Abstract
INDONESIA:
Pasca bencana erupsi gunung Kelud yang dialami oleh survivor remaja di Desa Pandansari,Ngantang-Malang menimbulkan permasalahan psikologis. Tinggi rendahnya resiliensi survivor remaja dipengaruhi beberapa faktor, salah satunya spiritualitas. Spiritualitas berkorelasi positif dengan resiliensi survivor remaja pasca bencana erupsi gunung Kelud. Spiritualitas merupakan usaha individu dalam pemaknaan pribadi dengan sadar akan kematian yang dirangkai dalam motivasi diri sendiri, dengan kekuatan umum memilih beragam tingkah laku individu berupa pengamalan ibadah merupakan hubungan dengan Tuhan, hubungan diri sendiri dengan alam semesta, dan keterkaitan pola hubungan sesama manusia. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui spiritualitas survivor remaja, tingkat resiliensi survivor remaja pasca bencana erupsi gunung Kelud dan ada tidaknya hubungan spiritualitas dengan resiliensi survivor remaja pasca bencana erupsi gunung Kelud di Desa Pandansari, Ngantang-Malang.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan jenis penelitian korelasional dengan spiritualitas sebagai variabel bebas dan resiliensi pasca bencana erupsi gunung Kelud sebagai variabel terikat. Instrumen pengumpulan data menggunakan metode observasi, wawancara, dan angket berupa skala psikologi yang terdiri dari skala spiritualitas mengacu pada Spiritual Transcendence Scale (STS) yang dikembangkan Piedmont, dan resiliensi pasca bencana erupsi gunung Kelud mengacu pada skala resiliensi dikembangkan Grotberg, disesuaikan dengan fenomena bencana erupsi gunung Kelud, masing- masing 28 aitem didasarkan pada teori Piedmont dan teori Grotberg. Analisa data menggunakan analisis korelasi product moment untuk mengetahui hubungan spiritualitas dengan resiliensi pasca bencana erupsi gunung Kelud.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 80% atau 32 survivor remaja memiliki spiritualitas tinggi, 20% atau 8 survivor remaja yang sedang, dan 0% atau tidak ada survivor remaja memiliki tingkat spiritualitas rendah. Kemudian, terdapat 85% atau 34 survivor remaja memiliki tingkat resiliensi pasca bencana erupsi gunung Kelud yang tinggi, dan 15% atau 6 survivor remaja yang sedang, 0% atau tidak ada survivor remaja yang rendah. Berdasarkan hasil analisis data bahwa terdapat hubungan positif antara spiritualitas dengan resiliensi pasca bencana erupsi gunung Kelud dengan rxy = .603 dengan p = 0,000, artinya semakin tinggi atau baik spiritualitas maka akan semakin tinggi tingkat resiliensinya, begitu juga sebaliknya, semakin rendah spiritualitasnya maka semakin rendah pula tingkat resiliensinya.
ENGLISH:
Post Kelud eruption experienced by adolescent survivors in the village Pandansari, Ngantang-Malang cause psychological problems. High and low resilience of survivors of adolescent influenced by several factors, one of which spirituality. Spirituality was positively correlated with post-disaster resilience teenage survivor Kelud eruption. Spirituality is an individual effort in a personal meaning to be aware of the deaths were arranged in self motivation, with a general power of choosing a variety of individual behavior in the form of religious practice is a relationship with God, a relationship yourself with the universe, and linkage patterns of human relationships. The purpose of this study was to determine adolescent survivors spirituality, resilience level of post-adolescent survivors Kelud eruption and the relationship of spirituality with adolescent survivors of post-disaster resilience Kelud eruption in the village Pandansari, Ngantang-Malang.
This study used a quantitative approach and the type of correlational research with spirituality as the independent variable and post-disaster resilience Kelud eruption as the dependent variable. Instrument data collection using observation, interviews, and a questionnaire consisting of a psychological scale spirituality scale refers to the Spiritual Transcendence Scale (STS) developed Piedmont, and post-disaster resilience Kelud eruption resilience refers to the scale developed Grotberg, adapted to the eruption phenomena Kelud, each 28-item based on the theory of Piedmont and Grotberg theory. Analysis of the data using product moment correlation analysis to determine the relationship of spirituality to the post-disaster resilience Kelud eruption.
The results showed that 80% or 32 survivors adolescents have high spirituality, 20% or 8 survivors teenager, and 0% or no adolescent survivors have low levels of spirituality. Then, there is a 85% or 34 survivors adolescents have high levels of post-disaster resilience Kelud eruption is high, and 15% or 6 survivors teenager, 0% or no survivors low teens. Based on the results of data analysis that there is a positive relationship between spirituality with post-disaster resilience Kelud eruption with rxy = .603 with p = 0.000, meaning that the higher or better the higher spirituality resiliensinya level, and vice versa, the lower the spirituality, the lower Similarly resiliensinya level.
The results showed that 80% or 32 survivors adolescents have high spirituality, 20% or 8 survivors teenager, and 0% or no adolescent survivors have low levels of spirituality. Then, there is a 85% or 34 survivors adolescents have high levels of post-disaster resilience Kelud eruption is high, and 15% or 6 survivors teenager, 0% or no survivors low teens. Based on the results of data analysis that there is a positive relationship between spirituality with post-disaster resilience Kelud eruption with rxy = .603 with p = 0.000, meaning that the higher or better the higher spirituality resiliensinya level, and vice versa, the lower the spirituality, the lower Similarly resiliensinya level.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Siapapun
di dunia ini tidak pernah memiliki keinginan tertimpa atau mengalami kemalangan
atau kesusahan didalam hidupnya. Segala sesuatu yang tidak sesuai dengan
harapan atau merusak tatanan yang ada akan dianggap sebagai bentuk musibah atau
bencana. Bencana dapat terjadi kapanpun dan dimanapun, ada dua penyebab
terjadinya bencana yakni faktor alam dan ulah manusia. Bencana alam adalah
bencana yang dikarenakan oleh suatu kekuatan alam dan peristiwanya tidak dapat
dikontrol oleh manusia. (Iskandar, 2013:32) Bencana dapat mengakibatkan
kerusakan fisik (korban dan infrastruktur) dan gangguan psikologis (trauma,
stres, depresi, kecemasan, dan sebagainya). Seringkali setelah terjadinya
bencana, yang menjadi titik pusat perhatian hanya penanganan fisik semata,
namun penanganan psikis korban bencana yang selamat (survivor) terabaikan
Pendapat peneliti di atas didukung oleh Hawari (2011:85-86) yang mengemukakan
bahwa pada umumnya ,asyarakat dan pemerintah dalam menyikapi korban berbagai
macam peristiwa, lebih menitikberatkan pada aspek yang sifatnya fisik; misalnya
bantuan pengobatan, sandang, pangan dan papan. Aspek kejiwaan/mental/psikologik
yang mengarah pada gangguan stress pasca trauma kurang diperhatikan. Stres
pasca trauma itu sendiri bila tidak ditangani dengan sungguh-sungguh dan
professional 2 dapat berlanjut pada gangguan jiwa seperti kecemasan, depresi
psikosis (gangguan jiwa berat) bahkan sampai pada tindakan bunuh diri. Salah
satu bencana alam yang terjadi dalam kurun waktu terakhir ini ialah, Erupsi
Gunung Kelud. Gunung Kelud yang terletak di Kabupaten Kediri dan Kabupaten
Malang, Jawa Timur, meletus. Gunung yang memiliki tinggi 1.731 meter dari
permukaan air laut itu memuntahkan material vulkanik hingga setinggi 17
kilometer ke udara. (http://www.tempo.co) Diketahui, Badan Penanggulangan
Bencana Nasional (BNPB) memastikan Gunung Kelud, Jawa Timur (Jatim) telah
meletus pada pukul 22.50 WIB, Kamis 13 Februari 2014, malam.
(http://daerah.sindonews.com) Meski status Gunung Kelud sudah turun ke Siaga,
ribuan pengungsi di wilayah Ngantang, Kabupaten Malang, hanya bisa gigit jari.
Jika pengungsi lainnya bisa kembali pulang ke rumah, warga Desa Pandansari,
Ngantang, tetap tinggal di pengungsian. Warga Pandansari adalah korban
terdampak erupsi Gunung Kelud cukup parah. Kondisi rumah di 7 dusun yakni Dusun
Klangon, Sedawun, Sambirejo, Plumbang, Wonorejo, Munjung dan Ngadirejo semuanya
hancur. (http:www.beritajatim.com) Dari sekian banyaknya peristiwa yang
survivor (korban bencana selamat) alami pasca erupsi gunung Kelud, dan nasib
mereka yang 3 terkatung-katung pasca erupsi Kelud memunculkan gejala masalah
psikologis seperti stres dan resah. Dalam penelitian ini difokuskan pada
survivor remaja di Desa Pandansari, Ngantang, Malang, yang mana mereka sedang
mengalami proses pertumbuhan dan peralihan dari masa kanak-kanak menuju dewasa.
Ketika peneliti melakukan pengamatan pada beberapa survivor yang banyak berasal
dari Desa Pandansari di empat posko penyangga terdekat (posko 1,3,5,8) dengan
Posko Induk Lebak Sari-Pujon, Kabupaten Malang (16-21 Februari 2014), penulis
melihat langsung kondisi mereka. Dalam jangka waktu sebentar, beberapa survivor
berjatuhan sakit karena permasalahan psikologis yang mereka alami, ada yang
emosional, merasa sakit di beberapa bagian tubuh karena khawatir atau cemas
terhadap binatang ternak yang ditinggal. Sebagian besar survivor remaja merasa
cemas dan stres karena rumah mereka rusak bahkan hancur yang merupakan hasil
tabungan orangtua atau sanak saudara mereka selama bertahun-tahun dari bekerja
di luar kota atau luar negeri bahkan masih ada yang dari pinjaman yang belum
terlunasi, dan ternak sebagai investasi pendidikan atau kehidupan mereka ada
yang mati dan cacat sehingga dijual murah. Bahkan, survivor remaja dipaksa
diajak pulang ayahnya untuk membantu memberi makan ternak. 4 Terlebih lagi
aktifitas sekolah mereka menjadi terhambat bahkan berhenti total, buku-buku
sekolah banyak yang rusak terkena hujan, pasir dan abu vulkanik. Kemudian,
mereka tidak dapat bermain dan bersosialisasi dengan teman sebaya atau
lingkungan seperti biasanya. Sehingga, selama di pengungsian terpaksa bercampur
baur dengan pengungsi lain. Ditambah lagi dengan kegiatan trauma healing yang
kurang menjadikan mereka sebagai subjek penanganan karena lebih banyak
diarahkan pada balita-anak usia sekolah SD, dan orangtua mereka. Kalaupun ada
kegiatan pemulihan trauma berupa permainan psikologi melibatkan mereka dan
orangtua. Beberapa dari mereka terutama perempuan remaja merasakan
gejala-gejala trauma sampai ada yang terbawa ke psikosomatik dan merespon
stressor atau pemicu trauma, seperti sakit di bagian perut, pusing, dan tegang,
selalu terkejut dan takut mendengar suara ambulans, hujan, dan gemuruh. Mereka
takut kejadian yang mereka alami terulang kembali. Sebagaimana dinyatakan oleh
Stinchcomb (2004), bahwa sebuah insiden yang melibatkan kekerasan, kematian,
dan menyebabkan hilangnya properti akan mengakibatkan seseorang mengalami
tingkat stres yang tinggi dalam kaitannya dengan trauma. (dalam Faturrochman,
dkk.2012:169) Pada remaja korban bencana yang mengalami masalah psikologis, di
dalam pendidikan menunjukkan adanya penurunan prestasi di sekolah. 5 Hal ini
dimungkinkan oleh karena permasalahan yang berat, menekan, hingga menjadikan ia
mengalami stress. Bahkan reaksi emosional sering ditampilkan oleh remaja korban
bencana. Selain itu pula, fase remaja yang ditandai dengan emosi yang
bergejolak, maka dengan adanya bencana yang menimpa dirinya, stabilitas
emosinya semakin kurang baik. (Iskandar, 2013:50) Pengamatan dilanjutkan (18-26
Maret 2014) di beberapa dusun kawasan Desa Pandansari, Ngantang-Malang. Ada
perbedaan atas terjadinya erupsi Kelud dan Merapi. Erupsi Gunung Kelud di
kabupaten Malang tidak terlalu banyak menyebabkan korban berjatuhan sampai
meninggal dunia, akan tetapi kondisi psikis korban bencana (terutama remaja)
yang tidak pernah mengalami bencana erupsi gunung Kelud sebelumnya menjadi
semakin labil. Orang yang selamat (survivor) dari peristiwa-peristiwa kehidupan
yang merupakan stressor traumatis dapat memperlihatkan gejala-gejala klinis
yang tergolong stress pasca trauma yaitu : terdapat stressor traumatis yang
berat dan jelas, yang menimbulkan gejala penderitaan yang berarti bagi hampir
setiap orang, penghayatan yang berulang dari trauma itu yang dibuktikan paling
sedikit satu dari tiga hal (ingatan, mimpi, perasaan traumatik), penumpulan
respon terhadap dunia luar, atau berkurangnya hubungan dengan dunia luar
(psychic numbing or anesthesia emotional), yang mulai beberapa waktu setelah
trauma, dan yang dinyatakan paling 6 sedikit satu dari tiga hal (minat
berkurang, perasaan terasing, afek yang menyempit), kewaspadaan, gangguan
tidur, perasaan bersalah, kesukaran konsentrasi, penghindaran diri, peningkatan
gejala apabila dihadapkan pada peristiwa yang mensimbolisasikan atau yang
menyerupai peristiwa traumatik itu. (Hawari, Dadang.2011:86-89) Dalam kondisi
psikis yang tidak stabil pasca bencana dan mengalami kejadian yang tidak pernah
terbayangkan sebelumnya tersebut akhirnya tergantung pada resiliensi (daya
lentur) survivor remaja. Individu yang resilien menunjukkan kemampuan adaptasi
yang lebih dari cukup ketika rnenghadapi kesulitan, karena resiliensi merupakan
keberhasilan dalam penyesuaian diri. Resiliensi bagian dari perkembangan
seseorang. Ketika manusia atau individu mengalami suatu kejadian yang tidak
menyenangkan, segi resiliensi menjadi salah satu ukuran dalam mengetahui
kualitas ketahanan jiwa seseorang dalam menghadapi cobaan. Terlebih lagi
apabila individu yang masih menjalani masa perkembangan remaja yang rentan
terkena masalah. Remaja yang mengalami kondisi yang tidak menyenangkan
mempengaruhi kebahagiaannya. Karena, pada dasarnya masa remaja merupakan masa
transisi individu tersebut mampu bertanggungjawab, termasuk ketika menghadapi
kondisi yang tidak menyenangkan. Jika dia bisa mengambil hikmah dari kondisi
tak menyenangkan yang menimpanya, bisa jadi kemalangan atau kesengsaraan akan
membuatnya semakin kuat, begitu juga sebaliknya. 7 Resiliensi tidak hanya
penting sebatas dikenalkan pada saat kondisi tak menyenangkan itu terjadi, akan
tetapi faktanya dapat dikembangkan dalam mengantisipasi kondisi tak
menyenangkan yang tak terelakkan. (Grotberg, 1997:4) Grotberg (2004:12-13)
menjelaskan tanda atau gejala pembentuk resiliensi dalam diri individu yang mampu
beresilien berdasarkan hasil penelitiannya seperti di atas. Pertama, I HAVE
representasi dari dukungan eksternal. Kedua, I AM merupakan representasi
kekuatan internal dalam diri individu. Ketiga, I CAN, merupakan representasi
kemampuan interpersonal dan penyelesaian masalah Dalam komponen I can (hal-hal
yang diperoleh dan dipelajari), resiliensi merupakan suatu proses yang alamiah
terjadi dalam diri individu. Hanya saja, seberapa waktu yang diperlukan oleh
seseorang untuk melewati proses tersebut bersifat individual. Resiliensi adalah
kapasitas untuk merespon secara sehat dan produktif ketika berhadapan dengan
kesengsaraan atau trauma, yang diperlukan untuk mengelola tekanan hidup
sehari-hari (Herlina, Maria.2011:1). Kebanyakan orang telah memiliki ketiga faktor
sumber resiliensi tersebut di dalam dirinya, hanya saja mereka tidak memiliki
cukup pengetahuan atau tahu cara menggunakan kemampuan ketiga faktor itu untuk
berdamai dengan kondisi yang tidak menyenangkan. Dan, ada beberapa individu
yang mampu beresilien dalam suatu situasi dan sebaliknya. Perbedaan inilah yang
selalu terdapat pada mereka yang lebih 8 familiar resiliennya,sedikit mengancam
situasi, tapi bukan resilien dalam situasi berbeda yang baru atau dramatis,
ketika mereka merasa lepas kontrol terhadap apa yang sedang terjadi. (Grotberg,
2003: 19-22) Selanjutnya resiliensi juga ditemukan memiliki hubungan dengan
masalah psikologis survivor remaja pasca bencana. Hubungan tersebut terletak
pada pengalaman traumatis individu dan kemampuan individu tersebut untuk
bangkit kembali. Apalagi, remaja merupakan bagian dari korban bencana yang
selamat, maka permasalahan lebih kompleks akan muncul setelah terjadinya
bencana. Bagaimanapun juga, menurut Grotberg (1991), resiliensi begitu penting
karena merupakan kemampuan dasar manusia untuk berhadapan, mengatasi, mencegah
kondisi yang tidak menyenangkan yang menimpanya yang kemudian dapat semakin
membuat lebih kuat, atau berubah menjadi lebih baik. (dalam
Pizzolongo&Hunter, 2011:67) Teori resiliensi menawarkan model konsep
peneliti dan praktisi untuk dipahami bagaimana anak-anak dan anak muda
mengatasi kondisi yang tak menyenangkan dan bagaimana pengetahuan ini dapat
digunakan untuk meningkatkan kekuatan dan membangun karakter positif atau
kehidupan mereka. (Zolkoski&Bullock, 2012:7) Islam juga mengajarkan bahwa
sebagai seorang muslim yang tunduk kepada Allah SWT, seharusnya ketika
menghadapi cobaan hidup seperti perubahan hidup pasca bencana alam yang
menimpanya, Islam menganjurkan untuk bersabar, bertawakkal, dan ikhtiar tanpa
batas untuk 9 bangkit dan memperbaiki hidup. Karena, sesungguhnya dibalik
kesulitan hidup maka nanti akan ada kemudahan, sesuai janji Allah. Dan
orangorang yang bersabar adalah orang-orang yang mendapat ridho Allah SWT.
Sabar dalam Islam bukan berarti berpasrah begitu saja pada Allah SWT dan tidak
melakukan apa-apa dalam kondisi yang tidak menyenangkan, akan tetapi terus
mandiri dalam ikhtiar meningkatkan kualitas hidup dan keimanan. Masyarakat yang
menjadi survivor dari suatu bencana cenderung memiliki masalah penyesuaian
perilaku dan emosional. Perubahan mendadak sering membawa dampak psikologis
yang cukup berat. Beban yang dihadapi oleh survivor tersebut dapat mengubah
pandangan mereka tentang kehidupan dan menyebabkan tekanan pada jiwa mereka.
(Adami, 2006:2) Untuk tahap rehabilitasi tersebut, tentunya tidak lepas dari
pemahaman konkret mengenai kondisi wilayah dan masyarakat yang meliputi kondisi
pra bencana alam dan pasca bencana alam. Dalam hal ini, tentunya penting untuk
diperhatikan pula bagaimana kondisi psikis dan spiritual masyarakat, terutama
mereka yang secara langsung menjadi survivor. Idealnya, ketika seseorang
mengalami kejadian yang tidak menyenangkan maka dia akan merasa bahagia karena
semakin dekat dengan Tuhannya, peduli dengan lingkungan dan lebih komitmen
terhadap 10 komunitasnya, mengalami kesadaran transendental dengan mengalami
pengalaman spiritual. Ada beberapa remaja laki-laki menunjukkan tingkat
stres-nya meniru orang dewasa laki-laki untuk ikut menjarah barang bantuan,
mencegat mobil-mobil bantuan yang datang dan langsung menurunkan barang bantuan
sebagai akibat muncul rasa curiga antarwarga terkait distribusi bantuan yang
tidak merata. Sekilas menurut hasil pengamatan penulis, kejadian erupsi gunung
Kelud seperti berpengaruh sesaat kondisi spiritual mereka sebagai makhluk
Tuhan. (Observasi, 16-24 Maret 2014) Pasca kepulangan survivor dari posko
pengungsian, mereka kembali ke aktifitas seperti biasa, bedanya remaja lebih
nyaman berkutat dengan aktifitas yang kurang dalam pengembangan diri bahkan
hilang semangat sekolah. Sebagian melanjutkan sekolah namun menjadikan
rutinitas menggugurkan kewajiban. Kegiatan di masjid (representasi religiusitas
sebagai bagian spiritualitas), yang muncul beberapa perilaku negatif (merokok
di usia belum mencapai 21 tahun, bolos sekolah, minum minuman keras) yang
sebelum kejadian bencana sudah terjadi. (16-24 Maret 2014) Dengan landasan
pengembangan ukuran spiritualitas dalam taksonomi berbasis sifat, secara
eksplisit, Piedmont melihat spiritualitas sebagai sifat motivasi, adanya
kekuatan afektif nonspesifik yang mendorong, mengarahkan, dan memilih perilaku.
(Piedmont, 2001:7) 11 Pendapat tersebut didukung oleh Emmons bahwa sebagai
sumber motivasi intrinsik, spiritualitas akan terbangun relatif stabil dari
waktu ke waktu dan akan mendorong individu menuju tujuan yang data
teridentifikasi. (dalam Piedmont, 2001:7) Menurut perspektif Piedmont, sebagai
manusia erat menyadari kefanaan diri sendiri. Dengan demikian, kita berusaha
untuk membangun hasrat terhadap tujuan dan makna bagi memimpin kehidupan kita.
Piedmont mempertanyakan tujuan eksistensi manusia dan nilai hidup yang
diterapkan di dunia yang ditinggali. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tentang
eksistensi manusia membantu kita untuk merajut „benang‟ bagi kehidupan kita
yang beragam bagi lebih berarti dampaknya yang memberikan kemauan dalam diri
dan hidup produktif. Jawaban-jawaban ini juga menuntun kita untuk mengembangkan
rasa transendensi spiritual, atau kapasitas individu untuk berdiri dari waktu
dan tempat diluar yang mereka rasakan secara langsung, untuk melihat kehidupan
dari yang lebih besar , perspektif yang lebih obyektif. Perspektif transenden
ini adalah salah satu di mana orang melihat kesatuan fundamental yang mendasari
aspirasi beragam alam. (dalam Piedmont, 2001: 7) Aitem-aitem yang ada
dianalisis dalam konteks teori Piedmont berdasarkan model lima faktor
kepribadian dan diwujudkan dalam faktor tunggal secara keseluruhan terdiri dari
tiga segi, yaitu: Pengamalan Ibadah (Prayer Fulfillment) artinya perasaan
sukacita dan kepuasan yang dihasilkan dari pertemuan pribadi dengan realitas
transenden atau 12 pengalaman perasaan sukacita dan kepuasan yang dihasilkan
dari doa dan atau meditasi (misalnya, “Saya menemukan kekuatan batin dan atau
damai sejahtera dari doa-doa saya”) ; Universalitas (Universality) yakni
keyakinan bahwa satu bagian dalam sifat kesatuan dan tujuan hidup (misalnya,
“Saya merasa bahwa pada tingkat yang lebih tinggi kita semua berbagi ikatan
yang sama.”) : dan Keterhubungan (Connectedness) yakni keyakinan bahwa satu
bagian dari realitas terbesar manusia melintasi generasi dan seluruh kelompok
atau tanggungjawan pada pribadi ataupun oranglain.(misalnya, “Saya prihatin
tentang orang-orang yang datang sesudah saya dalam kehidupan.”). (Piedmont,
2001:7-8) Spiritualitas merupakan dimensi yang berbeda dari perbedaan individu.
Sebagai dimensi yang berbeda, spiritualitas membuka pintu untuk memperluas
pemahaman kita tentang motivasi manusia dan tujuan kita, sebagai makhluk, mengejar
dan berusaha untuk memuaskan diri. Kita tidak harus menjadi terlalu antusias
tentang kemampuan spiritualitas untuk memberikan jawaban akhir untuk pertanyaan
kami tentang kondisi manusia. (Piedmont, 9-10) Pendapat di atas senada dengan
signifikansi prediksi perilaku spiritual transenden tentu ada hubungannya
dengan fungsi spiritualitas, bahwa terdapat beberapa fungsi spiritualitas bagi
individu, salah satunya adalah sebagai faktor yang mendorong resiliensi.
Terdapat dua hal yang harus dimiliki oleh seseorang yang resilien. Pertama
adalah recovery, yaitu kembali mendapatkan keseimbangan fisiologis, psikologis,
dan sosial 13 setelah mengalami kejadian yang menekan (Zautra et al., 2010).
Hal kedua adalah sustainability, yaitu kapasitas untuk terus maju meskipun
mengalami kesulitan (Bonanno, dalam Zautra et al., 2010). (dalam Sidabutar,
2011: 3) Pendapat di atas didukung juga pendapat Crowther (2002) bahwa aspek
positif dari spiritualitas juga turut membantu individu dalam memulihkan
perasaan kontrol diri yang saat sakit, dan membantu perkembangan adaptasi saat
sakit kronis dan tidak seimbang. (dalam Iqbal, 2011:29) Pada suatu hasil
penelitian oleh Costanzo, spiritualitas memiliki hubungan dengan resiliensi
pada orang yang selamat dari penyakit kanker, meskipun individu tersebut
memiliki resiko lebih dalam mengembangkan depresi dan kecemasan, tetapi tingkat
spiritualitas dan personal mereka tumbuh lebih baik setelah pemulihan. (dalam
Iqbal,2011:29) Gerakan tak terelakkan menuju kematian memulai suatu dialektika
yang menyertainya dalam orang untuk mendekati pertanyaan yang lebih luas dari
makna pribadi dan nilai diri. Aspek seseorang mungkin lebih disepakati untuk
mengarahkan intervensi psikologis daripada domain kepribadian yang lebih
stabil. Pada akhirnya, rehabilitasi dapat menemukan efisiensi tambahan dan
nilai layanannya dengan mengembakan pengobatan yang berdampak pada dimensi
spiritual dari orang tersebut. (Piedmont, 2001:11) 14 Para penyintas bencana
erupsi tampak mengalami transformasi spiritual yang cukup besar setelah
terjadinya bencana. Para penyintas meyakini bahwa segala sesuatu termasuk
terjadinya bencana ini merupakan kehendak Tuhan. Mereka yakin tidak ada yang
lebih berhak lagi untuk membuat Merapi meletus selain Tuhan, dan mereka yakin
bahwa jika Tuhan berkehendak demikian tentu Dia juga akan menjadi penolong
mereka. (Faturrochman, 2012:179) Maddi menjelaskan bahwa spiritualitas
membutuhkan suatu pencarian di alam semesta, suatu pandangan bahwa dunia lebih
luas daripada diri sendiri, spiritualitas juga berarti ketaatan pada suatu
ajaran (agama) yang spesifik. Penelitian tentang ketabahan, keberagamaan dan
spiritualitas menunjukkan kualitas-kualitas yang membantu individu dalam
mengatasi kondisi stres dalam hidup dan menyediakan perlindungan pada individu
dalam menghadapi depresi dan stres. (dalam Iqbal, 2011:29) Dalam Islam sendiri,
antropologi spiritual islam memperhitungkan empat aspek dalam diri manusia:
upaya dan perjuangan psiko-spiritual demi pengenalan diri dan disiplin,
kebutuhan universal manusia akan bimbingan dalam berbagai bentuknya, hubungan
individu dengan Tuhan, dan dimensi sosial individu manusia. (Schaalman et
al.2000:6) Pada taraf emosional-psikologis, manusia mendambakan kedamaian dan
ketenangan dan menolak kecemasan dan ketakutan. Dari 15 sisi intelektual,
manusia menginginkan pencerahan lewat pencapaian pengetahuan dan menolak
kebodohan. (Mahpur&Habib, 2006:47) Menurut pandangan peneliti, sumber
resiliensi I AM milik Grotberg searah dengan teori spiritualitas Piedmont tentang
Pemenuhan Do‟a (Prayer Fulfillment) yang juga berasal dari internal diri
sendiri untuk berusaha membahagiakan atau menyembuhkan kesedihan individu dari
kondisi yang tak menyenangkan yang telah dialami melalui manifestasi kekuatan
batin dengan meningkatkan intensitas ibadah. Karena, intensitas ibadah
merupakan salah satu manifestasi atau bentuk kesadaran terhadap spiritualitas
individu, berasal dari rasa keinginan atau kesadaran dalam diri sendiri.
Survivor remaja yang memiliki spiritualitas yang baik atau tinggi maka akan
mampu bangkit kembali dari keterpurukan atas bencana erupsi gunung yang
dihadapi yang mana dalam seketika meluluhlantakkan kemapanan yang telah ada
sebelumnya. Sebab, seorang remaja yang dalam perkembangan menuju dewasa
setidaknya berproses membentuk pola pikir abstrak walaupun dikembalikan lagi
dengan daya lentur (resiliensi) dan kepribadian masingmasing. Idealnya, seorang
remaja seharusnya mampu mengambil hikmah atau berpikir realistis bahwa
kemalangan yang terjadi padanya adalah ujian Tuhan. Begitu juga sebaliknya,
apabila survivor yang memiliki spiritualitas kurang baik atau rendah, maka akan
kurang lentur dalam 16 menghadapi kenyataan yang ada, bahkan kembali pada
realita adalah suatu kesukaran baginya. Akibatnya adalah permasalahan psikologis
yang dihadapi menjadi laten dan mengganggu aktivitas sehari-hari, mempengaruhi
stabilitas hidup seperti biasannya. Dari hasil wawancara yang peneliti lakukan
pada salah satu survivor remaja sebagai subjek penelitian didapat bahwa ketika
mengalami evakuasi, dia merasa takut mati dan mengingat Tuhan. Akan tetapi,
setelah lewat masa darurat, narasumber kembali berperilaku seperti sebelum masa
krisis, diperlihatkan juga oleh teman-teman sebaya di lingkungannya. Dia
meyakini adanya Tuhan, dan bencana alam yang dialaminya merupakan cobaan Tuhan.
Setelah bencana, dia masih suka berkata kurang sopan, dan merasa seperti dulu
yang malu berbicara dengan oranglain namun peduli dengan tetangga. Dia masih
sering bolos sekolah, kadang setelah pulang sekolah pergi ke sungai Sambong
untuk mencari plonto. (Feri (15th), nama samaran, 26 Maret 2014) Selanjutnya,
dia mengemukakan bahwa tidak memiliki kondisi keluarga yang stabil karena dari
kecil sudah ditinggalkan ibunya. Di rumah hanya bersama ayah, ketika mengungsi
mereka sempat terpisah. Dia selalu mencari perhatian dari orang-orang sekitar
sejak sebelum Kelud meletus. Dengan melakukan ibadah, dia merasa senang tapi
masih merasa malu ketika memasuki masjid di sekitar. Selai itu, dia sudah tidak
berminat melanjutkan sekolah lagi karena merasa tidak akan naik kelas. 17
Namun, dari hasil wawancara tersebut menunjukkan hasil yang berbeda dengan
teori, bahwa spiritualitas yang baik atau tinggi pada subjek penelitian tidak
selalu berbanding lurus dengan kenyataan di lapangan dalam kaitannya dengan
resiliensi pasca bencana erupsi gunung Kelud. Subjek menyatakan
ketidakpercayaan diri sendiri pada beberapa faktor dalam spiritualitas salah
satunya kepedulian terhadap sesame bahwa oranglain juga peduli dengannya,
walaupun bantuan bencana yang didapat hanya sesaat. Kemudian, subjek juga tidak
menunjukkan perilaku berusaha bangkit dari kondisi yang tidak menyenangkan yang
dialaminya. Subjek menunjukkan merasa nyaman dengan kesengsaraan yang dihadapi
karena tidak ada motivasi untuk bangkit, menilai oranglain jauh lebih hebat
darinya. Sehingga, dapat diambil asumsi bahwa survivor remaja dengan
spiritualitas yang tinggi tentu memiliki resiliensi yang tinggi pula.
Pengamalan ibadah, hubungan diri dengan semesta alam, dan hubungan interpersonal
mampu secara otomatis meningkatkan resiliensi pasca bencana erupsi gunung yang
telah dialami. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka
penelitian ini dimaksudkan untuk menguji teori Piedmont dan teori Grotberg,
serta mengetahui dengan jelas “hubungan spiritualitas dengan resiliensi
survivor remaja pasca bencana erupsi gunung Kelud di Desa Pandansari, Ngantang,
Malang”. 18 B. Rumusan Masalah Dari pemaparan latar belakang di atas dapat
dirumuskan masalah yaitu: 1. Bagaimana tingkat spiritualitas survivor remaja di
Desa Pandansari, Ngantang, Malang? 2. Bagaimana tingkat resiliensi survivor
remaja di Desa Pandansari, Ngantang, Malang? 3. Adakah hubungan antara
spiritualitas dengan resiliensi survivor remaja di Desa Pandansari, Ngantang, Malang?
C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui spiritualitas survivor remaja di Desa
Pandansari, Ngantang, Malang. 2. Untuk mengetahui tingkat resiliensi survivor
remaja di Desa Pandansari, Ngantang, Malang. 3. Untuk mengetahui ada tidaknya
hubungan antara spiritualitas dan resiliensi survivor remaja di Desa
Pandansari, Ngantang, Malang. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini
diharapkan akan memberikan manfaat dan kegunaan sebagai berikut : 1. Secara
Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan memperluas
khasanah keilmuan dalam disiplin ilmu psikologi. Khususnya psikologi klinis,
psikologi perkembangan, dan psikologi 19 sosial. Terutama dalam proses mental
recovery atau penanganan mental korban bencana di daerah rawan bencana gunung
meletus, khususnya di Desa Pandansari, Ngantang, Malang. 2. Manfaat Praktis a.
Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan para pakar
keilmuan, praktisi, pimpinan, relawan bencana dan masyarakat umum. b.
Memberikan gambaran dan pemahaman baru bagi survivor remaja sejauh manakah
spiritualitas dan resiliensi yang mereka miliki, dan masukan bagi survivor
remaja untuk meningkatkan spiritualitas dan mengembangkan resiliensi mereka
agar lebih cepat bangkit kembali setelah mengalami bencana alam. c. Sebagai
masukan dan memberikan kontribusi bagi pihak perangkat Desa Pandansari bahkan
kecamatan Ngantang, kabupaten Malang dalam menyusun program pembinaan
psikologis dan spiritualitas bagi warga desa paling berdampak erupsi gunung
Kelud. d. Memberikan masukan kepada masyarakat akan pentingnya memiliki
spiritualitas yang baik dan resiliensi dalam menghadapi bencana alam maupun
sosial yang tidak terduga waktu kejadiannya.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" :Hubungan spiritualitas dengan resiliensi survivor remaja pasca bencana erupsi Gunung Kelud di Desa Pandansari-Ngantang-Kabupaten Malang" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment