat optimisme orang tua yang memiliki anak penyandang tunagrahita di SLB Putra Jaya Malang berada dalam kategori sedang, yaitu sebesar 70 %. 3. Terdapat hubungan yang sangat signifikan antara dukungan sosial dengan optimisme orang tua yang memiliki anak penyandang tunagrahita di SLB (Sekolah Luar Biasa) Putra Jaya Malang.
ENGLISH:
In a life not all children are lucky to be born with the physical, psychological, and cognitive normal and healthy. But in fact not a few parents who do not normally have children, for example children mental retardation. Their happiness was eventually turned into disappointment for their hopes to get healthy normal children and they did not get, because children with mental retardation referred to child mental mental retardation. Various emotional reactions appeared one of them is a feeling of inadequacy and shame. Feelings of inadequacy is demonstrated for yourself for not able to give birth to a normal child. This causes most parents tend to withdraw to other family members or friends. Causing limitations relationships between parents with family, friends or neighbors. In addition, parents tend to feel pessimistic and think that their children can not do any form of routine without assistance from others, and considered that the future of the child whose parents are not as good as expected.
Based on this background, the researchers wanted to find out the level of social support for parents who have children with mental retardation, the level of optimism of parents who have children with mental retardation and the relationship between social support with optimism parents of children with mental retardation in SLB Putra Jaya Malang.
This type of method used is quantitative method, which consists of optimism as the dependent variable and social support as independent variables. Total population of 60 people. Sampling technique using purposive sampling techniques to study the subject as much as 30 parents of children with mental retardation in SLB (Special Schools) Putra Jaya Malang . The research instrument used is the scale of social support as many as 17 aitem and optimism scale as much as 19 aitem . To analyze the data using the technique of Pearson Product Moment Correlation coefficient through SPSS 16.0 for Windows.
The results showed that : 1. The level of social support derived parents who have children with mental retardation in a category is, is equal to 73.3 % . 2. The level of optimism parents who have children with mental retardation in SLB Putra Jaya Malang are in the medium category, which is 70 % . 3. There was a significant relationship between social support with optimism parents who have children with mental retardation in SLB ( Special Schools ) Putra Jaya Malang.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Anak merupakan anugerah
terindah yang diberikan Allah kepada para orang tua yang telah memasuki jenjang
pernikahan. Anak juga bisa menjadi sebuah impian setiap orang tua terutama
impian untuk mempunyai anak normal, terlebih anak yang cerdas. Anak adalah
sebuah amanah yang dititipkan oleh Allah kepada hambaNya untuk dididik, dijaga,
dibimbing, dilindungi, diarahkan dan sebagainya. Amanah ini masingmasing
dipegang oleh para orang tua khususnya para orang tua yang sudah dikaruniai
anak, baik anak normal maupun tidak. Dalam sebuah kehidupan tidak semua orang
dapat beruntung terlahir dengan kondisi fisik, psikologis, dan kognitif yang
normal dan sehat. Mereka yang tidak beruntung ini merupakan anak-anak yang
dapat dikategorikan sebagai anak luar biasa, yaitu anak-anak yang secara fisik,
psikologis, kognitif, atau sosial terhambat dalam mencapai tujuan-tujuan atau
kebutuhan dan potensinya secara maksimal (Mangunsong, dkk, 1998). Semua orang
tua menginginkan anak mereka lahir dalam keadaan normal dan sehat, hal ini
merupakan dambaan setiap orang tua. Namun pada kenyataannya tidak sedikit para
orang tua dikaruniai anak yang tidak normal, misalnya anak tunagrahita.
Kebahagiaan mereka pun akhirnya 2 berubah menjadi kekecewaan karena harapan
mereka untuk mendapatkan anak normal dan sehat tidak mereka peroleh, karena
anak penyandang tunagrahita disebut anak terbelakangan mental. Istilah resminya
di Indonesia seperti dikemukakan Mohammad Amin (1995) yang dikutip dari
Peraturan Pemerintah nomor 72 tahun 1991, yaitu anak tunagrahita. Jumlah anak
penyandang tunagrahita pun semakin bertambah setiap tahunnya. Hal ini terbukti
dalam salah satu media yang menyatakan bahwa jumlah penyandang tunagrahita di
Indonesia cukup tinggi. Keberadaan anak berkebutuhan khusus termasuk penyandang
cacat secara nasional maupun pada masing-masing provinsi belum memiliki data
yang pasti. Menurut WHO jumlah anak berkebutuhan khusus di Indonesia adalah
sekitar 7 % dari total jumlah anak usia 0-18 tahun atau sebesar 6.230.000 pada
tahun 2007. Sedangkan menurut data Sensus Nasional Biro Pusat Statistik tahun
2003 jumlah penyandang cacat di Indonesia sebesar 0.7 % dari jumlah penduduk
sebesar 211.428.572 atau sebanyak 1.480.000 jiwa. Dari jumlah tersebut 24.45 %
atau 361.860 diantaranya adalah anak-anak usia 0-18 tahun dan 21.42 % atau
317.016 anak merupakan anak cacat usia sekolah (5-18 tahun).
Sekitar 66.610 anak usia sekolah penyandang cacat (14.4 % dari
seluruh anak penyandang cacat) ini terdaftar di Sekolah Luar Biasa (SLB). Hal
ini berarti ada 295.250 anak penyandang cacat (85.6%) ada di masyarakat di
bawah pembinaan dan pengawasan orang tua dan keluarga dan pada umumnya belum
memperoleh akses pelayanan kesehatan sebagaimana mestinya. Pada tahun 2009
jumlah 3 anak penyandang cacat yang ada di Sekolah meningkat menjadi 85.645
dengan rincian di SLB sebanyak 70.501 anak dan di sekolah inklusif sebanyak
15.144 anak. Sedangkan pada tahun 2013 pervalensi tunagrahita di Indonesia saat
ini diperkirakan 1-3% dari penduduk Indonesia, sekitar 6,6 juta jiwa. Anak
tunagrahita ini memperoleh pendidikan formal di Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri
dan SLB Swasta (Antara News, 2013). Anak penyandang tunagrahita yang memiliki
beberapa keterbatasan yaitu tingkat intelligensi dibawah rata-rata, mereka
tidak mampu untuk memecahkan persoalan-persoalan, tidak bisa berfikir secara
abstrak. Begitu juga dalam menyelesaikan pelajaran di bangku sekolah, mereka
perlu layanan pendidikan khusus tidak bisa disamakan dengan anak normal pada
umumnya. Karena mereka sangat kesulitan dalam hal berhitung, membaca, menulis
dan sebagainya (Muhammad Amin : 1995). Orang tua dengan anak tunagrahita,
khususnya ibu akan mengalami tingkat stress yang sangat tinggi. Kelainan atau
keberadaan bayi dengan kelainan tertentu juga akan memberikan pengaruh yang
sangat besar terhadap keluarga dan dalam berinteraksi satu sama lain. Hal ini
juga membuat orang tua mengalami trauma paling hebat dalam merespon kondisi
yang diciptakan dengan kehadiran anak yang cacat (Hurul, 2008). Telah ditemukan
beberapa fenomena yang dilakukan oleh Triana (2010), yaitu tentang keluarga
yang menyekolahkan anak tunagrahita di salah satu SLB di Semarang. Pertama,
keluarga yang menyekolahkan 4 anak tunagrahita di SLB tersebut kurang maksimal
memberikan perhatian kepada putra-putrinya. Kedua, keluarga cenderung
menyerahkan begitu saja masalah pendidikan anak tunagrahita kepada pihak
sekolah. Padahal dari pihak sekolah telah mengadakan program-program untuk
membantu anak tunagrahita dalam meraih prestasi. Berdasarkan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Achir Yani S. Hamid (2004) menunjukkan bahwa orang tua yang
memiliki anak tunagrahita menunjukkan perasaan sedih, denial, depresi, marah
dna menerima keadaan anaknya. Orang tua merasa khawatir tentang masa depan
anak. Orang tua yang memiliki anak tunagrahita akan memunculkan beragam reaksi
emosional ketika pertama kali mengetahui bahwa anaknya berbeda dengan anak-anak
lainnya. Terdapat beberapa reaksi emosional yang biasanya dimunculkan orang
tua. Beberapa reaksi emosional tersebut antara lain shock, penyangkalan dan
merasa tidak percaya, sedih, perasaan terlalu melindungi atau kecemasan,
perasaan menolak keadaan, perasaan tidak mampu dan malu, perasaan marah, serta
perasaan bersalah dan berdosa atas apa yang terjadi pada anak (Sarafia, 2005).
Beragam reaksi emosional tersebut merupakan reaksi yang sering dimunculkan oleh
para orang tua yang memiliki anak tunagrahita atau anak berkebutuhan khusus
lainnya. Salah satunya adalah perasaan tidak mampu dan malu. Perasaan tidak
mampu ini ditunjukkan bagi diri sendiri 5 karena tidak mampu melahirkan anak
yang normal. Kadang-kadang perasaan tidak mampu ini muncul adanya perasaan
bersalah dari orang tua, terutama ibu. Kemudian ibu mencari-cari penyebab yang
mungkin dilakukannya sewaktu dia mengandung anaknya. Dan perasaan malu pun
muncul ketika orang tua berhadapan dengan lingkungan sosial, kadang ada
perasaan minder bahwa orang tua memiliki anak yang mengalami tunagrahita atau
anak berkebutuhan khusus lainnya. Hal tersebut ditunjukkan dalam pengakuan
seorang ibu kepada Safaria, berikut ini : “Kadang saya merasa dan berpikir
semua orang mencomooh saya, memandang aneh anak saya, saya jadi ragu-ragu untuk
keluar rumah bersama anak saya, saya seperti menjadi orang tua yang tidak
berharga, karena tidak mampu melahirkan anak yang normal.... ” Orang tua yang
mempunyai anak tunagrahita memiliki beban berat dalam mengurus anak, karena
anak tunagrahita memiliki kelemahan tersendiri dan harus mendapat perhatian
lebih yang berbeda dengan anak normal lainnya. Selain itu beban lain yang
dirasakan orang tua yang memiliki anak tunagrahita biasanya berasal dari
lingkungan sosial. “orangorang awam” yang tidak memiliki pengetahuan mengenai
anak tunagrahita sebagai anak yang tidak normal dan sering kali disepelekan.
Sering kali reaksi-reaksi orang tua terhadap anak yang tunagrahita dapat
menghalangi usaha-usahanya dalam mencapai kemampuan untuk menyesuaikan diri
yang normal.
Mereka mungkin tidak mau mengakui kekurangan-kekurangan anak 6 itu dan
melemahkan dorongannya untuk mencapai sesuatu karena mereka tidak
memperlihatkan kepuasan terhadap apa yang dapat dilakukannya.
Penilaian-penilaian dari lingkungan ini akan mempengaruhi kejiwaan orang tua
anak tersebut. Amin dan Dwidjosumarto (1979) mengemukakan bahwa orang tua yang
memiliki anak tunagrahita biasanya merasa tidak bahagia mempunyai anak yang
berkelainan, bahkan tidak sedikit orang tua mereka malu mempunyai anak
berkelainan, sehingga ada sebagian orang tua yang justru menyembunyikan anak supaya
tidak menjadi perhatian orang lain. Namun, tidak semua orang tua merespons
negatif terhadap kehadiran anak tunagrahita itu dikalangan keluarga. Ada
beberapa bukti bahwa orang tua yang kurang berpendidikan dari kelompok
sosio-ekonomis bawah, lebih berhasil dalam membantu anak-anak cacat mereka
dibandingkan dengan orang tua yang berpendidikan baik dari kelompok
sosio-ekonomis atas. Meskipun ini tidak seluruhnya benar, tetapi orang tua yang
berpendidikan baik cenderung memandang anak yang mengalami tunagrahita itu
mereka anggap sebagai suatu ancaman. Oleh karena itu, mereka mungkin menolaknya
atau tidak mau menerima kekurangankekurangan intelektualnya dan mencoba
memaksanya untuk mencapai hasil pada taraf yang cukup jauh melampaui
kemampuan-kemampuannya (Hurul, 2008). 7 Hendriani, Handariyati dan Malia Sakti
(2006) mengungkap fakta mengenai sikap orang tua dan keluarga terhadap anak
yang mengalami tunagrahita. Dari ketiga keluarga yang dijadikan subyek
penelitian, dua diantaranya menolak kehadiran anggota keluarga yang mengalami
tunagrahita, sedangkan satu keluarga lainnya menunjukkan penerimaan terhadap
anggota keluarga yang mengalami tunagrahita tersebut. Hasil penelitian di atas
menunjukkan sikap orang tua dan keluarga yang beragam dalam menghadapi anak
dengan penyandang tunagrahita. Perbedaan tersebut turut dipengaruhi oleh
kesiapan orang tua dan keluarga dalam menerima kehendak Tuhan tersebut.
Pemahaman yang kurang mengenai anak tunagrahita pun menjadi kendala penerimaan
orang tua dan keluarga terhadap kondisi anak. Kelahiran anak penyandang
tunagrahita merupakan kenyataan yang berat yang harus dihadapi oleh orang tua.
Keadaan seperti ini akan mempengaruhi kelangsungan hidup orang tua
dan keluarga. Bahkan, tidak jarang setiap orang tua yang memiliki anak
penyandang tunagrahita mempunyai optimisme yang rendah. Padahal optimisme
merupakan inti dari motivasi seseorang untuk bisa berjuang melawan kenyataan
yang tidak sesuai dengan harapan. Tanpa kemampuan untuk berpikir optimis
seseorang dapat mengalami tekanan-tekanan dalam dirinya ketika kenyataan tidak
sesuai dengan harapannya, buruknya hal tersebut dapat mengakibatkan kegoncangan
mental seseorang (Muharnia : 2010). 8 Menurut Seligman (2008), optimisme adalah
kemampuan seseorang untuk memandang positif akan segala hal. Memiliki pemikiran
yang selalu positif akan menghasilkan hal yang positif pula. Dalam suatu
penelitian yang dilakukan oleh Seligman (2008) bahwa diperoleh hasil optimisme
sangat berpengaruh pada kesejahteraan psikis dan kesehatan mental seseorang,
dapat meningkatkan sistem imun dan menurunkan tingkat stress. Sikap optimisme
seharusnya dimiliki para orang tua penyandang tunagrahita, sehingga mereka
tidak semakin terpuruk akan “bencana” yang datang kepada mereka. Berdasarkan
observasi yang dilakukan peneliti kepada salah satu orang tua anak penyandang
tunagrahita di Sekolah Luar Biasa (SLB) Putra Jaya Malang pada bulan Agustus
2013 terhadap dua orang tua dengan anak penyandang tunagrahita. Salah satu
orang tua mengalami reaksi dalam menghadapi keadaan anaknya saat pertama kali
adalah perasaan terkejut, shock, mengalami tekanan batin, dan tidak mempercayai
kenyataan bahwa anaknya menyandang tunagrahita. Selain itu, ada perasaan
kecewa, sedih, dan mungkin merasa marah ketika mengetahui realita yang terjadi
padanya. Perasaan ini kemudian menjadikan orang tua pesimis dan berpikir bahwa
anaknya tidak bisa melakukan bentuk rutinitas apapun tanpa bantuan dari orang
lain, dan menilai bahwa masa depan sang anak tidak sebaik yang orang tua
harapkan. Hal seperti ini terjadi awal kelahiran hingga kini, sedangkan orang
tua anak penyandang tunagrahita lainnya hanya awal kelahiran saja mereka
mengalami goncangan batin yang berat, kemudian 9 dengan berjalannya waktu
mereka sudah bisa menerima dengan ikhlas kondisi anak dan mereka yakin bahwa
anaknya bisa memberikan kebahagiaan kepadanya meskipun mereka dikaruniai anak
dengan penyandang tunagrahita. Namun, tidak dapat dipungkiri mereka yang
memiliki anak tunagrahita akan merasa bahwa dirinya berbeda dengan orang tua lainnya
yang memiliki anak normal. Hal ini dipengaruhi oleh keterbatasan yang dimiliki
si anak, seperti tidak dapat mengikuti rutinitas dan aturan yang ada dalam
kehidupan sehari-hari. Peneliti juga mendapatkan gambaran dari para orang tua
murid di SLB Putra Jaya Malang bahwa mereka kurang bahagia mempunyai anak
tunagrahita. Mereka masih sulit untuk menerima kenyataan bahwa anaknya
menyandang tunagrahita sehingga mereka cenderung untuk membiarkan atau sulit
untuk memecahkan masalah yang mereka hadapi atau masalah terkait dengan anak
mereka yang tunagrahita. Mereka yakin sesuatu yang buruk akan menimpa anaknya
dan keluarganya dan tidak mampu untuk mengatasinya sendiri. Hal ini juga bisa
terlihat pada cara orang tua mengasuh, mendidik, dan membimbing anaknya dirumah.
Sering kali mereka merendahkan anaknya sendiri dengan cara mengejek, berkata
kasar, dan sebagainya. Dalam hal ini orang tua meremehkan anak dan rasa
menghargai orang tua kepada anak sangatlah kurang dengan mengatakan bahwa sang
anak hanya mampu melakukan sesuatu dengan bantuan orang tua. Tanpa bantuan dari
orang tua atau orang lain sang anak tidak mampu melakukannya sendiri. 10 Maka
dapat dilihat bahwa rasa optimisme orang tua anak penyandang tunagrahita masih
tergolong rendah. Sedangkan dukungan sosial yang mereka dapatkan dari keluarga
dekat, teman, tetangga, dan lainlain masih kurang mereka peroleh. Berdasarkan
observasi yang peneliti lakukan, hal itu disebabkan karena orang tua cenderung
menarik diri terhadap anggota keluarga lain atau teman. Sehingga timbul
keterbatasan hubungan antara orang tua yang memiliki anak penyandang
tunagrahita dengan keluarga, teman atau tetangga sekitar, karena dukungan
sosial menunjukkan pada hubungan interpersonal yang melindungi individu merasa
tenang, diperhatikan, dicintai, timbul rasa percaya diri dan kompeten (Rook
dalam Smet :1994).
Berkurangnya dukungan sosial inilah yang menyebabkan salah satu
orang tua yang memiliki anak penyandang tunagrahita di Sekolah Luar Biasa (SLB)
Putra Jaya Malang ini merasa bahwa Tuhan telah menghukum mereka dengan cara
menganugerahkan anak tunagrahita kepada mereka, tanpa melihat sisi kebaikan di
dalamnya sehingga di dalam pikirannya hanya kekecewaan, minder dan lain-lain.
Hal seperti ini akan berdampak pada anak-anak mereka, karena kurangnya dukungan
sosial maka mereka masih tidak banyak tahu tentang bagaimana cara mendidik,
mengasuh, dan membimbing anak tunagrahita dengan benar. Seligman (2005)
menjelaskan bahwa dukungan sosial merupakan salah satu faktor yang menyebabkan
orang untuk bersikap optimis. Sarafido (dalam Ismail, 2008) menyatakan bahwa
dukungan sosial 11 adalah kenyamanan, perhatian, penghargaan atau bantuan yang
di terima individu dari orang lain dimana individu disini dapat diartikan
sebagai individu perorangan atau kelompok. Dukungan sosial yang seperti ini lah
yang dibutuhkan oleh para orang tua yang memiliki anak penyandang tunagrahita,
karena dengan begitu harapan yang sempat hilang, sedikit demi sedikit akan
tumbuh dan mereka akan hidup lebih berarti layaknya mereka memiliki anak normal
dan berharap masa depan anak akan menjadi lebih baik. Dukungan sosial dapat
mereka peroleh dari keluarga dekat mereka (orang tua), teman-teman,
sahabat-sahabat, tetangga dan lain sebagainya yang berupa materi, fisik,
psikologis dan informasi. Dukungan sosial yang paling utama adalah dukungan
dari orang tua mereka, hal ini sangat membantu karena orang tua merekalah yang
saat itu dekat dengan mereka sehingga bisa mengurangi rasa tertekan ataupun
kecewa dengan apa yang telah terjadi dengannya serta bisa memberikan sikap
optimis untuk bisa menatap masa depan yang lebih baik terhadap anak mereka.
Kedua dukungan dari saudara seperti kakak atau adik bisa berupa support agar
bisa bersikap optimis dalam menjalani hidup. Ketiga dukungan sosial dari
teman-teman dan sahabat-sahabat yaitu dapat berupa perhatian ataupun rasa
empati seorang sahabat, hal seperti ini juga sangat membantu menetralisir beban
yang ada pada dirinya. Dan yang terakhir yaitu dukungan sosial dari
tetangga-tetangga mereka bisa berupa bantuan rasa kasih sayang ataupun
perhatian (Tyas, 2005). 12 Tentu setiap orang menginginkan yang terbaik bagi
anakanaknya meskipun anaknya menyandang tunagrahita. Namun dalam proses keadaan
ke depan orang tua mempunyai tanggung jawab untuk bisa percaya bahwa setiap
anak mempunyai kelebihan masing-masing walaupun orang tua menyadari bahwa
kemampuan anak tunagrahita berbeda dengan anak normal. Dalam hal ini dukungan
sosial memiliki peranan penting dalam memelihara keadaan individu yang
mengalami tekanan. Dukungan sosial melibatkan hubungan sosial yang berarti,
sehingga dapat menimbulkan pengaruh positif yang dapat mengurangi gangguan
psikologis sebagai pengaruh dari tekanan. Dukungan sosial berasal dari anggota
keluarga terdekat, teman dan lingkungan sosial yang merupakan salah satu bentuk
dari dukungan emosional yang akan sangat membantu seseorang dalam menghadapi
masalah kehidupan. Bentuk-bentuk dukungan ini berupa perhatian, empati,
kepedulian, dan kasih sayang. Dengan adanya dukungan sosial diharapkan bisa
membangun sikap optimisme kepada para orang tua yang memiliki anak penyandang
tunagrahita. Berdasarkan dari hasil penelitian dan permasalahan diatas, maka
sebagai peneliti ingin mengetahui apakah ada “Hubungan Antara Dukungan Sosial
Dengan Optimisme Orang Tua Yang Memiliki Anak Penyandang Tunagrahita di SLB
(Sekolah Luar Biasa) Putra Jaya Malang”.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana tingkat dukungan sosial orang tua yang memiliki anak
penyandang tunagrahita?
2. Bagaimana tingkat optimisme orang tua yang memiliki anak
penyandang tunagrahita? 3. Apakah ada hubungan antara dukungan sosial dengan
optimisme orang tua yang memiliki anak penyandang tunagrahita?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui tingkat dukungan sosial orang tua yang memiliki
anak penyandang tunagrahita.
2. Untuk mengetahui tingkat optimisme orang tua yang memiliki anak
penyandang tunagrahita.
3. Untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial dengan
optimisme orang tua yang memiliki anak penyandang tunagrahita.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil
penelitian ini, diharapkan bisa memberikan manfaat dan berguna bagi keilmuwan
baik dari aspek teoritis maupun aspek praktis sebagai berikut : 14 1. Aspek
Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi baru atau
pengetahuan mengenai teori psikologi khususnya tentang dukungan sosial atau
optimisme orang tua yang memiliki anak penyandang tunagrahita. 2. Aspek Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan rujukan untuk bahan bacaan bagi
para orang tua yang memiliki anak penyandang tunagrahita sehingga dapat selalu
meningkatkan sikap optimisme terhadap anaknya.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" : Hubungan antara dukungan sosial dan optimisme orang tua yang memiliki anak tuna grahita di SLB (Sekolah Luar Biasa) Putra Jaya Malang .Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
No comments:
Post a Comment